Tazkiyah dulunya adalah wanita yang berpenampilan seksi. Ia tak menutup aurat seperti muslimah. Ia masih beribadah, namun tak mengenakan hijab. Suatu saat ia terjebak di dunia kelam. Sifatnya yang polos menjadi sasaran permainan pria. Ia salah mengenal pria. Sehingga itu membuat masa depannya hancur. Ia ditinggalkan dalam keadaan terpuruk. Tazkiyah akhirnya memutuskan untuk hijrah. Namun hijrahnya tak mendapat dukungan dari keluarganya. Calon suaminya pun tak menyukai ia yang coba bercadar.
View MoreRasa cemburuku ini meradang. Hingga aku coba menyadarkan diriku sendiri. Kuseka diriku dengan air wudhu. Bismillah, aku menyucikan diriku dari segala dosa. Kusucikan hingga dalam hatiku. Berharap imanku bisa kuperbaiki. Terus menahan diri dari perbuatan suamiku sendiri. Aku berharap ia segera mendapatkan hidayah. Muncul niat dalam hati ini. Ingin kutuntaskan semua. Namun sebesar apapun rencanaku, tak mampu menahan rencana Allah. Dia lah Maha Besar. Maha Mengetahui dari segala yang ada di dunia dan akhirat. Kendatipun aku masih tetap berusaha mencari perantaranya. Akankah bisa aku bicara langsung dengan perempuan itu? Mas Hakim pasti menolakku untuk bertemu dengannya. Namun, masih bisa kuputar siasat untuk bertemu dengannya. Aku masih mencari alasan yang tepat. "Mas gak ngajar?""Ngajar?""Biasanya privat.""Gak. Hari ini aku libur.""Tumben.""Untuk apa juga kamu tanyakan itu. Bukankah kamu sering sibuk. Bahkan hampir melarangku mengajar privat. Bawakanmu cemburuan terus. Dikit-dik
Kujalani hari ini. Tak ingin kubayangkan pahitnya. Terasa sulit harus kulalui. Benakku berkata tak ingin lagi. Jangan seperti kemarin lagi. Harapanku tak ingin kandunganku bermasalah lagi. "Duh.."Tanganku gemetaran sambil memegangi perutku. Terasa amat keram. Aku takut masalah ini berdampak dengan kandunganku nantinya. Ingin memanggil mas Hakim. Namun aku segan. Ia membuatku takut. Berat rasanya menceritakan keadaanku. Sudah biasa aku menerima jawaban darinya. Tentu itu sangat menyakitkan. Jika kucoba beritahukan, ia pasti marah besar. Selanjutnya akan banyak kesalahanku yang dicecar olehnya. Namun, perut ini masih kian sakit. Terasa amat perih. Aku menangis, tak ingin terjadi hal buruk pada janinku. "Duh..""Kamu ini kenapa?""Perutku sakit, Mas.""Mangkanya. Aku kan sudah bilang, jangan banyak pikiran. Kamu stres terus!""Aku sudah coba lawan. Tapi tetap saja tak bisa kutolak. Mungkin aku sudah kecewa.""Maksudmu apa?""Ada rasa kecewa saja. Namun tak ingin kuperpanjang.""Itu k
Mas Hakim sama sekali tak peduli yang kurasakan. Ia malah menuduhku yang tak benar. Rasanya mustahil bila aku berhubungan dengan Ilmi. Apalagi Ilmi adalah mantan Cynthia. Sudah pasti Ilmi yang ada hati padanya. "Hey kamu jangan melamun saja!""Apa Mas?""Matikan Televisinya kalau tidak ditonton lagi. Ini malah cuci piring. Aku capek tahu gak cari uang!""Tolong matikan sekalian, Mas.""Disuruh malah nyuruh. Jadi istri itu ngerti kalau dikasih tahu. Ini malah gak mau nurut!""Bukan gak mau. Mas maunya langsung dimatikan kan? Tanganku basah lagi cuci piring.""Kalau dikasih tahu bantah terus!""Aku hanya menjelaskan Mas. Biar Mas tahu kenapa aku tak bisa turuti sekarang. Kecuali kalau Mas mau tunggu aku selesai.""Ah dasar kamu ngelawan terus. Mana mau nurut.""Maksud Mas?""Apa?"Aku terdiam. Jujur, tak ingin kuulangi lagi. Bila kuteruskan, mas Hakim akan bertambah marah. Biarlah kutahan dan pendam saja. Tak sanggup rasanya bila begini. "Kumatikan ya, Mas!""Tak usah, biar aku saja!"
