Raut wajah Ray berubah geram begitu dia membalik halaman majalah bisnis dan ekonomi yang dibacanya. Wajah kakaknya itu terpampang jelas di halaman berikutnya.
“Alex Djaya, pengusaha muda penyelamat bisnis yang hampir bangkrut.” Ray membaca headline di artikel itu dengan nada mencibir. Hatinya semakin iri begitu dia lanjut membaca keseluruhan artikel itu yang membahas kesuksesaan Alex selama ini dalam mempertahankan bisnis Keluarga Djaya.
Mata Ray lalu tertuju pada foto keluarga Alex yang ada di sudut atas artikel itu, menyiratkan bahwa kakaknya itu juga berhasil membangun keluarga yang harmonis.
“Cih, seharusnya mereka mewawancaraiku!” batin Ray kesal. “Aku adalah CEO utama Sinar tekstil!”
Ray mendengus kesal. Seharusnya dia merasa lega karena Alex berhasil menyelamatkan perusahaan yang hampir bangkrut di bawah kepemimpinannya itu, tapi entah kenapa dia sepertinya malah suka kalau Sinar Tekstil bangkrut sekalian. Jadi, Alex
Halo, mohon maaf ya, karena belakangan author nggak update cerita ini soalnya ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Author akan mulai update lagi sekarang sampai cerita ini selesai. Terima kasih ya yang sudah mengikuti cerita ini sampai sejauh ini :)
Malam ini, Prita terbaring lesu di atas ranjang. Dia memijit pelipisnya berkali-kali. Seketika kepalanya pusing, mungkin dia kurang darah. Sementara itu di ruang makan Keluarga Djaya, kedua mertuanya, kakak iparnya, Alex serta Ray sedang menikmati makan malam.Sebenarnya dia merasa beruntung tidak enak badan karena bisa menghindar dari acara makan malam yang menyebalkan itu.“Apa dia memang selemah itu?” tanya Utami setelah menelan makanannya.“Dokter bilang dia kekurangan magnesium dan punya darah rendah,” terang Ray, menjelaskan kondisi Prita. “Tapi dokter sudah memberikannya beberapa vitamin kok. Jadi, Mama nggak usah khawatir.”“Bukannya gitu, Ray. Mama hanya nggak mau dia tiba-tiba nggak bisa menghadiri acara tujuh bulanan calon anak kalian.” Tukas Utami kemudian.Ray pun teringat perihal betapa kesalnya Prita soal acara tujuh bulanan anak mereka yang disabotase ibunya itu. Ray berdeham sebelum b
Alisa melemparkan tas tangannya ke atas meja lantas dia menghempaskan tubuhnya yang letih di atas sofa. Kini pandangannya beralih ke jendela apartemennya. Warna jingga menyeruak membelah pagi.Alisa menghela napasnya dengan berat. Pelanggan super VIP-nya itu sudah membuat mood-nya buruk. Dia tidak menyangka akan disiksa berkali-kali di atas ranjang.Pergelangan tangannya memerah serta punggungnya nyeri. Bokonganya berkali-kali dicambuk oleh pria itu. Namun semuanya sepadan. Uang ratusan juta telah masuk ke dalam rekeningnya dan bulan depan dia akan ikut pria itu dalam perjalanan bisnis ke luar negeri.Mata Alisa setengah terpejam. Lama kelamaan dia pun tertidur di atas sofa.Namun tak lama setelah itu, dia kembali terkesiap saat sebuah tangan menyapu pangkal pahanya. Matanya langsung membelalak begitu mendapati seorang pria yang tersenyum manis di depannya.“Raymond?” Kedua alis Alisa bertautan. Jantungnya sontak berdetak keras. &ld
Tiba-tiba kedua mata Prita membelalak lebar. Dia lantas memiringkan tubuhnya dan mendapati Ray tidak berada di sampingnya. Prita langsung menyalakan lampu tidur yang ada di sebelah ranjangnya lalu menatap layar ponsel. Ternyata sudah lewat tengah malam.Dengan perasaan sedikit gelisah, Prita menghubungi ponsel suaminya itu. Namun teleponnya tidak dijawab. Dia berdecak kesal sambil bersandar di kepala ranjang.“Kemana dia?” pikirnya dalam hati. Seketika benaknya mulai dihantui oleh prasangka buruk. Terlintas di pikirannya bahwa Ray berselingkuh. “Tidak! Itu tidak mungkin.” Prita menggeleng cepat. “Sebentar lagi kami akan segera punya anak. Dia tidak mungkin melakukan itu.”Kemudian, Prita mengirim pesan pada Ray. Namun lagi-lagi, pesannya bahkan tidak dibaca. Prita menggeram kesal dan mulai menghubungi ponsel suaminya lagi. Setelah berkali-kali tak terjawab, akhirnya Prita melempar ponselnya ke atas kasur. Kedua tangannya menge
