Share

Bab 7

Kita tidak bisa memilih bekerja dengan siapa.

Atasan suka menuntut? Terima saja.

Rekan kerja menyebalkan? Hadapi saja.

Bisa saja kita memilih mau bekerja dengan siapa,

asalkan kita yang jadi direkturnya.

Sudah dua minggu berlalu sejak kedatangan Jason di Nilsson Home. Ruanganku tidak pernah sepi sekarang. Selalu saja ada yang datang menemuinya. Dia bahkan lebih sibuk dari Mr. Nilsson beberapa hari terakhir ini. Sebenarnya aku masih bertanya-tanya sampai mana wewenang Jason di perusahaan ini.

Pukul 11.55, Jason baru saja menyudahi diskusinya dengan Mas Roni, senior drafter, tentang desain ranjang tidur pesanan klien dari Denmark

yang berlangsung selama tiga puluh menit non stopWell, tiga puluh menit tadi itu memecahkan rekor. Biasanya Jason hanya menghabiskan paling lama lima belas menit untuk mendiskusikan sesuatu.

"Hayu, how many times a day do you go upstairs to get coffee?" (Hayu, berapa kali sehari kamu naik ke atas untuk buat kopi?) tanyanya tiba-tiba.

"I never count," (Saya nggak pernah menghitungnya) jawabku sambil membuka sebuah amplop dengan cutter.

"What do you say if we have another pantry on this floor?" (Kalau kita punya satu pantry lagi di lantai ini, bagaimana?)

Aku meletakkan amplop tadi lalu memutar kursiku ke arahnya. Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, Jason sangat enak dilihat. Kaos henley lengan panjang warna biru muda, celana corduroy warna abu tua, dan buck shoes warna putih yang dipakainya membuat Jason terlihat seperti seorang model pria yang keluar dari majalah fashion pria.

"That is absolutely a good idea," (Ide yang luar biasa) kataku.

"I know, right? I'll talk to Karl about it." (Iya kan? Saya akan bicara pada Karl)

"Do you think Mr. Nilsson will approve it?" (Menurutmu Mr. Nilsson akan setuju?)

"He'd better do." (Dia harus setuju)

"Or what?" (atau apa?)

"Or I start installing a coffee machine here on my desk.(atau saya akan memasang mesin kopi di atas meja saya)

Aku tertawa pendek sambil membayangkan hal itu di kepalaku lalu memutar kembali kursiku. Aku melanjutkan membuka amplop surat dari Kantor Kelurahan Timbulharjo tadi. Aku masih berkonsentrasi membaca surat itu ketika Jason berdiri merenggangkan tangannya ke atas dan menggerak-gerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Salah satu kebiasaan Jason adalah merenggangkan otot kalau dia sudah terlalu lama duduk.

"It's six to seven times," (Kira-kira enam sampai tujuh kali) katanya lagi. 

"Hah?" aku menoleh ke arahnya.

Jason berjalan ke depan mejaku. Dia meletakkan kedua tangannya di atas mejaku, di samping kanan dan kiri laptopku tepatnya. Aku mendongak melihatnya yang balik menatapku. Berapa sih tingginya? 180 sentimeter? Atau 185 sentimeter?

"You go upstairs from six to seven times a day," (Kamu naik ke atas bisa enam sampai tujuh kali) katanya pelan.

Aku terkesiap. Jadi selama ini dia menghitung berapa kali aku mondar-mandir ke pantry. Dasar bule kurang kerjaan!

"So, your point is?" (Jadi maksudnya?) aku memancingnya untuk bicara lagi.

"If we have our own pantry on this floor, you should thank me." (Jika nanti kita punya pantry di lantai ini, kamu harus berterima kasih pada saya)

"Of course I will thank you. Why wouldn't I?" (Tentu saja. Kenapa tidak?)

"Good. I'll let you know how thank me later,"  (Bagus. Saya akan memberitahumu nanti bagaimana cara berterima kasih pada saya)

katanya disusul bunyi bel jam istirahat.