Beberapa hari ini, aku tak menelepon ayah lagi. Ibu tiriku terlalu sering mengganggu kami. Hingga aku tak dapat bicara banyak padanya. Ibu tiriku seolah ingin tahu yang kami bicarakan.Saat ini aku tak ada kegiatan. Teramat bosan rasanya. Jika tak ada yang dilakukan, ternyata lelah juga. Lelah menunggu waktu berganti. Andai aku masih kerja, mungkin takkan jenuh. Aku masih bisa menyibukkan diri. Di tempatku bekerja, tak begitu membuat kecapekan. Kondisiku yang tengah hamil ini, takkan membuat begitu lelah. "Tazkiyah!"Tiba-tiba mas Hakim mengagetkanku dengan suaranya. Jujur aku sangat terkejut. Tak habis pikir ia lakukan ini lagi. Ia tak henti membuatku takut "A-ada apa?""Coba kamu lihat keluar sana!""Ada apa sih, Mas?""Ternyata kamu belum berubah juga ya!""Maksudmu apa? Aku tak mengerti yang kau ucapkan.""Sana, kau lihat sendiri keluar!"Aku menjadi bimbang. Sebenarnya apa yang terjadi? Mas Hakim sangat marah. Ia memicingkan matanya. Tubuhku gemetaran, aku takut. Ada apa lagi i
Esoknya mbak Rumaisya telah pulang ke rumahnya. Kemarin ia menemaniku di rumah ini. Sudah dua hari mas Hakim tidak pulang. Aku telah menghubungi ponselnya. Namun tak aktif juga. Sengaja aku bilang pada mbak Rumaisya, mas Hakim pulang hari ini. Terpaksa aku berbohong, tak ingin merepotkan mbak Rumaisya. Ia sudah banyak menolongku. Anaknya juga ingin sekolah. Bila ia disini lebih lama lagi, akan kerepotan. Rasa lelah kutahan. Biarlah aku sendiri disini. Jika mas Hakim tak pulang lagi, mungkin besok aku harus periksa sendiri kandungan. Aku rencana besok akan ke puskesmas. Vitamin hamilku juga telah habis. Jadi aku tak dapat menunda lagi kesana.Ada rasa keinginanku menelepon ayah. Tapi, aku harus minta izin terlebih dahulu. Sementara mas Hakim tak kunjung pulang. Tak lama berselang, aku melihat ada suara motor. Aku yakin itu bunyi motor mas Hakim. Lalu, aku melihat keluar jendela. Benar saja, mas Hakim telah pulang. Aku sedikit sumringah. Namun, hatiku masih menyimpan kesedihan karena ia
Aku terbangun pagi ini. Lelah yang kurasakan seketika menghilang. Namun, rasa sakit ini masih ada. Kupegang perutku yang terasa nyeri. Aku tak bisa melakukan apapun. Minum obat sembarangan tak mungkin. Kata dokter, ibu hamil tak bisa minum obat biasa. Hanya ada vitamin hamil. Air mataku masih saja keluar. Padahal sudah coba kutahan. Kutatap mas Hakim. Ia masih tertidur saat ini. Aku baru sadar ini hari ahad. Nanti ia masih tetap privat. Tentu saja bersama murid kesayangannya. Siapa lagi kalau bukan Cynthia. Ia tak segan meneleponnya. Sangat mesra terdengar di depanku. Walau ia menyebut nama antara murid dan guru. Akan tetapi kalimatnya tak wajar untuk mereka. "Mas ada yang telepon!"Kudengar ponsel mas Hakim berdering lagi. Kupanggil ia, namun tak ada jawaban. Kucari ia disekitar tak ada. Akhirnya kuputuskan untuk mengangkatnya. Kalau saja ada hal penting dari penelepon tersebut. Saat kulihat, murid mas Hakim yang melakukan panggilan. Dia seorang perempuan. Itu bukan Cynthia. Aku la
