Sia berjalan ke sana kemari seperti bayi yang baru bisa menginjakkan kedua kakinya ke bumi untuk pertama kalinya. Dia bahagia, tentu saja.
Yoan bahkan sudah menghubunginya empat kali dalam tiga puluh menit. Itu merepotkan, tapi Sia tidak merasakan bahwa Yoan membebaninya. Sama sekali tidak.
“Jangan terlalu banyak berjalan. Kedua kakimu masih belum terbiasa dan bisa saja terluka jika kau memaksakan diri.”
“Baik, Yoan. Aku mengerti.” Sia cekikikan. Merasa seperti baru kali ini hal baik terjadi dalam hidupnya.
“Jangan lupa kirimi aku pesan ke mana saja kau pergi dan di mana kau menungguku.” Yoan mengingatkan lagi.
“Baik, Tuan Yoan Bailey. Aku mengerti.”
“Senang mendengar kau memahami maksudku, Sia. Sampai nanti.”
“Sampai nanti, Yoan.”
Panggilan berakhir, setitik dua titik air dari langit jatuh semakin lama semakin deras. Untuk pertama kalinya setelah sekian la
“Yang kuinginkan?” Vanth menaikkan kedua alis matanya yang hitam lebat menawan. “Inilah yang kau inginkan, Galexia Pandora.”“Apa maksudmu? Kau bicara seolah-olah aku mengingat semua masa laluku. Apa kau—”Vanth mencium bibir Sia, menghentikan semua aliran darah di tubuh Sia kecuali di kepalanya. Tubuh Sia tidak bergerak sama sekali, masih dikendalikan oleh Vanth sepenuhnya. Hanya kedua mata Sia yang mengerjap-ngerjap karena terkejut.Vanth bicara di depan bibir Sia, masih bisa melihat bibir wanita itu bergetar. “Sampai kapan pun, kau tidak akan pernah bisa mengalahkanku, Galexia.”Kembali melakukan hal yang sama, Vanth menggigit lembut bagian bawah bibir Sia. Melakukannya lagi dan lagi, sementara Sia hanya bisa diam. Untuk kali keempat, Sia baru bisa menikmati sensasinya dan mengikuti alur ciuman Vanth.Sia seakan lupa siapa yang dicintainya, siapa yang dipujanya, siapa yang selalu ada untuknya
“Menemuimu. Memangnya ada yang lain?” Sia memijat keningnya. “Pelankan suaramu. Yoan bisa saja ke dapur untuk membuat sesuatu.” Tawa Vanth membahana di seluruh kamar mandi. Bergema dan membuat Sia panik. “Tidak bisakah kau menjaga agar keadaan tetap aman?” Sia membekap mulut Vanth. Kedua mata pria itu menyipit karena dia sedang tersenyum lebar saat ini. Vanth menarik tubuh Sia hingga terduduk dipangkuannya. Jantung Sia yang berdetak-detak ribut semakin menarik minat Vanth untuk menikmati wanita yang sudah dibuat hidup dan mati berulang kali oleh kekuatan si Pemimpin negeri atas awan ini. “Semua aman terkendali. Jangan samakan aku dengan manusia biasa. Kau mengerti, Sayang?” Sia merasakan tangan Vanth menuntun kedua lengannya untuk dilingkarkan di leher pria itu. Sedangkan telapak tangan Vanth yang kiri mulai menjelajahi tubuh Sia. “Oh, ya ampun. Jangan lagi, kumohon.” Sia meminta dengan suara yang lirih. Menahan diri dan hasrat yang in
Sudah tiga puluh satu hari berlalu, dan ketika Yoan berniat menemui Ivory Evangeline, wanita itu justru muncul dihadapannya.Pagar masih setengah terbuka, Yoan berniat lari pagi sebentar, tapi wanita bergaun putih gading dengan model yang berbeda dari sebelumnya itu tersenyum samar pada Yoan.“Sejak kapan kau di sini?” Yoan terkejut. Dia melihat ke sekeliling. Beruntung Sia pamit ke toko roti pagi-pagi sekali tadi sehingga dia tidak perlu menjelaskan siapa wanita dihadapannya ini kepada istrinya.“Sejak malam berganti pagi.” Ivory masuk, melewati pagar yang setengah terbuka.Yoan kaku seketika. Bagaimana jika Sia pulang dengan tiba-tiba? Mana mungkin istrinya itu percaya bahwa Ivory Evangeline adalah salah satu teman kantor atau rekan kerjanya.Penampilannya saja sudah sangat mendukung bahwa Ivory bukan temannya. Hari ini dia mengenakan dress putih gading bergaris dengan warna yang sama, terlihat sangat klasik menggunakan de
