"Mas, aku merasa ... merasa bahwa pandangan Mama terhadap Laura berbeda," ujar Nita langsung to the point menceritakan yang ia rasakan.Damar bingung, hingga nampak kerutan di dahinya. Tak paham dengan apa yang dikatakan Nita. "Berbeda? Berbeda bagaimana maksudmu, Sayang?" tanya Damar yang memang tak paham."Aku takut, Mas.""Takut apa?""Takut kamu berpaling dariku dan melupakan semua kisah yang pernah kita lalui bersama. Aku merasa akan ada sesuatu buruk yang terjadi, tapi ... tapi aku tak yakin itu apa?" Nita menjelaskan dengan terburu-buru, hingga napasnya pun ngos-ngosan tak beraturan."Tenanglah, Sayang, jelaskan secara perlahan. Aku tak paham dengan apa yang kau maksudkan itu," ujar Damar yang khawatir melihat sang istri seperti cemas berlebihan."Lagipula, aku tak akan berpaling darimu. Sudah kutekadkan dalam hati, tak akan menyakitimu lagi. Aku sudah bisa berpikir lebih baik, karena apa? Karena sekarang kita bukan hanya punya Arkanza, tapi juga cinta.""Cinta yang membuat ika
"Mas, buru-buru banget. Masih pagi lho ini, sini sarapan dulu," ujar Nita pada Damar. Damar yang sibuk ke sana kemari mengurus berkasnya, tak mendengar apa yang dikatakan sang istri"Mas!" teriak Nita melihat Damar yang tak peduli pada ucapannya."Apa, Sayang?" tanya Damar yang sedikit terkejut mendengar teriakkan sang istri. Damar lalu menghentikan sebentar kesibukannya, dan menghampiri Nita yang memasang raut wajah kesal."Sarapan dulu, masih pagi. Nggak usah buru-buru gitu kayak orang dikejar hantu," kata Nita dengan lembut."Nggak sempat, Sayang. Aku lupa, pagi ini ada meeting, jadi harus ke kantor lebih pagi. Karena ada berkas yang nggak selesai aku kerjain," ucap Damar memberi pengertian pada sang istri."Nggak usah sedih gitu, nanti selesai meeting. Aku bakalan pulang ke rumah untuk makan siang ya," bujuk Damar. Mendengar perkataan sang suami, muncullah senyuman yang menghiasi bibir mungil Nita."Nah, gitu dong senyum. Cantik banget istri aku," goda Damar sambil mencubit pipi sa
"Ngapain dia ke sini, Mas?" tanya Nita dengan nada ketus. Sambil menikmati makanan yang dibawa istrinya, Damar menatap sang istri yang cemberut."Cemburu ya?" tanya Damar dengan nada meledek."Enggak!""Cemburu nih istri aku.""Nggak! Siapa yang cemburu sih," ucap Nita sambil memalingkan wajahnya."Aku nggak tau, Sayang. Tiba-tiba dia datang gitu aja, sambil bawain makanan buat aku. Tapi kamu tenang aja, makanannya nggak aku makan kok, sempat aku cicipi, cuman ya itu," ujar Damar tak melanjutkan ucapannya."Apa? Enak banget gitu!" tanya Nita dengan nada yang tegas. Ia penasaran dengan rasa masakan Laura."Kok diam? Enak ya?" tanyanya lagi, tapi tak kunjung mendapatkan jawaban dari Nita."Enggak, Sayang, kalo enak mungkin udah habis makanannya aku makan." Ucapan Damar membuat wajah Nita merah, bukan karena salting tapi menahan kesal yang semakin menggelora."Jadi, kalo enak makanan dia bakalan kamu habisin gitu?" tanya Nita memalingkan wajahnya ke arah lain. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Sayang, boleh nggak?" tanya Damar pada sang istri.Nita yang mendengar ucapan Damar mengerutkan dahinya tak mengerti apa yang diminta sang suami."Ngapain?" tanya Nita. Saat ini Arkanza bersama dengan Asih, Asih bilang ia merindukan sang cucu dan memilih untuk tidur bersama Arkanza."Anu," ujar Damar setengah-setengah, Nita yang sedang mengecek data hasil penjualan kuenya pun berhenti sejenak. Memfokuskan pikirannya terhadap keinginan Damar."Anu apaan? Yang jelas dong ngomongnya, kalo kamu anu-anu mulu aku nggak ngerti, Sayang," ujar Nita pada sang suami.Damar lalu tersenyum, sangat terlihat menggemaskan. Ia lalu turun dari ranjang mendekati sang istri."Kita bikin adek buat Arkanza," bisiknya di telinga Nita.Nita langsung membulatkan bola matanya. "No! No! No! Aku nggak mau. Aku mau membuatkan Arkanza Adek saat ia berusia 4 atau 5 tahun, aku takut kasih sayang kita terbagi untuknya."Ucapan Nita membuat Damar sejenak berpikir, mungkin apa yang dikatakan sang istri ada benarnya.N
