Janu memarkirkan mobilnya di belakang. Hari ini dia datang terlambat, sehingga parkiran depan sudah penuh dengan kendaraan karyawan dan pasien yang berkunjung.
Begitulah sapaan dari beberapa wanita penghuni rumah sakit ini setiap kali Janu melintas. Dia hanya menganggukkan kepala dengan wajah datar tanpa ekspresi. Hingga laki-laki itu sempat mendapatkan julukan si pelit, karena susah sekali tersenyum.
Senyum Janu memang langka dan mahal. Sama seperti masker yang tiba-tiba sulit ditemukan saat wabah kabut asap melanda sebagian pulau di Kalimantan. Laki-laki itu sendiri tidak terlalu peduli. Baginya, tidak harus selalu menanggapi omongan buruk dari siapa pun. Dia juga malas mengklarifikasi karena itu hanya membuang waktu.
Seperti biasa, Janu ikut mengantre bersama karyawan yang lain untuk absen. Kali ini, tidak ada yang berani menggo
Dua laki-laki itu duduk santai di teras sembari berbincang ringan mengenai apa saja seputar kehidupan sehari-hari. Sesekali mereka tergelak jika ada topik pembicaraan yang lucu. Janu pintar sekali mengambil hati Raka."Nak Janu. Kamu benar-benar serius dengan Nadine?" tanya Pandu."Serius, Om," jawab Janu cepat."Om, memang agak ketat sama Nadine, karena dia anak perempuan. Selama ini dia belum pernah ngenalin siapa pun sama kami. Kamu yang pertama kali dibawanya ke rumah."Pandu menatap menatap Janu lekat. Ada harap dari hatinya bahwa suatu saat, Nadine akan berjodoh dengan lelaki baik-baik."Iya, Om."Janu menjawab dengan tegas. Sepertinya dia lupa, bahwa tadi baru saja menjalin hubungan dengan Rani."Kalau begitu, gak usah lama-lama. Om gak suka pacaran atau ya ... yang seperti itulah."Janu mengangguk. Dia mengerti, bahwa jika berada di posisi yang sama dengan Raka, mungkin dia akan melakukan hal yang sama."Saya serius sama Nadine. Cuma perlu minta waktu. Kami baru kenalan. Mauny
Janu menatap lekat pada sesosok gadis dihadapannya. Wajahnya ayu dan nyaman dipandang, membuat denyar halus tiba-tiba saja muncul menyusup ke hatinya secara perlahan."Kenapa kamu ngeliatin kayak gitu?" tanya Rani tersipu malu. Senyum manis yang terukir di bibirnya, membuat Janu semakin berdebar-debar.Rani memang terlihat berbeda karena hari ini dia memakai gaun baru dan memoles wajahnya dengan make-up. Lispstiknya merah menyala. Alisnya melingkar indah dengan eye liner. Maskara membuat bulu matanya tampak lentik. Sapuan blush-on yang sempurna di pipi, membuat Janu ingin mencubitnya sedikit.Tunggu dulu. Kenapa Rani jadi mirip seperti Nadine?"Tumben, hari ini pake dress. Biasanya pake snelli," goda Janu. Melihat Rani semakin merona, dia berhenti menatap lalu memalingkan pandangan."Memangnya saya gak boleh dandan kalau lagi ketemu pacar?"Ya, mereka resmi berpacaran setelah hari itu. Di mana Rani menembak Janu dan laki-laki itu mengiyakan."Nanti kamu malah ditaksir pasien, loh. Ata
Janu bergegas mencari pasien yang dimaksud saat memasuki instalansi gawat darurat."Mana orangnya?""Itu, Dokter!"Si perawat menunjuk ranjang paling ujung. Tampak seorang gadis sedang berbaring menyamping. Di sebelahnya ada seorang wanita paruh baya sedang duduk menunggu."Tante?"Wanita paruh baya itu menoleh. Benar saja, itu Sarah mamanya Nadine. Bersamaan dengan itu, gadis itupun ikut menoleh."Janu, ini sakit," lirih Nadine manja sambil memegang perut. Wajahnya begitu pucat dengan peluh yang mengucur di dahi.Janu langsung memasang stetoskop dan memeriksna perut Nadine dengan teliti. Benar saja, asam lambungnya parah. Hingga lelaki itu menggeleng karena tak habis pikir."Kamu makan apa?"Ada nada amarah dalam suara Janu. Dia sudah mengingatkan berkali-kali agar gadis itu menjaga pola makan. Asam lambung tidak bisa dianggap remeh. Jika sudah parah dan menjadi GERD maka akan berbahaya."Bakso mercon." Suara Nadine nyaris tak terdengar saat mengucapkannya. Dia takut jika lelaki itu
Warning!Cuma adegan kiss ✌️Ketika jarum jam menunjukkan angka dua belas, Janu memilih untuk istirahat dan melanjutkan pekerjaan pada pukul satu nanti. Dia merasa khawatir kepada Nadine. Gadis itu memang dijaga oleh mamanya, tetapi tetap saja dia tidak bisa lepas tangan.Jadi, Janu memutuskan untuk mengunjungi pasiennya yang satu itu terlebih dahulu. Khusus Nadine, hanya boleh dirawat olehnya, kecuali jika memang harus dirujuk ke spesialis lain.Janu memasuki lift menuju lantai tiga, di mana kamar Nadine berada. Dia mampir sebentar di ners station untuk melihat status pasien yang akan dikunjunginya hari ini. Untuk gadis itu, dia tidak mau didampingi oleh siapa pun dengan alasan keluarga. Lagipula sakitnya tidak parah.Setelah berbasa-basi dengan yang lain, Janu memasuki kamar Nadine dengan tenang. Gadis itu tampak sendirian. Entah di mana mamanya berada.Janu mendekati ranjang dan menatap Nadine yang masih tertidur dengan pulas. Dengan lembut diusapnya kepala gadis itu. Sekalipun tan
