Setengah sadar, aku menerima gelas putih transparan dari petugas laboratorium. Seramah dan sehangat apa pun dia melayani, tetap saja hatiku hancur. Remuk. Aku benar-benar takut sekarang. Bagaimana kalau perbuatan jahanam biadab Arnold dulu itu benar-benar membuahkan hasil?
Maksudku, bagaimana kalau aku benar-benar hamil? Ya Tuhan! Apa yang harus aku lakukan sekarang?
"Nanti kalau sudah ditampung, tolong diserahkan ke loket yang tadi ya, Mbak?"
"Eh, oh, iya Bu. Sa---ya ke toilet dulu. Permisi?"
Petugas laboratorium itu tersenyum ramah. "Iya, silakan Mbak. Hati-hati, ya?"
Aku tak menjawab. Tak mampu berkata-kata lagi untuk lebih tepatn
"Tapi aku nggak mau anak iblis ini, Ta!" jeritku tertahan sambil memukul-mukul perut. Benci, muak sekali rasanya. "Nggak mau, Ta. Arnold jahat, jahat banget! Oh, Batik pasti kecewa banget sama aku kan, Ta? Batik pasti marah banget!"Uta melepaskan pelukan, memegang erat-erat kedua tanganku. "Jangan, jangan kamu pukuli dia Hill! Bayi ini nggak salah apa-apa, Hill. Bayi ini suci dan kamu … Ya ampun Hill, Tuhan pasti tahu kalau ini kecelakaan. Karena Tuhan Maha Melihat, Maha Mendengar."Sampai di sini air mataku justru semakin membanjir bandang. Sakit, sesak seluruh rongga dadaku. Masih tidak terima rasanya dengan apa yang sudah terjadi. "Lepaskan tanganku Ta, lepaskan. Aku, aku … Malu, malu banget. Rasanya nggak sanggup lagi buat ngelanjutin hidup ini, Ta. Nggak sanggup!"
Ha, apa dunia ini sudah mengkerut?Bagaimana bisa Budhe tahu kalau aku depresi berat? Bagaimana juga bisa tahu kalau ternyata aku hamil karena kecelakaan? Maksudku, akibat perbuatan biadab jahanam si Bangsat Arnold. Aduh, pusing tujuh keliling dunia memikirkan beberapa kemungkinan yang ada.Uta memberitahu Budhe?Tidak mungkin Miss Kirana. Ya ampun! Dia kan, sudah berjanji untuk merahasiakan semua yang kuceritakan?Mama? Hahahaha, aku yakin dia bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya menimpa anak perempuan semata wayangnya ini, sungguh.Nah Guys, kemungkinan yang paling besar dalam hal ini Uta, kan? Aduh, Uta! Kenapa malah memberitahu mereka, sih? Eh! Tapi mungkin maks
"Budhe sama Eyang Putri ngajak aku pindah ke Bantul, Ta." jujurku sambil menyelam ke dalam bola matanya. Berusaha untuk tersenyum tegar. "Budhe yang bakalan nganterin aku konsultasi psikiater dan kontrol kandungan. Mereka ngedukung aku, Ta. Mereka juga nggak nyalahin aku atau gimana."Uta juga memandangku lekat-lekat, menyelam hingga ke dasar bola mata. Bukan untuk memindai dusta tetapi sebagai bentuk empati, perhatian dan kasih sayang. "Wah, syukurlah Hill. Aku ikut senang. Megan juga pasti senang. Si Baby juga. Hehe, hehe."Aku menggeleng-gelengkan kepala. Menyeka air mata yang memaksa keluar. Merembes hangat. "Ajaib banget ya, Ta? Keren!""He'emh, Hill." Uta mengangguk-anggukkan kepala. "Luar biasalah pokoknya, kuasa Tuhan."