"Sayang, makan dulu. Sudah seharian ini kamu nggak ada makan." Damar yang khawatir melihat kondisi sang istri langsung menghampiri Nita di kamar."Aku masih belum lapar, Mas. Kamu kalo lapar, makan duluan aja ya." Nita menolak untuk makan, hal itu membuat Damar sedikit ingin marah pada Nita.Namun Damar paham, Nita sekarang baru saja kehilangan orang tuanya. Jadi dia tak ingin mengikuti rasa egoisnya yang ingin segera marah pada sang istri, karena tak mau makan."Sayang." Damar memegang bahu sang istri, Nita masih asik memberikan asi pada Arkanza yang terlelap dalam pangkuannya."Nita belum lapar, Mas. Mas Damar makan aja ya duluan," ujar Nita tersenyum hangat pada sang suami."Sayang jangan menyiksa diri kamu sendiri, kalo kamu sakit nanti kasihan anak kita Arkanza. Dia masih kecil," bujuk Damar pada sang istri. Nita langsung termenung dan memikirkan ucapan Damar sang suami.Benar apa yang dikatakan Damar, jika dia sakit tentu saja itu juga akan berpengaruh pada kesehatan Arkanza, pu
*Nita terbangun sambil membuka matanya yang terasa berat akibat menangis semalaman."Mas,", panggil Nita saat melihat sang suami sudah tak berada di kamar. Ia lalu mengambil posisi duduk dan memegang kepalanya yang terasa sakit."Mas Damar," panggilnya sekali lagi. Namun masih tak kunjung ada sahutan, Nita lalu terdiam."Mungkin Mas Damar sudah berangkat bekerja,* gumam Nita, lalu turun dari tempat tidurnya. Ia segera mandi dan bergegas untuk ke kamar sang putra."Mama," panggil Nita saat melihat Aidansedang bercanda dengan Arkanza di ruang keluarga."Sayang, kamu sudah bangun?" tanya Aida yang melihat sang menantu sudah ke luar dari kamar. Nita terlihat lebih segar dari kemarin."Ma, maaf ya, Nita kesiangan," ucap Nita pada Aida."Tidak apa-apa, Sayang. Mama mengerti dengan keadaanmu. Kamu harus bisa menerimanya dengan lapang dada, ya. Sejatinya manusia memang akan berpulang pada sang pencipta." Aida tersenyum sambil menatap Nita yang berjalan mendekati mereka berdua."Iya, Ma. Nita
Putri bangun dengan badan yang terasa sedikit pegal. Putri melirik jam di dinding, ternyata jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.Ia sudah tak bekerja lagi, dia memilih untuk resign dari pekerjaannya. Namun, walau begitu Aryo tak pernah memaksa Putri untuk berhenti bekerja.Toh, seandainya Putri tak bekerja Aryo masih bisa memberikan apapun yang Putri inginkan. Putri lalu memilih untuk pergi ke kamar mandi sambil membersihkan diri. Baru kali ini dia bangun kesiangan, hingga melewatkan salat subuh. Biasanya Putri selalu terbangun pagi, mungkin karena kelelahan ia jadi kebablasan untuk tidur.Setelah selesai mandi, Putri lalu memakai pakaian dan bergegas untuk pergi ke dapur menyiapkan makan pagi.Saat baru saja melangkahkan kaki ke dapur, tiba-tiba Resa, mertuanya berbicara dengan kalimat yang menyakitkan."Bagus! Enak ya, tidur sampai siang. Suami kerja nggak dibikinkan sarapan. Memang sih ya, paling enak jadi benalu. Apalagi dari keluarga yang kurang berada, lalu menikah dengan
Putri menepis tangan Aryo dan mengusap air matanya kasar. Ia berlalu pergi dari hadapan tiga orang itu dan masuk ke kamar untuk membereskan pakaiannya."Mi, Pi? Ada apa ini, kenapa istriku menangis?" tanya Aryo yang tak paham dengan keadaan saat ini."Kami hanya ingin yang terbaik untukmu," ujar Resa cuek."Maksud kalian bagaimana?" tanya Aryo masih tak paham."Aku hanya meminta dia meninggalkanmu dan akan memberikan imbalan padanya jika menuruti keinginan kami sebagai orangtuamu, tapi sepertinya perempuan itu terlalu angkuh, padahal dia hanyalah seseorang yang berada di kalangan bawah.""Entah apa yang diajarkan orangtuanya dulu, sehingga putri mereka besar menjadi seorang penggoda, apalagi untuk menggoda laki-laki kaya dan--""STOP!" bentak Aryo pada maminya. Resa yang mendengar bentakan sang anak langsung membulatkan matanya dengan sempurna."Aryo!" bentak sang Ayah tak terima dengan perlakuan putranya pada sang istri."Aku tak pernah menyangka kedatangan kalian ke sini hanya untuk