“Angel,” Razky meraih jemari Nazwa dan menggenggamnya. Ia menghela napasnya, menghimpun keberaniannya untuk mulai berbicara.
Nazwa mengikuti gerakan tangan Razky yang tiba-tiba meraih jemarinya dan menggenggamnya dengan pandangan tak mengerti. Ditatapnya Razky dengan pertanyaan apa yang sedang dilakukannya.
“Angel, kamu dengarkan apa yang aku katakan tadi?”
“Yang mana?”
“Segalanya tentang kamu adalah hal yang serius dan bukan main-main.”
Nazwa menganggukkan kepalanya.
“Dan aku sungguh-sungguh dengan itu. Kalau saja kamu tahu bagaimana hati ini tertawan sama kamu selama puluhan tahun, kamu pasti tak akan percaya.” Razky menyunggingkan senyumnya. “Aku akan menceritakan semuanya sama kamu, tapi tidak di sini. Ini pinggir jalan, Angel. Takut ada orang lihat dan nuduh kita macam-macam. Kalau disuruh langsung nikah gimana?” ucap Razky dengan mimik lucu.
“Astaga, Razky! Bisa-bisanya kamu bercanda disaat begini?!” tukas Nazwa kesal. Mu
Hi My Lovely Readers ... Jangan lupa like-nya. Beri semangat Nazwa untuk mengenal Razky ya, siapa tahu jodoh, hehe....
“Kamu bercerita apa tentang aku pada Syasa sampai ia menilaiku seperti itu? Dan mengapa kamu tak pernah menyatakan perasaanmu padaku?” tanya Nazwa menghentikan cerita Razky. Razky menghembuskan nafasnya. Ini adalah bagian tersulit yang harus ia ceritakan. Mengungkapkan kelemahan diri sendiri bagi seorang laki-laki adalah hal yang paling sulit dilakukan, bukan? Nazwa mengamati perubahan ekpresi pada wajah Razky. laki-laki itu mengelus keningnya berulangkali seperti tengah berpikir. Ia menangkap rasa gundah dan cemas pada raut wajah Razky. Ia cukup mengerti jika Razky sepertinya enggan menjawab pertanyaannya tadi. Tapi sungguh ia penasaran dan dipenuhi rasa ingin tahu saat ini. “Ky?” tegurnya pelan. “Huh,” lirih Razky berkata. “Aku … Aku tak menyatakannya karena … Aku tak pernah tahu perasaanmu padaku. Daan … ya, aku tak cukup punya keberanian untuk itu. Maksudku, aku berpikir, bagaimana kamu akan menyukaiku? Aku seorang anak broken home dan aku merasa tak-cuku
Kafe Wien. Kedua laki-laki itu saling terdiam. Keduanya hanyut dengan pikiran dan prasangkanya masing-masing. Mengetahui Nazwa bersama dengan laki-laki lain sudah cukup membuat terkejut ditambah dengan panggilan “Angel” untuk Nazwa dari laki-laki itu. Mereka tahu ada yang tidak biasa diantara Nazwa dan laki-laki yang bernama Razky tersebut. Dan hal itu yang membuat mereka sepakat untuk bertemu, membahas bagaimana mereka harus bersikap dengan kenyataan yang mereka lihat dan hadapi berkaitan dengan perempuan yang mereka cintai. Disinilah mereka saat ini, di kafe milik Nazwa. Mengapa mereka tidak memilih tempat lain untuk bertemu? Entahlah, tapi mungkin mereka ingin menyalurkan rindu mereka terhadap Nazwa. Dengan berada di tempat yang biasa Nazwa datangi, mereka setidaknya bisa merasakan kehadiran Nazwa, meski tidak berupa fisik, tetapi dari aura dan hawa atau interior kafe yang semuanya merupakan ciri khas dari Nazwa Rengganis. “Kamu tahu siapa Razky?” Rafi dan
Ambu tersenyum. “Tidak ada cinta yang tidak ingin memiliki, Nazwa,” jelas Ambu. “ Jika mereka berkata sebaliknya, itu adalah sebuah pengingkaran. Tak lebih hanya untuk mendamaikan hati yang nelangsa,” ucap Ambu selanjutnya. Nazwa terkesiap dengan penuturan Ambu. Benarkah yang Ambu katakan? Sebagian dirinya menyetujui perkataan Ambu dan pastinya itu adalah keyakinannya juga sedari dulu. Tetapi setelah perkataan Razky kemarin, pendapatnya tentang cinta yang tak harus memiliki, pun sedikit goyah. Ambu terkekeh melihat Nazwa yang terlihat bingung. “Kamu pasti sudah dipengaruhi pendapat Razky tentang cintanya yang tak harus memiliki,” ledek Ambu. “Maksud Ambu?” Kening Nazwa mengerut. “Anak itu pasti berkata, kalau cintanya adalah cinta yang hakiki. Karena manusia tak mempunyai apapun. Karena manusia hanya dititipi. Pemilik segalanya adalah Tuhan. Iya kan?” ucap Ambu. Nazwa menganggukkan kepalanya. Keningnya berkerut kemudian, “Apa Razky berka
