Share

Bab 6

Dulu ketika teman-temanmu diterima di kampus favorit,

maka kamu juga menginginkan hal yang sama.

Begitu pula ketika satu per satu sahabatmu menikah,

kamu juga merasa menginginkan pernikahan.

Bukankah memang kebanyakan manusia seperti itu?

Aku baru selesai memasak tumis tauge dan ayam goreng ketika Laras duduk di depanku. Dia diam saja memperhatikan aku yang sedang menyiapkan hidangan dan perlengkapan makan di atas meja.

"Ambilkan nasi dong, Ras," kataku sambil melap piring satu per satu.

Laras menurut saja. Dia berjalan ke dapur untuk mengambil nasi. Setelah dia kembali ke ruang makan, dia langsung duduk lagi. Dia menopang dagunya sambil mengamatiku yang sibuk mengeluarkan botol air minum dan buah-buahan dari dalam kulkas. Pasti ada sesuatu yang sedang dipikirkan Laras karena tidak bisanya dia menjadi pendiam.

"Jangan lupa berdoa dulu," kataku sambil menyendok tumis tauge dari mangkok saji.

"Mbak, kalau aku berhenti kerja gimana?" tanya Laras tiba-tiba sambil berusaha mencabik sepotong ayam goreng di piringnya.

"Ngopo kok takon ngono, Ras?"

Laras memain-mainkan makanan di piringnya dengan sendok dan garpu yang dipegangnya. Dia tampak enggan menjawab pertanyaanku. "Mas Burhan minta aku pikir-pikir buat berhenti kerja, Mbak."

"Ngopo kok Burhan minta kamu berhenti?"

Laras memasukkan makanan ke mulutnya dan mengunyah dengan pelan, mengulur waktu untuk menjawab pertanyaanku. "Mas Burhan mau ngelamar aku. Tapi dia maunya aku sudah berhenti kerja sebelum kami menikah."

Aku berusaha memahami apa yang baru saja dikatakannya. Laras dan Burhan baru berpacaran sekitar enam bulan. Enam bulan! Ternyata enam bulan sudah cukup bagi mereka untuk membicarakan komitmen.

"Memang kalau kamu masih kerja, Burhan keberatan?"

"Ora sih, Mbak. Tapi dia minta aku cari kerjaan lain yang kerjanya dari pagi sampai sore saja. Ora koyok sing saiki. Seminggu shift pagi, seminggu shift siang."

Laras bekerja sebagai sales promotion girl di Jogja City Mall. Dia mewakili merk kosmetik Islami yang sedang naik daun saat ini. Seringkali dia baru sampai di rumah pukul setengah sebelas malam ketika mendapat giliran shift siang. Sedangkan Burhan bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit daerah di Yogyakarta. Seperti perawat lain pada umumnya, Burhan bekerja dengan sistem tiga shift. Aku kurang lebih paham apa yang dikhawatirkan Burhan, yaitu jam kerja mereka yang kurang ideal untuk membangun keluarga.

"Lha menurutmu bagaimana? Masuk akal nggak permintaannya Burhan?"

"Yo masuk akal sih, Mbak. Tapi kok aku sudah terlalu nyaman kerja di tempatku yang sekarang. Lagian nyari kerja buat lulusan SMK kayak aku ini juga nggak gampang tho, Mbak."

Aku menguyah makananku perlahan sedangkan Laras hanya memainkan makanannya dengan sendok dan garpu. Sepertinya dia tidak akan menghabiskan makanan itu.

"Kamu sudah bilang Bulik kalau Burhan mau melamarmu?"

"Belum, Mbak. Kalau Ibu tahu, besok pagi aku pasti langsung disuruh berhenti kerja," kata Laras sedikit murung.

"Ya cepat atau lambat kamu harus ngomong sama Bulik, Ras."

Kami melanjutkan makan malam tanpa banyak bicara karena terlalu sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Aku sebenarnya merasa ikut senang Burhan akan melamar sepupuku, tapi kalau boleh jujur, aku juga merasa sedikit iri. Hubunganku dengan Samudra yang sudah bertahun-tahun saja belum ada tanda-tanda berlanjut ke tingkat yang lebih serius. Kenapa ya terkadang kehidupan bisa selucu ini?

-.-.-.-.-

Aku menguap beberapa kali ketika sampai di kantor. Aku baru bisa tidur jam tiga dini hari gara-gara tidak bisa berdamai dengan pikiranku. Bahkan aku menuliskan pertanyaan-pertanyaanku semalam di buku agenda dengan urutan seperti ini:

1. Mengapa sampai sekarang Sam belum melamarku?

2. Apa yang kurang dariku?

3. Bagaimana cara mereka membujuk kekasihnya untuk menikah?

4. Bagaimana cara para wanita meyakinkan pasangannya bahwa mereka sudah siap membangun rumah tangga?

Sekali lagi aku menguap. Kulihat jam yang ada di layar ponselku. Masih ada tiga puluh menit sebelum bel masuk. Daripada aku mengantuk seharian, lebih baik aku tidur sebentar. Aku menyetel alarm di ponsel untuk berdering pukul 07.50 WIB. Aku melipat tanganku di atas meja kerja sebagai bantalan kepalaku. Tidak perlu menunggu lama, aku tertidur begitu saja.

