Share

4. Lamaran

Gauri beberapa kali menghela napas berat seraya meremat tangannya sendiri. Dia sekarang berada di dalam kamar. Duduk sendirian di atas tempat tidur. Wajahnya terlihat kesal. Bagaimana tidak, setelah menjelaskan semuanya Satya pamit pulang meninggalkan Gauri sendirian dalam keluarga yang masih kacau. 

Ck! Tidak akan meninggalkan Gauri? Buktinya pria itu tetap pergi dari sana tanpa peduli dengan keadaan Gauri. Sepertinya Gauri salah karena sudah terbawa perasaan tadi. Tapi untuk apa juga Satya tetap berada di sana? 

"Ah, bener juga," gumam Gauri merasa dirinya begitu bodoh. Sebenarnya apa yang dia harapkan dari hubungan ini?

Tok ... Tok ... Tok

Gauri mendongak melihat siapa yang datang melewati pintu kamarnya.

"Clara," lirih Gauri sedikit tersenyum melihat eksistensi Clara di sana. "Kirain kamu udah pulang," kata Gauri tanpa mengalihkan pandangan dari Clara yang kini duduk di sampingnya.

"Gimana bisa pulang dengan keadaan kayak gini, Ri," ketus Clara memasang wajah kesal.

Gauri tersenyum kikuk. Dia jadi merasa tidak enak karena menyusahkan Clara dengan masalahnya. 

Ralat. Masalah Satya yang kini menyeret Gauri. Dalam kata lain apa yang terjadi tetap menjadi masalah Gauri. Mengingatnya membuat Gauri kesal dan marah.

"Maaf, yah," kata Gauri dengan nada tidak enak.

"Udahlah, gak usah dipikirin," ujar Clara. Wanita itu lalu beranjak duduk di depan Gauri. Mereka saling berhadapan seperti orang yang akan melakukan sesi wawancara kerja. "Jadi, sebenarnya apa yang terjadi, Ri? Kenapa kamu tiba-tiba jadi pacar Kak Satya tepat di hari pernikahannya? Hamil pula?" tanya Clara dengan wajah bingung dan penasaran.

Ingin sekali rasanya bibir Gauri mengatakan semuanya, jika ini hanya sandiwara dan akal-akalan Satya saja. Namun teringat kembali janjinya pada Satya membuat Gauri bergeming. Dia hanya bisa berharap jika janji pada pria itu tak akan membuatnya menyesal di kemudian hari.

"Bukan tiba-tiba kok," jawab Gauri pada akhirnya.

Jawaban yang membuat Clara mendengus. Tak puas dengan jawaban yang diberikan sahabatnya itu.

"Terus, kenapa kamu gak pernah ngomong sama aku?" tanya Clara lagi.

Tentu saja Gauri tidak tahu harus menjawab apa karena ini semua hanya sandiwara. Tak ingin sampai salah bicara membuat Gauri hanya terdiam seraya menundukkan kepalanya. Kadang Gauri akan mengatakan hal yang seharusnya jadi rahasia jika sudah larut dalam pembicaraan.

Suara derit pintu membuat Gauri mendongak dan Clara menoleh. Itu Maria. Datang dengan keadaan yang masih kacau. Walau sudah tidak menangis lagi namun mata sembab itu masih terlihat dengan jelas.

'Kurang ajar kamu, Kak Satya. Gara-gara kamu, aku jadi anak durhaka yang membuat ibuku menangis.' Geram Gauri dalam hati. Jika saja Satya ada di sini mungkin Gauri akan menjambak rambut pria itu sampai gundul.

Clara bergeser sedikit untuk memberi ruang pada Maria agar bisa duduk juga. Dia juga tetap harus di sana. Takut jika Maria mengamuk lagi pada Gauri.

"Bu?" panggil Gauri dengan suara yang begitu pelan. 

"Usia kandunganmu sudah berapa bulan, Gauri?" tanya Maria membuat Gauri membulatkan matanya. Bibir Gauri bergetar. Sungguh dia sangat gugup.

"Li--lima minggu, Bu," jawab Gauri asal seraya memohon maaf dalam hati karena telah berbohong.

Ternyata benar kata orang-orang bijak. Sekali kau berbohong, maka kebohongan lain akan muncul lagi dan lagi.

Maria menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan. Dia memejamkan mata sebentar seperti sedang mengatur emosi yang sedang bercampur aduk.

