"Sarah, jangan membahas hal yang tidak masuk akal. Tidak mungkin bagi kita sampai ke tahap seperti itu." Sarah masih tidak menyerah. "Bagaimana mungkin tidak bisa? Keluarga kita sudah saling mengenal dan jika kita bersama, bisnis juga akan semakin berkembang. Lucian, tidakkah ini menguntungkan bagi kita?" Lucian menghela nafas. "Sarah, kau tahu seperti apa diriku, kan? Apa kau pikir aku adalah orang yang rela mengorbankan diri demi keuntungan keluarga?" "Tapi, bagi anak yang terlahir di keluarga terpandang seperti kita sudahi pasti menikah dengan mempertimbangkan keuntungan. Lucian, daripada kita menikah dengan orang asing, kenapa kita tidak bersama saja? Aku pasti akan menjadi istri yang baik." Sarah menatap Lucian dengan penuh harap. "Lupakan! Sarah, jangan buat hubungan kita selama bertahun-tahun menjadi hancur. Aku menghargaimu sebagai teman sekaligus patner kerja. Tidak lebih dari itu!" ucap Lucian dengan tegas. "Apa kau begitu mencintai keponakanmu itu sehingga kau ti
Lucian berdiri di ambang pintu dengan tatapan terkejut saat melihat Leanna berbaring di atas tempat tidurnya. Dia menyingkirkan rasa kagetnya dan berjalan mendekat. "Leanna, apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya dengan heran. Leanna masih belum terbangun walau Lucian mengguncangkan tubuhnya sedikit. Namun, hanya ada sedikit pergerakan dari jari Leanna. Matanya masih terpejam. Lucian menghela nafas. Dia mulai menggendong tubuh ramping itu. Mata Leanna mulai terbuka. "Paman, kenapa kau menggendongku?" Leanna berteriak dengan panik. Lucian menurunkan tubuh Leanna dengan hati-hati. "Aku hanya ingin memindahkanmu ke kamarmu." "Bukankah aku sudah berada di kamarku? Pama yang telah menerobos masuk!" Leanna menujukkan protesnya. Lucian mengedarkan pandangan. Dia memegangi kepalanya yang sedikit pusing. "Ya, sepertinya kau benar. Aku salah masuk kamar. Aku akan kembali, maaf menganggu tidurmu." Leanna menahan tangan Lucian. "Tunggu, Paman. Biarkan aku membuatkanmu teh madu
Wanita itu tampak terkejut dan tergagap-gagap dalam menjawab pertanyaan Leanna. "S-saya tidak tahu apa yang kau maksud, Nona. Saya hanya melakukan pekerjaan saya di sini." Leanna tetap memandangnya dengan tajam. "Jangan berpura-pura. Jika kau tidak melakukan hal lain maka kay tidak akan segugup ini. Kau bekerja di sini untuk merayu Pamanku, kan? mengaku saja! Tidak ada gunanya berbohong. Aku akan meminta Paman memecatmu." "Anda tidak akan bisa melakukannya karena saya tidak melakukan apa yang telah Anda tuduhkan. Saya tidak seberani itu melakukannya pada Tuan." Wanita itu memberikan pembelaan diri. Kali ini ekspresi wajahnya begitu serius. "Meskipun saya memang sering ke kamar Tuan Muda, tetapi itu hanya untuk mengganti sprei dan selimut. Saya bersumpah!" Leanna terdiam sejenak. "Lalu bagaimana dengan antingmu itu? Apa kau sungguh tidak pernah tidur di kasur pamanku?" Wanita itu menggigit bibirnya, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu yang sangat penting. "Saya tidak tahu apa
. "Aku akan segera ke sana," ucapnya tegas Dia bergegas keluar dari ruang. Sekertarisnya datang menghadangnya, "CEO Gu, ada sesuatu yang perlu saya sampaikan—" "Tidak sekarang!" ucap Lucian memotong ucapan Sekertarisnya. Dia melangkah cepat menuju lift, pikirannya penuh dengan kekhawatiran tentang keponakannya."Tetap awasi dia! Jangan sampai dia benar-benar melompat!" "Tuan, bolehkah saya menyarankan sesuatu?" *** Sementara itu, di apartemen, Leanna berdiri di dekat jendela kamarnya yang terbuka. Angin berhembus pelan. "Jika tidak ada cara lain, aku hanya bisa melakukan ini!" Leanna bersiap untuk turun. Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka dan seseorang langsung masuk menahan memeluk Luciana dan menahan pinggangnya. "Tolong jangan melompat, itu bahaya," ucap pria itu. Leanna menoleh, dia melepaskan tangan pria itu. "Siapa kau? Bagaimana kau bisa masuk?" Leanna menatapnya dengan curiga dan wajahnya sedikit pucat. "Saya adalah orang yang dikirim pamanmu untuk menjagamu.
