Hari Minggu telah tiba, seperti yang tersusun dalam rencana. Keluarga besar Basuki tengah berkumpul bersama.
Ningsih datang bersama Rival dan Alea, memakai polo couple berwarna coklat muda. Terlihat Chintya juga datang bersama Arif dan Kiara yang asyik menjilati ice cream varian vanilla.
Mereka menunggu kedatangan Fathir dan Luna untuk memulai acara makan-makan. Tak sampai dua puluh menit menunggu, akhirnya Fathir datang bersama Luna. Fathir tampak macho dengan kaos hitam polos dipadu kemeja flanel dan celana jeans berwarna light blue, auranya terlihat seperti remaja yang baru saja lulus sekolah. Serasi dengan Luna yang memakai dress slimfit panjang berwarna hitam dipadu cardigan bermotif floral, rambutnya dicepol membuatnya semakin terlihat cantik.
"Karena semua udah kumpul, ayo kita makan dulu" Ningsih mengajak semua untuk berkumpul di meja makan.
Tersedia aneka lauk, buah, sayur
Semua tergopoh-gopoh membopong Luna ke dalam kamar, mereka tampak khawatir, kecuali Fathir. Lelaki yang beberapa menit lalu masih perhatian dan penuh kasih sayang, kali ini tak lagi peduli. Hanya amarah dan kebencian yang terlihat dari sorot matanya. Ia sungguh kecewa besar dengan apa yang sudah dilakukan Luna padanya.Memang benar jika kecewa levelnya jauh lebih tinggi diatas marah, terbukti dengan Fathir saat ini, bahkan tak berniat sedikit pun melihat kondisi Luna.Ibu dengan cekatan membalur tubuh Luna dengan minyak kayu putih dan memijitnya lembut. Beliau sangat khawatir dengan kondisi Luna, teruma calon cucunya. Ningsih juga tak tinggal diam, ia mengoleskan minyak angin di hidung Luna, berbagai upaya dilakukan, namun Luna tak kunjung sadar.Chintya menemui Fathir yang sedang duduk melamun di ruang tamu."Thir, sebaiknya kita bawa saja Luna ke rumah sakit, ya?" tawar Chintya dengan lembut.
Luna gelisah di dalam kamar bernuansa coklat muda. Ia berjalan mondar-mandir sambil sesekali melirik jam dinding yang tergantung tepat di atas pintu. Sudah larut malam Fathir tak kunjung pulang, ponselnya pun tak aktif. Luna khawatir akan kondisi Fathir, ia takut Fathir tak terkontrol di luar sana karena sakit hati akibat perbuatannya.Kembali Luna melihat arah jarum yang berjalan di angka sebelas, Luna keluar dari kamar menuju ruang tamu, berniat menunggu Fathir disana.Luna tak bisa tidur, matanya enggan terpejam. Padahal tubuhnya letih, ingin rebahan. Namun, dorongan dalam hatinya lebih kuat untuk tetap menunggu Fathir pulang.Satu jam kemudian...Terdengar deru motor memasuki garasi, Luna mengu
Sore ini rumah Ibu terlihat sepi, Ningsih beserta Alea dan Rival sudah pulang ke rumah mereka. Bapak sedang menghadiri acara di kampung sebelah. Tinggalah Ibu hanya berdua dengan Luna."Assalamualaikum" ucap Fathir saat memasuki rumah, wajahnya tampak kusut dan lelah karena seharian bekerja."Waalaikumsalam, Alhamdulillah sudah pulang, Le" sambut Ibu dengan senyuman hangat."Coba bangunin istrimu, ajak makan bersama. Dari tadi siang tidur, Ibu gak tega yang mau bangunin." titah Ibu saat mengetahui Fathir ingin merebahkan tubuhnya di sofa, bukan menghampiri istrinya terlebih dahulu.Sepertinya Ibu paham dengan situasi dan kondisi mereka berdua pasca tragedi kemarin.
Ibu memandang Fathir dengan tatapan penuh tanya.Fathir terduduk lesu, Ibu hanya mampu mengelus lengan Fathir, berharap hal itu bisa sedikit menguatkan putra bungsunya."Luna dalam bahaya, Bu" sorot mata Fathir tampak kuyu."Kenapa, Le? Cerita sama Ibu, jangan kamu simpan sendiri.""Kata dokter, Luna mengalami gejala komplikasi, butuh penanganan dan pengawasan lebih lanjut lagi. Posisinya sedang mengandung, aku jadi merasa bersalah" Fathir meremas rambutnya pelan."Maksudnya gimana? Tapi sepengetahuan Ibu, selama ini Luna sehat, baik-baik saja" kerut di kening Ibu nampak semakin jelas.
Tok...tok...tok"Permisi, dok""Ya, masuk" terdengar suara sahutan dari dalam, membuat Fathir berani membuka pintu dan masuk ke dalam."Silahkan duduk, Pak Fathir" ujar dokter Adam ramah.Fathir menyeret kursi lebih maju, mendekat ke arah dokter yang sedang sibuk memperhatikan file beramplop coklat di tangannya.Tiba-tiba saja, dada Fathir berdetak tak karuan. Entah apa yan
Senyum Luna merekah, meskipun terpaksa, Fathir tetap mau menuruti keinginannya."Gak usah senyum-senyum ke-GR-an ya, kamu. Ini demi menjaga nama baik keluarga, jangan sok kecantikan, yang ada aku eneg" kalimat dari Fathir cukup tajam sehingga membuat Luna menarik kembali senyumnya.'Sekarang boleh jadi kamu eneg, Mas. Tapi tunggu saja, saat anak ini lahir nanti, masihkah kamu bisa eneg sama aku, Mas?' batin Luna dalam hati.Sebuah senyum licik terukir dari bibirnya.****** ****** ******
"Apa ada resiko jika melakukan sc sebelum waktunya, Dok?""Nah, ini saya butuh pengamatan lebih lanjut sesuai kondisi Ibu Luna. Mulai dari tes darah, radiologi, rekam jantung serta riwayat penyakit yang diderita. Untuk meminimalisir terjadinya hal yang tidak diinginkan, maka dari itu saya butuh persetujuan dari pihak suami" jelas Dokter Adam dengan detail."Baik, dok. Lakukan saja mana yang terbaik. Asal istri dan anak saya bisa diselamatkan""Iya, Pak. InsyaAllah. Saya pasti berusaha semaksimal mungkin. Biar perawat yang akan membantu melakukan serangkaian tes, doakan saja hasilnya bagus, agar operasi bisa berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Namun, tetap satu kuncinya. Berdoa, Pak. Minta sama sang Pencipta untuk kelancaran persalinan i
"Ya Allah, Nak. Lucu sekali kamu, aku janji, terlepas siapapun anak siapa kamu, aku akan tetap merawatmu. Bahkan, sejak dalam kandungan pun aku sudah jatuh hati padamu. Sehat lah, Nak. Aku tak sabar ingin membawamu dalam dekapanku," gumam Fathir lirih. ***