"Berhentilah membuat masalah."Dian mengambil tasnya dan pergi. Dia tidak akan memiliki pekerjaan apa pun dalam waktu singkat. Adapun rapat yang dikatakan bos, dia terlalu malas untuk menyajikan teh dan menuangkan air!Dian mengemudi untuk mencari temannya. Semakin dia memikirkannya, dia menjadi semakin marah.Dia jelas-jelas dijebak, tetapi bosnya malah tidak menenangkannya. Setelah dia memenangkan wawancara penting, dia malah harus memberikan hasilnya pada orang lain!Dian jelas mampu melakukan lebih baik daripada rekan prianya. Apakah hanya karena dia pendatang baru?Dian tidak bisa menahan amarah ini."Aku harus mendapat berita utama di halaman depan bulan depan. Tunggu saja, aku akan membuatmu menyesal!"Dian bertanya-tanya materi apa lagi yang bisa dia temukan. Tiba-tiba, dia teringat hubungan cinta antara Phillip dan Yessy yang telah dia tindak lanjuti sebelumnya.Berita ini adalah berita yang bagus.Hanya saja, Dian tidak bisa menemukan banyak informasi dengan keterampilannya i
Phillip bahkan merentangkan tangannya. Dian dengan jelas melihat rasa jijik di matanya. Dalam sekejap, Dian tidak bisa duduk diam. Dia bahkan ingin melarikan diri dari kantor itu.Dian bisa menerima penolakan, tapi dia tidak bisa menerima diremehkan oleh orang lain. Apalagi orang tersebut adalah Phillip yang meninggalkan kesan baik padanya itu.Dian tiba-tiba berdiri sambil memegang tas di tangannya. "Terima kasih, Pak Phillip. Kamu telah mengingatkan dan mengajariku untuk mengenali situasi saat ini. Kalau nggak, aku akan mengira kita adalah kenalan setelah mengobrol dengan Pak Phillip.""Karena Pak Phillip nggak bersedia menerima wawancaraku, aku nggak akan mengganggumu. Aku harap kamu dan Nona Yessy memiliki pernikahan yang bahagia!"Setelah mengatakan itu, Dian meninggalkan kantor direktur tanpa menoleh ke belakang. Sebaliknya, Phillip tertegun sejenak. Mengapa ini menjadi salahnya?Dian berpura-pura kuat di depan Phillip. Namun, ketika dia sendirian di dalam lift, Dian menundukkan
"Dian, menurutku lukisan itu nggak pantas, jadi aku meminta pelayan untuk menurunkannya. Sekarang, ada lebih dari tiga orang di rumah. Jadi, kalau ada tamu yang datang, menggantung lukisan keluarga nggak akan terlihat bagus.""Aku juga mendiskusikannya dengan ayahmu sebelum mengambil tindakan. Dia sudah setuju."Penampilan bangga Lesti membuat Dian muak. "Apa artinya dia setuju, aku nggak setuju! Di mana lukisanku!"Lesti sangat bangga. Dia tidak memedulikan kemarahan Dian sama sekali. Dia melambaikan tangannya dengan santai dan berkata, "Setelah aku meminta pelayan untuk menurunkannya, mereka mungkin menaruhnya di suatu tempat. Aku nggak tahu. Lagi pula, lukisan itu nggak berguna lagi, 'kan?"Ada provokasi yang jelas di matanya. Lesti mengatakan lukisan itu tidak ada artinya. Bukankah dia mengejek ibunya telah tiada?Dian mengangkat telapak tangannya tinggi-tinggi. Dia ingin menghancurkan mulut wanita di depannya. Namun, pada akhirnya Dian mengepalkan tinjunya dan berlari cepat untuk
"Dian, kamu salah dengar. Aku baru saja memberi tahu adikmu hal lain. Mana ada orang gila?"Lesti berbalik dan menghadapi Dian sambil tersenyum. Lesti juga melambai pada Ririn untuk memintanya segera pergi.Namun, saat dia melihat penampilan Dian yang sedih, Ririn tidak ingin melepaskan kesempatan untuk mengejeknya."Melihat tampang gilamu, apa kata-kata ibuku salah?""Kamu nggak cukup menjadi reporter di luar sepanjang hari. Saat pulang, kamu masih mengganggu ibuku. Sekalipun ibuku adalah ibu tiri, dia pasti melakukan hal yang paling baik dan benar!""Tapi, kamu bukan hanya nggak berterima kasih, kamu bahkan semakin keterlaluan. Kalau aku jadi kamu, aku pasti sudah keluar dari rumah ini!""Hah? Aku harus membalas kebaikan kalian? Bagaimana lagi aku membalas kebaikan kalian?""Selama bertahun-tahun, kalian telah membuatku takut setengah mati, apa belum cukup? Ini rumahku. Nggak ada satu pun dari kalian yang bermarga Sandiga. Tolong berhenti memberiku perintah!"Dian menyadari bahwa dia
