Christian dan Laura menoleh secara bersamaan. Mereka terkejut karena Chelsea masuk kemar tanpa permisi.“Kenapa tidak mengetuk pintu terlebih dulu?” tegur Christian, dengan nada serta tatapan tak suka. “Kulihat pintu kamarmu tidak tertutup rapat. Jadi, kupikir tidak ada masalah,” kilah Chelsea. Paras cantiknya masih terlihat pucat.“Tetap saja itu salah. Kau tahu sekarang aku sudah menikah,” tegur Christian lagi, seraya mengalihkan pandangan sekilas pada Laura yang lebih memilih diam. “Seharusnya kau tetap berada di kamar. Dokter mengatakan agar kau banyak istirahat.”Chelsea yang awalnya berdiri dekat pintu, berjalan menghampiri Christian dan Laura. Dilihat dari kondisi fisiknya, wanita itu masih tampak
Setelah Laura keluar dari kamar, Christian mulai merebahkan diri di sebelah Chelsea. “Tidurlah,” ucapnya pelan, seraya memejamkan mata.“Kau tidak ingin memberikan kecupan selamat malam?” tanya Chelsea, yang tidur dengan posisi menyamping sambil menghadap pada Christian.Christian yang sudah terpejam, kembali membuka mata. Dia menoleh, lalu menatap Chelsea beberapa saat. Pria itu bergerak mendekat, kemudian mengecup kening sang mantan kekasih. “Selamat malam,” ucapnya singkat. Tanpa banyak bicara, dia kembali pada posisi tadi. Tidur terlentang dengan selimut sebatas perut.“Tidak biasanya kau tidur memakai T-Shirt seperti ini,” ujar Chelsea, yang ternyata masih terjaga.Christian yang sudah
Chelsea yang tidak bisa tidur, makin kesulitan memejamkan mata. Pikirannya melanglang buana tak tentu arah. Dia ingin turun dari tempat tidur, lalu menghampiri Christian dan Laura yang entah tengah melakukan apa di sofa. Apakah mereka hanya tidur bersama atau …. Wanita itu menggeleng sambil memejamkan mata. Chelsea tak ingin berpikir terlalu jauh.Jam digital di meja sebelah tempat tidur, sudah menunjukkan angka 12.30. Akan tetapi, Chelsea masih terjaga. Padahal, tak terdengar lagi bisik-bisik manja seperti tadi. Christian dan Laura telah terlelap sejak beberapa jam yang lalu.Rasa penasaran teramat besar sehingga membuat Chelsea akhirnya memutuskan bangkit. Dia duduk sambil melayangkan tatapan ke sofa. Walaupun keadaan di kamar itu tidak terlalu terang, tetapi dia dapat melihat Christian dan Laura yang tidur berdua di sofa dalam posisi menya
Christian sudah menyelesaikan santap pagi, bersamaan dengan berakhirnya perbincangan Laura dan Katherine. “Lanjutkan sarapanmu. Aku akan menghubungi Alfred untuk menanyakan kabar Delila,” ucap pria itu, sambil beranjak dari kursi.Laura mengangguk. Dia menatap kepergian sang suami, yang meninggalkannya seorang diri di meja makan. Si pemilik mata biru tersebut melanjutkan makan hingga habis. Setelah itu, barulah beranjak dari sana.Laura berjalan seorang diri menyusuri koridor. Dia sudah mengirim email kepada Scarlett, memberitahukan bahwa dirinya tak akan ke kantor hari ini. Wanita cantik itu belum bisa berkonsentrasi penuh, meskipun di luar terlihat baik-baik saja.Langkah kecil Laura berhenti di depan kamar yang ditempati Chelsea. Tanpa mengetuk terlebih dulu, dia langsung memutar gag
