"Mei Ling gadis yang baik hanya saja dia ada di tempat dan situasi yang salah."
Hartono memulai ceritanya dengan pembukaan yang cukup baik. Dari caranya bicara, sepertinya Mei Ling ini pribadi yang menarik, kalau bukan punya tempat istimewa di hati suamiku.Dan ini sukses bikin pikiranku yang dangkal agak tak nyaman."Waktu menikah, aku masih sangat muda. Cuma dua puluh tiga tahun sedangkan dia dua puluh tahun. Pernikahan kami semata-mata demi langgengnya kerjasama antara Lim dan Zhang. Dalang dari semuanya tentu saja Lin Hua."Cara Hartono menyebut nama kecil nyonya Lim -- Lin Hua -- begitu gamblang cukup menunjukkan berapa rendahnya posisi nyonya Lim di hati suamiku saat ini.Lin Hua dan Mei Ling memang sama-sama dari keluarga Zhang. Mei Ling sendiri adalah putri bungsu dari kakak laki-laki nyonya Lim.Mengingat betapa benci nyonya Lim pada Hartono namun sanggup menikahkannya dengan keponakan kandung beliau menunjukkan betaSetelah kata-kata laknat itu terucap, aku menyesal, nyaris seketika. Aku sudah menantang maut kali ini. Kemarin waktu dalam kamar siksaan, aku memang tak takut mati. Tapi sekarang begitu kehidupan kembali normal beda lagi ceritanya. Sifat dasarku sebagai manusia -- serakah -- membuatku tak cuma ingin hidup. Kehidupan yang lebih baik, tepatnya. "Apa kau yakin?"Kudengar suara Hartono berujar. Pelan. Mematikan. "Ak-- aku cuma...""Kemarikan ponselmu." Dia menyahut tak terbantahkan. Meski kesal setengah mati, aku memilih patuh. Kulemparkan benda mungil itu di depannya sebagai upaya protes kecil-kecilan. "Persis bocah." Geramnya kesal namun tetap mengambil ponsel yang terletak mengenaskan itu.Sejurus kemudian dia sibuk mengutak-atik sesuatu di ponsel itu. Penasaran dengan tindakannya, aku menjulurkan leher lebih tinggi. Ternyata Hartono sedang sibuk memeriksa laporan transaksi akun bank-ku.
Kulihat ada pergolakan di mata Joyce. Dan aku tak kaget. Pasalnya sosok ayah yang selama ini dia banggakan ternyata cuma seorang pembunuh, kebenaran pahit yang sudah pasti menggoreskan luka di hati anak manapun. "Aunty tahu ini berat, tapi setiap orang layak diberi kesempatan, Nak." Ucapku sambil berjongkok hingga wajah kami sejajar. "Baiklah Aunty. Tapi aku tak bisa janji bisa... memaafkan daddy."Kutatap wajah putri tiriku lekat-lekat. Keseriusan di matanya sanggup membuat manusia dewasa macam aku pun jadi salah tingkah. Betapa kuat auranya. Kuharap kelak ketika dia dewasa bisa ketemu pria yang tidak terintimidasi dengan auranya. "Baiklah, asalkan kamu mau bicara dengan daddy."Setelah mendapat persetujuan Joyce, kami berjalan beriringan ke mobil yang sejak tadi sudah stand by dengan mesin menyala. Nampaknya Hartono paham aku sedang bicara serius dengan Joyce, makanya dia sabar menunggu. "So lo
Setelah permintaan singkat yang menyerupai perintah itu, kedua bocah mulai mengikutiku masuk ke dalam rumah dengan langkah terseok, mungkin lantaran lelah dan sedih. "Jie, Aunty mau bawa kita kemana, coba?""Mana kutahu.""Harusnya Jiejie tahu, kan yang paling besar.""Nonsense. Apa hubungannya coba?"" ... "Seraya berjalan kudengar kedua bocah itu mulai berdebat lagi, perdebatan yang dipicu hal sepele seperti biasa. Aku cuma diam sambil mendengarkan. Kalau perdebatan mereka masih dalam batas wajar, biasanya kubiarkan saja. Anak-anak perlu belajar untuk mengatasi konflik mereka sendiri. Lagipula kelak bila sudah dewasa, pertengkaran kecil ini akan jadi salah satu kenangan manis yang mengundang tawa. "Baik anak-anak, sekarang waktunya untuk.... Kejutannn!" Seruku dramatis sambil menunjuk dinding di sisi kananku. Kedua bocah berhenti dari perdebatan mereka dan menatap dinding yang tadinya k
Mampus! Aku makin galau sekarang. Kadang-kadang aku heran dengan kemampuan cenayang Hartono. Dia selalu bisa menebak apa yang kupikirkan dan apa yang hendak kulakukan. Kemampuannya ini jadi bikin firasat jelek timbul dalam pikirannku. Jangan-jangan Hartono sudah meretas semua alat komunikasiku. Dan itu sangat menakutkan! "Aarrggghh!" Seruku frustasi. Disebabkan rasa kesal dan lelah, kumatikan ponsel lalu kulempar sembarangan di atas ranjang. Sesudahnnya kubaringkan tubuh begitu say tanpa repot-repot mengganti pakaian atau ritual perawatan wajah yang kerap kulakukan. Kucoba memejamkan mata namun kantuk tak kunjung datang. Otakku masih terpikir dengan pesan Sally tadi. Rasa-rasanya aku sudah jadi anak durhaka. "Persetan." Gumamku lagi. Besok aku bisa kesana setelah mengantar anak-anak. Semoga saja ibuku tak sedang bersandiwara. Kalau tidak, siap-siaplah uang bulanannya kupotong. Untuk sekarang, i
