Bab 101"Jadi, bagaimana kondisi istri saya, Dok?" tanya Al tak sabar setelah duduk di hadapan dokter."Setelah melalui sederet pemeriksaan, dan menelaah gejala yang dialami ibu, kami mendiagnosis Istri Bapak mengalami Plasenta Solusio, Pak.""Tolong dijelaskan lebih menditail, Dok!" pinta Al yang tidak memahami maksud dari istilah yang dokter sampaikan."Baik, Pak. Plasenta Solusio adalah kondisi di mana plasenta atau ari-ari yang merupakan sumber utama jalur suplai kehidupan untuk bayi terlepas dari rahim sebelum waktunya, Pak.Sementara penyebab yang paling terlihat adalah pecahnya ketuban dini, dan ini merupakan kondisi yang cukup darurat." dokter menjelaskan dengan raut wajah yang sangat serius. "Ya Allah ...," keluh Al seraya memegangi kepala yang mendadak terasa berat."Lalu tindakan apa yang harus diambil untuk istri dan anak saya, Dok?"Seharusnya, bayi harus segera dilahirkan, Pak. Tapi mengingat usia kandungan ibu baru berjalan 32 minggu, yang itu artinya belum memasuki 34
"Pasti, Pak. Kami pasti akan mengupayakan yang terbaik untuk pasien. Kami akan terus memantau kondisi pasien dan siap siaga kapanpun jika dibutuhkan tindakan. Yang terpenting tolong bantu kami dengan doa ya, Pak.Setelah ini pasien akan dipindahkan ke ruang rawat, tolong pasien dijaga secara intensif ya, segera pencet tombol darurat saat pasien mengalami tanda-tanda darurat.Sementara kami akan memberikan suntikan kortikosteroid, untuk mempercepat kematangan paru-paru bayi, sebagai antisipasi awal jika memang bayi terpaksa harus dilahirkan secara prematur.Dan saya sarankan untuk Bapak menyiapkan calon pendonor darah yang sesuai dengan golongan darah ibu, sebab dalam proses persalinannya ibu pasti akan mengalami pendarahan hebat melebihi persalinan biasa, dan sangat mungkin butuh dibantu transfusi darah untuk menghindari syok hipovolemik, jadi sebaiknya disiapkan calon pendonor sejak dini ya, sebab stok darah di rumah sakit pasti sangat terbatas.Tadi kami sudah melakukan tes golongan
Bab 102Saat suasana sedang mengharu-biru, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu."Saya buka pintu dulu, ya," pamit Al pada Dina. Istri Al itu hanya mengangguk sebagai jawaban.Selanjutnya Al berjalan ke arah pintu kemudian membukanya perlahan, tampak di sana seorang perempuan dengan seragam serba putih tengah berdiri dengan membawa sebuah amplop di tangannya."Permisi, Pak, ini hasil labnya ibu Addina, dan dari hasil tesnya, diketahui golongan darah Ibu O ya Pak, jadi langkah selanjutnya silakan mencari pendonor darah yang sesuai." Petugas lab tersebut menjelaskan pada Al."Golongan darah apa saja yang bisa diterima oleh golongan darah O? Darah saya AB, apa bisa saya donor untuk istri saya?" tanya Al pada petugas."Untuk golongan darah O hanya bisa menerima donor dari sesama golongan darah O ya, Pak. Darah O memang bisa masuk ke semua golongan darah, tapi hanya bisa menerima dari golongan darah yang sama, sedikit repot memang, tapi kabar baiknya, pemilik golongan ini cukup banyak,"
"Sorry, Ren! Gue selalu negerepotin lo!"sesal Al tertunduk di hadapan Reno."Its okey, Bro! Gua sama sekali nggak ngerasa direpotin. Justru gue seneng bisa bantu lo dan Dina. Pokoknya lo nggak usah khawatir, karena lo nggak sendiri Al. Gue ama Vio udah sepakat akan dampingin lo selama Dina dirawat. Sampai dipastikan Dina dan bayinya baik-baik aja." Reno mencoba menenangkan sahabatnya.Al mengangkat wajahnya, kemudian memandang Reno dengan mata berkaca-kaca. Ia lalu memeluk sahabat karibnya itu, menepuk-nepuk pundaknya seraya terus berterima kasih atas segala kebaikannya."Makasih, Ren! Makasih! Gua nggak tau gimana kalau nggak ada lo dalam hidup gue. Lo sudah sangat berjasa dalam keberlangsungan hidup gue, Ren! Sekali lagi makasih!""Sama-sama, Al. Sejak dulu Lo udah gua anggap seperti keluarga sendiri, dan benar kan, akhirnya kita terikat dalam sebuah tali persaudaraan melalui pernikahan gue dengan Vio.Jadi, apapun masalah yang lo hadapi, gue siap bantu lo Al. Gue siap berdiri di be
