Bibi Ijah pun pamit keluar dari kamar baby Axel dan melihat Max yang terlihat sedang berjalan menuju ke kamar anaknya.
"Gimana, Lisa udah ketemu sama Axel?" tanyanya berhenti setelah berada di depan pintu kamar baby Axel.
"Iya Tuan Muda Axel kelihatan banget suka sama Lisa dan dia sekarang sudah tidur, tapi sayangnya Aden gak mau ngelepasin ...." Bi Ijah agak ragu untuk menceritakan detailnya.
Max memasukkan tangan kanannya ke dalam saku celana panjang casualnya menatap Bi Ijah penasaran.
"Melepaskan apa?" tanya Alex tidak mengerti.
"Anu... itu Tuan Muda nggak mau melepaskan susu ... em ... maksudnya payudara Lisa, jadi sekarang Lisa nggak bisa pulang," ujarnya menyesal.
Max terkejut, ia jadi langsung membayangkan apa yang dikatakan Bi Ijah, ia merasa sangat kurang ajar kalau begini, sedikit-sedikit langsung terbayang dan itu wajar karena meskipun ia seorang pebisnis dan terkenal memiliki kehidupan yang bebas, ia tidak pernah jajan di luar karena semenjak ia tidak berhubungan dengan istrinya ia berpuasa dan tidak mengindahkan hal-hal berbau seks hinggap di tubuhnya.
Apalagi seks dengan orang-orang sembarangan seperti jajan di luar yang ia tidak tahu bagaimana riwayat tubuh wanita-wanita itu. Apakah itu berpenyakit atau tidak, sebab Max sendiri memang jebolan dari kuliah jurusan kedokteran yang akhirnya jadi pebisnis. Ia lebih mementingkan kesehatan daripada yang lain.
"Tuan?" tegur Bi Ijah yang melihat tuannya diam saja.
Max pun mencoba menetralkan ekspresinya. Ia mengangguk-angguk mengerti, "Ya udah, nanti malam kalau misalnya belum bisa pulang, coba negosiasi sama neneknya dia, atau kalau perlu neneknya dia bisa tinggal di sini."
Bi Ijah terkejut, "Yang benar, Tuan?" tanya Bi Ijah.
"Serius, saya nggak pernah main-main kan?"
Bi Ijah mengangguk, "Lagian yang saya perlukan adalah seseorang yang bisa memberi makan anak saya, Lisa ternyata bisa, tapi keterbatasan dia yang harus berada di samping neneknya itu yang harus kita cari solusi.
Kalaupun tidak mau ya nanti melihat bagaimana Axel, apakah dia mau melepaskan Lisa atau tidak. Saya juga tidak mau kalau anak saya nangis terus, kata dokter kalau Axel keseringan nangis kejer, dia akan sakit, jadi kamu coba cari solusinya bicara dulu sama neneknya Lisa."
Bi Ijah pun mengangguk dan pamit pergi. Setelah kepergian Bi Ijah, Max menghampiri kamar milik putranya. Perlahan ia membuka pintu dan agak terkejut karena sekarang Lisa sedang tiduran di kasur sang anak sambil posisinya miring dengan payudara yang tertutup hijab sehingga mulut milik Axel juga tertutup sedikit.
Untunglah, Max jadi tidak bisa melihatnya secara langsung. Agak kecewa sih, tapi bahaya juga kalau ia melihat, bisa-bisa tak bisa tidur.
Ia juga melihat Resti yang duduk di tepi ranjang sembari menanggapi obrolan dari Lisa. Ia sendiri bukan tipe bos yang terlalu saklek dan banyaknya peraturan. Asalkan karyawannya bisa bekerja dengan baik, ia membebaskan mereka bersikap seperti apa, asalkan tidak melampaui batas.
Ketika ia melihat Lisa yang sesekali tersenyum dan terus menepuk pantat baby Axel, akhirnya ia mengerti kalau Lisa memang benar-benar orang ia cari.
Ia tersenyum dan merasa lega. Kemudian ia menutup pintu kamar putranya perlahan dan berjalan ke kamarnya yang ada di samping kamar baby Axel.
Sampai di kamar, ia segera menelepon seseorang.
"Halo!"
"Hola Boss, ada apa neh?!" jawab suara dari sebrang yang terdengar slengekan.
"Ini, tolong cari tahu tentang gadis yang bernama Lisandra ...."
"Lisandra siapa, Bos?" tanya suara dari seberang.
"Saya nggak tahu kelengkapannya, cuman kamu coba cari nama itu. Dia adalah seseorang yang masuk ke dalam mension ini tadi sore, kamu bisa kan cari tau?"
Orang yang ada di seberang langsung menyetujuinya, "Siap Boss, btw gak nyangka mulai tertarik lagi ama betina awokawok!"