Janu mengejar Rani saat tak sengaja bertemu di parkiran belakang, saat mereka sama-sama akan pulang."Rani, tunggu!"Setelah mengantar kepulangan Nadine, Janu bergegas mencari Rani. Tidak mungkin dalam satu hari dia mengurus keduanya.Mendengar itu, Rani berjalan semakin cepat karena memang sengaja menghindari lelaki itu."Rani!"Janu meraih lengan mungil itu dan menariknya hingga tubuh mereka hampir bertabrakan."Apaan, sih."Rani meronta, merasa tak enak jika dilihat orang lain. Apalagi posisi mereka masih di rumah sakit. Untunglah parkiran belakang sepi, jadinya aman."Kamu jangan marah," bujuk Janu."Marah kenapa?" tanya gadis itu pura-pura tidak tahu."Soal itu--"Janu terbata, bingung ingin menjelaskan apa kepada Rani. Dia hendak menyangkal tetapi itu tidak mungkin. Apa yang dilihat gadis itu benar adanya."Kamu sibuk. Aku gak mau ganggu," jawab Rani tegas sembari melepaskan cekalan tangan Janu.Janu menjadi serba salah. Melihat wajah Rani yang nampak tegar, dia menjadi tak enak
"Jangan mempermainkan perasaan wanita."Janu terngiang kembali nasihat itu. Setelah dia menceritakan kejadian hari itu, mamanya meminta untuk memilih salah satu, Nadine atau Rani. Pada akhirnya, Nadine yang menjadi keputusan akhir. Janu sudah terlanjur menemui orang tua gadis itu. Lagipula perasaannya kepada Rani mungkin hanya sebatas suka. Buktinya justeru Nadine yang dia sentuh secara fisik. Janu memang sudah keterlaluan, mempermainkan hati dua orang gadis. Namun apa daya, semua sudah terjadi. Semoga Rani bisa menerima.Janu mengaktifkan ponsel yang mati karena kehabisan baterai. Kemarin malam dia hendak pergi ke rumah Nadine. Tiba-tiba saja ada panggilan dari rumah sakit yang memintanya datang karena ada pasien. Setelah selesai, laki-laki itu langsung pulang ke rumah karena hari sudah larut, lalu tertidur karena kelelahan. Nadine pasti kecewa. Namun, Janu akan menjelaskannya nanti. Secepatnya, sebelum terjadi kesalah-pahaman di antara mereka. Setelah sarapan dia bergegas berangk
Malam ini, Sarah sibuk berdandan di depan kaca. Wanita paruh baya itu memakai bedak dan mengoleskan lipstik, juga berganti gaun berkali-kali."Mama udah cantik, belum?" "Udah, Ma. Jangan kelamaan. Keluarga Nadine nungguin," kata Anton yang sudah merasa bosan sejak tadi. "Harusnya mama itu pergi ke salon sama ke butik langganan cari baju yang pas. Masa' pake yang lama," sungutnya. "Udahlah, jangan ribet.""Gaun yang ini sempit, mama makin gendut jadinya." Wanita itu menarik gaun yang tersangkut di bagian perut.Beginilah situasinya setiap kali mereka akan pergi keluar. Apalagi ini acara khusus, di mana mereka akan melamar seorang Nadine untuk Janu. "Gendut juga papa tetap cinta." Sudah satu jam Anton menunggu di kamar hanya untuk menyaksikan istrinya berdandan. Dia tidak diizinkan keluar dan harus menjawab semua pertanyaan. Serba salah jadinya."Janu mana, Pa?" tanya Sarah saat berhasil menarik baju, setelah sebelumnya menahan napas dan menekan perutnya dengan tangan. "Udah nungg
Janu menatap wajah papanya dalam, kemudian menggeleng berulang kali setelah mendengar cerita secara detail. Dia tak menyangka, bahwa batalnya lamaran malam itu di rumah Nadine, disebabkan oleh perselisihan kedua orang tua mereka di masa lalu. "Semua memang udah lewat. Tapi, papa gak mau kamu berhubungan dengan keluarga Raka. Camkan itu!" ucap Anton tegas, kemudian berjalan meninggalkan mereka di ruang keluarga.Sarah memaksa Raka untuk bercerita, karena penasaran atas kejadian tadi. Selama ini dia tidak pernah tahu bahwa suaminya pernah berselisih paham dengan ayahnya Nadine. Air mata wanita itu terisak setelah mendengarkan semua. Janu meremas rambut karena kesal, juga mengusap wajah. Dalam hatinya bergumam mengapa semua menjadi rumit. Dia sungguh tak menyangka jika dulu papanya pernah melakukan kecurangan kerja sama, sehingga merugikan perusahaan milik keluarga Nadine.Anton adalah seorang pejabat pemerintahan yang memegang beberapa proyek penting. Saat lelang tender untuk pembangu