"Ada apa, Din? Ada yang sakit?" tanya Al saat telah berada di hadapan Dina yang kini terduduk sembari memegangi perutnya yang terlihat kencang.Namun, istrinya itu tak menjawab, sepertinya ia sedang mengalami kesakitan, lututnya ditekuk separuh, kedua telapak kakinya mencengkram seprei putih yang melapisi bed tempat tidurnya, sedangkan matanya terpejam, keningnya mengkerut, bibirnya meringis menahan kesakitan."Dina kenapa, Oma?" tanya Al pada Oma yang sedang tercengang di sisi Dina. Wanita sepuh itu tidak menjawab, ia hanya menggeleng tanda ia pun tak tahu apa yang terjadi pada istri cucunya itu."Oma ketiduran, bangun gara-gara Dina teriak, Oma juga nggak tahu apa yang terjadi, Al," cicit Oma Rose seraya memandang cucunya iba.Al semakin mendekat ke arah Dina, tangan kirinya ia gunakan untuk mengelus punggung yang tiap hari dikeluhkan nyeri oleh istrinya, sedangkan tangan kanannya digunakan untuk memberi sentuhan lembut di perut Dina y
Setelah mengantongi izin dokter, Al pun segera mengambil posisi untuk duduk di sisi Dina, sembari tangannya menggenggam tangan Dina dan menciuminya penuh cinta.Sedangkan dokter mulai memeriksa kondisi Dina, menempelkan stetoskop di dada Dina, kemudian mengecek kondisi perut Dina."Duh, kenceng banget ini, pasti sakit ya, Bu?" tanya dokter ramah. Dina hanya mengangguk sebagai jawaban."Nggak apa-apa ya, Bu, sabar ... Semua pasti akan berlalu dan berganti kebahagian dengan berjumpa buah hati, yang penting ibu harus tetap semangat," ujar dokter menyemangati.Dina tersenyum tipis mendengar penuturan dokter, rasanya ia sudah tak sabar untuk segera bertemu dengan sang buah hati."Tapi istri saya mengeluh kesakitan terus, Dok. Ia bahkan sampai mengeluh tak tahan lagi dengan rasa sakitnya. Apa tidak ada obat untuk meredakan rasa sakitnya itu? Atau mungkin tindakan lainnya? Sebab saya tidak tega melihatnya, Dok!" terang Al menyampaikan uneg-unegn
Bab 107"Apa lahirannya tidak bisa diupayakan dengan cara normal aja?" ucap Dina seraya memandang Al dan dokter bergantian."Memangnya kenapa harus normal, Din?" tanya Al merasa heran dengan permintaan Dina."Dina ingin merasakan melahirkan secara normal, A'," jawab Dina penuh harap."Bagaimana, Dok?" tanya Al pada dokter.Dokter tersenyum ke arah Dina, "Bu, sejatinya ibu ini sudah merasakan nikmatnya melahirkan secara normal, lho! sebab ibu sudah mengalami kontraksi sejak berapa jam yang lalu. Hal yang sama dengan yang dirasakan seorang ibu saat hendak melahirkan pervaginam.Hanya saja bedanya, bayi ibu dikeluarkan secara caesar, sedangkan lahiran pervaginam bayi akan keluar secara spontan melalui jalan lahirnya.Sebenarnya masalah tidak ada bukaan itu bisa saja diupayakan untuk melahirkan normal dengan cara dirangsang menggunakan induksu, tapi dengan catatan jika kondisi ibu dan bayi memungkinkan. Masalahnya, kondisiny
Brankar tempat Dina berbaring kini didorong oleh dua orang suster menuju ruang operasi. Sepanjang langkah kaki menapak, Suami Dina selalu setia mendampingi. Dengan tangan yang saling menggenggam erat, juga pandangan yang enggan terpisah. Keduanya terlihat saling menguatkan, dengan cinta dan keyakinan akan harapan.Di depan pintu ruang operasi, brankar dihentikan. Sejenak memberi waktu untuk kedua insan yang sejak tadi tak terpisahkan."Aa', ingat pesan Dina ya? Doakan terus Dina, doakan keselamatan bayi kita. Jangan lupa untuk terus berbaik sangka pada Allah, dengan terus merayuNya dalam doa, tunjukkan bahwa kita percaya akan kuasaNya." Dina kembali menyampaikan pesan yang entah sudah ke berapa kali ia katakan pada suaminya."Pasti, saya tidak akan melupakan pesan kamu, Din. Kamu juga di dalam tolong berjuang, ya! Tunjukkan kekuatan seorang Addina Amalia Zahra, yang mampu merubah hati sekeras batu, menjadi cair sebab kehangatannya.Janji sama saya