Share

BUKAN PERNIKAHAN BIASA

Waktu berganti begitu cepat, seiring musim kemarau yang akhirnya menyelimuti Kota Surabaya. Sembilan bulan lamanya usia pernikahanku dan Bang Habib. Namun, hingga kini kami tidak seperti pasangan pada umumnya. Tidur di ranjang berbeda dan tentunya di kamar terpisah.

Seperti perkataan Bang Habib di malam pertama pernikahan kami kala itu. Kami akhirnya pindah di bulan kelima. Itu pun setelah melewati perdebatan panjang dengan Mama Hani.

"Rumah ini terlalu besar untuk Mama tempati sendiri, Le. Senadainya kalian ingin kembali, pintu rumah ini selalu terbuka untuk kalian." Ucapan Mama Hani kembali terngiang saat kami mengemas barang.

Rumah mewah dua lantai yang terletak di Jalan Citra Land menjadi pilihan Bang Habib. Sebagai seorang istri, aku hanya bisa mengikuti apa kata suami. Bukankah surga seorang istri ada pada suaminya? Walaupun sampai saat ini aku tidak tahu apa itu surga dalam pernikahan.

Mungkin, aku satu-satunya istri yang masih perawan. Jangankan menjalankan ibadah suami istri, bermesraan pun kami tidak pernah. Sejak malam itu, Bang Habib memasang jarak tak kasat mata pada hubungan kami. Untung saja, dia tidak pernah melayangkan talak untukku.

Bau gosong masakan tercium hingga membuat aku terbatuk-batuk. Memikirkan Bang Habib membuat akal sehatku menghilang entah ke mana.

Aku melirik jarum jam yang melingkar di pergelangan tangan. Sudah lewat pukul delapan pagi, tapi Bang Habib belum keluar dari kamarnya. Sementara itu, anak-anak telah berangkat sekolah diantar oleh supir kami.

Aku membuang masakan gosong itu ke tong sampah, lalu membuka rak di bawah kitchen set berwarna hitam metalik. Mengeluarkan talenan dan pisau untuk membuat isian roti bakar sebagai sarapan suamiku.

Aku menghidangkan roti dan kopi hitam di meja makan berbentuk oval beralas kaca tebal. Taplak meja bermotif bunga sakura menjadi objek pandanganku. Menunggu Bang Habib hingga pukul setengah sembilan, tapi batang hidungnya tidak kunjung terlihat.

Aku mengambil nampan. Mengisinya dengan segelas susu dan beberapa potong roti. Pasti karena pulang dalam keadaan mabuk membuat dia kesiangan seperti ini. Undakan demi undakan aku lewati hingga sampai di depan pintu kamar Bang Habib.

Beruntung, pintu kamar tidak terkunci dari dalam sehingga aku bisa masuk dengan mudah. Bang Habib tertidur pulas di atas ranjang. Ranjang yang hanya aku tempati jika ada keluarga yang menginap di rumah ini.

"Bang, bangun! Ini udah siang. Bukannya Abang ada pertemuan penting pagi ini?" Aku berusaha membangunkan Bang Habib dengan menepuk pelan pipinya.

Akan tetapi, tidak ada sahutan dari laki-laki yang tengah mendengkur halus ini. Aku menghela napas panjang, lalu memutuskan membuka gorden terlebih dahulu. Kemudian, kembali menuju sisi ranjang.

"Bang Al, bangun, dong! Ini udah mau jam sembilan."

Berulang kali aku menepuk pipinya, tapi dia masih bergeming dan terbuai dalam mimpi indah. Aku hendak menarik tangan dari pipi Bang Habib, tapi tanganku ditarik hingga aku terhempas di atas tubuhnya.

"Sebentar lagi, Baby. Temani Abang dulu. Abang sangat merindukan kamu, Nay." Bang Habib berguman menyebut nama Mbak Naya.

Bolehkah aku cemburu?

Pelukan di tubuhku semakin erat. Aku berusaha berontak agar terlepas dari situasi yang tidak mengenakan, tapi Bang Habib membalikkan tubuh hingga aku berada di bawah kukungan laki-laki bergelar suami ini.

Aroma alkohol dari mulut Bang Habib tercium pekat. Aku bersusah payah menahan mual karena posisi kami sangat dekat, seperti malam pernikahan kami waktu itu.

"Bang, please, lepaskan Rara!"

Percuma aku bicara karena dia tidak peduli. Aku hanya bisa pasrah saat hidung mancungnya menghidu leherku dengan rakus.

