Share

BAB 4 Kakak Ipar Kurang Waras

"Gimana, Mbak, Mas? Nyenyak tidurnya?" tanya Mas Jimy pada kedua kakaknya. Kini kami sudah duduk berenam di kursi meja makan. Pas. Karena kursinya hanya enam.

Aku menuangkan air hangat ke gelas satu persatu untuk mereka.

"Ya, lumayan, nyenyak. Maaf ya kalau kami merepotkan," kata Mbak Anggi.

"Gak apa-apa. Kita 'kan keluarga. Kamu juga gak usah sungkan, To," timpal Ibu meminta Mas Yanto, menantunya supaya tak sungkan.

"Iya, Bu." Jawaban Mas Yanto.

"Iya, Mbak, Mas, kalian anggap saja rumah ini seperti rumah kalian sendiri. Kalau butuh apa-apa jangan ragu," ujarku sambil duduk untuk memulai sarapan.

"Iya, kalau kalian butuh apapun, dan gak bisa sendiri, panggil saja Hanah." Tiba-tiba ibu bicara seperti barusan. Ia seperti menginginkanku untuk jadi dayang anak dan menantunya.

"Oke. Makasih Bu, Hanah," kata Mbak Anggi.

Kami pun mulai sarapan. Di meja sudah terhidang nasi, ikan mas, tempe dan juga semangkuk tumis kangkung. Kemarin Mas Jimy memberiku uang tambahan seratus ribu setelah membeli mobil. Lumayan.

"Kalau gitu aku berangkat dulu ya," kata Mas Jimy setelah selesai sarapan.

"Loh, kok kamu bawa kunci motor, Mas?" tanyaku heran saat ia menggenggam kunci motornya. Bukan kunci mobil.

"Iya, Mbak Anggi sama Ibu katanya mau jalan-jalan. Minjem mobil. Jadi aku pakek motor saja." Seketika rasa heran di benak ini muncul. Katanya Mbak Anggi baru saja berduka, kok sempat-sempatnya dia berniat jalan-jalan. Apa yang aku dengar semalam itu nyata? Rumah mereka tidak kebakaran, tapi ...

"Oh." Aku menanggapi.

"Makasih ya, Jim, uangnya juga. Semoga kamu segera naik jabatan." Mbak Anggi bicara.

Uang?

Mas Jimy memberikan uang untuk kakaknya?

"Ah kamu gak usah berterima kasih. Jimy 'kan adik kamu, sudah seharusnya ia membantu kamu saat kamu susah." Ibu berkomentar.

Kembali kuelus dada ini. Semoga ini tak menjadi kebiasaan. Mas Jimy pengiritan padaku, tapi pada keluarganya loyal sekali.

"Ya sudah, aku pamit." Mas Jimy pamit. Kukecup punggung tangannya takzim, lalu ia salim pada Ibu, Mbak Anggi dan juga Mas Yanto. Kuantar Mas Jimy sampai ke halaman rumah. Sampai ia naik kendaraan dan pergi memakai sepeda motor matic lama.

Langkah ini kutarik ke dalam. Sebentar lagi aku akan pergi mengantar Afni ke sekolah. Dia baru saja masuk sekolah dasar, jadi masih kuantar. Tak ada rekannya pula yang dekat dari komplek. Kecuali kakak kelasnya. Tapi dia mungkin masih canggung.

"Siap-siap yuk!" ujar Ibu pada Mbak Anggi.

"Ayok, Bu." Mbak Anggi terlihat girang. Memang Mbak Anggi sudah bisa mengendarai mobil sejak lama, sedangkan aku belum bisa.

"Mas gak ikut jalan-jalan, Mas?" tanyaku pada Mas Yanto yang hanya duduk di kursi memperhatikan Ibu dan istrinya.

"Malas, Han. Aku di rumah saja." Itu jawabannya.

"Oh begitu. Kalau gitu Hanah permisi mau antar Afni."

"Afni Sayang? Ayok?" Kupanggil putri kecil yang sudah siap sedari tadi menunggu di meja makan.

"Iya, Bu." Ia berlari mendekat ke arahku. Afni sudah memakai baju merah putih dan menggendong kantong bergambar hello Kitty sebuah kartun favoritnya sejak bayi.

"Mas, aku sama Ibu berangkat dulu." Mbak Anggi pamit pada suaminya.

"Iya, Sayang. Hati-hati." Mas Yanto berpesan.

