Tok tok tok tok!
Pintu diketuk dengan keras beberapa kali. Entah oleh siapa.
"Hanah? Ngapain kamu di kamar?" Ternyata dari suaranya adalah Mbak Anggi.
Astaghfirullah! Apa dia pikir aku ...
Tok tok tok!
"Hanah?"
Aku segera membuka pintu.
"Ya, Mbak? Ada apa?" jawabku setelah pintu membuka.
"Afni mana?" tanyanya nanar.
"Afni lagi di rumah temannya, Mbak. Ada apa?" tanyaku gugup karena masih menahan rasa takut. Apalagi Mas Yanto masih ada di dini, di dekat Mbak Anggi.
"Tuh kan, Mas! Kalian berduaan di rumah. Jangan-jangan kalian tadi berbuat aneh-aneh. Kok kamu ada di depan kamar si Hanah?" cungur Mbak Anggi menuduh.
"Astaghfirullah, Mbak!" Aku kaget.
"Mbak jangan bicara macam-macam. Kami memang berdua di rumah. Tapi kami masing-masing." Aku membela diri. Karena itulah kebenarannya.
"Anggi, kamu jangan main tuduh saja." Mas Yanto angkat bicara. Ibu masih berdiri di dekat kursi menyaksikan.
"Lalu kamu kok berdiri di depan pintu kamar ini, Hah?" cecar Mbak Anggi pada suami gilanya. Dia memang cari masalah.
"Aku cuma lewat saja." Mas Yanto berbohong. Tapi, kalau jujur, bisa-bisa aku lagi yang disalahkan. Apalagi aku takut kalau Mas Yanto bicara membalikan fakta.
"Anggi, kamu jangan marah-marah sama suami kamu. Gak mungkin Yanto kegoda sama wanita kayak Hanah. Dia penampilannya juga jelek. Apalagi dia 'kan gak pintar kayak kamu." Ibu membela Mas Yanto. Tapi cara bicaranya sangat menghinaku.
Mbak Anggi terlihat kesal.
"Sayang, benar kata Ibu. Aku mana tertarik sama adik kita. Kalaupun dia menggodaku, aku tidak akan tergoda. Hanya kamu yang bisa buat aku jatuh cinta."
Astaghfirullah! Apa? Kalau aku menggodanya?
Cwuih!
"Tuh, kan. Kamu jangan marah-marah. Lebih baik kamu istirahat, ajak Yanto. Kamu pasti capek. Kita 'kan baru pulang jalan-jalan. Belanjaannya biar nanti saja di ceknya." Ibu angkat bicara lagi. Beda, pada mereka ibu bicara sangat manis sekali. Bisa-bisanya mereka belanja di saat ekonomi sedang sulit.
"Yuk, Sayang. Jangan cemberut!" Kakak iparku yang kurang waras itu membawa istrinya dengan gombalan-gombalan buaya. Ibu pun sumringah melihat mereka. Tapi sayang, langkah Ibu mengarah ke mari dengan tatapan horor.
"Kamu jangan-jangan mau goda menantu Ibu?" cungur ibu. Tuduhannya sangat menyakitkan hati.
"Ya Allah, Bu. Sama sekali Hanah bukan wanita seperti itu ya, Bu. Ibu jangan bicara macam-macam. Apalagi soal akhlak." Aku mulai kesal.
"Alah. Maling mana ada yang ngaku. Terus, kenapa kamu tumben-tumbenan suruh Afni main di rumah tetangga, supaya kamu bisa di rumah? Caper sama Yanto?" sungut ibu makin keterlaluan.
Kepala ini menggeleng-geleng. "Cukup ya, Bu. Ibu selama ini selalu hina Hanah, tapi ini sudah keterlaluan. Ibu seakan tuduh aku sebagai wanita murahan."
Netra Ibu terbelak sempurna. "Kamu berani bentak Ibu?" ketusnya seperti ingin melahapku bulat-bulat.
"Tapi Ibu sudah keterlaluan. Hanah bukan wanita murahan ya, Bu. Hanah gak terima kalau Ibu bilang aku caper pada menantu Ibu." Kembali emosi ini muncul.
"Maling mana ngaku?" tuduhnya tanpa memperhatikan hati ini yang sudah terluka.
Jantungku berdegup kencang. Napas ini tertarik dan terhembus cepat mengiringi dada yang naik turun.
