Setelah merenung sejenak, asistennya menyarankan, "Sebaiknya, Bu, kalau merasa nggak enak badan, lebih baik istirahat dulu. Coba periksa ke dokter, dokumen-dokumen ini juga sudah menumpuk beberapa hari ini.""Ah, nggak bisa. Saya harus menyelesaikan ini. Kalau saya tunda lagi, perusahaan kita bisa rugi besar," Juanita menolak sambil menggeleng, "Nggak apa-apa, istirahat sebentar juga sudah baikan lagi. Kamu boleh pergi sekarang."Dengan perasaan khawatir, asistennya pun keluar dari ruangan.Meski demikian, Juanita tetap meremehkan kondisinya dan tidak menganggapnya serius. Ia bekerja di kantor sepanjang hari dan baru pulang ke rumah pada malam hari.Saat itu, Ingga, anaknya, sudah ada di rumah.Ingga tidak merasa bosan meski sendirian di rumah karena ia memiliki banyak kegiatan.Juanita menjadi penasaran ketika melihat Ingga asyik dengan kegiatannya dan mendekat untuk melihat lebih dekat."Duduk di sebelah Ingga, Juanita bertanya, "Lagi apa, Ingga?""Mama, aku lagi cobain game baru," j
Melihat Tommy begitu khawatir, Juanita mencoba menenangkannya dengan berkata, "Nggak apa-apa, hanya sedikit nggak nyaman. Sudah malam, nggak enak kalau keluar. Aku sudah merasa lebih baik sekarang."Tommy, masih dengan ekspresi khawatir, merespons, "Benar kamu sudah lebih baik?""Iya, sudah, kok" Juanita mengangguk, berusaha meyakinkan Tommy. "Kalau besok masih merasa nggak enak, aku janji akan ke rumah sakit."Akhirnya, Tommy mengalah, walaupun masih ragu. "Ingat, kalau ada yang nggak beres, langsung bilang. Jangan tanggung sendiri."Tommy dengan tegas mengingatkan Juanita, tak ingin melihatnya menderita."Tenang saja, aku akan bilang," Juanita membalas dengan serius, kemudian mengusap pundak Tommy untuk menenangkannya.Melihat itu, Tommy tersenyum pelan tapi tetap bersikap tegas. "Jangan kira aku akan cuek karna kamu bersikap manja, ya."Juanita merasa ada kehangatan yang tidak bisa dijelaskan dalam hatinya. "Aku juga nggak mau kamu cuek."Malam itu, Juanita hanya makan sedikit. Dia
Siang itu di sebuah restoran, Yolanda, yang sejatinya berencana berkencan dengan Ricky, tiba-tiba menerima panggilan telepon dari Jacky. Rasa was-was menghinggapinya saat melihat nomor asing di layar handphone, tapi dia tetap menjawabnya. "Halo, siapa ini?" tanya Yolanda, suaranya terdengar gugup, alisnya berkerut."Selamat siang, Bu Yolanda. Saya asisten Pak Tommy. Saya diinstruksikan Pak Tommy untuk menyampaikan pesan bahwa dalam waktu satu minggu Ibu harus melunasi denda atas pelanggaran kontrak. Jika tidak, Bu Yolanda akan mendapat surat peringatan dari pengacara kami," sahut suara Jacky dari seberang sana, kemudian langsung memutus sambungan.Yolanda terpaku mendengar dering telepon yang berakhir, merasa frustrasi. Harapannya agar Tommy bersikap lebih lunak seketika pupus; Tommy tak lagi memberi toleransi.Sementara Yolanda tenggelam dalam kemarahan, Tanya meneleponnya. "Halo, Tante, lagi apa?" suara Tanya terdengar manis, berusaha mendekatkan diri.Namun, kekesalan Yolanda mak
Juanita merasa Yolanda benar-benar berlebihan dengan kelakuannya yang nekat dan brutal. Meski merasa marah, dia lebih memperhatikan kekhawatiran asistennya yang terlihat sangat cemas.Kerusuhan tersebut dengan cepat menarik perhatian manajer restoran. Setelah melihat luka Juanita, manajer itu segera memberikan pertolongan pertama untuk menghentikan pendarahan.Juanita, meski merasa sakit, berpikir luka tersebut tidak terlalu serius dan cukup membalutnya saja. Namun, asistennya terlihat sangat khawatir dan menyarankan agar Juanita pergi ke rumah sakit."Wah, sepertinya nggak perlu, sih." Juanita mencoba meremehkan lukanya."Nggak, Bu. Lebih baik kita pergi ke rumah sakit saja," tegas asistennya.Akhirnya, Juanita setuju dan mereka berdua segera menuju ke rumah sakit. Selama perjalanan, Juanita merasa geli melihat ekspresi khawatir yang berlebihan dari asistennya."Bu Juan, kita nggak bisa menganggap enteng ini. Pak Tommy selalu mengingatkan saya untuk menjaga Ibu. Kalau sampai ada sesua
