Naufal meruntuki kebodohannya, merasa tidak becus menjadi seorang suami. Tidak tahu sedikit pun tentang Hanan. Ya, meskipun ia sadar, pernikahan mereka seperti sebuah permainan belaka. Ia juga paham betul, Hanan belum sepenuhnya menerima pernikahan mereka. Dirinya sendiri juga masih berusaha untuk menerima takdir."Apa Hanan akan marah padaku?" gumam Naufal.Tubuh yang letih usai pulang kerja, ditambah melihat situasi seperti itu. Semakin membuat hati Naufal tidak tenang. Ia memilih menuju dapur, berniat memberikan segelas air putih hangat pada Hanan. Setidaknya ia masih punya rasa iba pada sang istri, meskipun tidak ada rasa cinta.Ceklek...Hanan terlihat meringkuk di atas tempat tidur. Sepertinya sudah tertidur dengan pulas. Tubuh yang tertutup selimut terlihat tidak bergerak sama sekali. Naufal tidak tega juga membangunkan Hanan. Memilih untuk segera membersihkan diri. Mata sudah tidak bisa diajak kompromi, ingin segera berlabuh di pulau kapuk."Kirain pemberani, galaknya minta am
Hanan menyunggingkan senyum manis. Sangat manis, bahkan Naufal saja tidak pernah melihat Hanan tersenyum seperti itu. Karena mereka jika bertemu pasti seperti Tom and Jerry. Hanan sebenarnya gadis manis dan baik pada semua orang. Tetapi sayang sekali, tidak untuk Naufal seorang. "Katakan saja, sayang. Mami gak akan marah sama kamu kok," ucap Ayana."Apa yang harus Hanan katakan, Mi?" tanya Hanan."Matamu gak bisa berbohong, Hanan. Apa Naufal bersikap buruk padamu?"Sebaik ini Mami mertua, berbanding terbalik dengan Naufal yang menjengkelkan."Apa pun itu, tetap kamu menantu kesayangan Mami. Kamu bukan orang lain yang masuk ke dalam kehidupan Naufal, jadi jangan bersikap seolah-olah kalian dua orang asing. Perjuangkan yang sudah mutlak menjadi milikmu. Mami bukan hanya mertua kamu, tapi juga seorang ibu untukmu. Gak perlu sungkan buat cerita ke Mami, jika Naufal salah. Jangan kamu pikir Mami akan tetap membelanya, seperti kisah mertua kejam. Mami akan memihak yang benar."Semakin panj
Ayana yang awalnya berencana hanya akan menginap satu malam saja, berubah pikiran mendadak. Ia memilih menambah waktu lagi untuk bercanda dan berbagi cerita dengan sang menantu, apalagi terlihat keduanya sangat klop. Ayana bahkan tidak menggubris Naufal, yang jelas-jelas putra kandungnya. Ia hanya akan mengomel pada Naufal. Semua geraknya menjadi tidak bebas saat ada Ayana.Seperti pagi ini, Hanan yang juga kebetulan hendak berangkat bekerja, sama seperti Naufal. Tentu bukan hal aneh lagi, jika keduanya mengurus diri masing-masing. Kebetulan pula mereka tidak pernah berangkat bekerja di jam yang sama. Baru kali ini mengalami, lebih parahnya ada sang mami. Sepertinya akan ada drama di pagi hari."Kalian mau ke mana?" tanya Ayana.Terlihat Hanan yang sedang sibuk memakai sepatu dan Naufal yang sudah terlihat bersiap-siap hendak berangkat.Hanan menoleh. "Kerja dong, Mi. Biar banyak uang, bisa jalan-jalan, shopping sepuasnya pakai uang hasil keringat sendiri."Tidak tahu saja, ucapan Han
Hanan menganggap hal biasa saja. Menghampiri Ayana dan Manda yang sudah duduk berdampingan. Terlihat sangat akur sekali berbesanan jika seperti itu. Sungguh langka rasanya. Apalagi di zaman sekarang, kebanyakan kepada besan sering saling menyindir dan membicarakan keburukan. Padahal tidak ada bedanya satu sama lain. Namun, anehnya ketika berjumpa seolah-olah teman akrab dan dekat.Sepertinya kedekatan Ayana dan Manda berbanding terbalik dengan hubungan anak mereka masing-masing. Hanan dan Naufal sudah pasti berada di kubu yang berbeda. Mirip Tom and Jerry yang tidak pernah akur jika berjumpa. Hm, sepertinya jika sedang menonton tayangan cartoon tersebut, mereka terkadang akur meskipun sebentar. Sedangkan Hanan saja selalu mengeluarkan taringnya jika sudah berhadapan dengan Naufal."Mukanya gak usah tegang gitu, kayak nahan BAB aja," celetuk Ayana."Muka siapa, Mi?" tanya Hanan."Kalian dong. Masa muka kita berdua sih?" timpal Manda.Terlihat jelas bukan? kekompakan dua wanita satu gen