Aku masih belum selesai memakan lotek ketika Mbak Maya menghampiriku sambil membawa sepiring rujak. Dia duduk di sebelahku. Sedangkan Damar duduk di depan kami. Dia sedang sibuk melakukan dua hal sekaligus, mengelap keringat dan menyantap soto panas.

"Aku tadi lihat ada adegan romantis, Mar!" kata Mbak Maya antusias.

"Di YouTube, Mbak?"

"YouTube lewaaaaaat. Ini live!" Mbak Maya menguyah sepotong mangga muda.

Damar melirik ke arahku meminta jawaban tentang adegan romantis apa yang dimaksud. Aku cuma mengedikkan bahu tanda tidak tahu menahu. Mbak Maya tiba-tiba berdiri lalu mencondongkan tubuhnya ke tengah meja. Tanpa disuruh, aku dan Damar kompak menghentikan makan siang kami dan siap mendengar gosip baru dari Mbak Maya.

"Jadi ya... ada bule ganteng yang kerja di sini. Dia tuh tadi berdiri begini di meja salah satu staf di sini," dia mempraktekkan posisi Jason tadi ketika berbicara denganku sebelum bel istirahat berbunyi. "Terus si bule ngomong gini, I'll let you know how to thank me later," Mbak Maya menyudahi ceritanya dengan puas lalu duduk dan memakan rujaknya lagi.

Damar tersenyum. Dia mulai paham gosip ini tentang siapa.

"Kira-kira itu bahas apaan ya, Mbak? Kayak habis dikasih sesuatu gitu ya," pancing Damar.

Mbak Maya nyengir, "Tanya langsung ke orangnya yang diajak mesra-mesraan tadi, Mar. Aku telat nonton adegannya."

"Repot punya temen mulutnya ember semua," aku merengut.

"Cerita dong, Yu. Jason naksir kamu ya?"

"Mana mungkin dia naksir aku? Fantasimu lho, Mbak."

"Tapi tadi aku lihat caranya lihat kamu, caranya ngomong sama kamu beda banget. Kayak orang naksir lah pokoknya, Yu."

"Cara dia ngomong ya memang begitu. Biasa saja," kilahku.

"Wah, berarti sudah biasa ya si Jason seromantis itu sama kamu?"

"Bisa nggak sih kita bahas yang lain saja?" tanyaku menghindar.

"Sam tahu nggak kalau kamu seruangan cuma berdua sama Jason?" tanya Mbak Maya dengan mulut yang masih mengunyah potongan mangga muda. Dia masih tidak rela mengganti topik pembicaraan tentang Jason.

"Tahu lah," jawabku berbohong.

"Dia nggak cemburu?"

"Enggak."

"Kamu sudah nunjukin foto Jason ke Sam?" tanya Damar setelah diam dari tadi.

"Lah, aku mana punya foto Jason? Lagian buat apa nunjukin fotonya ke Sam?"

"Begini ya, kalau pacarku punya temen kantor seganteng dia, trus di ruangan cuma berdua, aku bakal cemburu banget kalau dia nggak cerita. Berarti kan ada yang ditutup-tutupi," sambar Damar panjang lebar.

"Gini ya Damaaaar... satu, ruanganku sama Jason nggak ada pintunya. Orang bisa kapan saja lihat aku sama dia lagi ngapain di dalam. Dua, kamu nggak punya pacar. Jadi nggak usah mikir yang aneh-aneh deh."

"Lho, kenapa jadi status jombloku yang diungkit-ungkit?" protes Damar.

"Udah ah nggak usah dibahas lagi."

"Serius deh, Yu. Kalau aku yang satu ruangan sama Mas Bule, jiwaku bakal sejuk seharian. Nggak bakal ngerti bete itu kayak gimana rasanya. Kalau aku masih single, aku godain deh dia," Mbak Maya melap mulutnya dengan tisu.

"Ternyata Mbak Maya sudah gabung di Jason fan club.

Kamu juga, Mar?"

"Edan kowe, Yu!" jawab Damar pendek

"Ya maklum, Yu. Bule ganteng di sini kan cuma dia. Kalau dia berjodoh sama kamu, kita sebagai teman kan ikut seneng. Ya kan, Mar?" Mbak Maya menyikut lengan Damar.