"Apa ini, Mas?""Ini ditanda tangani surat pembatalan talak!"Aku menatap secarik kertas. Kubaca tiap lembarannya. Tempo hari mas Hakim telah menalakku. Walaupun itu talak satu, masih tetap harus diurusi pembatalannya. Kalau bukan karena kehamilanku, mas Hakim belum tentu membatalkannya. Ia berubah sikap. Itu karena aku tengah hamil anaknya. Meskipun sempat ia ragukan, aku bisa meyakinkannya jika ini benih darinya. Lalu aku menandatangani surat itu. Kubaca semua tiap pernyataan Kutarik nafas dan menghela perlahan. Jika aku tak hamil, mungkin kami berada di pengadilan saat ini. Namun, mas Hakim lekas memproses pembatalan talak. "Selanjutnya apa lagi, Mas?""Kau laksanakan saja apa yang kuperintah. Semua ini aku yang urus. Paham?""Ya."Pernyataannya kujawab dengan lirih saja. Rasa enggan aku bicara dengan mas Hakim. Hampir setiap hari aku mendengar mas Hakim menelepon muridnya. Apalagi Cynthia. Bahkan aku sengaja mendengar di depannya. Sikapku seperti ini agar ia tahu aku mendengark
Semua tak dapat kuhindari. Mas Hakim telah membuatku kecewa. Ia tak menaruh rasa iba. Sesekali ia baik, kadang tidak. Aku merasa tak ada artinya mengandung. Ia tak kasihan dengan janin di dalam rahimku. Bagaimanapun ini darah dagingnya pula. Tak ada kepedulian dalam dirinya.Aku merasa sangat terkekang. Ingin sekali pergi dari sini. Namun, aku tak punya daya. Mas Hakim tentu tak mengizinkan. Apalagi dengan kondisi hamil muda, tak semudah itu untuk pergi. Aku mengerti pula keadaanku. Sebab itu aku masih ragu untuk pulang. Ingin kuceritakan pada ayah. Mas Hakim telah mencuci otaknya. Dia buat ayahku hilang kepercayaan padaku. "Kamu kenapa melamun?""Tidak ada apa-apa.""Kapan periksa ke puskesmas?""Hari senin.""Kamu jawabnya kayak gak senang gitu.""Aku biasa aja, Mas.""Biasa aja ngomongmu."Aku terus berpikir. Takut bila benih dalam kandunganku bermasalah. Percuma jika aku makan yang sehat. Vitamin untuk hamil juga kuminum. Namun, psikisku kian buruk. Sementara ibu hamil tak boleh
Setiap hari aku menerima perlakuannya. Mas Hakim yang kadang baik. Kadang bersikap kasar pula. Aku tak ingin banyak menuntutnya. Sebaliknya aku sadar. Sebagai istri masih belum sempurna. Namun, aku berusaha agar bisa menjadi istri yang baik.Saat menghadapi sikap kasarnya, ada keinginanku menghubungi ayahku. Sangat terbatas sekali keinginanku untuk menghubunginya. Akhirnya itu hanya menjadi hasratku saja. Keinginanku kini kian terpendam. Sampai aku tak mampu menahannya. Hampir setiap hari aku menangis. Terkadang aku rindu pada ayahku. Namun, seolah menelepon saja jadi mimpiku. Setiap aku sedih, ingin rasanya menelepon ayahku. Tapi jika aku izin terlebih dahulu, mas Hakim pasti menanyakan alasannya. Aku tahu, inilah alasannya memintaku izin terlebih dahulu. Supaya dia tahu masalah yang kuceritakan pada ayah. Entah mengapa aku sangat ingin menghubungi ayahku. Jika kutelepon, aku akan berdosa. Maka kuputuskan untuk minta izin padanya. Kukatakan saja bila aku sedang rindu pada ayahku. "Ma
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.