Dua puluh menit berlalu dan akhirnya alarm ponselku berdering. Masih dengan mata yang terpejam, aku mencoba meraih ponselku yang deringnya semakin keras. Aku meraba-raba mejaku. Sepertinya ponselku tadi ada di sebelah kiriku. Kenapa belum ketemu juga sih? Ponselku masih saja berdering dan kini aku meraba-raba meja di sebelah kanan kepalaku masih dengan mata terpejam.

"I'd like to know what help can I be to you." (Saya bisa bantu apa?)

Aku langsung membuka mataku mendengar suara itu. Tiba-tiba rasa kantukku hilang entah kemana digantikan dengan jantung yang berdebar-debar karena terkejut. Jason sudah duduk di kursinya yang diputar menghadap ke arahku. Mata kami beradu. Dia dengan santai bersandar di kursinya. Aku segera duduk tegak dan mematikan alarm di ponselku yang ternyata ada di atas laptop.

"How long have you been here?" (Sudah berapa lama Mister di situ?) tanyaku

padanya.

"Long enough to enjoy the view." (Cukup lama untuk menikmati pemandangan yang ada)

Mendengar jawaban itu, wajahku terasa panas. Sebaiknya aku ke toilet saja lah. Jangan-jangan rambutku berantakan! Atau jangan-jangan ada tahi mata atau bekas air liur di mukaku! Aku buru-buru berdiri lalu berjalan ke arah pintu.

"You didn't snore,"  (Kamu tadi nggak ngorok)

kata Jason ketika aku melewati mejanya.

"Pardon?"  (Apa?)

aku menoleh padanya.

"Just in case you want to know. You didn't snore." (Kalau kamu mau tahu, tadi kamu nggak ngorok)

"Oh!"

seruku

lalu terburu-buru menuju ke toilet dengan muka yang benar-benar terasa panas. Setelah sampai di toilet, aku melihat pantulan wajahku di cermin. Pantas saja mukaku terasa panas, rupanya aku tersipu. Kedua pipiku memerah.

Pukul 10.20 WIB, berlangsung rapat di ruang meeting utama. Aku duduk di ujung meja dekat dengan Mr. Nilsson yang memimpin rapat. Jason duduk di sebelah kiriku, sedangkan Damar, Pak Herman, dan Bu Farah duduk di seberang meja kami. Mr. Nilsson masih membahas rencana kerja minggu depan yang mengharuskan kami melemburkan karyawan selama paling tidak dua jam sehari untuk mengejar deadline pengiriman ke Italia. Masalah ini muncul karena ada pekerja yang salah mengukur dan memotong kayu yang akan diproses menjadi kursi dan meja makan.

Damar sedang menjelaskan estimasi biaya lembur yang akan dikeluarkan dengan adanya perubahan rencana kerja itu ketika Jason menggeser buku catatannya sampai menyentuh pergelangan tanganku yang ada di atas meja. Aku melirik buku yang terbuka itu dan kemudian membaca tulisan Jason yang ada di sana.

You look like you had a great time last night.

Sial! Jason pasti sedang memperhatikan lingkaran hitam di bawah mataku. Kugeser buku itu kembali padanya. Dia kembali menulis sesuatu lalu menggeser bukunya lagi kepadaku.

Take a nap during the break. You really need it.

Aku menendang pelan kaki kanan Jason, berharap dia berhenti menggangguku. Aku tidak bisa berkonsentrasi menulis notulen meeting kalau dia terus mengalihkan perhatianku. Tulisan-tulisan itu dan bau parfumnya yang maskulin benar-benar membuatku tidak bisa berkonsentrasi.

"What do you think, Farah?" (Apa pendapatmu, Farah?) tanya Mr. Nilsson

Bukan aku yang ditanya, tetapi jantungku rasanya mau melompat keluar ketika Mr. Nilsson bertanya. Aku gugup karena aku sama sekali tidak menangkap apa yang dibahas di rapat ini. Lembaran yang terbuka di buku agendaku hanya tertulis hari, tanggal, nama peserta meeting, dan ... sudah hanya itu saja. Fokusku terganggu oleh dua pertanyaan, mau dibawa kemana hubunganku dengan Sam dan apa maunya Jason yang dari tadi mengusikku?

