Janu mengejar Rani saat tak sengaja bertemu di parkiran belakang, saat mereka sama-sama akan pulang."Rani, tunggu!"Setelah mengantar kepulangan Nadine, Janu bergegas mencari Rani. Tidak mungkin dalam satu hari dia mengurus keduanya.Mendengar itu, Rani berjalan semakin cepat karena memang sengaja menghindari lelaki itu."Rani!"Janu meraih lengan mungil itu dan menariknya hingga tubuh mereka hampir bertabrakan."Apaan, sih."Rani meronta, merasa tak enak jika dilihat orang lain. Apalagi posisi mereka masih di rumah sakit. Untunglah parkiran belakang sepi, jadinya aman."Kamu jangan marah," bujuk Janu."Marah kenapa?" tanya gadis itu pura-pura tidak tahu."Soal itu--"Janu terbata, bingung ingin menjelaskan apa kepada Rani. Dia hendak menyangkal tetapi itu tidak mungkin. Apa yang dilihat gadis itu benar adanya."Kamu sibuk. Aku gak mau ganggu," jawab Rani tegas sembari melepaskan cekalan tangan Janu.Janu menjadi serba salah. Melihat wajah Rani yang nampak tegar, dia menjadi tak enak
"Jangan mempermainkan perasaan wanita."Janu terngiang kembali nasihat itu. Setelah dia menceritakan kejadian hari itu, mamanya meminta untuk memilih salah satu, Nadine atau Rani. Pada akhirnya, Nadine yang menjadi keputusan akhir. Janu sudah terlanjur menemui orang tua gadis itu. Lagipula perasaannya kepada Rani mungkin hanya sebatas suka. Buktinya justeru Nadine yang dia sentuh secara fisik. Janu memang sudah keterlaluan, mempermainkan hati dua orang gadis. Namun apa daya, semua sudah terjadi. Semoga Rani bisa menerima.Janu mengaktifkan ponsel yang mati karena kehabisan baterai. Kemarin malam dia hendak pergi ke rumah Nadine. Tiba-tiba saja ada panggilan dari rumah sakit yang memintanya datang karena ada pasien. Setelah selesai, laki-laki itu langsung pulang ke rumah karena hari sudah larut, lalu tertidur karena kelelahan. Nadine pasti kecewa. Namun, Janu akan menjelaskannya nanti. Secepatnya, sebelum terjadi kesalah-pahaman di antara mereka. Setelah sarapan dia bergegas berangk
Malam ini, Sarah sibuk berdandan di depan kaca. Wanita paruh baya itu memakai bedak dan mengoleskan lipstik, juga berganti gaun berkali-kali."Mama udah cantik, belum?" "Udah, Ma. Jangan kelamaan. Keluarga Nadine nungguin," kata Anton yang sudah merasa bosan sejak tadi. "Harusnya mama itu pergi ke salon sama ke butik langganan cari baju yang pas. Masa' pake yang lama," sungutnya. "Udahlah, jangan ribet.""Gaun yang ini sempit, mama makin gendut jadinya." Wanita itu menarik gaun yang tersangkut di bagian perut.Beginilah situasinya setiap kali mereka akan pergi keluar. Apalagi ini acara khusus, di mana mereka akan melamar seorang Nadine untuk Janu. "Gendut juga papa tetap cinta." Sudah satu jam Anton menunggu di kamar hanya untuk menyaksikan istrinya berdandan. Dia tidak diizinkan keluar dan harus menjawab semua pertanyaan. Serba salah jadinya."Janu mana, Pa?" tanya Sarah saat berhasil menarik baju, setelah sebelumnya menahan napas dan menekan perutnya dengan tangan. "Udah nungg
Janu menatap wajah papanya dalam, kemudian menggeleng berulang kali setelah mendengar cerita secara detail. Dia tak menyangka, bahwa batalnya lamaran malam itu di rumah Nadine, disebabkan oleh perselisihan kedua orang tua mereka di masa lalu. "Semua memang udah lewat. Tapi, papa gak mau kamu berhubungan dengan keluarga Raka. Camkan itu!" ucap Anton tegas, kemudian berjalan meninggalkan mereka di ruang keluarga.Sarah memaksa Raka untuk bercerita, karena penasaran atas kejadian tadi. Selama ini dia tidak pernah tahu bahwa suaminya pernah berselisih paham dengan ayahnya Nadine. Air mata wanita itu terisak setelah mendengarkan semua. Janu meremas rambut karena kesal, juga mengusap wajah. Dalam hatinya bergumam mengapa semua menjadi rumit. Dia sungguh tak menyangka jika dulu papanya pernah melakukan kecurangan kerja sama, sehingga merugikan perusahaan milik keluarga Nadine.Anton adalah seorang pejabat pemerintahan yang memegang beberapa proyek penting. Saat lelang tender untuk pembangu
