Share

TERJEBAK DI KAMAR PENGANTIN

TERJEBAK DI KAMAR PENGANTIN

Mama Hani tersenyum penuh arti. Perempuan paruh baya yang biasa aku sapa bude itu menaruh minuman hangat di atas nakas. Aroma jahe menguar di penjuru kamar. Di ambang pintu, Mbak Viona dan suaminya tersenyum memperhatikan kami. Aku tersenyum kikuk saat menyadari arah tatapan mereka.

"Ra ...! Sini Mama bantu lepaskan kancing kebaya kamu. Ck! Habib itu memang nggak peka."

Aku menganggukkan kepala, laku mengikuti Mama Hani menuju kamar mandi di sudut ruangan. Kamar mandi dengan lantai berbahan pualam berwarna gading bermotif abstrak Fasilitas kamar mandi ini pun seperti hotel berbintang. Ada bath up dan shower yang dilengkapi air hangat. Hampir sama dengan rumah Mama dan Papa.

Aku memandang Mama Hani melalui cermin besar di atas wastafel. Beliau membantu melepas jilbab yang melilit leher. Aku merasa lega karena terbebas dari mahkota di atas kelapa telah terlepas.

Rambutku yang digulung di balik siput pun dilepas sehingga rambut panjang bergelombang itu tergerai bebas. Mama Hani mengalihkan tangan pada kancing-kancing rumit kebaya modern ini. Membuka dengan hati-hati tanpa merusak apa pun yang melekat di atas kain mahal tersebut.

"Matur nuwun, Bude. Eh, Ma." Aku tergagap karena terlepas memanggil bude pada Mama. Padahal, setelah akad nikah tadi, Mama Hani meminta agar aku membiasakan diri dengan status baru kami.

Mama Hani tergelak hingga matanya menyipit. Pengusaha kondang di bidang konveksi ini menepuk pelan pundakku, lalu berkata dengan nada lembut. "Yo wis. Kamu mandi dulu, sana. Pasti gerah, toh?"

Mama Hani keluar kamar mandi. Aku sempat mengintip dari celah pintu saat Bang Habib berdebat dengan ketiga saudaranya. Entah apa yang mereka perdebatkan. Saat ini, aku lebih memilih membersihkan diri.

Kebaya modern berwarna silver teronggok di atas lantai. Aku segera menuju bath up dan mengisi air dan menabur aroma terapi di dalamnya. Sementara menunggu bath up terisi penuh, aku menyalakan shower dan memberi sentuhan lembut di kepala. Mencuci rambut dan kulit kepala yang terasa lengket oleh keringat.

Aku paling suka berendam seperti saat ini. Salah satu cara untuk menjernihkan pikiran setelah beraktivitas seharian. Namun, malam ini aku tidak mungkin dapat tenang karena berada di dalam kamar yang sama dengan Bang Habib.

"Bang Al. Andai Abang mau membuka sedikit saja hati Abang. Mungkin Ra akan merasa bahagia." Aku berguman pelan. Al. Nama yang aku sematkan untuk Bang Habib sejak kecil dulu.

*Ra pengen berbeda dari yang lain, Bang. Jadi, cuma Ra yang boleh memanggil Abang seperti itu." Dia terkekeh saat mendengar alasanku memanggilnya dengan sebutan Bang Al.

Aku menyudahi aktivitas berendam setelah merasa tubuh sedikit menggigil. Aku bangkit berdiri dan keluar dari bath up. Kali telanjang ini melangkah hati-hati menuju wastafel. Namun, mataku membola saat menyadari tidak membawa handuk dan baju ganti.

"Ya .., basah lagi." Aku menatap nanar kebaya yang sudah lembab. Tidak mungkin juga keluar dengan keadaan telanjang sepeti ini.

Aku mendekati pintu, lalu berteriak memanggil Mama Hani. Aku sangat berharap Mama Hani atau Mbak Viona masih berada di kamar.

"Ma ...! Bisa minta tolong ambilkan Ra handuk?"

Aku tidak mendengar sahutan dari balik pintu. Aku mencoba membuka pintu, dan mencondongkan kepala ke luar. Sepi. Tidak ada satu orang pun yang terlihat. Namun, sejurus kemudian, aku mendengar suara teriakan Bang Habib.

"Viona!"

Aku kembali menutup pintu dan bersandar di tembok yang dingin. Tubuhku mulai menggigil, tapi tidak memiliki nyali untuk keluar. Apalagi, Bang Habib sepertinya marah entah karena apa.

Jantungku hampir copot saat ketukan dari luar membuat aku terlonjak kaget. "Ra! Apa kamu masih lama?"

Aku menghirup napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Setelah lebih tenang, aku menyahut dengan suara tercekat di tenggorokan. "Bang, tolong ambilkan Ra handuk dan koper ...!"