"Can we hire additional workers for a week? Just to make sure we won't have an overdue shipment." (Bisakah kita mempekerjakan pekerja tambahan untuk satu minggu saja? Supaya pengiriman kita tidak terlambat)

"If we hire new workers, we need to teach them first to do the job correctly. It will take time and I'm afraid that their job is not good enough to pass the QC,"  (Kalau kita mempekerjakan pekerja baru, kita harus mengajari mereka dulu. Itu butuh waktu dan saya khawatir hasil kerja mereka nggak akan lolos QC) jelas Pak Herman dengan logat Jawa yang kental.

"Has anyone talked to the client that we need more time to finish the order? Is it possible to defer the shipment?" (Apakah sudah ada yang mencoba bicara dengan klien kita? Apakah bisa kita menunda pengirimannya?) tanya Mr. Nilsson tidak sabar.

Tidak ada yang menjawabnya. Mr. Nilsson tampak gusar. Jari-jari tangannya yang gemuk mencengkeram sandaran tangan kursi rodanya. Pelipis kirinya berkedut-kedut. Kulit wajahnya yang pucat tampak memerah menahan marah. Rambutnya yang sebagian besar sudah memutih, pipinya yang gempal, dan perutnya yang membuncit membuatnya terlihat seperti Santa Claus yang sedang kesal.

"I'll talk to the client," (Saya akan bicara pada klien kita) kata Jason akhirnya.

"He's your friend. Persuade him," (Dia kan temanmu. Bujuklah dia) tekan Mr. Nilsson.

"I'll see what I can do," (Saya coba dulu)

kata Jason dengan senyum tipis.

Suasana ruang meeting terasa menegangkan ketika Mr. Nilsson meminta nama pekerja yang bertanggungjawab atas kesalahan ukur dan potong itu. Terjadi argumentasi yang sedikit alot ketika Pak Herman membela dua orang pekerja yang namanya disebut Damar.

Sial! Bukannya hilang, rasa kantukku malah bertambah ketika mereka berargumen. Aku menggoyang-goyangkan cangkirku, berharap masih ada sisa kopi yang bisa kuminum. Tinggal ampasnya saja ternyata.

You don't need more coffee. You need a nap!

Jason kembali menuliskan sesuatu di bukunya. Aku akhirnya mencorat-coret sedikit di buku itu membalas pesannya.

I know. Thank you for your concern.

Jason mengetuk-ngetukan ujung bolpoinnya di atas bukunya yang meninggalkan sedikit noda coretan. Dia mengarahkan pandangannya ke Mr. Nilsson dan Pak Herman secara bergantian. Benarkah dia memperhatikan apa yang mereka sampaikan? Atau dia cuma pura-pura saja seperti apa yang aku lakukan saat ini?

"Okay. Report it to me tomorrow before noon," (Baiklah. Laporkan pada saya sebelum besok siang)

kata Mr. Nilsson mengakhiri rapat itu dengan gusar lalu menjalankan kursi rodanya meninggalkan ruangan.

Aku buru-buru berdiri mengikuti atasanku itu kembali ke ruang kerjanya. Mati aku! Laporan apa yang ditunggu besok pagi?

"Do you need anything, Mr. Nilsson?"  (Ada yang Mister butuhkan?)

"No, Hayu. I'll go home now. I feel a little bit dizzy. I didn't sleep well last night." (Nggak, Hayu. Saya mau pulang sekarang. Saya sedikit pusing. Semalam saya nggak bisa tidur)

Ah, rupanya bukan cuma aku yang tidak bisa tidur semalam. "Sure, I'll ask pak Jono to drive you home." (Tentu saja. Saya akan minta Pak Jono mengantar Mister pulang.)

Setelah Mr. Nilsson pulang, Jason belum juga kembali ke mejanya. Kesempatan nih! Aku menelpon line Damar. Setelah dering kedua, dia menjawab teleponku.

"Halo," jawabnya dengan nada malas.

"Mar, ketemuan di pantry bentar dong," pintaku merajuk.

"Emoh. Aku harus manggil karyawan yang bikin Mr. Nilsson marah-marah di rapat tadi."

"Marah-marah kenapa? Siapa saja yang mau kamu panggil?"

Ada jeda sejenak di telepon, lalu terdengar suara Damar menghela nafas.

"Kamu nge-hang ya pas meeting?" tanyanya kesal.

Aku menelan ludah. Seram juga kalau Damar sedang kesal. "Bingung nih mau bikin notulennya bagaimana. Nggak ada yang nyantol di kepala karena aku lagi banyak pikiran. Please help me!"

"Ya sudah nanti pas makan siang saja," jawabnya pendek.

"Makasih Damarku sayang," kataku sebelum menutup telepon.

Aku mengetik apa yang dikatakan Damar di ponselku selama jam makan siang di kantin yang tampak ramai seperti biasanya. Kami duduk di meja yang berada di dekat pohon kamboja merah muda yang lebat. Tempat duduk yang sudah menjadi hak paten kami.