"Kamu beneran gak mau ikut?" Mbak Anggi bertanya.

"Nggak, aku lagi searching lowongan kerjaan. Kamu sama Ibu saja." Mas Yanto menjawab demikian. Ibu sudah berdiri di samping Mbak Anggi. Aku masih membenarkan jepitan rambut Afni.

"Yanto, kamu memang suami bertanggung jawab. Semangat sekali cari kerja." Ibu memuji menantunya.

"Iya, Bu. Mau di kasih makan apa Anggi kalau aku tak bekerja?" Mas Yanto menjawab.

"Bu, Mbak, Mas, Hanah antar Afni dulu ke sekolah. Assalamualaikum!" Aku pamit duluan. Mereka menjawab salamku dengan cepat. Seperti biasa, nada Ibu ketus sekali. Afni menyalami nenek, om dan, tantenya. Dan setelah itu kami pergi.

***

"Bu, kok kita naik angkot? Sedangkan nenek sama tante Anggi pakek mobil ayah." Afni si buah hati bertanya saat kami sudah duduk menyamping di angkutan umum untuk sampai di sekolah.

"Sayang, kita 'kan udah biasa. Jadi gak apa-apa ya? Besok-besok saja kita naik mobil ayahnya," jawabku lembut sambil meraba pipi sebelah kanannya.

"Afni kasihan sama Ibu. Nenek kayakanya marah-marah terus sama Ibu. Padahal Ibu 'kan selalu kerja sendiri. Nenek ngomel-ngomel aja." Anakku bicara demikian. Entah darimana ia bisa berkata seperti itu. Hingga orang-orang yang sama-sama duduk di jok angkot pun menoleh ke arah kami. Aku jadi pusat perhatian.

"Sayang, kamu gak boleh bicara kayak gitu. Oh ya, buku kamu gak ada yang lupa, kan? Ibu tadi gak cek lagi," ujarku mengalihkan tema supaya Afni tak bahas neneknya lagi. Anak semata wayangku ternyata sudah bisa menilai sikap neneknya yang nampak buruk itu.

"Udah. Tadi aku udah cek kok, Bu. PR-nya juga udah semua. Kan Ibu semalam yang bantu Afni." Ia menjawab. Kukecuplah pucuk keningnya .

***

"Assalamualaikum!" Aku masuk ke dalam rumah bersama Afni. Tak ada siapa-siapa di dalam, tapi pintu tidak di kunci. Kami baru saja pulang dari sekolah.

"Waalaikum salam!" Ada jawaban, dan ternyata yang menjawab adalah Mas Yanto. Dia masih di rumah dan belum mencari pekerjaan. Baru saja dia keluar dari arah dapur. Kupikir rumah kosong.

"Sudah pulang keponakan Om?" Mas Yanto menghampiri kami. "Iya, Om." Afni mengecup punggung tangan omnya dengan penuh keikhlasan.

"Mbak Anggi sama ibu belum pulang, Mas?" tanyaku pada Mas Yanto.

"Belum. Mereka kalau jalan-jalan pasti sampai sore." Mas Yanto menjawab sambil duduk di kursi.

"Oh gitu. Ya sudah, Hanah pamit dulu ke dalam, Mas. Permisi." Aku membawa Afni untuk masuk ke dalam kamar supaya ia segera mengganti seragam sekolahnya.

"Mah, Afni mau belajar sama Kak Helen. Udah janji. Boleh 'kan, Mah?" ucap anakku dengan manis saat kulocoti kancing bajunya satu persatu.

"Kak Helen yang rumahnya di samping itu?" tanyaku dengan senyuman.

"Iya. Dia baik, Ma. Dan katanya dia suruh aku kesana buat belajar. Kak Helen jarang di bolehkan main keluar. Kalau ada yang nyamperin baru boleh." Anakku menjawab.

"Tapi memangnya Kak Helen minta kamu ke sana?" selidikku. Kusimpan satu persatu pakaiannya. Lalu kupakaikan ia baju ganti untuk bermain.

"Ya, sejak lusa dia udah suruh aku kesana. Katanya dia mau ajarin Afni belajar bahasa Inggris. Dia juga gak ada temen main." Anakku bicara kembali.

Aku terdiam.

"Gimana, Ma? Boleh ya? Mama antar Afni ke depan. Kasihan kak Helen. Afni sudah janji tadi." Anakku kembali berkata dengan raut mengiba.

