Share

Part 4

Dengan tangan yang agak gemetar Alicia mengetuk pintu itu dan terdengar suara dari dalam, "Masuk."

"Duduklah."

"Terima kasih." Alicia hanya menunduk dan meremas jemarinya berusaha setenang mungkin mengontrol dirinya atas keputusan yang akan segera ia dengar.

Namun tiba-tiba ia merasakan langkah kaki Jade semakin mendekat duduk tepat di samping kanannya. Ia terperanjat saat Jade menggerakkan tangannya menyentuh lututnya dan mengoleskan sesuatu sejenis cream di lutut memarnya. Alicia sontak berdiri dan mundur selangkah.

"Jangan takut. I won't hurt you. Aku hanya ingin mengoleskan obat ini di lutut memarmu." Ujar Jade yang juga terkejut melihat pergerakan Alicia.

"Aa...kuu... bisa melakukannya sendiri, Mr. Williams." Alicia kembali duduk dan ia memilih untuk duduk di ujung sofa.

Jade tersenyum, kekakuan Alicia menjadi pemandangan lucu di matanya.

"Ada keperluan apa Mr. Williams mencariku?" Tanya Alicia dengan gugup, ia merasakan detak jantung yang semakin tak beraturan disaat ia mulai berbicara.

Tatapan itu, ya, Alicia berusaha keras mengartikan tatapan Jade kepadanya. Entah tatapan iba atau tatapan yang hendak memecatnya dengan segera. Miris!

"Kau sudah selesai dengan lamunanmu, Nona?" senyum Jade lagi-lagi membuat Alicia semakin kian gugup.

Perkataan Jade membuat Alicia meringis pilu di dalam hatinya.

Bagi Alicia, ini sungguh memalukan!

"Aku hanya ingin mengobati lukamu. Maaf atas kejadian tadi pagi."

Alicia mengerjap tak percaya apa yang baru saja didengarnya. "Kau tidak jadi memecatku?"

Helloo! Karyawan seperti apa kau Alicia? Kau menawarkan diri untuk dipecat? Bahkan Bossmu sendiri tak mengucapkan satu kata pun tentang pemecatan.

Jade terkekeh. "Memecatmu? Apa yang membuatmu berpikir bahwa aku akan memecatmu?" Jade mencondongkan tubuhnya dengan sedikit menunduk menatap Alicia yang sedari tadi hanya merunduk dan meremas-remas jemarinya.

Sepasang mata itu bertemu dalam jarak yang cukup dekat dan membuat Alicia terkesiap. Ia memilih untuk memalingkan wajahnya ke arah lain menghindari manik mata Jade dan segera berdiri. "Jadi hanya itu? Kau tidak perlu minta maaf Mr. Williams, itu bukan sepenuhnya kesalahanmu, baiklah, terimakasih untuk obatnya, aku permisi."

Baru saja Alicia ingin melangkah keluar dari ruangan, Jade kembali bersuara, "Besok kau boleh memakai sepatu kets sampai lututmu benar-benar sembuh."

"Tidak apa-apa, aku---"

"Ini perintah! Nona Carter." Tegas Jade. "Dan supirku akan mengantarmu pulang sore nanti, aku hanya ingin memastikanmu pulang dengan selamat."

'Oh my lemon!!!' ujar Alicia dalam hatinya.

"Terima kasih Mr. Williams, tapi maaf aku sudah janji akan pulang dengan Dazzlene sore ini."

"Baiklah. I keep your words!"

πŸ‹πŸ‹πŸ‹πŸ‹

Alicia masih tidak bisa mencerna kalimat terakhir Jade.

"Apa maksudnya 'I keep your words' apa dia berpikir aku akan membohonginya atau hanya pura-pura mencari alasan untuk menolak tawarannya?" gumam Alicia.

Namun ia segera menepis hal-hal yang menumpuk dalam pikirannya saat ini dan berusaha relax dikerumunan halte Bus. Janjinya untuk pulang bersama Dazzlene gagal, karena Dazzlene ada urusan mendadak.

Usai membersihkan diri, Alicia merebahkan diri di ranjang single bednya, namun niatnya untuk tidur harus diurungkan oleh bunyi ponsel yang berdering.

Anthony is calling...

"Yes Anthony. What's wrong?"

"Begitukah kau menyapa orang yang merindukanmu dari kejauhan?"

