Malam itu, mas Hakim tak hentinya memperingatkanku. Tingkahnya seolah tak segan mengajakku berdebat. Ia menganggap ku selalu melawan bicaranya. Namun ia tak hentinya mengajakku berdebat. Sementara ia yang selalu memancing pertengkaran. Ia terus memperingatkanku untuk tak ikut campur urusan pekerjaan. Ia terus berdalih. Akan tetapi aku minta janji darinya. Aku ingin dia mengosongkan waktu sehari untukku. "Baik, aku akan mengosongkan waktu sehari. Asal kamu jangan terus membuat masalah. Aku tadi sangat malu dengan murid dan orang tua mereka." "Maaf. Aku hanya meminta kepastian darimu, Mas. Aku hanya punya kamu disini. Setelah Allah, tak ada perantara selain kamu." "Kamu juga jangan gampang terbawa suasana. Menurutmu masih ada Tuhan untukmu kan? Maka buktikanlah, jangan bisanya minta tolong aku terus. Mandiri sana, aku juga mau kerja!" "Aku hanya minta waktu sehari saja. Kosongkanlah waktu untukku." "Aku bisa memberikannya asal kau menurutiku. Lagian aku juga pulang ke rumah
Akhirnya tiba hari saat aku selesai mengajukan resign. Saat di kantor, aku memasang muka tak enak pada rekan kerjaku. Ketika bertemu mereka, wajahku langsung memerah. Aku merasa malu. Baru kerja satu bulan, aku harus berhenti. Tentu pula dengan alasan hamil. Aku bertemu pula dengan Ilmi. Sangat tersipu malu aku saat bertemu dia. Rasanya tak habis pikir harus berhenti secepat ini. Bahkan aku sendiri malu dengan diriku sendiri. Semua ini untuk menuruti suamiku. "Mbak Tazkiyah." "Eh, Ilmi!" "Kemana saja, Mbak? Sejak aku mencarimu sampai ke rumah." "Maafkan aku Ilmi. Ini permintaan suamiku. Aku juga sedang hamil." Ilmi menatap ke arah perutku. Entah mengapa risih saat ia mengarah menatap ke perutku. Lantas aku hendak pergi dari pandangannya. "Sudah, ya. Mbak mau menghadap pimpinan dulu. Jujur, gak enak rasanya berhenti kerja secepat ini." "Ya, Mbak." Aku pun meninggalkan Ilmi. Kemudian mengarah ke ruangan pimpinan perusahaan. Setelah beberapa menit aku hendak pulang. Ta
Aku tak menyangka akan seburuk ini. Jika ada yang salah dalam langkahku. Aku mohon maafkan. Ini sudah jadi jalanku. Tak tahu apa harus diteruskan. Apa harus kuhentikan langkahku ini? "Tidak malu kamu?""Apa sih, Bu?""Tetangga mengira kamu radikal. Senang kamu dibilang teroris?""Memang salahku apa? Aku juga yang pakai. Sama sekali aku tak mencelakai orang. Aku pakai cadar untukku.""Kamu tidak lihat di berita. Ramai tentang teroris.""Itu hanya oknum. Mereka hanya sebagian aliran sesat. Tidak semuanya begitu!""Ibu malu kalau jalan sama kamu.""Kalau Ibu malu, ya sudah. Aku juga tidak ada merugikan orang.""Sebaiknya kamu pikir lagi kalau mau pakai.""Astaghfirullah."Dia ibu tiriku. Aku sudah dari kecil diasuh olehnya. Ayahku saat ini bekerja dinas ke luar kota.***Ini sekelumit kisah ku di masa lalu. Aku hidup bersama ibu tiri. Ibu tiriku yang mengatur semuanya. Uang sekolah pun, ia yang pegang. Sehingga untuk keperluanku, selalu minta padanya. Aku meminta uang kiriman ayah padan
Pagi ini, aku bersiap untuk ke kampus. Hari ini tak seperti biasanya. Aku memilih pakaian yang akan kukenakan. Aku berencana untuk mengenakan hijab. Bismillah, akan kukenakan hijab ini. Semoga nanti menjadi jalanku membuka hidayah. Saat kukenakan, sangat terasa nyaman. Aku merasa jauh lebih baik.Setelah selesai, aku bergegas turun. Ketika hendak sarapan, aku terkejut. Ada seorang lelaki yang duduk disana. Aku tak mengenalinya. Lalu kutanyakan pada bi Kusma. "Bi, itu siapa yang duduk di kursi makan?""Keponakannya bu Rafika, Neng.""Kok aku baru lihat.""Dia keponakannya dari jauh. Orang dari kampung, memang belum pernah kesini.""Namanya siapa?""Namanya Zaky, Neng.""Zaky?""Iya.""Neng sudah mulai pakai hijab yah?""Iya, Bi.""Alhamdulillah. Semoga istiqomah yah, Neng.""Amin."Aku perlahan menghampiri meja makan. Lalu, lelaki itu menoleh ke arahku. Ia melihatku dengan tatapan aneh. Aku merasa takut ketika ia menatapku. Nakal sekali tatapannya. Badannya penuh dengan tato. Ia juga