“Kau ingat nomor yang bisa dihubungi?” Pria itu coba tidak bertanya ‘kenapa bisa dan mengapa’ dan lebih memilih menanyakan kontak yang mungkin bisa membantu Sia kembali ke rumah, pada keluarganya.Sia menggeleng muram. Dia merasa dirinya seperti bukan miliknya. Sesuatu terjadi pada ingatannya. Bahkan tadi dia pergi tidak membawa ponsel, karena mengira hanya ke toko roti dan tidak akan berlama-lama di sana.Berpikir sejenak, akhirnya pria itu memutuskan. “Siapa namamu?”“Aku ... Galexia Pandora.” Sia menatapnya, dan pria itu memegang kepala sesaat. Seperti menahan rasa sakit. “Anda tidak apa-apa?”“Tidak, aku tidak apa-apa.” Dia menggeleng pelan. Kepalanya berdenyut hebat ketika wanita ini menyebutkan namanya. “Aku Rigel Auberon.”Sia mengangguk. “Terima kasih sudah membantu, Tuan Rigel.”“Aku belum membantumu apapun. Ayo, kuantar kau ke kant
Rigel tertawa. “Memangnya kau tahu arah menuju ke apotek?”Sia menggeleng. “Kupikir kau punya persediaan di kotak obatmu.”“Tidak. Aku dan mantan istriku tidak peduli hal-hal seperti menyediakan obat-obatan di kotak obat. Jika sakit atau terluka, kami biasa langsung ke Dokter.”Sia tahu bahwa setiap rumah tangga dan keadaan rumah orang lain pada umumnya berbeda-beda. Tapi rasanya, jika untuk hal sepele mereka tidak saling peduli, itu bisa berarti ada jarak dalam hubungan mereka. Sia menjabarkannya seperti itu.“Tapi mungkin aku bisa coba pergi membeli salep atau obat untukmu. Kau hanya—”“Tidak.” Rigel menggeleng sambil tertawa. “Aku lebih tenang jika kau tetap berada di sini. Mungkin kau berhasil pergi, tapi gagal kembali jika kau benar-benar buta arah.”Sia mengangguk. Benar, ini tepat. Dia buta arah sejak keluar dari toko roti. Tidak salah lagi. “Apa sebai
Sudah tidak begitu canggung lagi, Sia tahu jika menggaruk bukanlah kegiatan yang menggunakan kelembutan. Jadi Sia langsung menggaruk, serupa mencakar di bagian yang di sebutkan Rigel.“Benar yang ini?”Rigel mengangguk. Menikmati penderitaannya hilang perlahan-lahan karena Sia. “Wah, tepat sekali. Terima kasih, Sia. Kurasa sudah cukup.”Sia kembali ke posisinya, duduk dan melipat kedua tangan di atas meja, lalu mulai berpikir tentang perjalanannya dari rumah ke toko roti. Tetap tidak terlintas apapun. Seolah semuanya percuma. Hilang dalam sekejap, tidak dapat kembali.Ketika suara bel pintu depan berbunyi, Sia bangun dari duduknya. “Boleh aku yang membukakan pintu?”“Silakan.”Pesanan Rigel tiba. Ada beberapa obat-obatan pereda nyeri, kasa steril, dan salep. Sia segera mengeluarkan semuanya di atas meja.“Kau bisa melakukannya?” Rigel tampak ragu, memang ragu. Dia selalu terb
“Dasar manusia sampah.” Vanth memutar tubuh. Membatalkan niatnya mengunjungi Sia di rumah Yoan. Vanth kehilangan jejak Sia sejak pagi.“Tuan, sepertinya Miria juga membuat Sia memakan ganggang emas.” Adlin sengaja mengalihkan Vanth. Pemimpin negeri atas awan itu pasti sedang melihat dua Anak manusia tengah bercinta di penglihatannya yang menembus dinding, meski mereka tidak menginjakkan kaki ke rumah Yoan.“Bukan sepertinya. Itu memang yang sengaja dia lakukan.” Sekarang Vanth tidak bisa untuk tidak peduli. Miria sungguh-sungguh, sementara dia sudah mulai kehilangan. Secara perlahan-lahan, hampir tidak disadarinya.“Apa itu artinya, Rigel dan Sia sudah bertemu saat ini?” Adlin menebak dan tidak asal menebak, dia bertaruh untuk itu.“Aku tidak tahu. Jika sudah berada di sini, kekuatanku memiliki batasan. Tapi sejak awal, keberadaan Rigel memang selalu samar dalam penglihatanku.”Adlin
“Tentu. Coba cium aku.” Rigel memajukan wajahnya, “Maaf, tapi aku tidak bisa memegang wajahmu.”Sia tersenyum, jantungnya berdebar-debar tidak karuan. Tapi Sia coba memulai dari kening, mengecup pelan, lalu turun ke mata. “Tutup matamu, Rigel.” Pria itu menuruti Sia, dan kecupan lembut mendarat bergantian di kiri kanan mata Rigel.Lalu menuju hidung, hidung yang indah. Lurus dari ujung hingga pangkal. Sia mencium dua kali di sana. Dia berhenti sesaat untuk melihat wajah Rigel yang mulai memerah. Tersenyum, dia coba berbisik untuk mengganggu Rigel.“Apa sudah cukup? Atau—”“Lanjutkan, Sia. Aku belum mendapatkan bibirmu.” Sungguh-sungguh, Rigel menatap lekat pada Sia. Menanti dan menikmati kemudian.Meski rasanya seperti wanita murahan, Sia tetap melakukannya. Mencium dengan segenap rasa nyaman yang muncul secara tidak terduga.“Manis,” bisik Rigel, lirih. Dia menyuk