"Hem, ya sudah, boleh. Tapi kamu jangan nakal, ya? Kak Helen 'kan orang berada. Mama gak mau kamu di marahi orang tuanya." Kujawab sambil meraba kedua pipinya. Ia pun mengangguk.

"Kata Kak Helen, mamanya udah pergi jauh. Kak Helen cuma tinggal sama papanya saja. Makanya dia gak di bolehin keluar karena takut kak Helen kenapa-kenapa." Anakku kembali menjelaskan.

Baru tahu kalau tetanggaku sedang ada masalah. Jadi Mbak Nia pergi meninggalkan Pak Zen?

"Bu, antar sekarang, ya? Afni pulangnya nanti sendiri saja. Deket, kok," ujar anakku lagi. Aku mengangguk.

Kesimpulannya aku mengantar Afni ke rumah tetangga yang jaraknya tidak terlalu jauh. Hanya terhalang beberapa rumah saja. Hanya rumah Pak Zen dan Mbak Nia lumayan besar dan mewah. Helen itu adalah anak semata wayang mereka yang kini duduk di bangku kelas enam esde.

"Afni!" sapa seorang anak remaja cantik dari balik gerbang di saat kami baru saja sampai. Dia anak yang bernama Helen. Gadis cantik berambut sebahu itu menghampiri kami. Dia pasti sudanh menunggu, sampai tahu kalau kami sudah datang.

"Kak?" sapa balik anakku.

"Akhirnya kamu datang juga. Makasih ya, Tente, boleh 'kan Afni main di rumahku? Sambil belajar juga." Helen meminta izinku.

"Tentu, Sayang. Maaf kalau anak Tante nanti merepotkan kamu saat belajar, ya?" jawabku.

"Nggak apa-apa, Tante. Aku seneng. Soalnya papa gak bolehin aku main keluar. Tapi kalau ada temen main kesini baru boleh." Helen menjawab dengan sendu.

"Iya, Sayang."

"Afni jangan nakal, ya?" pintaku pada Afni.

"Iya, Bu." Ia mengangguk pelan.

"Yuk masuk!" Helen meraih lengan Afni dan membawanya masuk ke dalam rumah. Sebelum pergi Afni lambaikan tangannya padaku. Lucu sekali mereka. Helen memang sepertinya anak baik. Dia cantik dan juga lembut.

***

"Permisi, Mas." Aku nyelonong masuk ke arah kamar setelah permisi pada Mas Yanto. Entah mengapa rasanya agak risih bila harus ada di dalam rumah berdua dengan pria yang bukan muhrimku. Padahal antar Afni tidak jauh, tapi mataku benar-benar gerah.

Mas Yanto pula kenapa tidak keluar atau cari kerja. Betah sekali dia di rumah dengan hanya mengotak-atik gadgetnya.

Ah biarlah. Semoga Ibu dan Mbak Anggi segera pulang. Ini pun sudah tengah hari. Mereka tadi berangkat sejak pagi.

Pekerjaan rumah masih ada yang belum kukerjakan, yaitu menyetrika pakaian. Langsung saja aku bergegas mengerjakan pekerjaan tertunda itu. Memang aku melicin pakaian biasanya dua hari sekali. Ngirit pemakaian listrik.

"Han? Ada teh? Mas mau bikin teh manis?"

Tiba-tiba suara Mas Yanto mengejutkan. Ia menghampiriku yang sedang berada di ruang licinan. Aku kaget.

"Oh, ada, Mas." Aku beranjak dan segera keluar dari bangunan petak itu. Merasa kalau takut ada fitnah diantara kami. Apalagi kami hanya berdua.

Aku berjalan ke arah dapur mencari teh kemasan. Dalam lubuk hati ini masih fokus memikirkan kalau aku merasa tidak enak bila harus diam di rumah bersama kakak ipar. "Ini, Mas?" Kutunjukkan pada Mas Yanto. "Makasih." Ia pun mengambilnya dan menyeduhnya sendiri. Aku langsung kembali ke tempat licinan.

Benar-benar merasa tidak enak bila harus seatap berdua bersama Mas Yanto. Kenapa pula dia tidak keluar sekedar menghormatiku. Kan jadinya risi.

Semoga saja Mas Yanto orang baik. Jadi aku akan tenang bekerja melicin pakaian.

