Bibir Shawn mengisap bibir atas dan bawah Ariel bergantian. Lidahnya mendesak masuk, membelai langit-langit di mulut Ariel. Dua insan itu berciuman di tengah-tengah mereka sedang menonton film di ruang tengah. Beberapa pelayan yang lewat langsung menundukkan kepala—tak ada yang berani mengganggu.“Astaga! Kalian tidak bisa bermesraan di kamar?” Savannah muncul, menatap jengkel Shawn dan Ariel yang tengah berciuman. Sepertinya nasib Savannah, tidak pernah baik, karena melihat kakaknya bermesraan.Pagutan Shawn dan Ariel terlepas di kala mendengar suara Savannah. Tampak raut wajah Ariel terkejut melihat kedatangan Savannah. Pun pipinya sedikit merona malu, akibat terpergok ciuman.“Savannah? Kau datang?” Ariel bangkit berdiri, menghampiri Savannah, dan memeluk calon adik iparnya itu.Savannah membalas pelukan Ariel. “Kau dan Kak Shawn mesra sekali. Aku sampai iri pada kalian.”Ariel mengulum senyumannya melihat Savannah cemberut. Dia menangkup kedua pipi calon adik iparnya. “Gadis canti
Savannah sudah pulang pagi-pagi sekali. Dia tidak sarapan bersama dengan Ariel dan Shawn, karena gadis itu ingin pergi ke rumah temannya. Pun memang Savannah hanya menginap satu malam saja.Pembahasan tentang souvenir telah ditutup. Ariel kalah. Tadi pagi Stella sudah menghubungi Ariel, tentang penambahan souvenir. Stella mengatakan pada Ariel untuk mengikuti keinginan William dan Sean.Well, Ariel sudah tidak bisa berdaya apa pun lagi. Dia telah kalah kali ini. Sungguh! Tidak pernah terpikir, konsep pernikahannya nanti akan sangat mewah. Padahal yang diinginkannya adalah konsep pernikahan yang sederhana. Namun, sayangnya itu tidak akan mungkin bisa terjadi.“Ariel, aku ingin menemui Pamanku di kantornya. Mungkin dua jam lagi aku sudah pulang. Kau tidak apa-apa, kan aku tinggal?” Shawn membelai pipi Ariel.Ariel tersenyum. “Tidak apa-apa, Sayang.”Shawn mengecup bibir Ariel. “Jika kau ingin pergi, jangan lupa kirimkan aku pesan.”Ariel mengangguk merespon ucapan Shawn. “Oke, Boss! Aku
Shawn melangkah masuk ke dalam penthouse. Dia membawa paper bag yang berisikan makanan. Dia mampir ke restoran kesukaan Ariel, demi kekasihnya itu. Dia hendak berjalan masuk ke kamar, tapi langkahnya terhenti di kala berpapasan dengan seorang pelayan yang menundukkan kepala.“Selamat siang, Tuan,” sapa sang pelayan sopan pada Shawn.“Siang, di mana Ariel? Apa dia di kamar?” Shawn langsung menanyakan keberadaan sang kekasih.“Nona Ariel tadi pergi. Beliau mengatakan akan ke kafe dekat sini,” jawab sang pelayan sontak membuat kening Shawn mengerut.“Ariel pergi ke kafe dekat sini?” ulang Shawn memastikan. Dia merogoh ponsel yang ada di saku celananya—memeriksa pesan ataupun panggilan telepon, tapi kenyataannya Ariel tidak menghubungi nomornya sama sekali.Sang pelayan mengangguk. “Benar, Tuan. Tadi Nona Ariel bilang, dia akan bertemu dengan kakaknya.”Shawn terdiam berusaha mencerna apa yang dimaksud oleh sang pelayan. Ariel bertemu dengan kakaknya? Siapa? Beberapa detik, Shawn masih te
Suara dering ponsel milik Shawn berbunyi. Ariel yang terlelap langsung membuka mata, di kala mendengar dering ponsel Shawn berbunyi. Ariel menyeka matanya—dan mendengar ponsel kekasihnya itu terus berdering.“Shawn, ponselmu berbunyi,” ucap Ariel pelan sambil menguap.Tidak ada respon sama sekali. Ariel menoleh, menatap ke sampingnya—di mana Shawn tidak ada di sampingnya. Dokter cantik itu mengalihkan pandangannya—menatap jam dinding—waktu menunjukkan pukul tujuh pagi. Rasanya Shawn belum berangkat di pukul tujuh pagi.Ariel memfokuskan pendengarannya, benar saja bahwa ada suara gemericik air di kamar mandi. Itu menandakan, bahwa Shawn pastinya sedang mandi. Dia memutuskan untuk mengabaikan panggilan telepon yang bersumber di ponsel Shawn. Namun, sayangnya ponsel Shawn kembali berdering.Ariel menghela napas dalam. Dia mengambil ponselnya, dan menatap ke layar—tertera nama ‘Michaela’ di layar ponsel Shawn. Ariel sempat ragu untuk menjawab panggilan telepon itu, tetapi akhirnya dia mem
