"Kau tahu? Mama sudah tahu semua rahasia kita tadi pagi!" Bisikan Bima ketika membantu Vina memasukkan barang ke bagasi mobil.
Vina terperanjat, ia menoleh dan menatap Bima dengan mata melotot. Wajahnya sedikit memerah membuat Bima terkekeh lantas menutup bagasi mobilnya dengan segera.
"Bagaimana bisa?" Tanya Vina sebelum mereka harus bergabung bersama dua nenek itu yang nampak masih menemani Anetta bermanja-manja dengan kakeknya di loby rumah sakit.
"Insting seorang ibu katanya, dia takut kejadian dulu terulang lagi." Bisikan Bima kemudian.
Vina menepuk jidatnya, membuat Bima mengacak gemas rambut itu dan menarik tangan Vina menjauh dari mobil. Nampak Bima melambaikan tangan, membuat dua orang nenek itu tampak sigap dan satu diantaranya metebut Anetta dari gendongan sang kakek.
"Pa ... Bima balik duluan!" Teriak Bima yang membuat Vina refleks menutup telinga.
"Astaga, begitu cara pamitnya?" Protes Vina sa
Bima tertegun, nampak Andi menatapnya dengan seksama. Sorot mata itu begitu serius membuat Bima lantas menelan ludahnya dengan susah payah."Memang kenapa kalau bisa masih ingin punya keturunan dari Vina, Pa? Papa nggak mau nambah cucu?" Ujar Bima balik bertanya.Andi menghela napas panjang, raut wajahnya tidak berubah, masih sangat serius. Sementara Bima, kini turut menatap serius sang papa, sebenarnya dia paham kemana arah bicara sang papa, namun Bima di sini hendak meluruskan sesuatu."Bernard Soulier Syndrome, tentu kau sudah banyak baca jurnal atau penelitian kedokteran mengenai dia, kan?" Sungguh wajah itu begitu serius, membuat jantung Bima berdegup tidak karuan."Ya ... Bima sudah banyak baca dan belajar mengenai dia, jika memang nanti hasil tes demikian, otomatis Bima harus bisa hidup damai dan berdampingan dengan dia, Pa." Jelas Bima mantab, dia memang susah banyak baca dan belajar, semua demi Anetta dan tentu saja profes
Vina setengah berlari begitu keluar dari mobil. Dia tengah menyebar kuesioner untuk penelitian skripsinya ketika Bima mendadak menelepon.Kabar perihal hasil tes Anetta yang sudah keluar membuat Vina menghentikan seluruh aktivitasnya, mengabaikan sejenak target kuesioner dan segera membawa mobilnya ke rumah sakit.Bisa Vina lihat sosok itu berdiri dengan gelisah di depan loby masuk rumah sakit, membuat Vina makin Mempercepat langkahnya."Gimana, Mas?" Tanya Vina tidak sabar."Kita ditunggu dokter Agus dan dokter Abra, ayo cepetan!" Bima segera menarik tangan Vina, melangkah masuk dengan sedikit tergesa ke dalam gedung rumah sakit."Mas sudah lihat hasilnya?" Tanya Vina seraya menyeimbangkan langkah di sisi Bima."Tentu belum, aku mau kita lihat sama-sama, Vin!" Bima melirik sekilas, lalu kembali fokus membawa Vina menyusuri koridor rumah sakit.Keringat dingin mulai mengucur di dahi Vina. Baga
Bima mematikan mesin mobil begitu ia beres parkir di halaman depan istana keluarga calon istrinya, tempat di selama ini anak semata wayang Bima dirawat dan dibesarkan.Bima menoleh, menatap Vina yang nampak masih menitikkan air mata. Wajah cantik Vina memerah dengan mata sembab, membuat Bima menghela napas panjang dan mengelus kepala itu dengan lembut."Kalau kamu masih nangis terus begini, kita mau jawab apa kalau Neta tanya, Sayang?" Tanya Bima dengan begitu lembut.Isak Vina malah kembali pecah, membuat Bima lantas meraih tubuh itu dan mendekapnya erat-erat. Hati Bima benar-benar perih, namun dia tahan kuat-kuat air matanya agar tidak menitik. Bima tidak mau Anetta bertanya-tanya tentang apa yang membuat kedua orang tuanya menangis macam ini. Dia masih cukup kecil dan tentu belum paham tentang apa yang sedang dia hadapi saat ini."Aku nggak kuat, Mas!" Isak Vina dalam dekapan Bima.Bima kembali menghela napas panjan
Beberapa bulan kemudian ...Udara begitu sejuk menyapa Bima yang baru keluar dari bangunan gedung. Bima masih nampak Bima masih begitu rapi dengan setelan jas warna hitam. Bima berhenti sejenak, menoleh dan menatap sosok dengan kebaya putih dan riasan simpel, yang nampak tengah melangkah di sisi sang mama.Bima tersenyum ketika sosok itu mengangkat wajah, nampak riasan sederhana itu menambah kecantikan alami yang dia miliki. Ya ... Tanpa make-up apapun, Vina sudah sangat cantik, Bima akui itu!"Kenapa?" Tanya Vina dengan dahi berkerut ketika Bima hanya terdiam sambil tersenyum menatapnya."Kamu yakin hanya ingin seperti ini?" Tanya Bima yang langsung dijawab anggukan kepala oleh Vina.Vina tersenyum, meraih tangan Bima lalu membawanya melangkah menuju mobil. Bima hanya tersenyum, rasanya dia begitu gemas dan ingin ... Ah, tidak! Jangan sekarang!"Antar ganti baju, kita harus segera ke rumah sakit, Mas!"
