Sanga gila sekali, memang perlu diapresiasi dengan tepuk tangan meriah. Seolah-olah sikap Naufal itu adalah sebuah hal wajar dalam membela orang yang ia cintai. Bahkan sampai lupa diri dan tidak menghargai Hanan sama sekali. Melukai hati Hanan tadi, mengapa baru sadar sekarang dan meminta maaf? Selambat itukah otak dan hati Naufal bekerja?"Hanan!"Hanan kembali tersentak dari lamunan, Ia sibuk berperang dengan isi pikirannya. Memilih mengabaikan pesan dari Naufal. Tidak ada gunanya. Terlalu rumit dan melelahkan, dulu ia percaya kehidupan drama rumah tangga yang rumit hanya ada di televisi. Nyatanya ia kini merasakan."Iya, ada apa, Mama?" Hanan menghampiri Manda yang memegang sapu di depan teras rumah."Kamu ngapain ngelamun di depan gerbang? Lah, terus mana Naufal? Bukannya tadi bareng mau ke rumah papimu? Kamu pulang pakai apa?" cerca Manda.Hanan mengendikkan bahu acuh. Bersyukur yang memergoki bukan Ayana. Jadi, Hanan tidak perlu berakting dan mencari alasan menutupi segalanya. S
Hanan tersenyum melihat kegugupan Naufal. Menghela napas, perlu persiapan juga untuk berbicara."Gak usah grogi gitu. Bukannya tadi kamu bilang kita selesaikan di rumah baru? Hm, jangan dipikirkan, nanti bisa-bisa kamu ngompol di celana. Sudahlah, ayo kita berangkat!" ujar Hanan.Hanan tidak lagi menghiraukan Naufal. Meraih tote bag yang menggantung, lalu memasukkan ponsel dan notebook. Bergegas keluar dari kamar untuk menemui Manda dan Ayana. Sudah pasti ditunggu, tak baik berlama-lama di dalam kamar berdua. Nanti bisa-bisa dua wanita satu generasi tersebut berpikir yang tidak-tidak."Mana Naufal?" tanya Ayana."Masih di kamar, Mi. Mungkin masih merapikan penampilan biar terlihat necis.""Halah, kayak mau ke mana aja. Memang siapa yang mau ngelirik dia? Wong beres-beres di dalam rumah, bukan mau tebar pesona. Ngapain diizinkan bergaya? Naufal jangan dibiarkan bergaya seperti masih bujangan. Dia kadang suka narsis, gak tebar pesona aja masih ada yang ngelirik godain." Ayana terus saja
"Seriusan nyuruh aku buat ngertiin kamu?" cibir Hanan.Naufal terdiam, mungkin saja menyadari ucapannya yang salah. Bisa jadi juga ia sedang sibuk merangkai kata untuk terus menyudutkan Hanan. Tidak tahu saja, Naufal selalu pandai bersilat lidah. Bahkan kemampuan bicaranya melebih Hanan, yang seorang perempuan."Selamat malam." Pada akhirnya Hanan menutup pembicaraan untuk malam ini. Ia bergegas masuk ke dalam ruang sholat. Bahkan saat terlihat sedikit kesusahan mengangkat kasur, Naufal sama sekali tidak menawarkan bantuan pada Hanan. Ah, sudahlah, Hanan bukan perempuan manja, Ia sudah terbiasa serba mandiri. Kenapa harus berharap bantuan pada Naufal?Hanan membaringkan tubuhnya, menatap langit-langit kamar. Ada sesal yang semakin mendalam, ketika mengingat semua hal yang sudah terjadi. Ingin rasanya kembali pada masa di mana ia masih bisa tertawa bebas dan tidak ada hak orang lain mengekang hidupnya. Ya, meskipun ia tidak punya rumah untuk pulang dan mengadu. Orang bilang, rumah oran
'Jangan-jangan Naufal cari kesempatan dalam kesempitan. Aku harus bagaimana ini? Percuma juga memberontak, tenaga dia sudah pasti lebih kuat dibandingkan denganku. Memang sialan bener jadi orang! Curi-curi kesempatan, memanfaatkan kelengahanku. Benar-benar menyesal, andai tadi gak keukeuh masuk ke kandang singa. Aku pasti malam ini selamat dan bebas jungkir balik di kamar. Argh! Aku gak akan memaafkan diriku sendiri jika terjadi sesuatu malam ini!' batin Hanan."Jangan kedip-kedip begitu matanya. Apa kamu sedang berusaha menggodaku, Hanan?" tanya Naufal."A-aku sedang menahan sesak di dada, bisa lepaskan aku dari pelukanmu? Tenang saja, kasal buntung, Aku gak akan kabur dari kamarmu ini. Lagian sama kamu udah dikunci, gak mungkin aku lompat dari jendela, kayak maling aja." Hanan berusaha membujuk Naufal. Detak jantungnya sudah tidak aman, jika terus-terusan berdekatan dengan Naufal."Jangan banyak protes, sekarang pejamkan saja matamu. Lihat saja besok pagi, apa yang akan terjadi pada