"Awas kalau kamu sampai goda Yanto, dan anak saya sampai berantem. Ibu akan adukan ini sama Jimy. Biar kamu diberi ketegasan!" ancam ibu sambil pergi. Dia benar-benar keterlaluan.
Serba salah. Selalu saja seperti ini.
Daripada terus memikirkan Ibu dan Mbak Anggi, juga si pria gila itu, lebih baik aku keluar untuk belanja sayuran. Mumpung masih siang dan memang tadi aku lupa karena ada licinan. Terlebih tak fokus bekerja karena risih harus berada di rumah berdua dengan Mas Yanto.
***
"Han?" Seseorang berteriak menyapaku dari dalam mobil. Aku yang sedang berjalan pulang dari warung sayuran pun sejenak terdiam dan mematung.
Mobil berhenti di depanku yang tadi kubelakangi. Karena kini aku menoleh dan membalikan badan.
Seorang wanita turun dari mobil. Suaranya seperti tak asing, tapi siapa?
"Hanah?" Ia kembali menyapaku sambil mendekat. Tubuh semampai mengenakan wedges, pun berkacamata, mendekatiku.
Kuselidiki wajah dan suaranya.
"Resti?"
"Hanah? Ya, ini aku Resti."
Ternyata benar, dia adalah Resti. Sahabatku semasa kami duduk di bangku sekolah menengah atas. Selama tiga tahun kami sekelas bersama. 1C, 2D, 3B. Tiga tahun tetap satu kelas. Bahkan kami sama-sama mendapatkan beasiswa karena nilai kami tinggi.
"Apa kabar?" tanyanya sambil memelukku.
"Alhamdulillah, baik, Res. Kamu gimana? Kayaknya kamu udah sukses?" tanyaku balik menyapa. Dulu ia memang sahabat yang pintar dan baik. Entah sekarang. Alasan dia turun dari mobil dan menghampiriku aku tidak tahu.
Ia tersenyum. "Alhamdulillah. Aku 'kan kuliah ambil jurusan management bisnis. Kalau kamu kuliah, mungkin kita bisa barengan." Dia menyayangkan.
"Hem, ya, kamu tahu sendiri ekonomi keluarga aku. Ya syukurlah kalau kamu sudah sukses. Aku turut bahagia." Kusemai senyum untuknya.
"Oh ya, kita kok baru ketemu lagi ya? Ini benar-benar kebetulan." Dia nampak sumringah saat bertemu denganku. Namun, aku agak minder. Pakaianku yang hanya puluhan ribu, harus bersanding dengannya yang mengenakan pakaian lebih dari ratusan ribu. Bahkan jutaan.
"Iya. Aku baru pulang dari warung. Beli sayuran."
"Eh iya, Han. Aku lagi cari jasa buat design baju-baju di butik aku. Alhamdulillah, beberapa bulan yang lalu, aku mendirikan butik kecil-kecilan. Ya, sebagai pengembangan skil bisnis aku. Dan kebetulan sekali aku ketemu kamu." Kalimat Resti ambigu sekali. Apa maksudnya?
"Ya? Aku turut senang ya, Res," jawabku lagi.
"Aku 'kan udah nikah, tapi aku ingin tetap berkarir yang tidak terlalu sibuk. Jadi, suami aku kasih ide dan modal supaya aku buat butik. Nah, mumpung kita ketemu, aku mau tawarin kamu buat kerjasama." Resti bicara memutar.
"Maksudnya?" selidikku.
"Han." Dia meraih pundakku.
"Aku tahu kalau kamu jago bikin design baju. Kamu meskipun bukan lulusan tata busana, tapi, sejak SMA, kamu sudah lihai menggambar. Kamu faham tekstur, warna, kain dan semuanya tentang design yang acap kali kamu iseng gambar-gambar."
Aku kaget dan baru ingat, kalau aku memang suka gambar design baju. Tapi aku hanya belajar secara otodidak. Bukan karena ilmu dari sebuah fakultas.
"Maksudnya?"
"Kamu mau 'kan bikinin design baju-baju untuk opening butik baru aku. Rencananya aku akan adakan launching, sebagai pengenalan butik dan juga produk tiga bulan lagi. Tapi, aku masih belum dapat desainernya. Mumpung kita ketemu, gimana kalau kamu saja yang ambil. Secara langsung juga memperkenalkan karya kamu."
Deg.
Apa aku tak salah dengar?
"Res? Kamu?"
"Han? Aku minta tolong ya. Plisss."