“Ayolah, Ma ... semua demi Anetta.” Mohon Vina sambil menggenggam erat kedua tangan Ani.Vina paham, sangat mengerti bahwa sulit bagi Ani untuk berpisah dari Anetta. Vina masih ingat, ketika dia sibuk kuliah, meskipun dibantu oleh baby sitter, Ani-lah yang mengawasi dan merawat Anetta selama ini. Tentu akan sangat sulit bagi Ani menerima bahwa cucunya harus pindah tinggal di rumah besannya.“Berapa banyak sih biaya buat bikin ruangan kaca atau apalah itu? Duit Mama nggak cukup, Vin?” tanya Ani dengan mata memerah.Vina menggelengkan kepala cepat, matanya ikut memerah. Bisa Vina lihat sorot luka penuh kekecewaan itu terpancar di mata Ani. Siapa yang tidak terluka? Selama bertahun-tahun merawat seorang diri Anetta yang tengah hamil lalu merawat bayinya dengan sepenuh hati dan penuh kasih sayang, tiba-tiba harus dipisahkan seperti ini?Tapi semua itu bukan karena keserakahan atau keegoisan semata. Semua demi Anetta! Vina sangat berhar
“Mas, ada apa?”Bima mengangkat wajah, mengabaikan sejenak segelas es teh yang dia pesan sambil menantikan Vina datang menemuinya di kantin rumah sakit. Kini, istri cantiknya itu sudah hadir dan berdiri di depannya.“Anetta gimana? Aku mau masuk tapi masih harus ada jaga.” Bima harus ingat betul, tidak boleh sembarangan orang masuk ke dalam kamar Anetta, dia sekalipun harus memastikan bahwa dia bersih dan steril. Jadi agak susah dan ribet kalau dia yang masih jaga ini harus bolak-balik membersihkan diri sebelum masuk ke dalam.“Baik, dia sudah bisa tidur.” Vina duduk di hadapan Bima, nampak Vina hanya mengenakan sweeter dan kaos yang nantinya jika di dalam ruangan akan di ganti dengan setelan scrub yang bersih.“Darahnya masih keluar?” tentu itu yang Bima tanyakan, tiap menit, hal itu yang selalu Bima khawatirkan.“Yang hidung belum mau berhenti, Mas. Untuk telinga sudah mampet sih.”
"Sakit?" Tanya Bima sambil mengelus puncak kepala sang istri yang kini tergolek di ranjang dengan kateter yang menancap di leher. Vina menggeleng lemah, "Demi Anetta, semua ini sama sekali tidak terasa sakit, Mas." Bima mengangguk, menjatuhkan kecupan mesra yang begitu manis dan mampu membuat dua orang yang ada di ruangan itu auto iri melihatnya. Vina tersenyum, akhirnya kini dia yang berbaring di sini. Bukan karena sakit, tetapi bersakit-sakit ria demi Anetta. Setelah prosedure panjang yang dilakukan, hasil pemeriksaan HLA yang paling cocok merujuk pada dirinya. Bukan Bima atau anggota keluarga yang lain. Jadilah ini Vina kembali berjuang demi Anetta setelah dulu berjuang di OK demi melahirkan Anetta. "Kamu wanita paling hebat dan kuat yang pernah aku kenal, Vin." Bima mengelus lembut dahi Vina, wajah mereka begitu dekat membuat siapapun yang di sana gigit jari melihat kemesraan itu. "Kau tau siapa yang membuatku
"Neta nggak bisa makan untuk sementara waktu, Ma." Gumam Bima ketika Ani datang membawa banyak sekali makanan kesukaan Anetta."Kenapa, Bim? Dia baik-baik saja, bukan?" Tampak wajah itu sangat khawatir, membuat Bima tersenyum getir dan mengangguk pelan."Tentu, dia baik-baik saja. Hanya efek dari BMT adalah adanya gangguan pencernaan dan mungkin muncul sariawan di mulut, jadi makanan Anetta sampai beberapa saat ke depan sampai pencernaannya membaik hanya melalui infus." Jelas Bima sabar, ia sudah menjelaskan hal ini pada Vina, untuk Anita tentu Andi sudah menjelaskannya lebih dulu, bukan?"Oh begitu?" Ani nampak murung menatap bungkusan yeng dia bawa, "Vina juga nggak boleh makan?""Kalau Vina boleh, Ma. Dia bebas mau makan apa aja." Tentu Bima paham kalau Ani khawatir dan kecewa karena apa yang dia bawa tidak bisa Anetta nikmati, tapi semua itu demi kebaikan Anetta, bukan?"Sampai kapan Neta harus dirawat, Bim? Kapan dia bo