Alicia terkekeh. "Bagaimana di Bali? Apakah menyenangkan?"

"Akan lebih menyenangkan bila kau di sini menemaniku."

"Really? Kurasa kau harus segera memiliki kekasih agar kewarasanmu stabil." Ujar Alicia diiringi tawa.

"Yeah. Dan kau harus bertanggung jawab untuk hal itu."

"Anthony, kau tega membuatku menahan rasa kantuk hanya untuk mendengar rayuanmu, oh please!"

"Well... Well.. tidurlah, rasa rinduku sudah sedikit terobati oleh suaramu, begitu urusanku selesai aku akan segera kembali ke New York dan kita akan makan malam bersama, okay? I promise, just a dinner."

"Ya... Yaa... bolehkah aku tidur sekarang?"

"I keep your promise. Good night my lemon. I miss you."

"Miss you too, bye."

Setelah mengakhiri panggilan, Anthony menatap kembali foto wallpaper dilayar ponselnya, mengusap pelan dengan ibu jarinya. Ia mulai berpikir, entah kapan masa itu tiba, masa di mana Alicia menerima hatinya atau mungkin masa untuk ia rela melepaskan Alicia, bila wanita yang dikejarnya itu lebih memilih untuk bersanding dengan pria lain.

Dan sebelum masa itu tiba, ia hanya ingin menikmati waktu demi waktu yang ada bersama Alicia, bukankah pepatah mengatakan bahwa, kekhawatiran tentang hari esok akan merusak kegembiraan hari ini.

πŸ‹πŸ‹πŸ‹πŸ‹

Jade tiba di penthouse miliknya. Sepeninggal adiknya Jeanny, ia tinggal seorang diri di kediaman mewah ini, terkadang sesekali Grandma datang menginap beberapa hari agar ia tidak merasa kesepian.

Ya, saat ini dia benar-benar kesepian. Tidak ada lagi hal-hal tentang adik tercintanya yang selalu mengisi waktu luangnya setelah bekerja. Makan malam bersama, hang out bersama, bermain game bersama, bahkan sekedar menguntit adiknya yang merayakan pesta bersama teman kampusnya di Night Club.

Hingga malam yang tak pernah diharapkan merenggut kebahagiaan satu-satunya yang ia miliki.

Setelah kejadian itu, bila bukan karena pertemuan rekan bisnis atau pertemuan keluarga maka Jade lebih memilih untuk berada di rumah. Ia menyukai ketenangan dan keheningan, ia merasa inilah yang ia butuhkan untuk saat-saat sekarang.

Dia bukan penikmat dunia malam. Ia ingat bagaimana terakhir kali keadaannya terlihat begitu menyedihkan bahkan menyusahkan Grandma yang harus menjaganya seminggu karena kondisinya yang hangover dan drop setelah ia memaksa tubuhnya melanggar batas toleransi alkohol dihari pemakaman adiknya. Sungguh sebuah keputusan yang salah dan teramat ia sesali.

Jade sudah terlihat segar usai membersihkan diri, mengenakan pakaian santai, kaos putih yang membalut otot-otot kekarnya, lengan yang selalu nampak kokoh dipadukan dengan celana jogger abu-abu, sungguh tidak mengurangi ketampanan dan pesona seorang pewaris dari keluarga Williams.

Ia duduk bersandar di sofa, berhadapan dengan jendela kaca yang menyajikan pemandangan 360 derajat gemerlap kota New York di malam hari, mulai dari Manhattan, Central Park dan juga Hudson River yang menyimpan sejuta kenangan bersama adiknya, hampir setiap sabtu pagi Jade dan adiknya menghabiskan waktu pagi mereka untuk berolahraga bersama di sana.

Ia menyesap teh Chamomile hangat yang telah diseduhnya setelah mandi. Konon katanya, teh Chamomile dapat merelaksasikan pikiran dan tubuh. Dan minuman inilah yang menjadi pengantar tidur Jade disetiap malamnya.

Setidaknya dapat menolong dirinya untuk bisa terlelap sejenak. Sebab sudah tak terhitung malam demi malam yang terlewati tanpa tidur yang lelap, bahkan tak jarang ia terpaksa harus menenggak obat tidur hanya untuk dapat mengistirahatkan tubuhnya untuk beberapa jam saja. Pikiran tentang peristiwa tragis yang menimpa adiknya sungguh sangat mengguncang jiwanya.