"Mar, rekrutlah bule yang lebih ganteng dari Jason. Biar Mbak Maya nggak kepanasan."

"Gundulmu, Yu. Di sini bule cuma dua orang dan dua-duanya nama belakangnya Nilsson. HR bisa apa?"

Mbak Maya tertawa kecil, puas mendengar jawaban Damar. Aku cemberut saja. Dalam hati, lagi-lagi aku membenarkan apa yang dikatakan Mbak Maya. Berada di satu ruangan dengan Jason memang menyenangkan. Kalau mataku mulai perih karena terlalu lama melihat layar laptop, aku tinggal menoleh ke sebelah kanan dan pemandangan terbaik yang ada di Nilsson Home sudah ada di depan mataku. Keberadaannya memang seperti oasis yang menyejukkan jiwa. Bagi jiwa yang gersang tentunya. Jiwaku kan sudah sejuk dengan keberadaan Samudra. Eh, benar begitu kan?

-.-.-.-.-

Aku hampir saja terlambat masuk kerja pagi itu. Air PDAM di rumahku mati sejak kemarin sehingga aku terpaksa mengungsi mandi di rumah orang tua Laras. Walaupun rumah mereka hanya berjarak lima puluh meter, tetap saja merepotkan membawa peralatan mandi dan baju ganti ke sana. Alhasil pukul 07.55 WIB jempolku baru menempel di mesin absensi.

Ketika memasuki ruanganku, aku sedikit terkejut mendapati Anita sedang duduk di kursiku dengan santainya. Pagi itu dia memakai blazer H&M kotak-kotak yang tidak dikancingkan sehingga memperlihatkan belahan dadanya yang menyembul dari tank top hitam berleher rendah di balik blazer itu. Posisi duduknya dengan kaki yang menyilang jelas sekali memamerkan kakinya yang mengenakan stockings dan stiletto warna beige bertumit tinggi, paling tidak sekitar tujuh sentimeter, yang baru kulihat pagi ini.

"Eh, yang punya meja sudah datang," sapa Anita dengan nada riang yang sedikit dipaksakan.

Aku tersenyum padanya sambil meletakkan tasku di atas meja. "Dari tadi di sini, Nit?"

"Iya, Mbak. Kasihan Mr. Jason pagi-pagi di ruangan sendirian."

Kasihan gundulmu! Dia di sini mau kerja, bukan mau haha-hihi sama kamu, batinku. "Sepatumu baru, Nit? Nggak sakit pakai heels tinggi begitu?"

"Ah, yes. I just bought them yesterday (Ah, iya. Saya baru beli kemarin). Nggak nyangka Mbak Hayu perhatian banget," Anita berdiri lalu berjalan berlenggak lenggok mendekati meja Jason. Ah, akhirnya dia berdiri juga dari kursiku! Aku segera duduk di kursiku supaya dia tidak bisa duduk lagi.

"What are you talking about?" (Apa yang kalian bicarakan)

tanya Jason menoleh padaku

Aku baru mau membuka mulut untuk menjawabnya, tapi Anita lebih dulu menyahut "She noticed that I'm wearing new shoes." (Dia tahu kalau saya memakai sepatu baru)

Jason mengarahkan pandangannya ke sepatu Anita.

"It must be painful wearing those shoes," (Pasti sakit memakai sepatu itu) kata Jason singkat.

"Beauty is pain." (Cantik itu sakit)

"I never see you wearing high heels," (Saya nggak pernah melihatmu memakai high heels) kata Jason menoleh ke arahku lagi.

"She's tall. She doesn't need any of them," (Dia tinggi. Dia nggak butuh high heels) sahut Anita dengan sedikit nada kesal yang membuatku cukup terhibur.

"You're right. She's quite tall compared to other girls here," (Kamu betul. Dibandingkan gadis-gadis lainnya di sini, dia cukup tinggi) kata Jason lagi.

170 sentimeter gitu lho, batinku girang.

"But most men like short girls because they are cuter," (Tapi sebagian pria suka gadis pendek karena mereka lebih imut) balas Anita cepat.