Kutengok jam dinding, sudah hampir setengah jam aku melicin dan belum selesai. Ibu dan Mbak Anggi pun kok lama sekali. Mereka belum juga pulang.

Tangan ini masih fokus memegangi setrika. Tinggal beberapa pakian lagi, pun akan segera selesai mengerjakan pekerjaan ini.

Tiba-tiba sesuatu aneh meraba pundakku.

Teg! Seperti sebuah telapak tangan.

Dengan cepat kutoleh. "Mas Yanto!" Ia segera hempasan lengannya dari pundakku. Ya, di Mas Yanto.

Apa yang terjadi? Mas Yanto sudah berdiri di belakangku dengan posisi tegap sambil tersenyum manis.

"Mas? Apa yang Mas lakukan disini? Kok Mas raba-raba Hanah?" Aku mulai panik. Untuk apa kakak iparku menempelkan telapak tangannya di pundak adik iparnya?

"Hanah? Kamu cantik dan baik. Aku pikir, kamu akan lebih cantik bila mengenakan pakaian agak ketat."

Deg-deg.

Makin takut.

Napas ini sejenak kutahan sambil menatapnya dengan mata terbelak nanar. "Apa maksud kamu, Mas?" Kepanikan ini memuncak. Apalagi saat tatapan jahanam kedua netranya memicing lalu menggoda. Ia kedipkan sambil menatap seluruh tubuhku dari atas hingga bawah.

Aku segera melangkah.

"Hey, kamu mau kemana?"

"Lepasin, Mas!" Dia meraih kedua pundak ini dan menggenggamnya dengan erat.

"Hanah, aku tahu kalau Jimy selalu menyepelekan kamu. Jadi ... kita lebih baik senang-senang saja. Aku yakin, kamu juga mau, kan?" cungurnya bicara lembut dengan isi yang tak senonoh.

"Jangan lancang kamu, Mas! Aku ini adik kamu!" kesalku terus memberontak.

"Lepas!" Dia makin erat menggenggam sisi lengan dekat bahu ini. "Kamu ...."

"Hey. Ayok kita senang-senang sebelum istriku dan ibu datang."

Plak!

Saat lengan ini berhasil terlepas, segera kutampar Mas Yanto sekuat tenaga. Tapi dia malah terkekeh sambil mengelus lembut bagian pipi yang kutampar. Aku makin ketakutan.

"Kamu makin menggemaskan!"

Deg!

Sudut mata ini langsung terarah ke pintu keluar kamar licinan. Aku segera berlari setelah menginjak kakinya.

"Hanah? Kamu mau kita kayak film India?" teriaknya. Aku makin kalap. Dengan segera aku masuk ke dalam kamar dan berniat mengunci pintu, tapi Mas Yanto berhasil mendorong pintu itu sebelum aku berhasil menguncinya.

"Euh! Tolong!" Aku berteriak histeris sambil sekuat tenaga menarik pintu. Keringat dingin sudah bermunculan. Diri ini sudah kalap karena takut si pria bejad itu berhasil menyentuhku.

"Sebagai adik, kamu itu harus berbakti, Sayang!" Dia mencuwil daguku lewat celah disaat kami sedang saling dorong pintu.

"Cwuih!" Aku benar-benar merasa jijik.

Tin!

Suara klakson mobil terdengar nyaring. Mas Yanto nampak kaget. "Sial! Kenapa mereka pulang cepat!" Mas Yanto merasa kesal. Sedangkan aku segera menutup pintu di saat ia lengah.

Blug! Trek!

Astaghfirullah!

Dadaku naik turun sejak tadi. Sesak. Takut. Benar-benar tidak menyangka kalau Mas Yanto adalah pria bejad. Tapi Alhamdulillah Mbak Anggi dan Ibu sudah pulang. Waktunya sangat tepat.

Tok tok!

"Tunggu aku ya, Sayang," bisiknya di balik pintu.

Cwuih! Jijik sekali. Untung saja Mbak Anggi dan Ibu mertua segera datang. Aku terus mengatur nafas karena masih panik.

"Ngapain kamu ada di depan kamar Hanah?" Terdengar suara Mbak Anggi dengan keras menuduh Mas Yanto. Jadi dia masih di depan kamarku?

"Nggak, aku sedang lewat." Mas Yanto berdalih. Ya Tuhan, terima kasih Engkau telah selamatkan diri ini. Hampir saja Mas Yanto berhasil menyentuhku.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status