Seharusnya Bang Habib mendengar karena kami hanya dipisahkan oleh pintu saja. Namun, dia tidak menyahut, hanya langkah kaki yang menjauh saja terdengar samar.

Beberapa jenak menunggu sampai akhirnya pintu kembali diketuk dari luar. Aku membuka daun pintu dan hanya menjulurkan tangan keluar. Benda lembut dan tebal berada di telapak tangan, ukurannya lebih berat dari handuk. Belum sempat aku menarik tangan kembali, benda asing lainnya menyusul di atas handuk jumbo ini.

"Pakai itu dulu." Suara Bang Habib terdengar lantang.

Aku kembali mengunci pintu, tapi mataku membola karena ternyata Bang Habib memberikan selimut tebal dan piyama biru ukuran besar.

"Kopee Ra mana, Bang?"

"Pakai itu dulu, Ra. Abang nggak lihat ada koper kamu di kamar." Dia menyahut setengah berteriak.

Perasaan, aku sudah membawa koper ke dalam kamar in sebelum akad nikah dilangsungkan. Tetapi, kenapa Bang Habib tidak menemukannya? Aneh.

Aku memakai piyama kedodoran milik Bang Habib, lalu membungkus tubuh dengan selimut tebal yang sudah lembab. Di balik piyama, sudah jelas aku tidak memakai dalaman sama sekali.

Bang Habib hampir saja menyemburkan tawa saat aku keluar dari kamar mandi. Dari ujung rambut hingga betis, aku bungkus menggunakan selimut tebal yang telah lembab. Biarh aku seperti kepompong, daripada berpakaian, tapi seperti telanjang.

Aku menuju sudut kamar yang terbentang sajadah. Memakai mukenah dengan cepat dan mulai menjalankan salat Isya yang sudah terlewat sejak tadi. Pantang rasanya meninggalkan kewajiban hanya karena urusan dunia.

Salam sujud panjang aku berharap agar Allah mau memberi kebahagiaan untuk pernikahan kami. Menjadikan pernikahan sebagai ladang pahala untukku dan Bang Habib selalu suami. Seperti pernikahan pada umumnya.

Apakah aku terlalu serakah jika berharap mendapat cinta dari laki-laki bergelar suami itu?

"Kanap jendelanya Abang buka?" tanyaku setelah membungkus tubuh dengan selimut lembab.

Bang Habib menoleh sembari menarik sudut bibir. Dia tersenyum, meski terlihat samar. "Pintu kamar ini dikunci Vio dari luar. Bisa dikatakan kita dijebak anak nakal itu." Dia menjelaskan, lalu membuang pandangan ke arah jendela.

Aku baru menyadari keanehan yang terjadi. Tentang raibnya koperku, lalu sofa kecil yang pun tidak luput dari kejahilan Mbak Viona. Ck! Mbak Viona memang luar biasa.

"Tidurlah di ranjang, Ra. Abang akan tidur di ambal aja. Rambut kamu lepaskan aja, nanti kamu bisa sakit." Hatiuu kembali menghangat saat Bang habib menyebut dirinya dengan abang, bukan kata aku seperti beberapa waktu yang lalu. Pun dengan perhatiannya.

Sedikit ragu, aku melangkah menuju ranjang dan mendaratkan bokong segera. Bang Habib kembali fokus menatap gelapnya malam sembari menghisap rokok, lalu mengembuskannya perlahan.

"Lebih baik Abang tidur juga. Ini sudah larut, soalnya."

Bang Habib menoleh dan menatapku dengan tajam. Hilang sudah raut ramah di wajah tampannya. Dia bangkit berdiri dari kursi tolet, lalu mendekatiku yang terpekur.

"Apa ini rencana kamu, Ra? Kamu sengaja meminta Vio untuk mengurung kita agar bisa mendapat hak sebagai istri. Jawab, Ra!" Dia berteriak tepat di depan wajahku.

"Demi Allah, Ra nggak paham maksud Abamg." Aku tidak serendah itu untuk melakukan hal hina seperti tuduhannya. Meskipun, aku berhak mendapat apa yang dia katakan.

Dia membungkuk, tangannya menapak di sisi ranjang. Tubuhku dikurung dengan jarak dekat hingga sapuan napasnya terasa menggelitik permukaan wajahku.

"Jangan pernah bermimpi merasakan apa itu malam pertama!"

Tuhan ... mengapa rasanya sakit seperti ini? Aku tahu dia tidak mencintaiku, tapj apa dia bisa berpura-pura barang sejenak?

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Fithriah Arrahman
Akhirnya di balas sama kakak Aurhor yang cantik...
goodnovel comment avatar
Ova Bakri
aku padamu juga
goodnovel comment avatar
Ova Bakri
terima kasih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status