Mulut Nabila menganga lebar. “Jadi, kalian terpaksa mengundang Keluarga Djaya?”Gian mengedikkan bahunya. “Begitulah. Sebenarnya kami juga nggak sudi, tapi mereka adalah salah satu rekanan bisnis keluarga gue.” Gian lantas menyendokkan fetucini ke dalam mulutnya.Kali ini, Kiara, Nabila dan Gian menyempatkan untuk brunch sebentar di sebuah restoran Itali sebelum mereka kembali pada aktivitas masing-masing.“Ha, tapi itu bakalan jadi pukulan telak buat mantan suami lo, Ki.” Lanjut Nabila sambil mengunyah bruschetta. “Tapi gue rasa mereka nggak akan berani hadir. Nggak tahu malu banget kalau sampai ada salah satu anggota Keluarga Djaya yang dateng.”“Mudah-mudahan aja begitu,” Kiara mendesah panjang setelah menyeruput kopinya. Dia sendiri tidak bisa membayangkan jika Ray ada di tengah-tengah pernikahannya.“Lantas, udah sejauh apa persiapannya?” Tanya Nabila lagi dengan penasaran
Musik yang menghentak keras membuat semua orang yang ada di lantai dansa menggerakkan tubuh mereka. Sementara itu, Ray merangkul tubuh Alisa dari belakang. Kedua tangan Alisa bergerak bebas di udara sambil sesekali meliukkan tubuh seksinya.Ray menyesap wangi wanita itu, menciumi leher jenjang Alisa. Semua yang Alisa lakukan begitu membuatnya bergairah. Dia merasa seperti kembali muda, merasakan nikmatnya nafsu yang membara.Alisa mendesah manja. “Ray, geli ah.” Ucapnya, membelai dagu Ray. Pengaruh alkohol serta sentuhan tubuh mereka membuat gairah Alisa memuncak, apalagi sudah seminggu penuh mereka terpisah. Alisa membalikkan tubuhnya, merengkuh dan menciumi bibir Ray.Ray begitu menikmatinya sementara tangannya mulai membelai bokong Alisa yang padat. Seminggu tidak merasakan tubuh Alisa membuatnya begitu merana ditambah istrinya yang terus-terusan menaruh curiga padanya.Hah, semua itu membuatnya sangat tertekan!Sampai akhirnya kesem
Siang itu, awan hitam menggantung di langit. Sesekali gemuruh geluduk terdengar dari kejauhan.“Kami turut berduka,” Alex menepuk pelan pundak adiknya itu. Ray hanya bisa mengangguk pelan sambil menghela napas panjang.“Apa yang sebenarnya terjadi, Ray?” tanya Utami tidak percaya. Dia memandangi sosok putra bungsunya dengan iba. Lingkaran hitam di bawah mata Ray nampak jelas dengan rambut yang mencuat kesana-kemari.Ray hanya bisa bersandar pada tembok selasar rumah sakit yang dingin. Sesekali dia menyugar rambutnya, tatapannya terpaku pada ujung sepatunya. Dia tidak berani memandang mata Mamanya itu.Hatinya begitu berkecamuk. Dia tidak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi ketika Prita sadar nanti.Ray mengigit bibir bawahnya keras-keras. Seharusnya, dia tidak meninggalkan istrinya yang sekarat begitu saja. Seharusnya dia tidak mengikuti saran bodoh dari wanita yang dikenalnya dengan nama Jessica itu. Tapi apa daya, pik
Kedua mata Prita membelalak lebar. Pandangannya sedikit kabur namun perlahan dia bisa menangkap dengan jelas kondisi di sekitar. Dia mendapati dirinya terbaring dengan infus yang menggantung. Kedua lubang hidungnya dialiri selang oksigen sementara itu telinganya menangkap bunyi jantungnya yang berdetak perlahan.Tak lama setelah itu, Prita mendengar suara pintu yang mengayun diikuti dengan derap langkah yang mendekati dirinya.Sudut matanya menangkap sesosok wanita yang kini berdiri di sebelah ranjangnya.“Hai, Prita.” Ucap wanita itu dengan suara yang dingin. “Aku turut bersedih dengan kejadian yang menimpa dirimu.”Prita memalingkan wajahnya dan mendapati Kiara yang menatapnya dengan tajam. Tenggorokannya begitu tercekat. “Untuk apa dia ada di sini?!” pekik Prita dalam hati.Kiara mengembuskan napas panjang. Jari-jarinya yang lentik itu membelai pundak Prita dengan lembut. “Sungguh malang, kalian
#53Gian mengecup punggung tangan Kiara. “Kamu sungguh cantik malam ini.” Pujinya sembari kedua matanya memandangi penampilan Kiara.Dengan Gaun merah selutut tanpa lengan serta rambut Kiara yang digelung ke atas, membuatnya nampak begitu elegan. Sebuah kalung perak melingkar di lehernya yang jenjang.“Makasih, Gi. Tapi aku begitu gugup.” Balas Kiara. Dia bisa merasakan dentuman jangtungnya sendiri yang berdebar keras. “Ini kali pertamanya aku menghadiri acara di kantormu.”“Tenang saja, karyawanku nggak gigit kok.” Gian berusaha mencairkan suasana. Lantas, dia mengaitkan lengannya pada lengan Kiara, menuntunnya memasuki ballroom hotel yang mewah.Malam ini merupakan perayaan hari jadi perusahaan yang dipimpin Gian. Seluruh karyawan hadir beserta orang-orang penting. Itulah mengapa Kiara begitu cemas. Dia tahu bahwa semua mata akan tertuju padanya sebagai calon istri sang CEO. Apalagi pernikahan merek