Baru saja Yolanda hendak berkata sesuatu, ia mendengar nada sambung terputus dari teleponnya. Dengan perasaan marah, ia melempar teleponnya ke samping. Sementara dia masih bingung memikirkan langkah selanjutnya, teleponnya berdering lagi.Dengan asumsi bahwa pemilik pabrik mungkin berubah pikiran dan ingin melanjutkan kerjasama, Yolanda segera mengangkat telepon. "Halo? Bapak berubah pikiran, ya?" ujarnya penuh harapan.Namun, di ujung telepon terdengar suara bingung, "Bu Yola, Ibu bicara tentang apa?"Sadar bahwa suara itu tidak sesuai ekspektasi, Yolanda memeriksa nomor di layar dan menyadari bahwa itu adalah orang yang bertugas membeli barang-barangnya. Yolanda menguatkan suaranya dan bertanya, "Iya, ada yang bisa saya bantu?"Penelepon itu langsung menyampaikan kabar buruk, "Bu Yola, ada masalah. Semua peralatan impor yang kita beli ditahan oleh bea cukai karena tidak memenuhi persyaratan.""Kamu bilang apa?" Yolanda mengerutkan alisnya, terkejut.Penelepon itu mengulangi perkataan
Yolanda mengangguk serius, "Tapi Mbak, aku merasa Tommy berubah. Dulu dia nggak seperti ini, menentang keluarganya sendiri. Pasti ada yang mempengaruhi dia dari belakang. Kalau Mbak terus membiarkannya, orang tersebut mungkin akan mempengaruhi Mbak dan Tommy juga."Kata-kata Yolanda tampak tulus dan serius.Semakin lama Soraya mendengar, semakin gelap wajahnya. Dia mulai menyadari bahwa Tommy telah berubah sejak bertemu dengan wanita tertentu."Anak baik yang kubesarkan jangan sampai rusak karena wanita itu," pikir Soraya. "Harus ada cara menghilangkan pengaruh wanita itu dari hidup Tommy."Soraya memberikan dukungan kepada Yolanda, "Tenang Yola, aku sudah tahu masalahnya. Aku nggak akan biarkan kamu terus menderita.""Terima kasih, Mbak. Aku hanya bisa mengandalkan Mbak sekarang," kata Yolanda dengan wajah sedih.Meski Soraya mulai merasa kesal karena Yolanda terus mengganggunya, dia tahu bahwa masalah Juanita harus diselesaikan terlebih dahulu."Kamu pulang dulu, aku akan kabari kala
Setelah kembali ke rumah, Juanita membawa test pack ke kamar mandi dan melakukan tes kehamilan. Hati Juanita berdebar sambil menunggu hasilnya. Tak lama kemudian, alat tes tersebut menunjukkan dua garis merah. Juanita menutupi mulutnya, terkejut. Dua garis itu berarti ia hamil.Dia meyakinkan diri beberapa kali dan akhirnya percaya bahwa ia hamil, dan bayi itu adalah anak Tommy. Juanita membayangkan betapa bahagianya Tommy mendengar berita ini, membayangkan senyum di wajahnya yang biasanya dingin.Juanita merasa puas karena ini adalah bukti cinta mereka berdua. Walaupun hidupnya penuh dengan tantangan, kini ia merasa Tuhan telah memberinya berkah lain.Namun, ingatannya kemudian melayang ke Ingga, anaknya. Tommy bukan ayah kandung Ingga, dan Juanita khawatir Ingga mungkin merasa tersingkir atau tidak dicintai jika ada bayi baru di perutnya. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai skenario tentang masa depan.Biasanya kehamilan adalah momen bahagia, tapi bagi Juanita, ini adalah campuran ke
Tangan dan mata Tommy bergerak sangat cepat, pria itu mengulurkan telapak tangannya yang lebar dan menghadang tangan Yolanda.Berhubung kekuatan Tommy terlalu besar, keseimbangan Yolanda menjadi goyah dan pada akhirnya jatuh ke lantai.Begitu Yolanda terjatuh ke lantai, perempuan itu langsung menjerit kesakitan, “Aduh ….”Sebaliknya, Tommy merasa tingkah laku Yolanda saat itu sangat konyol, sehingga pria itu pun tak kuasa menahan senyum dinginnya.“Kamu! Hanya karena seorang perempuan kamu berani mendorong aku?” Yolanda tidak berani memercayai bahwa pria yang ada di hadapannya ini adalah keponakan yang dari kecil sampai besar selalu dijaganya. “Bagaimanapun juga, aku ini adalah Tante kamu sendiri!” ucap Yolanda dengan sorot mata tidak percaya bercampur amarah dan juga kecewa.Tommy mengerutkan keningnya, terlihat jelas bahwa kesabaran pria itu sudah habis. Pria itu pun mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menelepon Jacky, “Halo, Jacky … Tolong pesankan tiket ke eropa untuk Tanteku, jam