Mata Hanan tak sengaja menatap Manda. Ada raut sendu yang tergambarkan. Mungkin Manda tak menyadari. Namun, Hanan menyadari hal tersebut. Ikatan batin antara Ibu dan anak itu kuat. Tidak perlu berbohong untuk menutupinya. Terkadang orang memilih untuk berpura-pura tidak tahu apa-apa.Manda memang terlihat lebih banyak diam dibandingkan Ayana. Hanya sesekali menyela dan ikut nimbrung. Ia juga terlihat tak secerewet saat sedang berkumpul dengan teman-teman arisannya, tentu saja ada Ayana didalamnya."Mama kenapa?" Akhirnya lolos juga pertanyaan seperti itu dari bibir Hanan.Manda hanya menggelengkan kepala, tersenyum pada Hanan. Seolah-olah mengatakan bahwa ia baik-baik saja. "Mama bohong? Katakan saja, ada apa?" desak Hanan."Sini, biar Mami kasih tau." Ayana menimpali.Hanan menoleh, menatap Ayana yang tersenyum hangat padanya."Sayang, segalak apa pun seorang ibu, tetap akan merasa kehilangan ketika harus berpisah dengan anaknya. Bagaimana juga sikap beliau pada kita sebagai seorang
Hanan sibuk memilih beberapa snack, hingga tanpa sadar troli belanja sudah penuh dengan aneka ragam. Ia tidak memperdulikan Naufal yang terlihat mulai bosan mengikuti langkahnya dari belakang. Ah sesekali memberi pekerjaan tambahan. Sepertinya tidak ada masalah, tidak setiap hari juga. Jarang-jarang makhluk modelan seperti Naufal mau berbaik hati pada Hanan. Namanya pergunakan kesempatan dalam kesempitan dengan baik."Cuman mau beli snack doang buat Papa," sindir Naufal.Hanan menoleh, menatap sinis wajah Naufal. Benar-benar cerewet sekali, entah mengidam apa dulu Mami Ayana. Afa, sang adik ipar, sepertinya tidak sebawel Naufal. Jangan-jangan anak pungut, yang bernasib baik. Eh, tetapi kalau diperhatikan wajah Naufal mirip sama Mami Ayana."Mau beli apa lagi sih?" gerutu Naufal saat melihat Hanan mendekatkan diri ke baris yang berisi body lotion dan sejenisnya."Terasi udang.""Gak salah? Jangan ngigau dong, Nan!""Udah tau salah, ngapain nanya. Kamu 'kan bisa liat, Aku lagi milih apa
Sanga gila sekali, memang perlu diapresiasi dengan tepuk tangan meriah. Seolah-olah sikap Naufal itu adalah sebuah hal wajar dalam membela orang yang ia cintai. Bahkan sampai lupa diri dan tidak menghargai Hanan sama sekali. Melukai hati Hanan tadi, mengapa baru sadar sekarang dan meminta maaf? Selambat itukah otak dan hati Naufal bekerja?"Hanan!"Hanan kembali tersentak dari lamunan, Ia sibuk berperang dengan isi pikirannya. Memilih mengabaikan pesan dari Naufal. Tidak ada gunanya. Terlalu rumit dan melelahkan, dulu ia percaya kehidupan drama rumah tangga yang rumit hanya ada di televisi. Nyatanya ia kini merasakan."Iya, ada apa, Mama?" Hanan menghampiri Manda yang memegang sapu di depan teras rumah."Kamu ngapain ngelamun di depan gerbang? Lah, terus mana Naufal? Bukannya tadi bareng mau ke rumah papimu? Kamu pulang pakai apa?" cerca Manda.Hanan mengendikkan bahu acuh. Bersyukur yang memergoki bukan Ayana. Jadi, Hanan tidak perlu berakting dan mencari alasan menutupi segalanya. S
Hanan tersenyum melihat kegugupan Naufal. Menghela napas, perlu persiapan juga untuk berbicara."Gak usah grogi gitu. Bukannya tadi kamu bilang kita selesaikan di rumah baru? Hm, jangan dipikirkan, nanti bisa-bisa kamu ngompol di celana. Sudahlah, ayo kita berangkat!" ujar Hanan.Hanan tidak lagi menghiraukan Naufal. Meraih tote bag yang menggantung, lalu memasukkan ponsel dan notebook. Bergegas keluar dari kamar untuk menemui Manda dan Ayana. Sudah pasti ditunggu, tak baik berlama-lama di dalam kamar berdua. Nanti bisa-bisa dua wanita satu generasi tersebut berpikir yang tidak-tidak."Mana Naufal?" tanya Ayana."Masih di kamar, Mi. Mungkin masih merapikan penampilan biar terlihat necis.""Halah, kayak mau ke mana aja. Memang siapa yang mau ngelirik dia? Wong beres-beres di dalam rumah, bukan mau tebar pesona. Ngapain diizinkan bergaya? Naufal jangan dibiarkan bergaya seperti masih bujangan. Dia kadang suka narsis, gak tebar pesona aja masih ada yang ngelirik godain." Ayana terus saja