"Tapi aku sudah lama gak gambar-gambar. Dan aku bukan seorang sarjana tata busana yang ahli. Aku gak mau bikin image butik kamu jelek karena karya aku." Benar-benar insecure sekali diri ini. Mana mungkin karya amatiranku bisa membaguskan citra boutique baru Resti.
"Kalau menurut aku, yang namanya kemampuan itu gak bakalan hilang. Kamu pasti masih punya ilmu yang sama. Hanya kadang-kadang tidak kamu salurkan."
"Nah, kamu dalami lagi, dong. Sayang banget kalau skil kamu gak dilihat orang. Aku percaya sama kamu." Kembali Resti bicara dengan yakin.
"Resti, kamu salah orang. Lebih baik, menurut aku, kamu cari designer handal di luar sana. Dan itu akan mengantarkan butik kamu menuju kesuksesan. Bukan dari gambar orang semacam aku ini." Sungguh aku tidak mengerti dengan niat Resti. Aku bisa apa?
"Ya, maka dari itu. Mereka, desainer-desainer di luar 'kan itu udah gimana ya? Hem, gak ada yang aneh. Dan mereka itu udah sukses. Niat aku itu, ya, ingin ajak kamu sukses juga." Aku benar-benar tidak menyangka kalau Resti masih baik seperti Resti yang dulu. Meskipun sekarang dia sudah hidup mewah, tapi dia masih mengingatku si miskin ini.
Aku tak ingin buat dia malu dengan karyaku. "Resti, aku gak bisa. Kalau kamu tampilkan karyaku, bisa-bisa kamu kena malu."
Dia terkekeh. "Tahu dari mana kamu bakalan buat aku malu? Kerja aja juga belum. Dan kalau soal kena malu, ya biarin, bukannya yang sukses di sana itu mereka juga pernah dipermalukan lalu bangkit? Hah?"
Ya, benar juga.
"Ya tapi tetap saja, Res. Apalagi tangan ini tidak pernah cium bangku kuliah tata busana. Mana bisa sih?" Aku terus meyakinkannya kalau aku tidak bisa. Tidak mungkin bisa.
"Kamu masih bisa belajar. Gambar aja dulu. Detailnya kamu bisa pelajari lagi." Ia makin menyulut semangat.
"Res, aku ...."
"Ah sudah. Ini kartu nama aku. Ada nomor aku juga. Aku harus balik dulu. Aku harap kamu mau. Oh ya, kamu langsung tes kontak ke nomor aku ya. Aku tunggu." Dia malah berlalu pergi.
"Tapi, Res?"
"Sampai jumpa. Aku harap kamu bisa ya? Aku akan tunggu kamu. Itu juga kalau kamu masih anggap aku sahabat." Dia seperti memaksa dengan halus.
"Sampai jumpa, Han!" Ia lambaikan tangan.
Kartu nama di tangan ini kutatap dengan fokus. Ada nama Resti beserta nama panjangnya. Dan dia adalah pemilik sebuah boutiqe. Itu yang kubaca. Ada nomornya pula.
Bingung.
Aku menyimpulkan untuk memikirkan ini. Lalu kartu nama Resti kuselipkan di dalam dompet.
***
Sampai di rumah.
"Kamu belanja lama sekali?" sungut Ibu menyambutku di dekat pintu.
"Tadi Hanah ketemu temen, Bu. Ngobrol dikit." Aku menjawab jujur.
"Laki-laki?" duganya.
"Wanita, Bu." Kujawab dengan lesu.
"Bohong!" ketusnya.
"Ya sudah kalau Ibu tidak percaya. Tadi Hanah ketemu temen SMA, kami ngobrol dikit. Hanah ketemu Resti." Kembali kujelaskan.
"Masak sih? Bukan ngobrol sama tukang ojek pengkolan, kan?" tuduh Ibu. Tak henti-hentinya ia suudzon padaku. Apa salahku?
Daripada menanggapi Ibu, lebih baik aku masuk rumah dan beranjak ke dapur.
"Eh, malah nyelonong. Gak sopan!" celetuknya membuat hati ini kesal saja. Diajak bicara malah mengompori emosi. Di tinggal, malah marah-marah merasa tidak di hargai.
Ibu, Ibu.
***
"Jim, kamu punya istri itu ya dididik. Hampir saja tadi dia akan godain suami Mbak."
Deg.
Mbak Anggi bicara pada suamiku di saat kami baru saja selesai makan malam. Kami berenam ada dan masih duduk.