"Gue gak pernah belok, Ferguso. Udah cepetan, gue tunggu sejam lagi," ujarnya.
"Eh buset, gak segampang itu woy! Ya udahlah, bayarannya kudu gede loh!"
"Cerewet!" desis Max sebelum mematikan sambungan telpon itu.
"Baru aja beberapa jam di sini udah ngaruh banget, brengsek banget gue ...." ujar Max frustasi.
Wajah Lisa yang manis itu terngiang di pikirannya, bagaimana bisa gadis secantik itu bisa polos padahal ia bisa menjadi kaya raya hanya dengan tubuhnya itu.
Seperti kebanyakan cewek cantik dan seksi, mereka akan memanfaatkan itu untuk menggaet pria berduit di luar sana, tak perduli pria beristri. Sayangnya, Lisa adalah gadis yang dididik untuk menjadi wanita salihah.
+++
Tipe orang itu beda-beda, makanya ada banyak warna untuk memberikan kita pelajaran bahwa hidup tak selamanya berputar di sekitar kita. Makanya, inilah yang membuat Max heran dengan dirinya sendiri. Tiba-tiba ia yang biasanya suka dengan wanita seksi dan glamour, suka gonta-ganti pasangan meski tak sampai seks, kini menjadi tidak selera lagi dengan itu.
Ia malah sekarang tertarik dengan seorang gadis kuliahan yang memang cantik dan bertubuh indah, tetapi ketika ia sekarang pergi ke club malam dan melihat ada banyak anakperempuan muda usia belasan dan dua puluhan tahunan, ia malah menganggap mereka seperti angin lalu.
"Minum dulu, Bro!" ujar Pamungkas, si aktor sukses yang merupakan mak comblang antara Max dan mantan istrinya.
Max menggeleng, "Gak selera," ujarnya lesu.
Ia jarang merokok, tapi ia sering minum ketika pusing dngan kerjaan, ia memang tidak sepenuhnya menghindari hal-hal yang merusak kesehatan, tapi kadang-kadang ia melakukan itu.
"Ada masalah lo ya? Cerita aja kale ...." tanya Kevan, pebisnis muda dan juga anak dari orang terkaya di Indonesia.
"Bukannya lo udah lupain mantan lo?" tanya Hans nyambung, ia memangku dua wanita seksi di kedua pahanya.
Ditatap ketiga sahabatnya, ia menggeleng seolah mengenyahkan pikiran kotor dalam dirinya. "Gue ... keknya pedofil."
"What?!" kaget Kevin.
Sementara Hans sampai membuat dua jalang di pangkuannya terpental karena gerakan refleknya. Pamungkas juga sampai memuntahkan minuman yang baru ia sesap, ia kaget dengan kelimat Max yang tak biasanya itu.
"Jelasin dulu, anjir lo jangan bikin gue mati cepet!" protes Pamungkas mengelap mulutnya.
"Seriusan, gue suka sama bocah kuliahan."
Max meringis melihat reaksi ketiga sahabatnya, tentu saja kalimat rancu itu menimbulkan persepsi negatif yang sebenarnya ia sendiri yang memancingnya.
"Gue gak salah denger, kan? Lo suka sama bocil?" tanya Hans setelah menolong kedua jalangnya yang terlempar ke lantai.
"Dia cantik pasti ...." tuduh Kevin.
"Memang cantik, tapi dia kek ukhti-ukhti gitu, lo paham kan pada?"
"Anjir!" gumam Pamungkas sampai mendelik.
"Si goblok, serius?!" tanya Kevin.
"Iya, makanya gue minta saran, gue harus gimana?!" tanya Max lagi frustasi sampai menjambak rambutnya sendiri.
"Gak kebayang sih, lo pasti lagi sakaw sekarang ya?" tuduh Hans tak percaya.
"Gue lebih percaya lo sakaw daripada lo suka sama ukhti-ukhti, serius," ujar Kevin.
"Gue malah lebih percaya lo nikah sama Mimi Peri daripada suka sama ukhti-ukhti, ini bukan lo banget. Lo gak lewat kuburan kan, pas ke sini?" tanya Pamungkas ngarang.
Max menatap ketiganya datar tanda ia serius dan seolah menjawab semua tuduhan ketiganya dengan keyakinan 100%. Akhirnya Kevin yang memutus ketegangan di anatara mereka dengan deheman.
"Oke, kayaknya kita butuh penjelasan lo dulu ….” ujar Hans dengan mode bijaknya.
