Siapa yang tidak akan menyangka akan penampilan Lea kali ini. Dari ujung kepala sampai ujung kakinya tidak kalah dengan apa yang di kenakan oleh Helena. Semua mata tertuju pada Lea yang berjalan dengan percaya diri ke kursi tepat di depan Helena. Ada Raffi segera bergerak menarikkan lalu memajukan kursi untuk atasan diam-diamnya ini. "Mau apa kamu?!" tanya Helena tajam. "Main," jawan Lea enteng. Melepaskan kacamata hitamnya lalu di taruh di atas meja secara perlahan. Kacamata milik Vin yang di comotnya secara serampangan asal menambah mewah penampilan saja. "Huh. Dasar wanita nggak ada gunanya! Main katamu!" cibir Helena dengan decakan meremehkan. "Apa kamu nggak ada kerjaan lain, hah? Dasar pengangguran cuma andelin uang suami." "Main saham." Ternyata Lea sengaja memenggal jawabannya untuk menggoda Helena agar semakin jadi panas. "Itu akan jadi kerjaan baruku," ucap Lea sombong. Meskipun di luar berkesan percaya dirinya besar, tapi sebenarnya di dalam lumayan gemeteran.
"Jaga mulutmu!" Bentakan Helena di sertai tamparan. Lea memegangi pipi kirinya dengan tatapan nanar. Tiba-tiba saja Helena melakukannya tanpa Lea duga-duga. "Bagiku kamu ke sini sekarang itu sudah buat tantangan, jadi kalau mau nuduh itu cari buktinya terlebih dulu. Jangan asal mangap aja mulutmu!" Helena memberi tanda pada beberapa asisten dan penjaganya agar mengikuti. "Kita pergi. Sial hariku ketemu wanita nggak tahu malu ini!" umpatnya sempatkan melirik Lea dengan tajam, baru kemudian menjadi yang pertama keluar dari ruangan Morgan. Baru setelah pintu tertutup, Lea menatap satu-persaru anak buah Morgan dengan berikan senyuman. "Maaf ganggu kerja kalian. Aku lakuin juga agar Helena nggak bisa berbuat lebih jauh lihat-lihat database divisi keamanan." "Baik, Nyonya Muda. Saya sudah hubungi Pak Morgan soal kejadian barusan. Beliau sedang menuju ke sini." "Bukannya dia di beri Pak Presdir cuti?" rasa ingin tahu Lea. "Iya, benar. Tapi Komandan ingin melihat secara langsun
"Hanya kesalahanmu. Bukan ada sangkut pautnya dengan Nyonya Muda." "Berarti itukan juga salahmu!" Winda tidak mau begitu saja di salahkan sendirian saja. "Bukankah kamu semalam yang ijinin aku buka-buka ponselmu." Pada akhirnya Winda membuka sendiri apa yang sebenarnya terjadi. Mendengar pengakuan jujur Winda ini, Morgan jadi terlihat kikuk. Di dalam ruangan interogasi tersebut, tidak hanya ada mereka bertiga, tapi ada beberapa anak buah Morgan yang akhirnya mendengar dan mengetahui, hanya saja tak bisa berkomentar karena kode etik. "Karena itu aku ke sini. Sebisa mungkin hal kecil seperti ini tidak sampai ke telinga Pak Presdir. Untung saja ada Nyonya Muda, jadi Nyonya Besar Helena tidak juga tahu." "Berarti, setelah ini bawa Winda keluar dari sini secepatnya," perintah Lea. "Baik, Nyonya. Anda cerdas sekali. Putuskan ke sini dengan kamuflase dandanan ke sini, sampai berhasil membuat Nyonya Besar pergi. Kalau tidak, kami bisa susah menolak perintahnya di saat posisi Pak Pre
"Saya berharap Nyonyalah yang menjadikan saya dan Sekretaris Li bisa di percaya lagi sama Pak Presdir." "Gimana caranya?" pertanyaan spontan terpikir atas permintaan Morgan ini. "Kalau misalnya Nyonya kemungkinan besar tidak bisa yakinin Pak Presdir dengan kalimat, saya mohon bisa dengan tindakan." "Misalnya?" "Saya bisa jadi pengawal Nyonya kalau Pak Presdir sedang tidak membutuhkan saya, dan dengan Sekretaris Li ... anda bisa jadikan dia partner berkomplot melawan Nyonya Besar." Kedipan beberapa kali dari kedua mata Lea. Tak menyangka, setelah sebelumnya sempat ingin membuat komplotan tersendiri tanpa sepengetahuan Vin beranggotakan pegawai-pegawai tak di perhitungkan seperti Robbi, lalu berakhir dengan Raffi, sekarang justru orang yang di kenal paling dekat dengan Vin menyodorkan diri menjadi pengikutnya. "Ehm ... baiklah deh kalau begitu. Aku setuju kamu jadi orang kepercayaanku juga, asalkan benar-benar jujur dan tulus ya," pinta Lea setelah sempat mengingat peringata