"Kowe ki lagi do ngopo?" tanya Mbak Maya pada kami sambil menyeruput es jeruknya.

"Tadi di tengah meeting ada yang sibuk pacaran, jadi nggak fokus bikin notulen," sindir Damar.

"Pacaran gundulmu. Pikiranku lagi semrawut," aku membela diri.

"Halah, aku liat Jason sama kamu tukar-tukaran pesan lewat buku catatan kayak anak SMA," Damar nyerocos lalu meminum kuah soto langsung dari mangkuknya.

"Dih, fitnah. Dibilangin pikiranku lagi semrawut kok."

Aku meletakkan ponselku lalu mengaduk-ngaduk mie ayam di depanku yang baru berkurang sepertiganya saja. Aneh, aku tidak merasa lapar padahal tadi pagi aku tidak sarapan.

"Mikir opo sih, Yu?" tanya Mbak Maya pelan.

"Laras mau dilamar Burhan, Mbak. Padahal mereka baru pacaran enam bulan."

Mbak Maya manggut-manggut mendengarkan. Dia tidak mengatakan apa pun, hanya menungguku bercerita lebih lanjut.

"Dua bulan lagi umurku 29 tahun, Mbak. Belum nikah. Boro-boro nikah, dilamar saja belum."

"Ya at least you have a boyfriend, Yu. I'm 29 and I'm so single," (Masih mending kamu punya pacar. Lha aku umur 29 dan jomblo) sahut Damar.

Mbak Maya mendelik ke arah Damar. Melihat sinyal itu, Damar diam sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Aku menopang dagu dengan tangan kiriku dan tangan kananku masih memainkan mie ayam yang sepertinya tidak akan sampai ke perutku.

"Jadi, kamu sedih karena Laras mau nikah duluan?" tanya Mbak Maya hati-hati.

"Enggak, Mbak. Bukan begitu."

"Lalu?"

"Aku sedih kenapa Sam belum ngelamar aku. Padahal aku sama dia sudah pacaran lama. Aku jadi mikir, sebenarnya aku ini kurang apa? Salahku dimana?"

"Sudah pernah coba ngomong ke Sam masalah ini?"

Aku menggeleng. Damar dan Mbak Maya bertukar pandang.

"Maybe it's time to talk about it (Mungkin sudah waktunya untuk membicarakannya). Cuma saran sih, Yu," kata Mbak Maya pelan.

"Ngomongnya mulai dari mana? Masa tiba-tiba aku minta dinikahi?"

"Nggak tiba-tiba dong namanya. Wong kalian sudah lama pacaran."

"Mauku dia yang buka omongan tentang ini, Mbak."

"Ya nyatanya kan dia nggak pernah bahas itu. Kamu masih mau nunggu?"

"Hidup tiap orang tuh fasenya beda-beda, Yu. Ada yang nikah umur 22, ada yang sudah punya anak umur 19, ada juga yang baru umur 25 sudah nikah dua kali. Nggak masalah Laras nikah duluan. Karena hidup kan bukan balapan buat cari pemenang siapa yang paling cepat melakukan sesuatu," kata Damar menengahi.

"Benar. Tapi umur Hayu sebentar lagi 29 tahun, Mar. Aku sebagai sahabat kok nggak terima kalau dia dipanggil perawan tua," Mbak Maya menggerutu.

Aku menyeruput es tehku yang rasanya mulai sedikit tawar karena sebagian esnya sudah mencair. Perawan tua. Dulu siapa sih yang pertama kali menemukan istilah keji itu? Membayangkan diriku dipanggil perawan tua membuatku bergidik. Jangan-jangan selama ini sudah banyak orang yang menjulukiku perawan tua di belakangku?

"Kamu bukan Jack dan Laras bukan Rose di Titanic. Kamu nggak perlu bilang you jump, I jump. Sepupumu nikah, ya sudah. Kamu kan nggak harus nikah juga," kata Damar membuyarkan lamunanku.

"Kamu benar, Mar. Tapi Mbak Maya juga benar. Aku nggak mungkin nunggu Sam terus karena kenyataannya sampai sekarang dia nggak pernah membahas pernikahan sama sekali. Aku yang harus memberanikan diri memulainya."

Mbak Maya mengepalkan tinju di udara merasa lega aku mengikuti sarannya. Damar hanya tersenyum tipis sambil beberapa kali menepuk bahuku.

Apa susahnya sih ngomong sama Sam tentang pernikahan? Aku mulai memikirkan skenario-skenario yang masuk akal untuk memulai pembicaraan tentang pernikahan dengan Sam. Tidak bisa dihindari, otakku yang kreatif juga membayangkan macam-macam reaksi yang akan Sam tunjukkan. Tentu saja, hanya reaksi-reaksi yang buruk yang melintas di benakku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status