"Jadi...."“Nah, soalnya kalau masalah suka ya kita perlu cari jalan keluar, kalo kiranya hubungan ini bakal bahaya lo bisa hindarin dia, tapi situasinya kan kita gak tau,” ujar Hans lagi. Maka, Max menceritakan detail perkaranya, mulai dari ia yang mencari ibu susu, sampai datanglah seorang gadis kuliahan yang polos tetapi menghasilkan asi dan kecantikannya memikat dirinya. Tentu ini pembahasan yang serius di antara mereka. "Jadi gitu ...." gumam Pamungkas setelah mendengar cerita dari sahabatnya. Kevin sampai bengong sendiri, ia berpikir keras. Si otak matematikanya mulai mengeluarkan percikan api seperti listrik yang konslet akibat dari arus listrik yang rusak. Lalu Hans, ia mengusir kedua jalangnya sebelumnya dan fokus pada pembahasan masalah Max. "Rumit sih, masalahnya si Axel udah bucin ama tuh cewek," ujarnya. "Nah itu masalahnya," ujar Kevin. "Tapi emang salah kalo lo suka ama cewek yang umurnya beda jauh ama lu?" tanya Pamungkas. Kevin dan Hans kembali memikirkan itu, "Tentu aja
“Dor!” “Astaghfirulloh, Meiiii!” kaget Lisa ketika mendapati satu-satunya temannya mengagetinya ketika ia sedang serius nugas di gazebo taman kampus. Mereka satu kampus tetapi beda jurusan, tetapi gedung mereka bersebelahan, jadi Mei tak perlu jalan jauh untuk menemui Lisa yang selalu sendiri itu. Mei duduk di samping Lisa, disusun Hanum yang baru-baru ini berkenalan dengan Lisa, mereka bertemu di grup magang. “Assalamu’alaikum, semua!” sapanya ceria. “Wa’alaikumsalam, Num,” balas Lisa dan Mei. “By the way, lu berdua enak banget gak ada KKN, gue ada,” keluh Mei yang benci harus tinggal di luar rumah. “Makanya masuk jurusan ekonomi,” ledek Hanum. “Yeu, gue juga mana tau kalau jurusan ekonomi diistimewakan,” balas Mei. “Tapi emang jurusan lu ribet si, Mei.” “Dih ngatain, lagi kesel juga ….” Lisa hanya terkekeh mendengarkan keduanya berdebat masalah kampus mereka yang tidak adil itu. Memang kampus itu membuat aturan istimewa bagi mahasiswa jurusan ekonomi yang dibebaskan dari
Lisa meletakkan ponselnya di tas, mengabaikan pesan agresif dari kakak tingkatnya yang seperti kata Hanum, dia memang menyukainya. Tentu Lisa sadar akan hal itu, tetapi ia juga menyadari kalau pria itu terlihat jelas, bukan pria baik-bik seperti yang dikatakan Mei, dia buaya darat alias playboy. Pacarnya ada di mana-mana, gebetannya pun tak terhitung, ia memang tampan tapi auranya jelas tak bisa dikatakan baik. Sejauh ini Lisa sudah banyak menemui pria semacam Baron, wajah tampan tetapi kelakuan bak iblis, otaknya hanya berisi tentang wanita dan hal berbau zina. Ia menghela napas berat, menatap gerbang yang ada di depannya. Pukul 16.45 WIB ia baru keluar dari perpustakaan karena baru selesai mengerjakan tugas kelompok, tetapi ia yang menyelesaikannya seorang diri karena tiga anggota lainnya pulang terlebih dahulu dengan alasan ingin malam mingguan karena itu hari Sabtu. "Duh, aku jadi gak enak sama Bi Ijah dan Baby Axel, aku sering ijin kek gini ...." Ia sudah ijin tadi pagi kal
Max sengaja memperpanjang perjalanan bisnisnya pasca ia yakin bahwa perasaannya pada Lisa adalah spesial, tetapi ketika kembali bukannya perasaan itu berkurang, tetapi malah meledak, meluap bak lumpur lapindo. Perasaan itu meletup-letup tanpa bisa dihindari. Ia sampai tak keluar kamar, tak berani menemui baby Axel ketika Lisa belum pulang kerja hingga ketika baby Axel menahan Lisa untuk menginap di rumahnya, ia memilih pergi ke kantor dan tidur di sana. Ia benar-benar niat untuk menjauhkan perasaannya pada Lisa, tetapi itu tak berhasil. Oleh sebab itu, ia menghubungi Hans dan curhat pada si pakar perrcintaan cap buaya darat itu tentang perasaannya yang tak bisa dibendung lagi. Hingga ia mendapat kesimpulan bahwa ia harus menerimanya dan belajar cara menikmati perasaan itu tanpa diketahui oleh Lisa. "Gini ya, Bro. Masalahnya lo udah suka ama dia, kalo misal lo baru tertarik mungkin bisa tuh lo cari kekurangan dia biar lo ilfil sama dia, tapi kalo udah suka mah susah ngilanginnya.
