'Jangan-jangan Naufal cari kesempatan dalam kesempitan. Aku harus bagaimana ini? Percuma juga memberontak, tenaga dia sudah pasti lebih kuat dibandingkan denganku. Memang sialan bener jadi orang! Curi-curi kesempatan, memanfaatkan kelengahanku. Benar-benar menyesal, andai tadi gak keukeuh masuk ke kandang singa. Aku pasti malam ini selamat dan bebas jungkir balik di kamar. Argh! Aku gak akan memaafkan diriku sendiri jika terjadi sesuatu malam ini!' batin Hanan."Jangan kedip-kedip begitu matanya. Apa kamu sedang berusaha menggodaku, Hanan?" tanya Naufal."A-aku sedang menahan sesak di dada, bisa lepaskan aku dari pelukanmu? Tenang saja, kasal buntung, Aku gak akan kabur dari kamarmu ini. Lagian sama kamu udah dikunci, gak mungkin aku lompat dari jendela, kayak maling aja." Hanan berusaha membujuk Naufal. Detak jantungnya sudah tidak aman, jika terus-terusan berdekatan dengan Naufal."Jangan banyak protes, sekarang pejamkan saja matamu. Lihat saja besok pagi, apa yang akan terjadi pada
Naufal senyum-senyum tanpa sebab, mirip orang gila saja. Ingin sekali Hanan menampol wajah Naufal yang sok ganteng itu. Pada awalnya menyetujui untuk pisah rumah dengan Manda secepatnya itu ada maksud tertentu, ingin bebas meluapkan segala rasa kesal ketika tahu Naufal bertingkah. Namun, sepertinya Hanya malah semakin tidak bebas untuk bergerak."Kamu kerja sif sore?" tanya Naufal disela-sela kunyahan."Hm.""Aku tinggal kerja gak papa?" Hanan mendengus sebal, sok perduli sekali jadi orang. Sejak kapan mau berangkat kerja ngomong dulu ke Hanan. Ah, terserah, mau jungkir balik sekalipun. Hanan memilih menganggukkan kepalanya."Aku berangkat dulu, hati-hati di rumah, ya? Jangan lupa kunci semua pintu rumah saat berangkat kerja. Satu lagi, persiapkan diri untuk nanti malam saat aku pulang kerja.""Gak usah lebay!" dengus Hanan."Cuman sama kamu kok." Naufal memberikan ponsel Hanan yang sengaja ia sembunyikan.Sepertinya Naufal memang kurang waras, mungkin saja sedang merindukan sang man
"Gak usah melotot, Aku hanya membicarakan fakta. Aku tau, kamu bisa melewatinya. Jangan menyerah sebelum mencoba. Kamu gak bisa teru menerus menghindari, harus bisa menerima kenyataan. Aku paham, Hanan, semuanya sulit. Sebelumnya aku minta maaf, kalau kesannya memaksa kamu dan menyudutkan. Seolah-olah gak berpihak ke kamu.Percayalah, lihat kamu bahagia itu juga bagian kebahagiaanku. Aku juga sebenarnya kurang suka sama Naufal yang kurang tegas. Tetapi, Kamu yang punya sifat tegas dan keras kepala, Aku yakin bisa bikin Naufal berubah. Kamu perlu menyentil si ulat bulu itu."Hanan terdiam, mendengar nasihat dari Lyra. Biasanya tak pernah sibuk mengurusi rumah tangganya. Kecuali Hanan yang sering kabur-kaburan menghindari masalah. Memang tidak salah yang diucapkan oleh Lyra, tetapi tidak lupa semuanya benar. Hanan merasa seolah-olah semua orang sedang menyudutkan dirinya, agar mau menerima Naufal. Lalu, bagaimana dengan Naufal sendiri?"Kok kamu gitu sih? Sekarang aja, kamu belum menika
Hanan mengendarai motor sport kesayangannya dengan laju yang cukup lambat. Ia melamun di atas motor, pikirannya bercabang ke mana-mana. Hanan masih tidak menyangka, doa yang ia ucapkan dalam hati dikabulkan seketika. Jujur saja, tadi Hanan sempat berharap ada Naufal yang tiba-tiba datang menjemput. Sebab ia juga merasa takut harus kembali ke rumah seorang diri. Apalagi belum cukup hapal dengan seluk beluk jalan menuju rumah baru Naufal.Hingga tak disadari, motor yang dikendarai oleh Hanan melewati rumah mereka. Dari belakang, Naufal membunyikan klakson panjang. Memberi kode pada Hanan. Sayang sekali, Hanan mengira Naufal hanya iseng belaka. Hingga tiba di depan supermarket. Ia menyadari, jika jalan menuju rumah sudah terlewati. "Ya ampun! kok bisa sih, Aku sampai melamun begini?" gerutu Hanan. Bergegas memutar haluan, berbalik lagi. Beruntung jalanan masih ramai.Tiba di rumah, raut wajah Hanan sangat tidak enak dipandang. Ia mulai misuh-misuh saat melihat Naufal yang sedang duduk s