Niken menepikan mobilnya saat ada mobil lain yang menyalip di depan kemudian berhenti mendadak. Sepertinya si pengemudi memang sengaja hendak menghadang mereka. Untunglah jalanan ini memang sepi, tidak padat seperti jalan utama. Dia sengaja memutar supaya tidak terjebak macet. Tak lama si pengemudi keluar. Seorang lelaki berbadan jangkung yang memakai kemeja batik hitam. Melihat itu, Niken mencolek gadis di sebelahnya. Nadine langsung menutup mulut karena kaget saat melihat siapa yang mendekati mereka.Kaca mobil diketuk. Niken langsung membukanya, lalu tersenyum manis. "Dokter Janu," sapa wanita itu dengan sopan. Dia sudah tahu apa maksud lelaki ini saat menghentikan mobilnya. "Saya mau jemput Nadine."Janu melirik ke arah gadis yang duduk di sebelah Niken. Matanya menatap tajam, seperti tanda jangan ada penolakan. Niken menoleh dan mendapati Nadine tertunduk malu, lalu berbisik, "Ikut sana. Udah dijemputin sama yayang." Nadine segera membuka pintu. Janu langsung meraih lengan
Wajah Nadine memerah saat rengkuhan di tubuhnya terlepas. Janu tersenyum senang dan juga menang.Matanya menyusuri lekuk sosok cantik di hadapannya ini. Membuat gadis itu merasa jengah dan melotot karena kesal. Janu sudah mulai berani sekarang, menampakkan hasratnya kepada sang kekasih. Mungkin karena mereka baru saja berbaikan. Juga sikap Nadine yang sejak tadi hanya pasrah, bahkan membalas sentuhannya. "Mata dijaga."Jemari halus Nadine menutup kedua mata kekasihnya. Melihat itu, tangan besar Janu kembali menarik tubuh mungil itu. "Kita kawin lari aja, yuk!" bisiknya mesra. "Idih." Nadine mendorong tubuh kekasihnya kemudian membuka pintu mobil. Sebelum dia benar-benar keluar, Janu mengucapkan sesuatu. "Ndin. Kita harus nyusun rencana buat naklukin papa," katanya serius. "Aku gak tau gimana caranya. Kamu yang lebih ngerti," kata Nadine pasrah.Janu merenung sejenak, lalu tiba-tiba saja sebuah ide terlintas di benaknya."Kamu bisa masak?" Dia bertanya.Nadine menggeleng. "Aku j
Nadine menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu rumah itu. Sebenarnya, tak pantas bagi seorang gadis mendatangi rumah pacarnya.Namun, inilah usahanya untuk memenangkan hati sang calon mertua agar merestui hubungan mereka."Nadine?"Sarah terbelalak saat melihat siapa yang datang. Dia sungguh tak menyangka jika pagi-pagi sang calon menantu menampakkan diri."Tante."Nadine meraih tangan Sarah dan menciumnya sebagai tanda hormat. Bagiamanapun juga, adab tetap diutamakan. Itulah yang diajarkan oleh kedua orang tuanya sejak kecil."Ayo, masuk. Nanti Tante panggilkan Janu."Sarah membuka pintu lebar-lebar dan mempersilakan Nadine masuk. Gadis menatap sekeliling ruangan dan duduk di sofa. Dia meletakkan bungkusan yang tadi dibawa ke meja.Sementara itu, Sarah berjalan ke belakang dan memanggil putranya. Tak lama, dia keluar dengan seorang ART yang mengikutinya dari belakang, dengan membawa sebuah nampan berisi minuman."Kamu ke sini sama siapa?"Sarah bertanya dengan ramah. Dia memang
Rendang. Menu itulah yang harus Nadine bawakan weekend nanti. Tak tanggung, yang diminta Raka adalah rendang khas Minang yang kering dengan warna sedikit gelap. Sepertinya beliau ingin calon menantunya membuat masakan khas dari berbagai daerah. Saat mengatakan itu kepada mamanya, Nadine seperti hendak menangis karena ingin menyerah. "Kita beli di warung Sederhana aja, Ma. Rendangnya enak banget," usul Nadine cepat. "Eh, gak boleh gitu. Kamu harus bikin sendiri. Nanti mama carikan resepnya di gugel," tolak mamanya. Sebenarnya menu itu sudah biasa dimasak di rumah mereka, hanya saja dalam versi yang berbeda. Keluarga Nadine adalah keturunan suku Sunda sehingga rasa rendang yang dibuat agak manis karena menambahkan gula. "Itu ngaduknya harus empat jam, Ma. Aku mana sanggup," keluh Nadine. Wajah Nadine terlihat masam sejak tadi. Bahkan dia menghabiskan sarapan dengan ogah-ogahan. Padahal hari ini mamanya membuat nasi goreng lengkap yang menjadi favorit keluarga. Ayam goreng men