Keadaannya sungguh sangat membuat Grandma khawatir. Entah sudah berapa kali Grandma menyarankannya untuk bertemu dengan Psikiater namun selalu ditolak Jade.

Bahkan Grandma meminta Paman Jade, Steve untuk mengenalkannya kepada anak perempuan dari rekan relasi bisnisnya dan ditolak mentah-mentah oleh Jade.

Grandma yang tak patah arang terus mencomblanginya dengan jebakan dinner bersama cucu perempuan dari sahabat-sahabatnya, lagi-lagi tidak mendapatkan respon positif dari Jade.

Berbeda dengan wanita-wanita yang dikenalkan padanya, tidak ada satupun yang dapat menolak pesona seorang Jade Wayden Williams. Dan impian mereka untuk mendapatkan hati Jade atau hanya sedikit perhatian Jade harus berakhir pahit atas sikap tak acuhnya.

Terkadang Jade tertawa geli mengingat bagaimana tingkah dan siasat Grandma untuk memaksanya mencari teman wanita agar tidak larut dalam kesedihan. Ia sudah seperti barang yang diobral sana sini oleh Grandma.

Jade sudah menjelaskan kepada Grandma bahwa ia dapat mengatasi dirinya sendiri, namun tetap saja status Jade yang masih lajang dan sifatnya yang penyendiri menjadi alasan Grandma bahwa Jade menggenggam erat beban hidupnya seorang diri.

Cinta? Entahlah. Kepergian adiknya membuat ia tidak bersemangat dalam hal apapun. Baginya, dunia seakan tak berwarna disaat ia kehilangan satu-satunya orang yang bertalian darah dengannya.

Sampai saat ini Jade terus menyangkal kebutuhannya akan cinta. Ia merasa bahwa dirinya akan baik-baik saja tanpa hal itu, namun sebenarnya tidak.

Awalnya, ia bertekad untuk mencari sosok wanita terbaik yang juga akan menyayangi Jeanny seperti adik kandungnya sendiri dan tekad itu pupus bersama kepergian Jeanny untuk selamanya.

Kini tanpa ia sadari, tekad itu kembali menyapa, untuk dirinya. Ia tidak berani menjabarkan perasaannya saat ini. Yang ia tahu, bayangan wajah Alicia Carter yang polos itu menghiasi disetiap ruang pikirannya.

Ia sungguh tidak mengerti mengapa atau bagaimana ini bisa terjadi. Ia merasa ada sesuatu yang rubuh di dalam alam bawah sadarnya saat ia bertabrakan dengan Alicia, yaitu keterpurukannya.

Dan jiwanya terus terpanggil untuk selalu berada didekat wanita itu, melindunginya, menjaganya, atau bahkan mungkin untuk... mencintainya?

Entahlah, ia masih belum memiliki keberanian untuk memastikan keputusan hatinya, karena ia tidak ingin melukai dirinya ataupun Alicia bila ini hanya sekedar luapan perasaan emosi sesaat.

Katakan ini terlalu awal, terlalu dini untuk merasa tertarik apalagi jatuh hati. Bahkan dari penampakan secara fisik, wanita-wanita yang ia jumpai dan yang diperkenalkan padanya melebihi Alicia yang baru saja ia kenal beberapa jam lalu.

Ini gila! Ya, hanya pertemuan singkat dengan alur cerita yang tidak manis dalam selang beberapa jam dan menimbulkan kegalauan dan pertanyaan di dalam diri seorang Jade yang dapat memiliki apapun sesuai keinginannya termasuk seorang wanita?

Anehnya, seharian ini ia selalu merasa lepas kendali setiap melihat Alicia. Jiwa diktator dan tidak ingin dibantah muncul, sebagai pelarian isi hatinya, bahwa ia tidak ingin kehilangan untuk kedua kalinya.

Jade, what's wrong with you?

Kini malam semakin larut, tanpa ia sadari, lamunan wajah polos seorang Alicia mengukirkan sebuah senyuman manis pada wajahnya. Senyuman yang sudah sangat jarang ia tampilkan. Ia memejamkan mata dan terus mengisi setiap sudut pikirannya dengan wajah yang selalu dirindukannya hingga ia mulai terlelap dan tergiring dalam mimpi indah.

πŸ‹πŸ‹πŸ‹πŸ‹

Tbc

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status