"Apa?" Mas Jimy menatap Mbak Anggi, lalu ia palingkan tatapannya padaku.
"Iya. Mbak lihat tadi istri kamu sengaja kirim Afni ke rumah tetangga biar berduaan sama Mas Yanto." Mbak Anggi membuat sungutnya berbusa dengan tuduhan sadis. Dia persis ibunya. Memang buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.
"Astaghfirullah, Mbak. Han ...."
"Hanah!" Mas Jimy memotong kalimatku. Wajah ini meringis ketakutan.
"Ayah! Tadi Afni diajak sama Kak Helen buat belajar. Mama gak suruh Afni, tapi Afni yang minta." Anakku angkat bicara.
Mas Jimy terlihat emosi. Dadanya naik turun.
"Mas, Mbak Anggi hanya salah paham." Aku membenarkan.
"Iya. Ibu juga lihat." Ucapan ibu seperti mendukung anaknya. Keterlaluan.
"Hanah! Ikut aku ke kamar." Mas Jimy menyimpan sendok dengan kasar hingga suaranya terdengar.
"Afni tunggu sama Nenek," kata Mas Jimy lagi. Putri kecilku hanya diam tanpa mengangguk.
Tak lama kami sampai di kamar.
Plak!
"Mas?" Mas Jimy langsung menamparku tanpa bicara apapun dulu. Apa masalahnya?
Pipi ini sakit sekali. Pasti memar.
"Kamu sudah tidak berpendidikan, kamu juga mau godain suami kakak aku? Iya?" Telunjuknya menodong wajahku dengan kasar. Bola matanya pun seakan meloncat ke arahku.
Tes.
Air mata ini menetes. "Kamu tega tampar aku hanya karena kesalah pahaman ini, Mas? Kamu itu sudah kemakan omongan ibu sama kakak kamu!" Emosi ini mulai muncul.
Plak!
Astaghfirullah! Dia menamparku lagi di sisi pipi yang lain. "Awwh!" Aku meringis kesakitan. "Hik. Kamu keterlaluan, Mas! Kamu tampar aku?"
"Diam! Bikin malu saja! Kamu itu wanita kecentilan!" Ia terus menunjuk-nunjuk wajah ini dengan nanar. Tak ada rasa sesal pula telah melayangkan tamparan di pipi seorang wanita yang telah hampir sembilan tahun menjadi makmumnya.
"Kamu salah paham!" bentakku.
"Alah! Mana mungkin Mbak Anggi menuduh tanpa bukti. Apalagi benar tadi Afni main di rumah tetangga!" Ia makin menjadi-jadi.
"Sumpah, aku tidak ada niat ...."
"Diam kamu! Diomongin itu bukan menjawab, tpi mikir!" Ia membentak di depan wajahku yang hanya berjarak beberapa senti dari mulutnya.
"Hik." Aku menangis tertahan. Ini sakit sekali.
"Kalau sampai aku dengar ini lagi. Habis kamu!" Dia mengancam dengan penuh emosi. Ya Tuhan, ada apa dengan diri suamiku?
***
Semoga berkenan tinggalkan komentarnya meskipun cuma 'next' ya🙏🙏♥️***Tega-teganya Mas Jimy menamparku. Ini adalah kali pertamanya tangan kasarnya melayang di kedua pipi. Gara-gara tuduhan ibu dan Mbak Anggi.Aku selalu sabar dengan uang minim yang ia berikan meskipun aku tahu gajinya lebih dari empat juta rupiah. Dan harusnya ia bisa berikan uang yang layak untuk kebutuhan kami. Sampai-sampai untuk beli baju saja aku harus memohon-mohon. Lalu ia berikan sepeser supaya aku beri baju obralan. Pun untuk Afni dan dirinya. Hanya kemeja dia saja yang harganya lumayan mahal, ia beli sendiri tanpa bantuanku. Mungkin takut uangnya di selip."Awas ya kalau kalian berduaan lagi di rumah? Aku aduin kamu sama Jimy supaya kamu kena hukuman lagi." Mbak Anggi mengancam saat setelah aku keluar dari kamar membawa tas Afni. Anakku sudah menunggu diluar. Mas Jimy sudah pergi."Maaf ya, Mbak. Sama sekali tuduhan Mbak itu tak ada benarnya. Dan Mbak tak perlu mengadu tanpa bukti.""Lihat saja. Kalau kam
