Share

9. Sebuah Hadiah

Pada sore harinya, Riti pulang ke rumah Tama sesuai janji. Jasin yang menjemput dan pria itu memberinya banyak nasihat.

“Sebaiknya Nona tidak membuat banyak masalah, Tuan Tama sudah memiliki persoalan di perusahaan, pasti akan repot kalau Nona menambahnya ...!” kata Jasin, ia menyampaikan arahan dengan lembut dan sopan, saat Riti berada di kendaraan.

Riti pun mengangguk.

Meskipun ia heran kenapa Jasin tiba-tiba memberinya nasihat demikian, tapi ia tetap mendengar dan memakluminya. Sebab seperti itulah kasih sayang seorang ayah pada anaknya. Ia tidak ingin anaknya mengalami sesuatu yang buruk.

Sesampainya di rumah, Riti menunggu Tama di kamarnya, tapi ia heran karena laki-laki itu tidak juga pulang. Ia bertanya pada Sima dan semua orang, tetap, mereka semua kompak dengan mengatakan hal yang sama.

“Saya tidak tahu, Nona!”

Bahkan, sampai keesokan harinya Tama tidak menampakkan batang hidungnya. Riti sadar kalau dirinya tidak diinginkan, karena Tama memang awalnya mau menikahi Yuna. Namun, ia tetap penasaran dengan pria yang sudah menjadi suaminya.

Riti menatap dirinya di depan cermin, dan mulai menggunakan beberapa macam produk kecantikan yang disediakan Sima. Semua sudah ada sejak kemarin, tapi ia tidak menyentuhnya. Mulai sekarang ia harus rajin merawat diri agar Tama mau meliriknya dan tidak lagi memikirkan Yuna.

“Ini merek yang bagus!” gumam Riti, ia tahu beberapa merek produk kecantikan itu sangat mahal harganya.

“Apa laki-laki itu benar-benar kaya? Eum ... kalau memang iya, seharusnya dia tidak menggunakan hutang ayah sebagai jaminannya! Dasar pembohong!” gumamnya lagi, sambil bersolek. Tidak ada satu pun perhiasan yang melekat di tubuhnya. Tidak akan ada orang yang percaya kalau ia menikahi pria kaya.

Saat pernikahan itu, Yuna sempat membisikkan padanya tentang, jumlah hutang ayahnya yang setara dengan harga satu buah Ferari terbaru. Ini artinya, Riti berharga cukup mahal. Namun, yang terpenting adalah ia sudah melindungi ayahnya, agar tidak dipenjara atau membayar hutang dengan nyawa.

Setelah beberapa hari tinggal di rumah itu, Riti selalu diminta oleh Sima, untuk menghabiskan makan dalam jumlah yang banyak. Semua untuk kesehatan dan menjaga kebugaran tubuhnya.

Riti pun protes setiap kali Sima menyuguhkan makanan itu kepadanya. Ia seperti sengaja digemukkan dan setelah itu siap untuk dipotong. Ia merasa bahwa, dengan cara seperti itulah Tama menyiksa dirinya.

Pagi itu, seperti biasa Riti tengah menikmati sarapannya di dalam kamar.

Riti hampir tidak pernah pergi ke area lain, setiap kali datang dan pergi. Hanya tiga tempat yang ia lewati sebelum ke kamarnya, yaitu halaman ruang tamu dan ruang makan serta, tidak pernah lebih dari itu. Riti tidak melihat ada ruangan lain di sekitarnya.

“Bibi, kalau aku boleh tahu, berapa umur suamiku?” tanya Riti, mencoba mengobrol dengan Sima. Dua wanita itu duduk bersebelahan.

Sima menatap Riti dengan tatapan aneh, ia heran, masa ada seorang istri yang tidak tahu berapa umur suaminya.

“Apa Anda tidak melihat tanggal lahir Tuan di akta nikah kalian?” jawabnya.

Seketika Riti menepuk jidatnya dan bergumam, “Bodoh sekali, aku meninggalkannya begitu saja di atas meja!”

Tanpa Riti ketahui, Tama sudah mengamankan akta nikahnya.

“Usia Tuan belum sampai 40 tahun dan ingat mulai sekarang tanggal lahirnya, 27 Juni! Tama sebentar lagi tepat berusia 38 tahun!”

“Oh! Itu jaraknya hanya satu hari dari kelahiran Leri!” Riti mengucapkan nama Leri dengan wajah berbinar. Dia adalah tipe pria idaman Riti, yang akan merayakan ulang tahunnya besok. Riti tidak perlu meminta izin pada Tama, untuk pergi ke pesta. Lagi pula, ia tidak akan tinggal sampai larut malam.

“Siapa Leri? Jangan sebut nama pria lain di rumah ini, atau Tuan Tama akan marah!” Sima berkata dengan tegas, apa pun hubungan Riti dengan pria yang disebutkannya tadi, ia tidak peduli.

“Baiklah, aku tidak akan menyebutkan nama itu lagi, tapi mulai besok, aku tidak mau makan sebanyak ini!”

“Anda harus makan, sebab itu perintah Tuan! Hari ini aku sudah menyiapkan makan siang, Anda harus menghabiskannya!”

Riti tertegun, seraya memikirkan kenapa Tama memintanya untuk banyak makan, ini akan membuatnya gemuk dan ia tidak suka. Ia kesal, ia merasa Tama sama sekali tidak berhak mengatur dirinya sebab ia hanya suami sementara. Namun, ia gagal menyalurkan kemarahannya karena Tama tidak muncul juga sampai lebih dari dua pekan lamanya.

“Awas saja kalau dia muncul!” gumamnya lirih.

Gadis itu merasa jenuh, sudah setiap malam bersolek tapi lelaki yang ditunggunya tidak muncul juga.

Sementara Jojo selalu bertingkah aneh sejak kejadian penagih hutang waktu itu. Pria itu menjauh darinya dan hanya bicara jika perlu saja.

Jojo bisa memaklumi jika melihat Riti di antar jemput oleh mobil mewah oleh sopir. Namun, berbeda dengan rekan-rekan kerjanya, yang menilai Riti menjadi istri simpanan seseorang. Mereka tidak ada yang percaya kalau Riti sudah menikah, karena tidak menerima undangan pernikahannya.

Hal yang paling menjengjelkan adalah saat mengajak Jojo untuk datang ke pesta ulang tahun Leri. Namun, dengan sopan pria itu menolak, alasannya tidak dibuat-buat, ia kebetulan sedang sakit.

Sebelum pergi ke pesta, Riti mengunjungi ibunya dan menunjukkan sebuah kado kecil yang akan ia berikan pada Leri. Sang ibu mengenal laki-laki itu dengan baik, ia adalah teman Riti.

“Ibu, ini hadiah pertama dan terakhirku untuk Leri, sepertinya mulai sekarang aku harus merelakan cintaku pergi ... Kalaupun aku tetap bersikeras menyukainya, itu tidak akan sama!”

“Kenapa?” tanya Tina dengan suara yang rendah dan lemah. Ia terus saja terpejam saat bicara. Ia tahu anak perempuannya itu sudah bekerja keras, hingga bisa memiliki uang yang cukup untuk biaya rumah sakit dan membeli hadiah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status