"Gak usah aneh-aneh, ya!" ancam Naufal."Lah, terserah aku dong! Udah deh, mending aku buang aja ini mie." Hanan benar-benar memiringkan kembali mangkuk yang ia pegang. Kasihan, mie yang tidak bersalah itu menjadi korban keegoisan antara Hanan dan Naufal. Padahal sudah terlihat menggendut, akibat terlalu lama diabaikan."Gak boleh buang-buang makanan, Hanan. Nyari uang itu susah, jadi hargailah hasil jerih payah biar bisa beli mie itu."Hati Hanan seperti tersayat sembilu, mengartikan ucapan Naufal seolah-olah tidak ikhlas bekerja demi memenuhi kebutuhan sehari-hari."Heh! Asal kamu tau, Aku juga kerja. Jadi gak usah dikasih tau hal kayak gitu. Hello! Kamu nyadar gak sih? Udah ada ngasih aku uang belanja? Udah pernah ngasih nafkah? Biar kamu inget ya, ini isi kulkas semua belinya pakai uang pribadi aku. Gak ada campur tangan dari hasil keringat kamu! Jadi terserah aku dong, suka-suka aku!" kecam Hanan.Entah mengapa, akhir-akhir ini emosi Hanan memang tidak terkontrol lagi. Ia jadi mu
Hanan merapikan penampilan saat hendak berangkat kerja, Ia kini sangat rajin memasak. Usai adzan subuh berkumandang, Hanan sudah selesai bersih-bersih rumah. Lalu memasak untuk sarapan. Setiap hari menu sarapan selalu berbeda-beda. Ia benar-benar melakoni tugas sebagai Ibu rumah tangga. Namun, tetap ada yang berbeda. Hanan yang biasanya marah-marah, bahkan selalu bersikap ketus pada Naufal, kini berubah total. Ya, bukan berarti berubah menerima Naufal sebagai seorang suami. Melainkan dianggap patung oleh Hanan. Tidak ada obrolan atau perdebatan lagi yang menemani hari-hari mereka."Hanan, kenapa kamu selalu menyibukkan diri dengan bekerja?" tanya Naufal. Sepertinya ia memang sengaja membuka obrolan saat sarapan."Tidak perlu bertanya jika sudah tau jawabannya, " jawab Hanan. Ia beranjak dari duduknya, menuju wastafel untuk mencuci piring bekas sarapan.Nyeri, ada yang menyayat hati Naufal. Tapi tidak berbekas. Biasanya jika membahas soal pekerjaan, Hanan akan bicara ketus dengan ciri
Ah, benar, hanya mimpi belaka. Bunga tidur yang biasa menemani saat sedang terlelap. Naufal sadar, kini ia bahkan sedang berusaha memeluk tubuh Hanan. Yang tentu saja keheranan dengan sikapnya. Pengaruh mimpi untuknya ternyata cukup besar. Hingga kini ia merasa begitu ketakutan akan kehilangan."Aku gak bisa napas, Naufal! Kamu mau bunuh aku, ha?!" Hanan akhirnya mengigit tangan Naufal yang memeluk erat tubuhnya."Aduh, Kamu ini nyeremin banget. Main gigit-gigit begitu," keluh Naufal. Mengelus tangan kanannya, ada bekas gigi Hanan."Bodo amat, lepasin gak?"Naufal memutuskan melepaskan pelukan, takut juga jika digigit kembali. Ternyata selain galak dan jutek, Hanan juga hobi mengigit.Hanan menendang tubuh Naufal agar menjauh. "Jangan modus, Gak mempan sama aku!""Iya deh, Iya. Makasih udah mau mengkhawatirkan aku."Hanan memilih abai, semenjak bangun tidur, Naufal sepertinya semakin aneh. Ia juga sebenarnya penasaran, mengapa bisa sampai Naufal mengigau menyebut namanya.'Manusia sat
"Kerja saja dulu, gajian 'kan nanti sore kalau mau pulang." Hanan berlalu keluar dari ruangan. Jam kerja sudah dimulai. Efek kalimat dari Lyra ternyata memberikan pengaruh besar juga. Hanan terlihat lebih bersemangat sekali. Bahkan jam kerja yang biasanya terasa cepat sekali usai, kini berubah. Terasa begitu lambat, sesekali Hanan melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, disela-sela kesibukan melayani pengunjung."Kenapa gajian bisa bikin kita bahagia?" tanya Lyra."Karena bakalan dapat duit.""Pinter kamu, Hanan." "Gitu doang masa gak tau, terlalu bego namanya."Saat yang ditunggu akhirnya tiba juga. Dengan wajah sumringah Hanan dan Lyra keluar dari ruangan bos besar. Masing-masing menerima amplop hasil jerih payah selama satu bulan. Jam kerja telah usai. Hanan dan Lyra tentu saja berniat menyenangkan diri terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah."Kita makan bakso dulu, yuk!" ajak Lyra."Aku gak lapar, pulangnya aja gimana?" Lyra mengangguk tanda menyetujui