"Itu Bu Resti, Mbak." Seorang wanita tadi menunjukkan. "Iya, Mbak. Makasih.""Res?" Kami saling sapa sambil cipika cipiki. Untuk datang ke boutique Resti, sengaja kugunakan baju yang lumayan bagus bekas lebaran tahun kemarin."Ajeng, saya ada urusan. Kamu hendel dulu butik, ya? Saya ada di ruangan, kok." Resti berpesan pada karyawannya. "Baik, Bu."Resti mengajakku masuk ke dalam ruangan khusus yang ada di boutique miliknya. Ruangan yang tak begitu besar namun di design sangat simple dan kekinian. Di cat warna kuning sesuai warna paforitnya. Aku masih ingat."Han? Jadi gimana? Aku seneng loh kamu datang kesini. Kamu kesini buat kasih aku gambar-gambar oke kamu itu, kan?" Baru saja duduk Resti sudah memberiku beberapa pertanyaan.Aku tersenyum. "Res, aku yang sangat terhormat bisa datang ke butik mewah kamu ini. Ini sih bukan butik kecil. Ini mewah banget." Memang ya, tempat usaha milik Resti lebih bagus dari apa yang ia utarakan. Resti memang bukan tipikal wanita yang sombong. Sama se
Aku sudah melintas jalan. Melihat arloji di tangan kepulangan Afni dari sekolah masih satu jam lagi. Mungkin aku akan sempatkan dulu untuk menguntit Mas Jimy.Mereka berdua sudah masuk ke dalam sebuah kafe. Aku tak suudzon, siapa tahu mereka hanya rekan kerja biasa, tapi aku penasaran, karena tadi saat akan masuk, tangan mereka saling bertaut. Bergandengan.Tidak! Apa suamiku memang selingkuh? Kalau benar, aku tidak akan tinggal diam.Dari jarak beberapa meter, kulihat mereka berdua duduk di meja yang sama. Di kursi yang berdekatan.Deg! Hati kecil mulai menduga.Mas Jimy meraih lengan wanita itu dengan lembut dan mesra. Mereka berdua saling bertatapan dengan pandangan seperti sepasang kekasih.Tenggorokan ini tercekak. Nafasku sesak. Apa begini selama ini kelakuan Mas Jimy di belakang? Dia kasar padaku, tapi dia lembut pada wanita yang jelas-jelas bukan mahramnya.Ingin sekali mulut ini berteriak dan menjerit kalau aku benar-benar kecewa.Tidak!Langsung kusapu air mata yang sedikit
"Hanah!" Mas Jimy meraih tanganku dengan kasar saat kaki ini baru melangkah.Kukibaskan dengan cepat. "Apa? Kamu pilih aku atau wanita itu!" Kutunjuk wanita yang bernama Tika itu dengan nanar."Kamu jangan macam-macam! Aku ini suami kamu! Pulang ke rumah!" Mas Jimy naik pitam. Orang-orang yang ada di sekitar kami menjadikan perdebatan kami sebagai pusat perhatian."Jadi kamu pilih dia atau aku?" Aku pastikan sekali lagi."Diam!" Dia mengangkat lengannya berniat ingin menamparku. Tapi malah ia urungkan."Tampar saja, Mas! Dan itu artinya aku memang tak harus lagi pertahankan pria macam kamu!" Aku langsung pergi dan menyetop angkutan umum. Yang ada hanyalah angkutan berwarna biru berjenis sedan."Hanah!" Mas Jimy berteriak. Aku sudah masuk taksi. Ah biarlah, untung aku masih punya uang untuk bayar taksi sampai ke rumah. Yang penting aku segera pergi dari pria itu.Tes.Akhirnya air mata ini menetes juga. Sakit sekali sejak tadi aku menahannya. Kenapa? Kenapa Mas Jimy malah berselingkuh?