Saat malam, aku tak dapat tidur. Aku keluar kamar ingin nonton televisi. Barangkali saja aku bisa mengantuk. Tanpa sadar, aku lupa sesuatu. Saat ini di rumah ada Zaky. Ketika menonton, aku malah tertidur. Televisi masih menyala. Aku tertidur pulas di sofa. Paginya aku terbangun. Tiba-tiba posisiku sudah berubah. Aku terbaring di sofa. Padahal tadi aku duduk. Tanpa sadar, waktu menjelang subuh. Aku beranjak dari sofa. Alangkah kagetnya aku. Ketika bangkit, kulihat Zaky di sampingku. "Aaaaaa!!!""Ada apa?" Tanya Zaky kaget.Aku teriak saat melihatnya. Zaky langsung terbangun. Aku tadi setengah sadar. Kemudian aku kembali mengingat lagi. "Zaky, apa yang kamu lakukan?""Tidur.""Yah aku tahu, kenapa kamu disini?""Aku tadi keluar kamar. Kudengar ada suara. Rupanya kamu menonton televisi. Kulihat kamu malah tidur. Jadi kumatikan saja.""Setelah itu, apa yang kau lakukan?"Aku bertanya dengannya sambil emosi. Dia tidur tepat di sampingku. Jangan sampai ia sudah berlaku aneh. Aku tak mau
"Gak disuruh masuk pacarmu yang kucel itu?" "Ibu apaan sih? Tolong jangan hina dia!"Aku tak sangka ayahku telah pulang. Aku langsung menghampiri dan menyalaminya."Assalamu'alaikum, Ayah." Salamku sambil menciumi tangannya."Wa'alaikumsalam. Siapa yang antar tadi?" Tanya Ayah."Itu loh, pacar kesayangannya Tazkiyah. Salamnya cuma Ayah saja. Ibu tirimu ini gak disalamin?" Singgung Ibu tiriku."Assalamu'alaikum, Bu." Ucapku sambil menyalami tangannya."Wa'alaikumsalam. Nah gitu dong! Itu baru anak Soleha. Sudah pakai jilbab. Akhlaknya harus baik dong. Ingat pacarannya hati-hati yah. Jangan berlebihan. Apalagi sering pulang malam." Kata Ibu tiriku. Aku sangat dongkol mendengarnya. Tak habis-habisnya dia menyindirku terus. Sengaja agar aku semakin tersudut. Dia ingin aku diperingatkan ayah."Benar kata Ibumu, Tazkiyah?""Aku pulang malam karena ada tugas kuliah.""Kamu pernah loh gak pulang sama sekali! Besoknya baru pulang.""Tazkiyah, jawab dengan jujur! Ayah sudah titipkan kamu sama
Rencana memang tak sesuai harapan. Aku sudah berusaha mencari. Nyatanya tak kudapatkan. Mungkin Allah belum memberikanku jalan. Apa niatku salah terlalu memikirkan jodoh?Mungkin ini peringatan dari Allah. Aku harus ikhlas menuntut ilmu. Bukan untuk meredam hawa nafsu. Menjadikan semua ini pelampiasan. Keinginan untuk mencari jodoh. Hingga kuputuskan mencari lewat biro ta'aruf. Aku selalu berdoa di sepertiga malam. Semoga mendapatkan imam yang rajin salat. Hanya itulah impianku. Jika salat tak ditinggalkan, ia takkan meninggalkanku. Aku tak mau mengalami luka yang sama. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Hatiku terenyuh, saat bekernalan. Pertama kalin aku mengenalinya. Ia yang pertama mengajakku berkenalan. Kutatap kedua bola matanya yang bening. Postur tubuhnya yang menawan. Kesannya begitu sangat berkarisma."Perkenalkan, Nama saya Tazkiyah." "Nama saya Hakim. Senang berkenalan denganmu.""Saya niat ikut ajang ini untuk ta'aruf.""Kapan bisa bertemu?""Terserah kapan bisa. Kam
Ketika waktu senggang, aku berencana mengutarakannya. Sengaja kuutarakan saat mas Hakim tenang. Kulihat ia sedang tidak ada beban. Jika pikirannya tenang, aku bisa bicara. Mas Hakim tampak sangat bahagia. Aku tak tahu apa yang membuat ia senang. Ia sedang bermain ponsel. Tampak serius sekali dan kadang tersenyum. Kutunggu ia selesai mengetik ponselnya. Lalu kudekati ia. Bismillah, coba kuutarakan hasrat ini."Mas Hakim." Sapaku."Yah?""Aku mau bicara sama Mas." Kucoba berkata dengan nada lembut. Supaya ia tidak marah. Aku perlahan ingin melunakkan hatinya. Maka kubuat ia sedikit nyaman denganku. Sebelumnya kusuguhkan ia kopi jahe kesukaannya."Ini aku buatkan kopi. Mas minum dulu!" Ujarku seraya tersenyum. "Yah, terima kasih."Mas Hakim usai juga minum kopi. Aku langsung mengatakannya. Keinginanku yang ingin bercadar. "Mas. Aku boleh tidak menutup diriku lagi?" Tanyaku."Menutup apa?""Ada hubungannya dengan penampilan."Aku berkata sangat ragu. Perasaan ini sangat takut. Tak ingi