“Ella?” Nama itu tercetus di bibir Shawn, di kala pelukan sudah terlepas. Namun, Shawn tak menyadari bahwa sejak tadi Ariel menunjukkan rasa kesal, serta kecemburuan yang jelas-jelas nyata.Wanita cantik bernama Ella itu mengurai pelukannya. “Astaga, Shawn, sudah lama sekali aku tidak bertemu denganmu.” Lalu tatapannya teralih pada Ariel yang berdiri di samping Shawn. “Ah, ini pasti Ariel DiLaurentis, kan? Dokter cantik di rumah sakitmu yang menjadi calon istrimu?” tanyanya dengan nada ramah.Shawn tersenyum dan mengangguk merespon ucapan Ella. “Dia, Ariel DiLaurentis, calon istriku.” Tatapan Shawn menoleh menatap sang kekasih. “Ariel, di depanmu adalah Ella Hastings, teman waktuku sekolah dulu.”Ariel berusaha tersenyum ramah pada Ella—wanita cantik yang ternyata teman sekolah Shawn. Hatinya tetap kesal dan panas, tapi sebisa mungkin Ariel tidak menunjukkan itu. Dia berusaha untuk tenang di balik rasa jengkelnya. Ella mengulurkan tangannya pada Ariel. “Senang melihatmu secara lan
Lidah Shawn mengabsen setiap inci dalam mulut Ariel. Ciuman itu sangat liar dan panas—hingga membuat Ariel benar-benar tak berdaya. Kecemburuan memang menguras emosi Ariel, tetapi ciuman Shawn bagaikan obat penyembuh yang mampu menyembuhkan dan meredam segala kemarahan.Api di dalam tubuh Ariel, bagaikan telah tersiram oleh air dingin. Air yang mampu meredam segala perasaan yang bergejolak dalam dirinya. Tubuhnya benar-benar tidak bisa berkutik di kala ciuman panas itu membuatnya tenggelam dan hanyut.Jemari kokoh Shawn meremas pelan pinggang Ariel sambil berbisik, “Bagaimana bisa kau berpikir aku akan berpaling darimu, hm? Bahkan mataku tidak akan mungkin bisa memilih wanita lain selain dirimu.”Ariel menahan rona di wajahnya mendengar ungkapan Shawn. Bohong saja, jika dirinya tidak bahagia. Kata-kata Shawn seakan mengingatkan Ariel akan perjuangan cinta mereka yang tidak mudah.“T-tapi tadi kau seperti menikmati pelukan Ella,” ucap Ariel dengan bibir yang masih tertekuk.Shawn terse
“Ariel, bersiaplah. Kita harus menghadiri meeting pemegang saham DiLaurentis Group.” Shawn berkata seraya memasang dasi—dan menatap cermin melihat penampilannya pagi itu.“Shawn, apa aku harus ikut?” Ariel mengambil alih, membantu memasangkan dasi sang kekasih. Hal yang paling dia tak suka adalah rapat DiLaurentis Group. Pasalnya, dia enggan untuk bertemu dengan sang ayah.Shawn mengecup kening Ariel. “Kau adalah pemegang saham DiLaurentis Group. Sudah seharusnya kau ikut dalam rapat DiLaurentis Group.”Ariel mendongakkan kepalanya, menatap Shawn. “Tuan Kaya, uang disaham DiLaurentis Group kan milikmu.”Shawn mencubit pipi Ariel. “Aku tidak suka kau bilang seperti itu. Uangku adalah uangmu. Apa yang menjadi milikku, adalah milikmu juga. Jangan lagi bilang seperti itu. Aku sudah pernah bilang, kan? Jika kau selalu menganggap saham DiLaurentis Group adalah milikku, maka artinya kau tidak menerima pemberianku.”Ariel menangkup kedua rahang Shawn, dan mengecupi bibir sang kekasih. “Iya-iy
Malvia menangis keras dalam pelukan Flora di kala Yuval masuk dalam IGD. Ariel berada di sana. Dokter cantik itu memilih memeluk Shawn. Ariel membiarkan Harmony yang memeriksa Yuval. Dalam hal ini, Ariel tahu pasti Malvia tidak akan membiarkannya dalam melakukan pemeriksaan pada ayahnya. Malvia terisak seraya menatap penuh kebencian Ariel. “Ini semua karenamu, Anak Haram! Kau pembawa sial! Harusnya sudah sejak dulu, aku buang kau dijalanan!”“Grandma, tenangkan dirimu.” Flora berusaha menenangkan neneknya.Malvia tak bisa menahan diri. “Diam, Flora! Grandma ingin memberikan pelajaran pada anak haram ini!”Malvia hendak ingin menjambak rambut Ariel, tapi dengan sigap Shawn menghadang. Pria tampan itu memindahkan Ariel ke belakang tubuhnya. Dia berdiri di depan Ariel bagaikan tameng besi kuat melindungi dokter cantik itu.“Jaga sikapmu, Nyonya DiLaurentis! Kau bisa masuk penjara jika kau berani melukai kekasihku!” seru Shawn penuh peringatan pada Malvia.Malvia mengepalkan tangannya de