Suara pecahan kaca menggema , membuat Lucian menoleh ke arah Leanna. "Leanna, kau baik-baik saja?" tanyanya khawatir, mendekatinya dengan cepat. Dia menatap dengan tatapan khawatir. Leanna menatap pecahan kaca di lantai dengan ekspresi penyesalan. "Maaf, Paman. Aku tidak sengaja melakukannya. Kepalaku pusing dan tanganku tiba-tiba menjadi lemas. Aku akan membersihkannya," ucapnya dengan suara pelan. Lucian menahan tangan Leanna ." Biarkan aku melakukannya!" Saat Lucian membersihkan pecahan kaca, Leanna berdiri diam di tempatnya, merasa cemas. "Paman, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bermaksud membuat kekacauan." Lucian menatap Leanna dengan senyuman lembut. "Tidak apa-apa. Selama kau tidak terluka. Tetaplah di sofa sampai aku membersihkannya." Leanna mengangguk. Dia memandang Lucian yang sedang mengambil pecahan kaca itu. " Setelah ini, kita akan pergi ke dokter. Sepertinya kau sering pusing, kan?"ucap Lucian . "Tidak! Aku tidak mau. Aku benci ke rumah sakit dan ak
Pria itu tampak ragu sejenak. "Maafkan saya,, Nona. Namun, saya tidak bisa melakukan tindakan illegal di belakang Tuan Muda." Leanna masih mencoba membujuknya. "Apa kau berpikir itu tindakan illegal? Kau tidak akan sampai dipenjara hanya karena membantuku melakukannya." "Tapi, apa yang anda minta itu melanggar privasi. Jika Tuan sampai tahu maka--" "Dia tidak akan tahu jika kau tidak memberitahunya," Leanna memotong ucapannya dengan cepat. "Jika kau masih menolakku, aku akan bongkar rahasiamu. Kau telah menggunakan apartemen kosong ini untuk--" "Baiklah. saya akan memenuhi permintaan Anda, tetapi Anda harus menjamin bahwa saya tidak akan kehilangan pekerjaan karena membantu Anda!" Leanna menunjukkan senyumannya. "Tentu saja." Tangan Leanna mengulurkan ponsel milik pria itu. Ambillah! Aku juga sudah menyimpan nomer teleponmu agar mudah bagi kita berkomunikasi." Pria itu menganggukkan kepala. Lalu pergi begitu saja. Leanna kembali merebahkan tubuhnya di tempat tidur. "Te
"Paman, tidak ingin melihat seseorang kehilangan pekerjaan hanya karena kesalahpahaman. Aku dapat bersumpah bahwa dia tidak merayuku!" Leanna menatap Lucian dengan tatapan memohon. "Bagaimana jika aku memberikan penawaran lain? Aku akan membiarkanmu datang ke tempat aku kerja pada saat jam makan siang." Lucian menatapnya dengan tatapan tajam, "Kenapa hanya saat makan siang?Aku bisa datang lebih awal. "Paman, lebih baik datang saat makan siang saja. Aku tidak ingin Paman di kritik sebagai Bos yang tidak bertanggung jawab. Apalagi, pasti para Paparazi akan memperhatikan dan membuat berita yang buruk lagi. Paman, bukankah kau tidak ingin aku terlibat dalam masalah, kan?" Leanna mencoba membujuk. Lucian mengerutkan keningnya. "Baiklah. Sebelumnya jam makan siang, sempat atau tidak, kau harus memberikan alamatnya padaku! Dan juga, aku akan tetap mengganti orang itu. Tidak mungkin jika dia tidak merayumu, kau tidak akan membela dia." Leanna hendak memprotesnya, tetapi Lucian mengak
Lucian tiba-tiba menangkap tangan Leanna dan menepisnya dengan kasar. “Leanna, kau...." Lucian akhirnya menatap mata Leanna. Kata yang sebelumnya keluar dari bibirnya tidak lagi dia teruskan. "Paman?" Lucian dengan terburu-buru meninggalkan ruang makan tanpa mengatakan apapun. Leanna melihat jas yang tergantung di kursi. Dia menggunakan cara ini untuk mengejar Lucian. "Paman, kau melupakan jasmu. " Leanna berlari dengan cepat. Lucian menghentikan langkahnya. Menunggu sampai Leanna berdiri di dekatnya. Bukannya mengulurkan jas itu, Leanna justru berdiri terlalu dekat. "Leanna?" "Paman, aku akan memakaikan jasmu." Posisi tangan Leanna seperti sedang memeluk Lucian. Pria tampan itu mengambil alih jasnya dan mendorong Leanna dengan pelan. "Aku bisa melakukannya sendiri." Lucian membalikkan tubuhnya. Sebelumnya salah satu kakinya melangkah, pria itu berbicara sesuatu dengan nada dingin dan tegas. "Leanna, kau adalah keponakanku!" Leanna mengerutkan keningnya. Dia masi