Naufal senyum-senyum tanpa sebab, mirip orang gila saja. Ingin sekali Hanan menampol wajah Naufal yang sok ganteng itu. Pada awalnya menyetujui untuk pisah rumah dengan Manda secepatnya itu ada maksud tertentu, ingin bebas meluapkan segala rasa kesal ketika tahu Naufal bertingkah. Namun, sepertinya Hanya malah semakin tidak bebas untuk bergerak."Kamu kerja sif sore?" tanya Naufal disela-sela kunyahan."Hm.""Aku tinggal kerja gak papa?" Hanan mendengus sebal, sok perduli sekali jadi orang. Sejak kapan mau berangkat kerja ngomong dulu ke Hanan. Ah, terserah, mau jungkir balik sekalipun. Hanan memilih menganggukkan kepalanya."Aku berangkat dulu, hati-hati di rumah, ya? Jangan lupa kunci semua pintu rumah saat berangkat kerja. Satu lagi, persiapkan diri untuk nanti malam saat aku pulang kerja.""Gak usah lebay!" dengus Hanan."Cuman sama kamu kok." Naufal memberikan ponsel Hanan yang sengaja ia sembunyikan.Sepertinya Naufal memang kurang waras, mungkin saja sedang merindukan sang man
"Gak usah melotot, Aku hanya membicarakan fakta. Aku tau, kamu bisa melewatinya. Jangan menyerah sebelum mencoba. Kamu gak bisa teru menerus menghindari, harus bisa menerima kenyataan. Aku paham, Hanan, semuanya sulit. Sebelumnya aku minta maaf, kalau kesannya memaksa kamu dan menyudutkan. Seolah-olah gak berpihak ke kamu.Percayalah, lihat kamu bahagia itu juga bagian kebahagiaanku. Aku juga sebenarnya kurang suka sama Naufal yang kurang tegas. Tetapi, Kamu yang punya sifat tegas dan keras kepala, Aku yakin bisa bikin Naufal berubah. Kamu perlu menyentil si ulat bulu itu."Hanan terdiam, mendengar nasihat dari Lyra. Biasanya tak pernah sibuk mengurusi rumah tangganya. Kecuali Hanan yang sering kabur-kaburan menghindari masalah. Memang tidak salah yang diucapkan oleh Lyra, tetapi tidak lupa semuanya benar. Hanan merasa seolah-olah semua orang sedang menyudutkan dirinya, agar mau menerima Naufal. Lalu, bagaimana dengan Naufal sendiri?"Kok kamu gitu sih? Sekarang aja, kamu belum menika
Hanan mengendarai motor sport kesayangannya dengan laju yang cukup lambat. Ia melamun di atas motor, pikirannya bercabang ke mana-mana. Hanan masih tidak menyangka, doa yang ia ucapkan dalam hati dikabulkan seketika. Jujur saja, tadi Hanan sempat berharap ada Naufal yang tiba-tiba datang menjemput. Sebab ia juga merasa takut harus kembali ke rumah seorang diri. Apalagi belum cukup hapal dengan seluk beluk jalan menuju rumah baru Naufal.Hingga tak disadari, motor yang dikendarai oleh Hanan melewati rumah mereka. Dari belakang, Naufal membunyikan klakson panjang. Memberi kode pada Hanan. Sayang sekali, Hanan mengira Naufal hanya iseng belaka. Hingga tiba di depan supermarket. Ia menyadari, jika jalan menuju rumah sudah terlewati. "Ya ampun! kok bisa sih, Aku sampai melamun begini?" gerutu Hanan. Bergegas memutar haluan, berbalik lagi. Beruntung jalanan masih ramai.Tiba di rumah, raut wajah Hanan sangat tidak enak dipandang. Ia mulai misuh-misuh saat melihat Naufal yang sedang duduk s
"Gak usah aneh-aneh, ya!" ancam Naufal."Lah, terserah aku dong! Udah deh, mending aku buang aja ini mie." Hanan benar-benar memiringkan kembali mangkuk yang ia pegang. Kasihan, mie yang tidak bersalah itu menjadi korban keegoisan antara Hanan dan Naufal. Padahal sudah terlihat menggendut, akibat terlalu lama diabaikan."Gak boleh buang-buang makanan, Hanan. Nyari uang itu susah, jadi hargailah hasil jerih payah biar bisa beli mie itu."Hati Hanan seperti tersayat sembilu, mengartikan ucapan Naufal seolah-olah tidak ikhlas bekerja demi memenuhi kebutuhan sehari-hari."Heh! Asal kamu tau, Aku juga kerja. Jadi gak usah dikasih tau hal kayak gitu. Hello! Kamu nyadar gak sih? Udah ada ngasih aku uang belanja? Udah pernah ngasih nafkah? Biar kamu inget ya, ini isi kulkas semua belinya pakai uang pribadi aku. Gak ada campur tangan dari hasil keringat kamu! Jadi terserah aku dong, suka-suka aku!" kecam Hanan.Entah mengapa, akhir-akhir ini emosi Hanan memang tidak terkontrol lagi. Ia jadi mu