"Hill, Hill … Lihat aku, Hill!" Uta memekik ketakutan. "Ya Tuhan! Sadar Hill, sadar!"Megan menimpali, "Hill, kamu nggak perlu ke mana-mana, oke? Di sini saja bersama kami. Kami semua sayang banget sama kamu lho, Hill. Kami nggak mau kehilangan kamu dalam bentuk apa pun."Uta merangkulku dari samping. Napasnya terdengar memburu, panas. "Iya Hill, apa yang dibilang Megan tadi tuh bener banget. Kamu nggak perlu ke mana-mana, di sini saja. Lagian, buat apa juga nyariin laki-laki brengsek itu? Biarin dia pergi sesuka hati. Biar dia diurus Tuhan. Kamu percaya kan sama Tuhan?"Dug!Aku merasa ada benda tak kasat mata yang terjatuh dengan sangat ke keras di rongga dada. Tapi sayangnya, meskipun
"Nggak Budhe, Hill nggak mau ketemu sama Mama!" aku berkeras. Memandang tajam dan dalam. Menunduk, membendung tangis. "Mama jahat, jahat. Hill jadi begini karena Mama. Papa meninggal juga karena Mama. Semua karena Mama." perlahan-lahan namun pasti aku mengangkat wajah, memandang dengan pandangan yang sama seperti tadi.Dua minggu sudah aku di rumah Bantul dan tidak menyangka sama sekali kalau ternyata Mama akan datang menjenguk. Lebih tidak menyangka lagi, dia tak sendiri melainkan bersama Tante Ariane dan Om Frank. Maksudnya? Ya ampun! Apa mereka masih belum sadar juga kalau merekalah sumber luka batinku? Sebenarnya mereka itu bodoh atau bagaimana, sih?"Budhe …?" antara sadar dan tidak, aku memanggilnya.Budhe tersenyum prihatin, sedih.
Mata Uta membulat besar. Mulutnya menganga sempurna seolah-olah aku baru saja mengatakan kalau aku akan pindah ke bulan dan takkan pernah berpijak di bumi lagi. "Nggak, nggak. Aduh … Sekali-kali jangan gila kenapa sih, Hill? Kali ini saja lah, please? Mana mungkin kamu ke sana? Emh, maksudku kamu kan nggak punya family di sana? Kemarin juga kan, ke sananya karena diundang Tante Ariane? Aduh Hill, percaya deh sama aku … Itu tuh, bahaya banget. Bahaya kuadrat."Aku tertawa cekikikan. "Yang gila tuh, siapa? Aku nggak gila kok Ta, hanya ingin finish the problem. Apa aku salah? Hanya di sana aku bisa finish the problem. Kamu tahu kan, Ta?"Uta meng
"Ehem!" Pak Verrel berdeham menarik perhatian. "Kalau ditanya tapi nggak menjawab itu nggak sopan lho, Hill. Bisa jadi dosa juga."Eh?"Saya kan, bertanya karena perhatian sama kamu." blak-blakan Pak Verrel mengakui. "Ya, sebagai mantan karyawan, sih. Hehe. Sebagai sama-sama penumpang pesawat kelas bisnis jurusan Cengkareng - Schiphol. Mana seat kita bersebelahan lagi, kan? Tapi kalau kamu nggak suka saya perhatikan, ya nggak apa-apa."Aduh, apa yang harus aku katakan?"Saya, emh, sebenarnya …." kenyataan pahit membuatku tak mampu menyelesaikan kata-kata, tentu saja. Hanya mampu menggedikkan bahu, mati-mat
"Hill, bangun Hill!" Pak Verrel mengguncang-guncang pundakku. "Kita sudah mendarat di Schiphol. Kamu baik-baik saja, kan?"Sebisa mungkin, aku membuka mata yang terasa lengket plus pedih. Sedikit menggeliat, mengusap-usap perut yang sedikit mengeras. Sakit."Eh, kamu nggak apa-apa kan, Hill?"Mengangguk kecil. Hanya itu yang bisa kulakukan."Oh, syukurlah." Pak Verrel terlihat lega. "Yuk, kita turun? Bytheway ini koper kamu, sudah saya ambillah tadi. Benar yang ini, kan?"Lagi, aku mengangguk. Berusaha untuk memberikan senyuman terima kasih. Membersihkan wajah dengan tisu basah, menyisir rambut. Merapikan sweater. Memastikan tak ada yang tertinggal.&n