"Kenapa aku tidak bisa menindasnya? Berani-beraninya kalian berdiri di depanku, keluar dari sini."Lesti bangun dengan susah payah. Namun, dia ditabrak oleh putrinya lagi. "Sudahlah! Cepat papah aku. Lihat apakah wajahku luka?""Ah, Bu. Wajahmu berdarah.""Setelah ayah kembali, aku akan memberitahunya!""Dasar wanita nggak tahu aturan, kamu nggak pantas menjadi keluarga ini. Selain latar belakangmu lebih baik dariku, apa yang lebih baik dariku? Kamu benar-benar anak yang nggak diajar oleh ibumu ...."Setelah Dian mendengar kata-katanya, dia tiba-tiba menjadi marah sehingga para pelayan itu tidak dapat menghentikannya.Dia bergegas dan menampar Ririn dua kali dengan keras. Dia juga menghajar Lesti. "Siapa yang suruh kamu memarahiku. Siapa yang suruh kamu memarahiku! Kamu yang nggak diajar oleh ibumu.""Aku hajar kamu."Begitu Fabian kembali, dia melihat pemandangan yang begitu kacau. Dian memukuli istri dan putri keduanya dengan air mata berlinang.Fabian hendak marah. Namun, setelah di
"Bibi Lesti sudah mendiskusikannya terlebih dahulu dengan Ayah sebelum mengganti lukisan itu. Menurut Ayah ada benarnya juga, bagaimanapun keluarga kita sekarang beranggotakan empat orang, bukankah begitu?""Menggantung lukisan itu di ruang tamu nggak baik untuk Bibi Lesti, kalau orang lain melihatnya, bukankah mereka akan menggosipkan keluarga kita?""Menurut Ayah sarannya sangat masuk akal. Selain itu, kamu bisa menggantung lukisan itu di kamarmu, benar, 'kan?""Seingat Ayah nggak ada lukisan yang digantung di kamarmu."Fabian secara terbuka menyatakan setuju dengan Lesti untuk mengganti lukisan itu, membuat Dian semakin sakit hati.Ini artinya keluarga mereka telah menjadi masa lalu bagi Fabian, Dian menjadi satu-satunya orang yang masih merindukan mereka.Dian berkata dengan marah, "Ayah nggak mengerti yang kukatakan?""Lukisan itu hilang, aku nggak bisa menemukannya lagi!""Walaupun Ibu sudah meninggal, mana boleh Ayah melupakan cinta lama begitu saja.""Itu lukisan kita sekeluarg
"Tuan, di luar hujan deras, Dian pasti akan sakit."Nada suara Fabian terdengar tegas, "Dia sendiri yang cari penyakit, memangnya aku yang menyuruhnya keluar?"Mendengar ucapan ketus Fabian, Sri buru-buru berkata, "Kalau begitu tolong biarkan aku mencarinya bersama Nona, lukisan itu kenangan indah bagi Nona.""Tuan, pantas saja Nona sepanik itu."Akhirnya Fabian menghela napas dan melambaikan tangan, Sri buru-buru mengejar keluar.Bisa dibilang ini kesalahan mereka sebagai bawahan karena tidak memperhatikan. Kala itu mereka hanya tahu lukisan yang digantung belasan tahun itu tiba-tiba akan disingkirkan, tapi tidak memperhatikan di mana lukisan itu dibuang.Hufftt, benar-benar tidak adil.Sri tidak tega melihat Dian, dia ikut menerobos hujan tanpa keraguan sedikit pun.Akhirnya Dian menemukan lukisan itu di sebuah gedung terpisah tempat penyimpanan bahan makanan milik tetangga.Dia melihat bingkai foto yang sebelumnya selalu dibersihkan kini dibuang begitu saja ke tanah dan bahkan sudah
Sri berlinang air mata, memandang Dian yang kebingungan, tidak tahu harus berkata apa. Fabian selalu bijak, tetapi selalu ceroboh jika menyangkut wanita.Tak peduli seberapa besar rasa sayangnya pada Lesti, si istri kedua, tidak seharusnya dia memprioritaskan putri yang tidak punya hubungan darah dengannya.Dian-lah satu-satunya putri kandung Fabian, keduanya punya hubungan darah, tapi situasi sekarang justru terbalik.Sri merasa kasihan pada Dian, dia tidak tega mengucapkan kata-kata kejam itu dan hanya menghibur, "Bocah bodoh, mana mungkin ayahmu nggak menyayangimu?""Para pria nggak pandai bicara. Jauh di lubuk hatinya, dia sangat menyayangimu.""Apalagi kamu putri sulung, juga putri satu-satunya. Kelak, seluruh Keluarga Sandiga akan diserahkan padamu.""Dian, mungkin sekarang pikiran ayahmu sedang kacau, tapi kamu harus percaya, dia sangat menyayangimu.""Benarkah?" tanya Dian."Tentu saja benar. Kapan Bibi pernah membohongimu?"Atas hiburan Sri, perlahan-lahan Dian menjadi tenang.