"Lea." Berbeda dengan Lea, Sarah menanggapi panggilan putrinya ini dengan suara lirih, terlihat sekali seperti orang ketakutan akan sesuatu dan hal ini bisa di rasakan langsung oleh Lea. "Mama di mana? Di kamar atau di mananya? Aku sudah di kasih tahu Pak Morgan kok Mama sekarang ada di mana." "Iya, Mama ada di apartemen di luar kota Jakarta. Memang di kasih fasilitas lengkap, tapi ya gimana juga nggak enak Lea, kayak di penjara begini," kesedihan di curahkan Sarah pada putri semata wayangnya ini. "Mama sabar dulu, terus jangan kesel sama Pak Vin ya. Percaya aja sama beliau kayak biasanya. Mama yakin aja beliau lakuin ini pasti ada alasannya, terus demi bersama kok." Ujaran baik-baik Lea barusan justru di tanggapi Sarah dengan bersungut-sungut. "Kalau emang buat bersama, kenapa Mama di bawa ke sini kayak di isolasi begini? Terus nggak boleh ketemu kamu, jadi Mama tersinggung banget ini, Lea!" Lea menelan salivanya kasar. Sarah sudah terisi dengan ucapan-ucapan Dani wak
"Aku tahu di mana Dani, tapi dari Pak Morgan. Pak Vin nggak bolehin kasih tahu siapa-siapa sampai waktunya tepat, jadi aku nggak bisa bilang ke Mama." "Aduuh, kenapa sih Pak Vin meski main rahasia-rahasiaan? Kan pengen tahu, biar bisa nengokin." "Sudah Ma. Orang kan pikirannya beda-beda. Kita ya nggak bisa paksain Pak Vin buka suara kalau nggak tahu apa yang di rencanain. Sekarang Mama tetep di situ dulu, sampe aku di bolehin ketemu Mama." "Memang kenapa kamu nggak boleh ketemu Mama? Kamu anakku lho!" tandas Sarah masih tak habis pikir dengan keputusan Vin ini. "Ih, di bilang nggak usah emosi. Emang begitu Pak Vin Dia itu memang seperti yang Mama bilang, arogan, kepala batu, suka paksain diri, tapi percayalah. semua itu ada maksud baiknya. Buktinya, Pak Vin-lah yang buat Dani nggak jadi bunuh diri. Mungkin sekarang ini pertimbangan dia juga soal keamanan kita. Orangnya Nyonya Helena, kan juga banyak." Terdengr helaan napas dari Sarah. Lea benar, pikirnya. Sudah sekian bulan,
"Setahu saya itu tidak benar, Nyonya." Lea tidak lantas berpuas diri dengan jawaban Morgan, di geser kursi agar lebih menghadap pada Morgan agar bisa lebih jelas melihat bagaimana ekspresi wajahnya. "Kamu nggak bohong kan Morgan?" tanya Lea memastikan. "Saya pastikan benar. Saya tidak pernah bohong, Nyonya." "Siapa wanita itu, Morgan?" "Mak mak maksud Nyonya?" Morgan mendadak gagap. "Anak kecil aja pasti tahu kalau kamu lagi bingung. Pertanyaanku terlalu mendadak ya? Sampai kamu nggak siap jawaban?" cecar Lea sebagai wanita kebanyakan, kalau sudah di buat penasaran apalagi soal gosip adanya wanita lain dari pasangan, tentu akan langsung mengejar dan meradang sampai dapat jawaban dan kepastian. "Bukan begitu, Nyonya. Pak Presdir memang dekat dengan banyak wanita, termasuk di Italia, tapi tidak ada satupun yang di anggap serius sama beliau." "Mantan pacar? Bukannya pernah dekat sama saudarinya dokter itu?" Morgan terlihat tak nyaman. Posturnya tinggi tegap dan besar,
"Bagaimana dengan kecekaan Nyonya Letizia? Apa sudah di temukan bukti yang memberatkan Nyonya Helena?" Morgan bersikap lebih rileks, sudah hampir 10 menit dia bercerita sambil berdiri. Dari cara bicara Lea yang juga santai, membuat Morgan seperti bukan berhadapan dengan istri atasan, tapi seperti dengan teman yang sudah dekat. "Sudah. Awalnya, Pak Presdir tidak mau libatkan polisi seperti yang di amanatkan Tuan Besar dari surat wasiat yang bisa di keluarkan setelah Pak Presdir telah mendaftarkan pernikahannya kemarin di Italia. Tapi apa daya, cuma itu jalan agar bisa membongkar kasus itu secara hukum resmi." "Tapi kenapa Pak Presdir kita ini pernah mengatakan padaku kalau dialah penyebab kematian ibunya?" Sebenarnya Vin sudah pernah bercerita padanya, namun Lea mencoba menkonfrontir dengan jawaban Morgan juga. "Itu hanya rasa bersalah beliau. Tapi sebenarnya adalah perasaan dendam, jadi ingin balaskan tapi Pak Presdir selalu menyalahkan dirinya sendiri karena sampai detik ini