Bila kau sanggup untuk melupakan diaBiarkan aku hadir dan menataRuang hati yang telah tertutup lama Jika kau masih ragu untuk menerimaBiarkan hati kecilmu bicaraKarena kutahu 'kan datang saatnya Kau jadi bagian hidupkuKau jadi bagian hidupku Takkan pernah berhenti untuk selalu percayaWalau harus menunggu 1000 tahun lamanyaBiarkanlah terjadi wajar apa adanyaWalau harus menunggu 1000 tahun lamanya Selama apapun ituAku 'kan setia menunggu Kau jadi bagian hidupkuKau jadi bagian hidupku Nazwa mengerjapkan matanya sembari melayangkan pandang ke luar jendela. Mengapa seolah lirik lagu ini merupakan pesan untuknya? Atau memang iya? Nazwa mendesah sekaligus mengembuskan napas, karena bingung dengan pemikirannya sendiri. Sementara Razky menggenggam erat setir mobilnya. Ia harus mengucapkan banyak terima kasih pada penyiar radio yang telah memutarkan lagu ini di saat ia
Nazwa mengembuskan napasnya kesal. “Sudah, Kaf. Jangan merusak selera makanku!” “Merusak selera makanmu? Tunggu, apa kamu sedang makan bersama … Siapa namanya?” “Razky.” “Razky …Ya, kamu sedang makan bersama dia? Hanya berdua?” suara Kafka terdengar semakin emosi. “Memangnya kenapa? Kami tidak boleh makan?” protes Nazwa. “Bukan masalah makannya, Nazwa. Tapi dengan siapa kamu makan!” berang Kafka. “Kaaf …,” suara Nazwa juga sudah mulai meninggi. “Habiskan makanmu, Angel. Jadi kita bisa lanjutkan perjalanan.” Terdengar lagi suara Razky yang rupanya telah kembali. Nazwa hanya mengangkat tangannya untuk menjawab perkataan Razky. “Kafka, aku sudahi ya. Kita bisa lanjutkan percakapan ini setelah aku pulang. Assalamu’alaikum.” Nazwa memutuskan percakapan mereka tanpa menunggu jawaban dari Kafka. Nazwa menghela napas dan memejamkan kedua matanya. Menghadapi orang yang sedang cemburu adalah hal yang paling menyeb
“Sebetulnya … aku hanya ragu, Ky. Ragu dan kecewa terhadap Kafka. Tapi perasaan cintaku tak berubah kepadanya,” lirih Nazwa. “Jadi … Kamu memilih Kafka?” tanya Razky mencoba menegaskan. Nazwa mendesah. Ia menundukkan kepalanya. Tak mengiyakan, tak juga mengatakan tidak. Nazwa mengangkat bahunya dan perlahan menatap Razky gamang. Razky pun mengembuskan napasnya. Ia mengerti kerisauan yang sedang dirasakan Nazwa. Ah, Razky! kamu malah menambah beban pikirannya! Maki Razky pada dirinya. “Baiklah,” ucap Razky kemudian. “Angel, maaf jika pernyataanku malah menambah bebanmu. Dengar, abaikan saja perkataanku tadi ya. Kamu benar, cinta adalah hal yang tidak bisa dipaksakan. Aku … Aku rasa, aku bisa menerima keputusanmu tentang perasaanku. Toh, sedari awal pun aku tak berani berharap kamu membalas perasaanku,” kekeh Razky terdengar miris. “Jadi … Jangan kuatir ya. I’m fine,” ujar Razky meyakinkan Nazwa. “Terima kasih, Ky,” ucap Nazwa tulus. “Sama
“Maksudnya dengan melepaskan?” desak Ibu. “Saya bersedia bercerai dengan Rafi,” jawab Renata dengan lirih. “Apa alasannya?” tanya Ibu. “Pertama, karena Rafi tidak mencintai saya, Bu. Kedua, Rafi belum bisa melupakan Nazwa, hingga sampai saat ini Rafi belum …,” “Renata, cukup!” perintah Rafi. “Tapi, Fi …,” “Cukup, Re. Itu adalah masalah yang sangat pribadi,” tekan Rafi. “Tapi dengan begitu mereka bisa mengerti kesungguhanmu untuk kembali menikahi Nazwa, Rafi!” kekeh Renata. “Tolong,” ujar Rafi memohon. Renata mengerjapkan matanya. Ada apa dengan Rafi? Tak biasanya ia bersikap seperti ini, tanyanya dalam hati. Ia menatap Rafi sesaat. Yang ditatap mengerjapkan matanya memohon untuk dituruti. “Baiklah,” katanya mengalah. “Bu, intinya, Renata bersedia berpisah dengan saya jika Nazwa dan saya rujuk kembali,” tegas Rafi. “Assalamu’ … alaikum,” suara salam dari arah pintu itu terdengar mengecil.
Kafka memandang Nazwa tak percaya. Benarkah apa yang Nazwa katakan? Ia-kah penyebab semua ini? Ia-kah yang membuat Rafi bisa kembali menikahi Nazwa? Tapi ia hanya mengutamakan perasaan Salsa dan Hanif! Salahkah itu? “Tidak!” Kafka menggelengkan kepalanya. “Ini bukan kesalahanku!” tolaknya. “Lalu kesalahan siapa menurutmu?” ujar Nazwa menjadi sedikit angkuh. Ia benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran Kafka. Tapi Kafka pun tak mampu menjawab pertanyaan Nazwa. Ia hanya terdiam terpaku menatap perempuan yang tak lagi menjadi tunangannya. “Sudahlah. Lapangkan saja hatimu. Terimalah , mungkin jodoh kita hanya sampai di sini,” lirih Nazwa. Kafka memandang Nazwa dalam. “Naz, aku ingin tahu. Apa aku masih ada di hatimu?”taut Kafka. “Untuk apa? Agar kamu bisa kembali merebut aku dari Rafi, begitu?” decih Nazwa. “Kenapa tidak?” tanya Kafka balik. “Jangan menjadi laki-laki brengsek, Kaf! Jangan buat nilaimu berubah di mataku!