"Ma, Bima izin pulang dulu." Izin Bima pada Ani yang tengah memakaikan baju pada Anetta yang baru saja selesai mandi.
Ani menoleh dan tersenyum, mengangguk pelan sebagai tanda persetujuan sambil berhati-hati memasukkan lengan baju Anetta ke botol infus.
"Semoga lancar ya, Bim. Mama doakan semoga semua masalahmu selesai dengan baik tanpa menimbulkan masalah baru." Tentu itu yang Ani doakan, Bima hendak ke rumah mertuanya, membahas perihal gugatan yang hendak dimasukkan ke pengadilan agama dan tentu saja mengantarkan Melinda kembali pada kedua orang tuanya.
"Amin, Ma. Bima juga berharap demikian." Bima tersenyum, mengelus lembut kepala Neta yang nampak segar dan begitu wangi selepas mandi.
"Papa mau kemana?" Tanya Neta dengan mata membulat.
"Pulang ke rumah oma Nita dulu, oke?" Bima tersenyum, cantik sekali anak gadisnya ini!
"Ikut!"
Sebuah permohonan dengan puppy eyes yang sontak membuat Bima membeku
"Kamu sudah yakin, Mel?" Madi menatap anak bungsunya, nampak dia sejak tadi menunduk, menghindari tatapan semua orang yang ada di sini.Semua saling pandang, hanya Bima yang serius menatap Melinda yang nampak masih membisu setelah mama dan papanya menjelaskan semua masalah yang terjadi di antara mereka. Semuanya sudah dibuka dan dibahas bersama. Tidak ada lagi rahasia malam ini."Tidak mencoba tetap menerima suamimu dengan kesalahan apa yang sudah dia perbuat? Setidaknya kalian tidak perlu bercerai."Bima yang sejak tadi mengarahkan pandangan ke arah Melinda sontak menoleh dan menatap Madi dengan tatapan terkejut.'Tidak perlu bercerai?'Kenapa Madi sepertinya tidak rela Melinda bercerai dari Bima? Dia lebih rela anaknya dimadu? Begitu? Bima hendak buka suara, menolak keras permintaan itu jika memang Madi lebih ingin anaknya dimadu daripada dicerai."Tentu Melin serius, Pa. Melin sudah pikirkan ini sejak lama. Ini kep
"Belum tidur?" Bima terkejut ketika mendapati Vina masih terjaga susu di depan laptopnya.Wajah itu mendongak, menatap Bima lantas menyunggingkan senyum tipis, "Aku pikir kamu tidak kesini."Bima tertawa kecil, "Kebiasaan ya? Tiap ditanya bukannya jawab malah balik tanya!" Bima menjatuhkan diri di sofa, menatap mata Vina yang membulat menatapnya itu."Aku kan--."Bima tidak menanti Vina menyelesaikan kalimatnya, ia meraih tubuh itu dan mendekapnya erat-erat. Aroma rambut itu benar-benar dahsyat! Hanya dalam beberapa detik saja aroma rambut itu mampu membakar Bima seketika."Semuanya sudah selesai. Besok berkasnya masuk, Vin." Bima mempererat pelukannya, menghirup aroma rambut itu dalam-dalam. Kenapa dia begitu lemah seperti ini?"Iya kah? Orang tuanya tidak protes dengan apa yang sudah terjadi?" Vina sendiri tidak berniat melepaskan diri, entah mengapa dada itu begitu nyaman untuk Vina membenamkan wajah. Bau par
"Pulang aja nggak apa-apa, nanti kau pantau terus kondisi anakmu dan laporkan ke saya, Bim." gumam dokter Agus yang sontak membuat semua yang ada di sana menghela napas panjang.Wajah Bima sontak sumringah, terlebih ketika melihat Anetta ikut tersenyum lebar dengan wajah ceria. Ah ... akhirnya gadis kecilnya itu tidak harus menjadi tahanan pesakitan di sini."Baik, dimengerti, Dok!" Bima mengangguk sebagai tanda mengerti."Siang ini kalau mau pulang sudah boleh, ya. Saya lapor nanti ke depan." dokter Agus tersenyum, mengusap lembut kepala Anetta yang pagi ini nampak begitu manis dengan jumpsuit warna pink dan kaos warna putih."Untuk hasil tes lab-nya bagaimana, Dok?" tentu itu yang Ani tanyakan, ia begitu tidak sabar dengan hasil tes tersebut.Harapannya, bukan penyakit langka itu yang Anetta derita, ia berharap penyakit lain yang tidak berbahaya!"Kami belum terima hasilnya, nanti akan saya sampaikan ke Bima kalau hasil sudah dikirim