Kutatap wajah Sally lamat-lamat sebelum berucap tenang. "Tak bisa. Mamakku mesti cepat diobati. Makin cepat siap masalah ini makin bagus, biar tahu berapa banyak lagi uang yang mesti kucari untuk berobat mamak."Shania yang tadinya sempat marah, sekarang jadi salah tingkah. "Ma... maaf Kak, aku tak tahu itu maksudmu." Ucapnya gugup. Kubiarkan saja. Dari dulu adikku ini memang agak gegabah."Kalau gitu aku pergi dulu biar kalian bebas bicara." Shania berucap lagi sambil mengemasi bawaanya yang berupa plastik kresek berisi nasi bungkus dan air mineral. Sepertinya untuk bapak kami. "Baik." Sahutku singkat lalu menoleh pada Sally. "Jadi gimana?" Kataku mendesak. "Nggak bisa kita di tempat lain bicara? Udah mau gila aku karena tak bisa merokok.""Sally, kalau tak kau bilang sekarang, bayar sendiri nanti kerugiannya, ya." Ucapku kesalDemi mendengar namanya disebut tanpa embel-embel Kak -- yang mana belum pernah kulakukan s
"Okay, akhirnya kita di sini." Kataku pada diri sendiri. Dengan sigap aku turun dari mobil dan mengenakan masker medis yang selalu tersedia di tas ku. "Ada keperluan apa, Bu?" Seorang sipir dengan seragam biru yang khas, menyapaku ramah. Tak banyak bicara kujabat tangan sipir muda itu sambil memperkenalkan diri. "Kenalkan Pak, nama saya Shanty. Urusan kemari cuma mau bertemu teman lama, Roy namanya."Mulanya laki-laki bertubuh tegap itu agak kaget, namun begitu sadar tanganku berisi sesuatu, dia pun tersenyum maklum. Bahkan senyumnya kini makin lebar hingga menyerupai seringai. "Tunggu sebentar ya Bu. Ini lagi waktunya makan siang." Ucapnya lalu buru-buru mengarahkanku ke ruang tunggu. "Pasti Pak Roy senang dapat kunjungan, selama ini tak ada yang mengunjungi dia." Petugas muda itu kembali menambahkan sebelum buru-buru pergi. Mendengar situasi mantan suamiku yang memprihatinkan, timbul rasa miris sekaligus getir.Du
Perempuan sinting yang tak punya adab tadi ternyata Cecilia. Kurasa dia tak ingin mencelakai, menakut-nakuti iya. Namun tampil dengan muka pucat ketakutan di depannya bukanlah hal menyenangkan. Di saat aku ingin hidup baik tanpa dendam, kenapa orang di sekelilingku seperti tak setuju?"Arrggghhh." Aku berseru frustasi hingga mobil yang sudah antri di belakang karena aku tak kunjung bergerak, jadi membunyikan klaksonnya. "Iya, sabar!" Seruku geram seraya memajukan mobil hingga ke depan lobby. Kedua bocah -- dibantu satpam yang bertugas -- langsung masuk ke mobil. Begitu Joan dan Joyce di dalam mobil langsung kusetel musik Western yang yang lagi hits agar kedua anak itu sibuk bernyanyi. Aku benar-benar sedang tak mood untuk bicara. ***"Dek, situasiku tak sebagus yang kau kira. Untuk pengobatan Mamak, kaulah yang banyak gerak, aku sediakan dana aja." Kataku membujuk Shania yang tengah sibuk menyusun pakaian ibu kami ke koper. Sudah seminggu sejak diagnosa kanker ibu, dan dokter me
"Halo Kak, lama tak bersua. Apa kabarnya?"Suara di seberang sana menyapa ramah begitu panggilan tersambung. "Halo Velly, masih ingat aku ternyata.""Masihlah, Kak. Ada apa ya?"Meski suara Velly terdengar ramah, namun nafasnya yang ngos-ngosan sangat mengganggu di telinga. Kuharap lelahnya ini disebabkan senam lantai bukan senam ranjang. "Kamu lagi sibuk ya? Nanti aja ku... ""Nggak, Kak. Langsung aja, soalnya jadwal Velly padat kali." Sahutnya dengan nada sepelan mungkin, nyaris seperti bisikan.Sekarang aku yakin kalau dia tak sendirian di apartemennya. Entah laki-laki mana lagi yang jatuh dalam perangkap Velly si rubah licik. "Aku mau kamu cari informasi tentang laki-laki yang data pribadinya kukirim sebentar lagi. Lebih cepat, lebih bagus."Ada keheningan di ujung sana sampai kupikir Velly tak mendengarku bicara. Anggapanku ternyata keliru, karena pada detik berikutnya kudengar suara Velly berbisik lagi. "Boleh, tapi minggu depan ya Kak. Minggu ini masih padat kali jadwalku."