Dia punya masalah apa sih? Kenapa dia tidak bisa membiarkan orang lain senang? Di saat yang tepat, bel masuk berbunyi. Anita merapikan roknya yang panjangnya hanya sampai di atas lutut dengan pose menunduk yang sedikit berlebihan sehingga semakin menonjolkan belahan dadanya. Ukuran 34C kah itu? Dasar tukang pamer.

"Let's have lunch together later, Mister," (Nanti kita makan siang bareng yuk, Mister) ajak Anita ke Jason secara terang-terangan mengabaikanku yang ada di situ.

"I'm gonna pass. I'm going out for an appointment," (Maaf, saya sudah ada janji) jawab Jason ramah.

"Oh...I see. Maybe tomorrow?" (Oh, bagaimana kalau besok?) tanya Anita lagi.

Gigih juga nih anak, batinku kecut.

"We'll see," (Lihat saja besok) jawab Jason sambil lalu.

Jason dengan cepat mengalihkan pandangannya ke layar laptopnya. Jari-jarinya mulai mengetik sesuatu di atas keyboard. Anita yang masih berdiri di depan mejanya terlihat sedikit kecewa dengan jawaban yang menggantung itu. Tapi akhirnya dia keluar juga dari ruangan kami karena merasa canggung tidak lagi diperhatikan Jason.

Aku tersenyum puas melihat adegan itu. Setidaknya rasa sebalku tadi terobati. Sambil bersenandung pelan, aku berjalan ke ruang Mr. Nilsson yang masih kosong. Kuambil mug kopi kotor yang dipakai Mr. Nilsson kemarin lalu kembali ke mejaku lagi untuk mengambil mug pink milikku yang juga masih kotor.

"Are you going to make some coffee?" (Kamu mau buat kopi) tanya Jason mengalihkan pandangannya dari layar laptop ke arahku.

"Yes. Do you want some?" (Iya. Mau kopi juga?)

"Yes, please." (Iya)

"Coffee and milk, no sugar. Right?" (Kopi dan susu, tanpa gula, kan?)

"As always. Thank you," (Seperti biasanya. Terima kasih) Jason tersenyum memamerkan lesung pipi di pipi kirinya.

Aku memegang dua mug tadi dengan tangan kiriku lalu meletakkan tatakan gelas Jason di atas mugnya dengan tangan kananku. Aku masih berusaha mengambil mug itu dari atas mejanya ketika Jason tiba-tiba berdiri dari kursinya.

"Anita must not know so many men," (Anita pasti tidak begitu banyak mengenal pria) katanya.

"Why do you think so?" (Kenapa Mister bicara begitu?) tanpa sengaja aku menjatuhkan tatakan gelas ke atas mejanya.

"Some men are like Tom Cruise," (Beberapa pria seperti Tom Cruise) Jason meletakkan tatakan gelas yang jatuh tadi di atas mug yang kugenggam. "They think tall women are irresistible," (Mereka pikir wanita tinggi lebih menggoda) lanjut Jason dengan jari-jari tangannya yang masih memegang mug di tanganku.

Aku sedikit mendongak. Serius deh, berapa sih tinggi Jason? 180 atau 185 sentimeter?

"Are you one of them?" (Apakah kamu salah satu dari pria yang berpikir begitu?) tanyaku menanggapinya.

"Have a guess." (Tebaklah)

Kami saling pandang sebentar sampai akhirnya aku pamit menuju pantry. Canggung sekali situasi tadi. Apa coba maksudnya mengatakan kalau beberapa pria menyukai perempuan yang tinggi?

Setelah sampai di pantry, aku mencucitiga mug tadi sambil melamun. Mungkin perasaanku saja, tapi sepertinya tadiJason mencoba flirting denganku. Ah,mana mungkin Jason suka sama aku kalau ada Anita yang terang-terangan mencobamenarik perhatiannya. Lelaki mana sih yang tidak tertarik dengan pertunjukanbelahan dada dan kaki berstoking yang dilakukan Anita tadi? Duh, kenapa akuharus memikirkan Jason? Lebih baik memikirkan cara untuk meminta Sam menikahikukan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status