"Ba-bapak, gak serius, kan?" tanya Ayleen gugup dengan jantung berdegup kencang. Dirinya bahkan terpaksa mengekor di belakang Abraham karena kuatnya tarikan tangan lelaki itu.Abraham terkejut. Iar menghentikan langkahnya cepat hingga membuat Ayleen hampir menabrak punggung lebar lelaki itu. Namun untungnya Ayleen berhasil mengerem laju kakinya, meskipun keningnya justru berhasil menabrak punggung Abraham.Ayleen gegas mengusap keningnya yang terbentur bersamaan dengan Abraham yang membalikkan tubuhnya cepat, menghadap pada sang baby sitter."Kenapa kamu nabrak punggung saya?" tuduh Abra."Hah! Bukannya Bapak yang tiba-tiba berhenti?!" balas Ayleen menuding, menatap wajah Abraham yang terlihat datar. Tangannya turun ke bawah."Ucapan kamu yang bikin saya berhenti melangkah," ungkap Abraham, masih menuduh."Emang apa yang salah dengan ucapan saya, Pak?" tanya Ayleen bingung."Salah. Tentu salah!" Abraham bersikeras. Matanya menatap sengit pada Ayleen."Hah! Teori dari —," Ayleen terpak
Bab 40Ayleen terpana. Mulutnya terkatup rapat, bungkam seribu bahasa. Namun dirinya tidak menampik jika ia kini tengah berdebar-debar.Sementara Abraham gegas memejamkan matanya, merasa apa yang ia ucapkan semakin ngelantur.Abraham lantas kembali berdehem singkat. "Maaf, saya salah bicara. Tolong lupain apa yang sudah saya ucapkan!" titahnya seraya melepaskan kungkungannya, bergerak ke samping kanan dengan wajah terlihat serius menekuri pekerjaannya.Ayleen bergeming, jantungnya yang semula terasa meledak-ledak, kini pecah berkeping-keping. Kepalanya menunduk dalam dengan Hela napas berat lolos dari mulutnya, berusaha mengurai sesak yang melanda jiwa. Bahkan tanpa sadar membuatnya menitikkan air mata.Abraham menoleh pada Ayleen. Tangannya yang sedang memencet tombol penghancur, terhenti seketika. "Kamu nangis, Ay?" tanyanya tanpa rasa bersalah.Ayleen gegas mengusap sudut matanya yang memang mengeluarkan cairan bening itu deng
"Mama. Ada apa, Ma?!" tegur Abraham seraya mengusap dadanya akibat terkejut dengan kedatangan ibunya yang tiba-tiba."Boleh Mama masuk, Abra?" tanya Bu Emil meminta ijin.Abraham mengangguk, ia gegas menepi, menyilakan ibunya untuk masuk ke dalam kamar. Keduanya lantas berjalan beriringan menuju sofa yang ada di pojok ruangan dekat dengan balkon, duduk berseberangan."Ada apa, Ma?" tanya Abraham kembali.Bu Emil bungkam. Namun tangan kanannya gegas merogoh saku bajunya, kemudian menyodorkan ponsel miliknya pada sang putra yang gegas menyambutnya dengan kening berkerut."Ini apa, Ma?" tanya Abraham heran."Buka aja!" titah Bu Emil sembari menggendikkan dagu ke depan.Abraham menurut, ia lantas membuka layar ponsel ibunya yang telah menyala, menggesernya ke atas sehingga isinya terlihat. Matanya terbelalak lebar saat melihat photo saat dirinya mengajari Ayleen membuat kopi. Wajahnya seketika bersemu merah.Dengan gerakan kikuk, Abraham menyodorkan kembali ponsel sang bunda ke hadapan wa
"Ayleen!" tegur Surya saat melihatnya justru terperanjat kaget. Bahkan tidak merespon sedikit pun ucapannya.Ayleen berjengit kaget. Ia lantas berdehem, kemudian menatap tajam wajah ayah tirinya. "Maaf, Yah. Aku gak punya buat buat ngasih ke Ayah," tukasnya dengan tegas.Surya terkejut. Matanya bahkan terbelalak, tidak percaya jika sang putri enggan membantunya. Tak lama berselang, wajahnya berubah menjadi merah padam menahan murka. "Oh, jadi kamu gak mau bantu Ayah lagi?" tanyanya dengan nada terluka.Maaf sekali lagi, Yah ... jawabanku tetap sama, aku gak bisa ngasih Ayah uang lagi," ucap Ayleen tegas dengan wajah mengeras.Surya tercekat. "Tapi, kenapa?" tanyanya semakin terluka."Karena Ayah bukan tanggung jawab aku!" Ayleen berujar tegas."Apa kamu gak kasian sama Ayah, Nduk?" Surya mulai mengeluarkan jurus memelas. "kasihanilah Ayah, Nduk," mohonnya sembari menjatuhkan bobot tubuhnya, berdiri di atas lutut dengan kedua tangan saling bertaut di depan wajah."Ayah!" pekik Ayleen t