Vina tercekat menatap sorot mata itu, tubuhnya seolah membeku seketika. Dua tangannya dikunci tepat di atas kepala oleh lelaki itu. Nampak wajah itu memerah, yang sialnya di mata Vina wajah itu nampak makin mengesankan! Bima seperti tidak membiarkan Vina bersuara mengutarakan penolakan, ia langsung membungkam bibir Vina dengan bibirnya. Hal yang makin membuat Vina tidak karu-karuan dibuatnya.Serangan itu seperti memiliki daya sengat yang luar biasa kuat. Menjalarkan panas hingga ke seluruh saraf tubuh Vina. Membuat bulu kuduk Vina meremang luar biasa.Otaknya yang tadi memerintahkan Vina memberontak dan melawan, kini seolah lumpuh. Terlebih tubuh Vina ... Kenapa dia tidak puas hanya dengan ciuman itu, kenapa rasanya Vina ingin hal yang lain? Sesuatu yang lebih dari ini?Bima melepaskan pagutan bibirnya, jarak wajah mereka begitu dekat. Vina bahkan bisa mendengar jelas dan merasakan hembusan napas Bima yang sudah memburu."Aku mau
"Kalian lama banget sih, kemana dulu tadi?" Protes Anita ketika Bima dan Vina muncul di ruang rawat inap Anetta.Bima sontak nyengir lebar, sementara Vina tergagap dan salah tingkah, membuat Bima langsung bersuara sebelum dua orang nenek itu curiga."Dosen Vina tuh ngeselin! Tadi nelpon katanya Vina suruh ke kampus ada hal penting, eh taunya cuma mau modusin Vina tadi! Untung Bima yang anter, kalo nggak bisa kurang ajar itu dosen." Sebuah kebohongan yang begitu lancar dan lugas keluar dari mulut Bima.Vina sontak membelalak, rasanya dia ingin meremas mulut Bima yang tampak nyengir lebar itu. Kurang ajar! Kenapa dosen Vina yang dia bawa bawa? Dosen Vina sopan semua!"Hah? Kamu mau diapain sama dosen kamu, Vin?" Teriak Ani yang syok luar biasa mendengar apa yang tadi dikatakan oleh Bima."Bu-bukan begitu, Ma. Ta-tadi cu-cuma ....""Aman kok, Ma. Jangan khawatir intinya, Vina aman kalau sama Bima." Jelas Bima
"Kau tahu? Mama sudah tahu semua rahasia kita tadi pagi!" Bisikan Bima ketika membantu Vina memasukkan barang ke bagasi mobil.Vina terperanjat, ia menoleh dan menatap Bima dengan mata melotot. Wajahnya sedikit memerah membuat Bima terkekeh lantas menutup bagasi mobilnya dengan segera."Bagaimana bisa?" Tanya Vina sebelum mereka harus bergabung bersama dua nenek itu yang nampak masih menemani Anetta bermanja-manja dengan kakeknya di loby rumah sakit."Insting seorang ibu katanya, dia takut kejadian dulu terulang lagi." Bisikan Bima kemudian.Vina menepuk jidatnya, membuat Bima mengacak gemas rambut itu dan menarik tangan Vina menjauh dari mobil. Nampak Bima melambaikan tangan, membuat dua orang nenek itu tampak sigap dan satu diantaranya metebut Anetta dari gendongan sang kakek."Pa ... Bima balik duluan!" Teriak Bima yang membuat Vina refleks menutup telinga."Astaga, begitu cara pamitnya?" Protes Vina sa
Bima tertegun, nampak Andi menatapnya dengan seksama. Sorot mata itu begitu serius membuat Bima lantas menelan ludahnya dengan susah payah."Memang kenapa kalau bisa masih ingin punya keturunan dari Vina, Pa? Papa nggak mau nambah cucu?" Ujar Bima balik bertanya.Andi menghela napas panjang, raut wajahnya tidak berubah, masih sangat serius. Sementara Bima, kini turut menatap serius sang papa, sebenarnya dia paham kemana arah bicara sang papa, namun Bima di sini hendak meluruskan sesuatu."Bernard Soulier Syndrome, tentu kau sudah banyak baca jurnal atau penelitian kedokteran mengenai dia, kan?" Sungguh wajah itu begitu serius, membuat jantung Bima berdegup tidak karuan."Ya ... Bima sudah banyak baca dan belajar mengenai dia, jika memang nanti hasil tes demikian, otomatis Bima harus bisa hidup damai dan berdampingan dengan dia, Pa." Jelas Bima mantab, dia memang susah banyak baca dan belajar, semua demi Anetta dan tentu saja profes
Vina setengah berlari begitu keluar dari mobil. Dia tengah menyebar kuesioner untuk penelitian skripsinya ketika Bima mendadak menelepon.Kabar perihal hasil tes Anetta yang sudah keluar membuat Vina menghentikan seluruh aktivitasnya, mengabaikan sejenak target kuesioner dan segera membawa mobilnya ke rumah sakit.Bisa Vina lihat sosok itu berdiri dengan gelisah di depan loby masuk rumah sakit, membuat Vina makin Mempercepat langkahnya."Gimana, Mas?" Tanya Vina tidak sabar."Kita ditunggu dokter Agus dan dokter Abra, ayo cepetan!" Bima segera menarik tangan Vina, melangkah masuk dengan sedikit tergesa ke dalam gedung rumah sakit."Mas sudah lihat hasilnya?" Tanya Vina seraya menyeimbangkan langkah di sisi Bima."Tentu belum, aku mau kita lihat sama-sama, Vin!" Bima melirik sekilas, lalu kembali fokus membawa Vina menyusuri koridor rumah sakit.Keringat dingin mulai mengucur di dahi Vina. Baga