"Aku masih gak ngerti, sebenarnya apa yang Mbak Resti maksud," ujar Lisa bingung. Resti menghela napas dengan gadis tidak peka di depannya itu, "Gini loh, kamu gak tau kalau Pak Boss kita bukan orang biasa?" Lisa meringis, "Iya tau, dia orang kaya kan?" "Bukan itu maksudku," balas Resti gemas. Baby Axel tiba-tiba merengek, ia sepertinya tidak puas dengan susu dari dot, padahal itu juga asi stok yang disiapkan Lisa untuknya. "Oeeeek!" maka pecahlah taangis bayi itu. Lisa langsung meminta baby Axel dari gendongan Resti, "Siniin Mbak, mungkin dia mau nenen langsung ke aku." "Iya kali yah, padahal asinya belum basi loh, kan ditaruh di kulkas," ujar Resti sambil menyeragkan baby Axel ke dalam gendongan Lisa. Lisa pun menggendong baby Axel lalu bersiap menyusuinya, "Uluh-uluh, si ganteng tau yah kalau ada Kakak, iya?" Melihat itu Resti terkekeh, ia membantu merapihkan posisi baby Axel agar Lisa nyaman juga, ia masih diinfus karena masih membutuhkan asupan pada tubuhnya selain m
Tatapan tajam Lisa membuat Max tersadar dan menatap balik gadis bermata jernih itu. Ia menutup ponselnya dan menaikkan sebelah alis. "Kenapa?" tanyanya sembari mengantongi ponselnya lagi. "Eng ...." Lisa menggeleng takut, "Gak kenapa-napa, Pak?" "Kamu tadi natap saya kayak gitu," ujar Max. Lisa menggeleng lagi, "Gak Pak, gak papa. Maaf sudah mengganggu." "Jangan-jangan kamu terpesona pada saya?" +_+_+ Pada akhirnya Lisa tak bisa tidur lagi, ia tak nyaman ada Max di ruangan itu. Max tidur di sofa setelah menggodanya tadi, pria itu menuduh Lisa terpesona karena menatapnya lama. Padahal Lisa sedang mengamati tato-tato di tangan Max, lalu mengepaskan dengan teori-teori yang dibuat Resti yang suka nonton YouTube dengan chanel cerita-cerita hororr. Lisa juga terpengaruh oleh cerita Resti, takut Max melakukan hal buruk padanya sebagai persembahan. Sampai ketika jam 1 malam, baby Axel terbangun dari tidurnya dan menangis, sepertinya Lisa tak akan tidur malam ini. Resti pun langsung ter
Max tak habis fikir dengan pengakuan Lisa atas alasan mengapa gadis itu menjauhinya, ternyata itu karena segitiga dengan gambar mata di tengahnya yang sering disebut sebagai Illuminati, padahal ini adalah tato yang ia buat ketika ia memulai bisnis dengan filosofi yang berbeda jauh dari illuminati itu sendiri. "Lis, serius kamu mikir kalo saya ngelakuin hal konyol begitu?" "Saya kan cuma dapet info dari internet, Pak," jawab Lisa mulai santai. Max pun ikut santai dan tertawa melihat bagaimana cara Lisa berpikir, sangat polos. "Hahahaha!" Gemparlah seisi mansion ketika mendengar tawa Max yang hampir tidak pernah terjadi semenjak hubungannya renggang dengan mantan istrinya. Beberapa pegawai di rumah itu, pembantu, bodyguard, dan tukang kebun bahkan mengintip di ambang pintu. Mereka sampai mendelik melihat betapa Max terlihat bahagia dengan Lisa sebagai objek tawanya. Lisa sendiri memanyunkan bibirnya karena kesal, "Bapak jangan keras-keras ketawanya, nanti baby Ax bangun." "Baby A
Lisa benar-benar tak habis pikir, berita yang ditunjukkan Hanum padanya membuatnya berpikir mendalam tentang apa yang terjadi. "Gue sebenernya puas sih ngeliat gimana para manusia sombong itu akhirnya ketemu lawan yang tepat, tapi kalau yang ngelakuin kekerasan ini adalah musuh mereka, harusnya dia lebih kuat dari Baron yang notebennya anak Mentri Keuangan negeri kita," kata Hanum mengungkapkan analisisnya. "Aku juga mikir begitu ... Baron gak mungkin kena hukum." Yup, orang-orang yang masuk jajaran orang yang memiliki jabatan biasanya mereka kebal hukum, kecuali backing mereka tidak lebih kuat dari lawan. "Tapi, siapapun itu, gue berterima kasih banget sama dia. Akhirnya sejak saat itu, gak ada yang berani godain lo ...." Kalau dipikir-pikir memang benar, sejak saat itu WA-nya sepi dari para buaya, di kampus juga tidak ada cowok yang berani mendekatinya, mereka seolah menghindar. Tentu ia senang, tapi ia masih merasa aneh dengan hal itu. "Menurutmu?" tanyanya ke Hanum. "Itu ka