Bab 43"Astaghfirullah hal adziim ... Ibu," gerutu Ayleen memekik kecil secara tiba-tiba seraya mengusap dadanya berulang-ulang guna memenangkan debar jantungnya."Kenapa, Ay? Kamu terkejut, ya?" ledek Bu Emil, tidak mempermasalahkan sikap kurang ajar Ayleen yang sudah ia anggap seperti calon menantunya sendiri. Ia bahkan tersenyum simpul, sama sekali tidak terlihat emosi."Iya, Bu. Saya kaget banget. Saya kira tadi siapa? Eh, ternyata Ibu. Ada ap—?""AYLEEN!" teriak kencang Abra sembari mendorong kuat pintu yang terbuka separuh hingga terdengar bunyi berdebum nyaring. Wajahnya bahkan terlihat panik.Sementara Ayleen dan Bu Emil terkejut seketika. Mata mereka membola dengan ekspresi kaku, tidak menyangka akan melihat ekspresi lain di wajah Abraham.Abraham yang melihat kalau Ayleen berada dua langkah di dekatnya, gegas memangkas jarak mereka. "Kamu baik-baik saja? Ada yang terluka? Kenapa kamu berteriak? Apa ada yang menyakitimu? " tanyanya bertubi-tubi dengan raut panik yang begitu
Ayleen baru saja selesai mengajak Sam berkeliling di taman belakang saat Bu Emil memanggilnya. "Ay!"Ayleen berbalik, menoleh pada sang majikan. "Ya, Bu.""Kamu bisa bikin kue, gak?" tanya Bu Emil berbasa-basi sembari berjalan ke arah Ayleen. "Ibu berencana pengen bikin kue karena sebentar lagi Abraham ulang tahun." Nampaknya mode perjodohan ala dirinya masih berlangsung.Ayleen mengangguk dengan polosnya. "Bisa, Bu," tukasnya."Kue ulang tahun, kamu, bisa?" tanya Bu Emil, memperjelas pertanyaannya."In syaa Allah, bisa, Bu!" sahut Ayleen tegas.Kedua tangan Bu Emil seketika ia katup kan di depan dada, terlihat merasa begitu bangga dengan kemampuan sang calon menantu. Wajahnya menggambarkan kebanggaan. "Duh ... jadi gak sabar pengen liat," ungkapnya dengan binar penuh harap."Saya pernah jualan kue-kue kering maupun basah, Bu. Saya juga pernah bikin kue ulang tahun buat anak tetangga yang kebetulan ingin berulang tahun. Namun dia tidak mampu membeli," papar Ayleen."Hanya saja, kue ul
"Kita langsung berangkat aja, Bik!" ajak Ayleen, enggan menjawab pertanyaan Bik Ida."Oh, ya udah. Siap, Neng!" sahut Bik Ida.Keduanya lantas berjalan bersisian menuju pintu gerbang. Bik Ida menutup pintu dari luar begitu mereka telah keluar dari gerbang."Udah, Bik?" tanya Ayleen, berdiri di belakang Bik Ida yang nampak sibuk memasang slot kunci. Tak lama, wanita paruh baya itu mengangguk. Lalu mereka pun mulai berjalan menuju tempat yang dituju.Mereka memang memilih untuk menempuh perjalanan dengan berjalan kaki, sembari berolah-raga."Inilah pasar yang Bibik bilang, Neng," ungkap Bik Ida. "Deket, kan? Apalagi kalo jalan sambil ngobrol. Gak berasa jadinya," lanjutnya lagi.Ayleen mengangguk mengiyakan. "Iya, Bik.""Yuk, Neng. Kita masuk ke dalam! Mumpung masih jam segini, yang jualan udah pada buka semua," ajak Bik Ida. Tangan kanannya terulur, menepuk pelan punggung Ayleen seraya melangkah masuk."Iya, Bik," sahut Ayleen, mengikuti langkah kaki Bik Ida.Keduanya lantas mulai memb
Bab 46"Ba-bagaimana bisa?!" tanya Bu Emil tergagap, matanya bergerak liar, berusaha mencari jawaban.Bik Ida tidak bisa menjawab sepatah katapun. Ia hanya bisa tergugu semakin nyaring, membuat Bu Emil panik."Bik, coba cerita pelan-pelan, bagaimana kejadian yang sebenarnya? Kan, siapa tau kalau Ayleen sedang pergi beli pulsa ke counter, ataunada keperluan lainnya mungkin," tukas Bu Emil, berusaha meyakinkan Bik Ida, meskipun dirinya sendiri tidak yakin dengan ucapannya."Neng Ayleen beneran hilang, Bu," balas Bik Ida di tengah isakannya."Kenapa Bibik bisa yakin, kalau Ayleen hilang?!" desak Bu Emil."Ka-karena ... be-belanjaan berserakan di atas tanah, di ... di tempat Neng Ayleen nungguin Bibik, Bu!" Terang Bik Ida lagi, dengan suara terbata-bata."Astaghfirullah hal adziim!" ucap Bu Emil, wanita yang melahirkan Abraham itu tampak terkejut, ia lemas dan seketika kembali menjatuhkan bobot diri di sofa."Bagai