"Assalamualaikum!"Aku mengucap salam dengan pelan sambil masuk ke dalam rumah ibu yang di bangun sederhana karena kami bukanlah orang kaya. Isakan tangis masih melirih-lirih sejak tadi. Tetap saja, hati ini merasa hancur membayangkan rumah tangga yang telah terpecah belah."Waalaikum salam. Hanah?""Cucu nenek?"Ibu membalas salamku. Ia sedang duduk membereskan sesuatu. Tatapannya teralihkan pada kedatangan kami. Ia agak kaget dengan tatapan penyelidikan."Bu?" Aku berlari ke arah ibu untuk mengecup punggung tangannya. Rasanya batin ini tak mampu diam menyembunyikan kesedihan kala melihat wanita paroh baya yang selama ini mendidik dan membesarkanku dengan penuh semangat ada di hadapan."Nenek?" Pun Afni berlari memeluk neneknya dengan penuh kebahagiaan. Wajar saja, karena kami hanya datang dua bulan sekali. Itu pun bila Mas Jimy dan ibu mengizinkan."Afni, Cucu Nenek!" Ibu memeluk cucu semata wayangnya. Karena aku hanyalah anak tunggal. Jadi ibu tak punyai cucu lagi selain anak darik
"Han? Kamu di tampar Jimy?" Ibu bertanya dengan bola mata yang sudah berkaca-kaca. Ia seperti merasakan kesedihan. Aku tak bisa bicara apapun. Tangis kecil, hanya itulah yang mampu kuperlihatkan."Ya Gusti!" Ibu menangis.Padahal aku telah mengompres pipi saat itu juga dengan air dingin supaya memarnya tak terlihat. Tapi, Afni malah bicara pada ibu. Dia juga pasti sangat iba denganku sampai-sampai ia ikut bicara."Ibu gak nyangka suami kamu sekasar itu, Nak. Ibu gak nyangka." Kini air mata ibu mulai bercucuran. Dia pasti sangat sedih mendengar nasibku yang amat buruk ini.Afni berlari memeluk neneknya. Pun dia menangis. "Tolong Ibu jangan suruh Hanah kembali, Bu. Hanah tak mau kembali pada keluarga itu, Bu." Aku mengecup punggung tangan ibu sambil menangis."Ibu tidak akan ikut campur, Nak. Semuanya terserah kamu. Kamu yang menjalankan. Ibu hanya doakan yang terbaik untuk kalian. Jika kalian masih berjodoh, semoga Jimy berubah." Itulah kata-kata ibuku. Tidak ikut mengompori layaknya i
"Han, ini baju hasil design kamu. Gimana menurut kamu pas sudah jadi kayak gini?" Tak kusangka apa yang dikatakan Resti itu benar. Baju rancanganku sudah ada yang selesai di jahit. Keseluruhan lumayan bagus ternyata."Ini beneran?" "Boongan."Aku terkekeh kecil."Ya iyalah. Coba, menurut kamu gimana? Menurut aku sih ini sangat bagus untuk design awal kamu. Apalagi nanti kalau kamu sudah ahli dan lebih mendalami." Resti mulai memuji karyaku."Nah ini juga. Sengaja aku ingin lihat design baju kebaya kamu. Ini sih belum selesai. Masih tujuh puluh persen. Tapi ini udah oke banget, Han? Apalagi kalau udah seratus persen. Masih cuma kain saja ini udah cantik. Aku gak nyangka loh kamu bisa sefasih ini dalam mendesign pakaian."Aku masih mematung menatapi sebuah kebaya berwarna putih hasil rancanganku. Aslinya seindah ini? Memang ini sesuai imajinasiku. Sungguh cantik. Apa Resti berkata hanya untuk menyenangkanku atau memang ya ini bagus?"Han?" Ia mengagetkan. "Res? Ini beneran designku?"
"Mas Jimy?"Aku kaget. Ternyata mobil yang membunyikan nada nyaring itu adalah milik Mas Jimy. Aku mengatur nafas dan beristighfar. Untuk apa dia kemari? Apa dia akan ambil paksa Afni? Tidak akan. Aku tidak akan membiarkan dia merebut anakku. Iya kalau kelakuan mereka baik pada Afni, bagaimana kalau tidak?"Hanah? Lagi ngapain? Panas ini! Gak bawa kendaraan?" Astaghfirullah. Sejak kapan Mas Jimy jadi tukang mengejek."Kamu jangan ejek aku, Mas. Kamu tahu sendiri aku tidak punya kendaraan." Kujawab santai. Ada ibu-ibu yang lain pun bersamaku. Mereka sama-sama menunggu anaknya. Karena anak kami masih duduk di bangku kelas satu, jadi kami masih antar jemput dan menunggu mereka. Khawatir.Mas Jimy turun dari mobil. Pun ternyata dia bersama wanita selingkuhannya. Hemh, dasar tak tahu malu."Siapa, Mbak?" tanya seorang ibu yang memang sudah kenal denganku sejak kami menunggu anak-anak."Ehm. Suami saya, Bu, tapi sebentar lagi juga jadi mantan," jawabku pelan. "Oh." Ia hanya mengangguk tak m