"Kamu mengganti parfum, Sayang? Abang suka aroma tubuh kamu."

Aku menggigit bibir bawah agar tidak mendesah. Leherku kembali menjadi sasaran dari laki-laki bergelar suami ini. Matanya masih terpejam rapat, tapi tangannya bergerilya ke mana-mana.

Aku mendorong dada Bang Habib dengan kencang, tidak sudi rasanya dia menyentuh tubuh ini, dan menganggap aku sebagai Mbak Naya. Tetapi, tenagaku kalah dari dirinya.

Satu tamparan keras aku layangkan di pipi Bang Habib, saat dia mencoba mencium bibirku. Bukan ciumannya yang salah, tapi dia tetap memanggil nama Mbak Naya.

Bang Habib terlonjak kaget seraya membuka kelopak mata. Rahangnya mengeras saat menyadari aku di bawah tubuhnya.

"Apa yang kamu lakukan di kamarku, Ra?" bentaknya, lalu beranjak dari atas tubuhku, menuruni ranjang, dan berdiri tegak di depan jendela kaca lebar.

Miris memang. Bukannya tadi dia begitu buas menjamah tubuh ini, tapi sekarang dia justru menganggapku musuh.

"Jawab aku, Rara!" Dia kembali membentak dengan tatapan membunuh.

"Ra cuma membangunkan Abang. Tapi, seperti yang Abang lihat. Abang justru kembali melecehkan Ra." Dia berdecak kesal mendengar jawaban yang lolos dari bibirku.

"Jangan mimpi, Ra! Aku nggak mungkin melecehkan kamu, kalau bukan kamu yang menggoda," sengitnya tidak terima.

Pandangan mata kami bersirobok dan terkunci. Kemudian, aku menegakkan badan, lalu merapikan pakaian yang telah masai tanpa memutuskan pandangan.

Bang Habib memutuskan pandangan saat aku turun dari ranjang dingin ini. Aku melangkah penuh percaya diri dan berdiri tiga langkah di depannya. Dia bilang diri ini menggoda? Akan aku tunjukkan apa itu godaan.

"Ka-kamu mau ngapain, Ra?" Bang Habib tergagap saat aku menurunkan resleting dress rumahan ini hingga memperlihatkan bagian tubuhku yang tertutup.

Tanpa menjawab pertanyaannya, dress yang sebatas mata kakiku teronggok di atas ambal tebal berbulu lembut. Terlihat jelas Bang Habib menelan saliva dengan susah payah. Deru napasnya pun memburu. Mungkin menahan gairah yang telah lama tidak tersalurkan.

"Apa Abang sudah tergoda?" Dia hanya bergeming dengan tatapan tidak lepas dari tubuhku yang telanjang.

"Jawab Rara, Bang! Mau sampai kapan Abang mendiamkan Rara? Apa Rara terlalu hina sampai Abang nggak mau menyentuh Ra sebagai istri?" Aku menangis, mengiba agar dipandang suami sendiri. Ah ..., betapa rendahnya aku.

Tubuh polosku ternyata tidak mampu membuat Bang Habib luluh. Dia hanya memandang tanpa mendekat, apalagi menyentuh. Aku tertawa sumbang karena sudah melakukan hal yang bodoh dan berakhir sia-sia. Seharusnya aku tidak perlu berharap karena di hatinya hanya ada Mbak Naya.

"Terima kasih atas sikap Abang selama ini," ujarku seraya memungut dress di atas ambal.

Sembari menangis aku memasang dress dengan asal. Membelakangi Bang Habib. Namun, sepasang tangan melingkar di perutku. Mengunci pergerankanku.

"Maafkan Abang, Ra. Maaf ....!" Bang Habib berbisik dengan kepala tertunduk. Hawa napasnya menyapu hangat di daun telingaku.

"Abang nggak mau merusak kamu, Ra. Setidaknya, siapa pun laki-laki pilihan kamu nanti, dia nggak akan rugi mendapatkan gadis sebaik kamu. Jadi, Abang mohon, jangan rendahkan diri kamu. Abang takut khilaf, Ra." Penjelasan Bang Habib membuat hatiku tergelitik. Lucu.

Haruskah aku merasa tersanjung dengan penjagaannya? Aku ini istri, bukan adiknya.

Lantas, apa yang harus dia jaga?

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Atina Sari
lanjut,masih mengikuti alur
goodnovel comment avatar
Samsuri Muhammad
sungguh menarik
goodnovel comment avatar
Ova Bakri
makasih say.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status