Pak Firman melongo melihat uang tunai dalam koper yang Mama tunjukkan, begitu juga dengan ibu dan Bang Ferry."Bagaimana, Pak? Jika setuju, silakan tanda tangan di sini, dan sisanya biar notaris saya yang akan urus besok," ucap Mama lagi."T-tentu saja saya setuju, Nyonya," ucap Pak Firman cepat seraya mengambil surat perjanjian jual beli.Pak Firman cepat-cepat menanda tangani surat itu, lalu menyerahkannya pada Mama. Tiba-tiba saja Bu Fatmah menggebrak meja, membuat kami kaget."Tunggu dulu! Bukankah ini penipuan namanya?" ucapnya dengan wajah merah padam."Loh, penipuan bagaimana, Bu?" Pak Firman menatap ke arah Ibu. "Kita kan sudah melakukan jual beli sesuai akad.""Kalian berdua pasti sudah bekerja sama, dan sengaja mempermalukan saya!" ucap Ibu lagi. "Karena itulah Bapak sengaja menunda pelunasan, agar bisa menjebak saya seperti sekarang ini!""Itu benar sekali," sahut Bang Ferry. "Tidak mungkin secara kebetulan kita berada di sini secara bersamaan, kalau kalian tidak bersekongk
Pagi-pagi sekali aku sudah menyiapkan sarapan dan bekal untuk Mas Hanan. Jika sebelumnya aku cuma bisa memasak telur orak-arik, kali ini aku sudah bisa memasak telur dan ayam balado, meskipun hanya dengan bumbu instan."Wah, masakan Adek makin hari makin sedap," puji Mas Hanan sebelum berangkat kerja, membuat hati ini berbunga-bunga."Benarkah, Mas?" Mataku membola dan langsung menyendok bumbu telur lalu mencicipinya."Ya Allah, asin!" ucapku sambil melepehnya dari mulut, lalu kemudian menatapnya seraya cemberut. "Mas Hanan bohong. Ini asin sekali.""Itu karena Adek makannya gak pakai nasi," jawab Mas Hanan seraya tersenyum. "Mas berangkat kerja dulu, ya?""Bekalnya gak usah dibawa, Mas. Asin," ucapku lagi."Ini enak, Dek. Mas pasti akan habiskan." Mas Hanan masih kekeh membawa bekalnya, lalu mencium keningku sambil berpamitan.Aku menarik napas panjang. Aku tahu masih belum pandai masak, tapi Mas Hanan begitu menghargai masakanku, dan selalu bilang enak. Sepertinya aku harus berusaha
Mata Mas Hanan membola sesaat, lalu menghela napas."Tidak mungkin lah, Dek. Bapak saja tidak pernah mengatakan apapun," ucapnya kemudian."Mungkin karena Bapak terlalu menyayangi Mas Hanan, makanya Bapak tidak mau kehilangan Mas Hanan," ucapku lagi.Mas Hanan seketika terdiam, seperti memikirkan sesuatu. Tapi sesaat kemudian dia menatap ke arahku sembari tersenyum."Sudahlah, lupakan saja, Dek. Yuk, kita masuk. Mas akan menggambar ulang semua desain ini," ucapnya kemudian sambil membereskan kembali lemari yang tadi dia bongkar."Mas! Apa Mas Hanan tidak ingin tahu siapa orang tua Mas Hanan yang sesungguhnya?" tanyaku dengan hati yang agak kesal karena Mas Hanan mengalihkan pembicaraan.Mas Hanan menghentikan pekerjaannya, lalu terdiam lagi untuk beberapa lama, namun bibirnya tampak bergetar."Untuk apa mencari tahu tentang orang yang sudah membuang anaknya ke tempat sampah, Dek?"Aku tersentak mendengar ucapan Mas Hanan. Astaghfirullah, apakah ucapanku tadi tanpa sengaja membuka kemb
"Mas Hanan tidak apa-apa?" tanyaku seraya memegang pipi Mas Hanan yang membiru.Mas Hanan seketika meringis, lalu menatapku."Adek kenapa nekad tadi? Kalau kena pukul gimana?" tanyanya."Terus Mas Hanan mau aku diam saja dan membiarkan Mas Hanan babak belur?" Aku balik bertanya dengan muka merengut."Bukan begitu, Dek." Mas Hanan memegang pipiku, mungkin menyadari mataku berair karena mencemaskannya. "Mas ini laki-laki, jadi tahan kalau kena pukul. Kalau Adek yang terluka, Mas tidak akan memaafkan diri Mas seumur hidup."Aku seketika menggigit bibir. Lagi-lagi Mas Hanan hanya mencemaskanku, padahal dia sudah babak belur seperti itu."Ayo berdiri, Mas. Biar aku panggil dokter untuk memeriksa Mas Hanan," ucapku kemudian sambil membantu Mas Hanan berdiri."Tidak perlu, Dek. Kompres air dingin sama minum paracetamol juga sudah sembuh, kok," jawab Mas Hanan."Aduh, Mas Hanan ini terlalu meremehkan luka. Udah bonyok gini masih menganggap enteng," ucapku lagi."Belikan Mas Paracetamol saja,