"Terus, kenapa kamu gak ngasih tau Ibu, Nak?" Suara Maria bergetar. Yang terdengar bukan lagi sebuah kemarahan namun rasa iba. Maria maju lalu memeluk Gauri dengan tangis yang kembali pecah. "Maafin Ibu udah mukul kamu tadi," ucapnya mengelus lembut kepala Gauri yang ditutupi jilbab.

"Gak, Bu. Gauri yang harusnya minta maaf. Ibu gak salah apa-apa." Gauri jadi kegalaban sendiri mendengar maaf dari sang Ibu. Dia pun pada akhirnya ikut menangis di sana.

***

Gauri tidak pernah menyangka jika pernikahan yang katanya akan dipercepat benar-benar terjadi. Wanita itu seakan tidak diberikan waktu untuk bernapas sebentar saja.

Siang itu keluarga Satya langsung datang untuk melamar Gauri. Tidak ada penolakan dari keluarga wanita itu. Mereka; ibu dan kedua paman Gauri, menyambut kedatangan orangtua Satya dengan baik. Acara yang dilakukan mendadak itu berjalan dengan lancar. Tanggal pernikahan pun sudah ditetapkan, satu minggu dari sekarang.

Gauri sampai terperangah saat mendengar hal itu. Dan entah kenapa dia jadi sedikit kesal saat melihat Ibu dan kedua pamannya serta orangtua Satya terlihat begitu bahagia.

'Baru juga kemarin marah-marah seakan gak terima. Sekarang udah ketawa-tawa aja." Kesal Gauri dalam hati dengan bibir mengerucut.

Satya yang melihat ekspresi Gauri tak bisa menahan senyumnya. Wanita itu menggemaskan sekali.

"Satya boleh pinjam Gauri sebentar?" tanya Satya tiba-tiba membuat semua orang menatapnya.

"Boleh. Kalian ngobrol aja di dalam," jawab Maria yang kini sudah bisa tersenyum lebar.

Satya ikut tersenyum lalu melirik Gauri. Dengan gerakan kepala Satya mengajak Gauri ke ruang tengah. Dengan langkah sedikit malas Gauri mengikuti pria itu dari belakang. Mengabaikan bisik-bisik dari orangtuanya dan Satya. Entah apa yang ada di dalam pikiran mereka.

"Kak Satya kayaknya seneng banget, yah," sindir Gauri setelah duduk di depan Satya.

Satya yang tadinya tersenyum lebar seketika memudarkan senyumannya.

"Kakak jangan lupa kalau kita lakuin semua ini karena perjanjian itu," kata Gauri lagi mengingatkan Satya tujuan mereka menikah. Pria itu hanya bergeming dengan tatapan sendu. Ada rasa sedikit tidak terima dengan kata-kata Gauri. Ingin marah tapi itu memang benar adanya. Mereka menikah untuk menolong Satya.

Gauri mendengus kasar lalu menyandarkan tubuhnya di kursi. "Udah gitu pernikahannya cepet banget lagi," keluh Gauri.

"Saya harus mulai masuk kerja jadi saya yang minta supaya pernikahannya di percepat," kata Satya.

"Apa?" Gauri sedikit memekik.

"Kamu juga kan harus masuk kerja."

Gauri yang semula akan protes jadi terdiam sebentar. "Benar juga," gumamnya mengingat cuti yang ia ambil akan segera berakhir. "Ya udah deh. Gak apa-apa. Lebih cepat lebih baik dengan begitu perjanjiannya juga akan segera berakhir."

Padahal perjanjiannya belum dimulai tapi Gauri sudah ingin semua ini berakhir. 

Merasa sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Gauri pun berdiri.

"Aku mau istirahat," katanya dengan nada begitu datar.

"Iya. Kamu istirahat aja," jawab Satya dengan senyum yang agak terpaksa.

Gauri tidak mengatakan apa-apa lagi. Satya hanya bisa melihat punggung sempit Gauri yang kini sudah menghilang di balik pintu. Pria itu menghela napas panjang. Menyandarkan tubuhnya di kursi lalu memejamkan mata sesaat. Pikiran pria itu berkelana ke mana-mana. Bukan hanya Gauri, Satya pun merasa ragu. 

Apakah keputusannya menikahi wanita itu sudah benar?

Apakah tidak akan ada yang terluka dengan keputusannya ini?

Satya hanya bisa berharap semuanya akan baik-baik saja.

Tbc....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status