Laura tersenyum simpul mendengar Dr. Moore menyebut Chelsea ‘Nyonya Lynch’. Akan tetapi, dia tak mengatakan apa pun. Laura hanya menyimak interaksi singkat antara sang dokter dengan Christian. Beberapa saat kemudian, Dr. Moore berpamitan setelah memberikan sedikit penjelasan. Dia meninggalkan kamar itu ditemani Katherine yang menunggu di depan pintu. Sepeninggal Dr. Moore, Christian memperhatikan Chelsea yang tertidur dengan wajah pucat selama beberapa saat. “Aku harus ke apotek dulu,” ucapnya, setelah terdiam cukup lama. “Kau akan pergi sendiri?” tanya Laura heran karena biasanya Christian menyuruh pelayan yang menebus obat ke apotek.“Iya.” Christian yang sudah tiba di pintu, langsung menoleh. “Ada barang lain yang harus kubeli sekalian. Jika kau akan kembali ke kamar, panggil dulu Katherine agar dia menemani Chelsea di sini,” pesan pria itu sebelum pergi. Ya, Christian berlalu begitu saja. Dia tampak sangat tergesa-gesa. Jangankan memberi ciuman kepada Laura. Pria itu bahkan ta
Christian mengembuskan napas pelan. Tanpa banyak bicara, dia langsung keluar dari sana. Pria tampan itu melangkah gagah menyusuri koridor cukup panjang, hingga tiba di depan kamarnya. Christian langsung membuka pintu. Dia berjalan mendekat ke tempat tidur, di mana Laura membaringkan tubuh dengan posisi menyamping.“Apa kau tidur?” tanya Christian, seraya naik ke kasur. Dia menopang tubuh menggunakan siku, dengan posisi yang juga menyamping seperti Laura. Christian mengusap lembut lengan sang istri.Namun, Laura tak bergerak, Tidak juga menanggapi pertanyaan suaminya. Padahal, wanita itu masih dalam kondisi terjaga. Dia hanya malas bicara.“Apa kau marah?” tanya Christian lagi, setelah merasa tak mendapat tanggapan dari sang istri. “Kenapa?”
Christian sudah membuka mulut, hendak memberikan jawaban atas pertanyaan Laura tadi. Namun, ketukan di pintu membuatnya langsung mengalihkan perhatian ke arah sumber suara. Christian yang ragu dengan perasaannya, beranjak dari duduk. Dia berjalan ke dekat pintu, lalu membuka sedikit. “Permisi, Tuan.” Seorang pelayan berdiri di depan kamar. “Ada tamu untuk Anda,” lapor wanita paruh baya itu. “Siapa?” tanya Christian datar. “Orang dari perusahaan yang membawakan beberapa berkas untuk Anda. Dia menunggu di ruang tamu.” Christian mengangguk. “Terima kasih. Kau boleh kembali.” Wanita paruh baya itu mengangguk hormat, sebelum membalikkan badan dan berlalu dari hadapan sang majikan. Sepeninggal pelayan itu, Christian kembali ke dalam kamar. Dia menghampiri Laura yang masih duduk di tempat tidur. “Ada beberapa berkas yang harus kuperiksa. Perbincangan ini kita lanjutkan nanti,” ucapnya. Kali ini, dia mengecup kening Laura terlebih dulu sebelum keluar dari sana. “Ah,” Embusan napas pelan
“Emma?” Laura menyebutkan nama wanita yang datang bersama Jamie. “Apa kabar, Nyonya Lynch?” sapa Jamie penuh wibawa, seraya menyodorkan tangan mengajak Laura bersalaman. “Baik,” jawab Laura agak kikuk. Di sisi lain, hatinya merasa tenang. Itu berarti Jamie sudah membuktikan sendiri tentang apa yang Laura katakan tentang Emma. Laura mengalihkan perhatian pada saudara kembarnya, yang berdiri di sebelah CEO dari SRC Company. “Bagaimana kabarmu dan ibu?” tanya wanita dengan setelan blazer berwarna hijau emerald tersebut. “Ibu sudah jauh lebih tenang. Kami hanya perlu membiasakan diri tanpa kehadiran ayah di rumah,” jawab Emma. Tak seperti biasa, saudara kembar Laura tersebut berbicara dengan nada rendah dan terlihat sangat tenang. Laura mengangguk samar, kemudian mengalihkan perhatian pada Jamie. “Silakan duduk,” ucapnya, sambil mengarahkan tangan ke kursi yang telah disediakan. “Aku tidak tahu kenapa Anda mengajak Emma datang kemari dan mengikuti pertemuan ini.” Laura melayangkan