Aku segera mengetik balasan untuk Mama.[ Sebaiknya kita bertemu saja, Ma. Hasna tidak bisa menjelaskan via telepon. ]Terkirim, dah beberapa saat kemudian Mama akhirnya membalas.[ Kalau begitu biar Mama mampir ke sana sepulang dari kantor. ][ Oke, Ma. ]Aku menarik napas panjang, lalu melanjutkan pekerjaanku. Entah bagaimana nanti ekspresi Mama ketika melihat wajah Mas Hanan babak belur seperti itu. Lihat saja nanti.Aku segera membuka google, lalu melihat resep nasi goreng yang simple dari sana. Setelah beberapa lama bergelut dengan panasnya api kompor, akhirnya jadi juga sepiring nasi goreng untuk Mas Hanan. Tak lupa aku mencicipinya lebih dulu untuk memastikan jika tidak keasinan."Mas, ayo makan." Aku membawakan piring nasi itu ke depan Mas Hanan, lalu duduk di sampingnya."Wah, baunya sedap, Dek," ucap Mas Hanan kemudian.Aku menyendokkan nasi dan memasukkannya ke mulut Mas Hanan dengan hati-hati, karena sudut bibirnya terluka. Mas Hanan tampak mengunyahnya pelan, dan kemudian
"Dengarkan saya dulu, Nyonya." Pak Baskoro masih berusaha bicara pada Mama. "Saya tahu yang putra saya lakukan ini keterlaluan. Tapi bisakah kita bicarakan lewat jalur kekeluargaan?""Begini, Pak Baskoro. Masalahnya ini bukan pertama kalinya putra Bapak membuat masalah dengan kami," jawab Mama seraya menarik tangan Mas Hanan untuk mendekat."Sebelumnya dia sudah membuat menantu saya babak belur. Jadi kali ini saya tidak bisa memaafkan!" lanjut Mama.Wajah Pak Baskoro berubah gusar, lalu menatap ke arah Irwan dengan pandangan yang kentara jika ia tengah murka."Dengarkan aku dulu, Pa. Aku melakukan itu karena laki-laki ini sudah merayu istriku," ucap Irwan, mencoba membela diri di depan Papanya."Diam kamu, anak kurang ajar! Mana mungkin menantu keluarga Dirgantara berani melakukan perbuatan rendah seperti itu!" jawab Pak Baskoro lagi."Keluarga Dirgantara?" Wajah Irwan seketika memucat, lalu menatap ke arah kami satu-persatu dengan pandangan tak percaya."Jangan sampai suami saya ikut
"Istana?" Aku lagi-lagi tersenyum mendengar ucapan Mas Hanan."Iya, Dek, masyaa Allah ...." Mas Hanan lagi-lagi berdecak kagum."Ini hanya bangunan, Mas," ucapku kemudian, sambil mengaitkan tanganku di lengannya. "Mau tahu istana yang sesungguhnya?"Mas Hanan menatap ke arahku sambil tersenyum. "Apa, Dek?""Rumah yang di dalamnya ada kebahagiaan kita berdua, Mas," jawabku."Masyaa Allah ...." Mas Hanan seketika merangkulku."Ayo masuk, Mas," ucapku lagi, dijawab oleh anggukan Mas Hanan."Ya Allah Hanan, Mama kira kamu menghilang kemana," ucap Mama kemudian."Maaf, Ma. Saya terpesona dengan rumah Mama, sampai gak sadar sudah melongo lama," jawab Mas Hanan sambil nyengir kuda."Ada-ada saja kamu, Hanan," ucap Mama lagi, seraya tersenyum mendengar alasan Mas Hanan yang lucu. "Baiklah, ayo masuk.""Selamat datang, Nyonya." Salah satu asisten kami membukakan pintu, dan membungkuk hormat pada kami."Nona Hasna dan menantu saya datang untuk menginap mulai hari ini. Tolong siapkan segala sesu
"Bang Ferry sedang apa di sini?" tanya Mas Hanan seraya mendekat ke arah Kakak lelakinya itu.Bang Ferry tak langsung menjawab. Wajahnya kentara jelas kalau dia sedang gugup, seperti maling yang sedang tertangkap basah."Aku ... sedang kerja," jawabnya kemudian."Kerja?" Mas Hanan menatap sekeliling, menatap ke arahku, lalu kembali menatap ke arah Bang Ferry."Kerja di sini, Bang?" tanya Mas Hanan lagi.Wajah Bang Ferry yang tadinya terlihat gugup, lambat laun mulai kembali seperti semula."Iya, Hanan, kerja! Sedang apa lagi? Aku membantu merapikan motor dan mobil yang datang ke toko milikku," jawabnya kemudian dengan suara angkuh.Mas Hanan menatap ke arah toko besar di depan kami."Wah, toko ini punya Bang Ferry rupanya? Besar sekali, Bang," jawab Mas Hanan kemudian sambil keheranan."Tentu saja, Hanan! Ini usaha yang aku rintis selama ini! Memangnya kamu, yang cuma mengandalkan harta mertua?" cibir Bang Ferry kemudian."Aku juga punya usaha sendiri kok, Bang," jawab Mas Hanan kemud