Share

Chapter 4

Hasna pun hanya diam dan mulai memandang nanar ke arah sang suami yang sudah lumayan jauh berjalan, begitu pula dengan Melati, saat itu ia pun hanya bisa tercengang, memandangi ayahnya yang semakin bersikap cuek padanya. Tak ingin membuat Melati ikut bersedih, Hasna pun seketika langsung mengganti raut wajahnya yang sendu menjadi kembali ceria. 

"Ah ya sudah kalau begitu, ayo kita main lagi." Ucap Hasna pada Melati. 

Namun saat itu Melati langsung menggelengkan kepalanya sebagai tanda ia tak ingin bermain lagi. Melati yang sedih melihat sikap ayahnya pun akhirnya memilih untuk masuk ke dalam rumah kayu mereka. 

Melihat hal itu, lagi dan lagi membuat hati Hasna hancur, bagi Hasna, tidak ada yang lebih menyakitkan selain melihat anaknya bersedih hati apalagi ini menyangkut sikap suaminya. Namun ketika Hasna mulai bangkit dan ingin menyusul Melati, rasa mual itu kembali datang hingga untuk kedua kalinya Hasna pun harus muntah di tanah. Dengan cepat Hasna kembali menutupi bekas muntahan itu dengan tanah agar Melati tak kembali melihatnya. 

"Ya tuhan, kenapa aku ini?" Tanya Hasna seorang diri sembari mulai mengusap peluh yang mulai menetes dari dahinya.

Beberapa hari kemudian...

"Selamat ya bu, ternyata yang membuat ibu sakit beberapa hari ini adalah karena ibu sedang hamil." Jelas seorang perawat saat baru memeriksa perut Hasna. 

"Apa?!" Mata Hasna seketika membulat.

Hasna pun terkejut bukan kepalang, seketika ia melirik ke arah Melati yang saat itu terduduk tak jauh darinya. Entah ia harus merasa senang atau sedih ia pun tak tau, karena yang ada dalam benaknya saat itu ialah Melati masih sangat kecil, di tambah sikap suaminya yang kembali cuek, membuatnya sedikit cemas hingga ia pun kembali terbayang dengan kejadian di kehamilannya yang pertama dulu. 

Hasna dengan menuntun tangan Melati terus berjalan lesu untuk kembali pulang ke rumah mereka, saat itu pikirannya mulai bercabang-cabang layaknya pepohonan rimbun. Tak lama suara lembut dari putri kecilnya pun sontak menyadarkannya dari lamunan. 

"Ibu, apakah itu artinya Mel akan punya adik?" Tanya Melati dengan begitu polosnya. 

Membuat langkah Hasna seketika terhenti, ia pun mulai menatap lekat wajah Melati, dan kemudian berlutut di hadapannya dan berkata. 

"Kalau iya, apa Melati akan senang?" Tanya Hasna kembali sembari mengusap lembut rambut putrinya.

"Mel senang ibu, apalagi kalau adiknya perempuan hehehe." Jawabnya lugu.

Hasna pun hanya tersenyum lirih, ia pun kembali berdiri dan memilih untuk melanjutkan perjalanan karena saat itu hari sudah semakin sore.

"Ya sudah nanti saja kita bahas ya, kita jalan lagi ya, ibu takut nanti kita kemalaman sampai di rumah."

Melati pun hanya mengangguk patuh dan akhirnya mereka pun melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan Melati terus bernyanyi lagu-lagu yang ia sukai, Hasna yang mendengar itu hanya bisa tersenyum dan sesekali ia pun memilih untuk ikut bernyanyi bersama anaknya. Hingga tanpa terasa tibalah mereka di rumah, saat itu ternyata Aryo telah lebih dulu pulang ke rumah. 

"Mas sudah pulang?" Tanya Hasna sembari tersenyum. 

"Dari mana saja kalian ha? Aku sudah cukup lama menunggu dan sekarang aku lapar." Ucap Aryo sembari memandang sinis ke arah Hasna. 

"Maaf ya mas. Baiklah, aku akan siapkan makanan untukmu." Hasna pun langsung menuju dapur. 

"Ayah, ayo kita main." Melati pun menghampiri ayahnya dan duduk berpangku dengan manjanya. 

"Ayah sangat lelah." Jawab Aryo datar. 

"Ayah... ayo main, ayo main, ayo main ayah..." Rengek Melati lagi. 

"Jangan sekarang, ayah lelah dan lapar." 

"Ayo ayah.. ayo kita main sebentar saja ayah." Melati pun terus merengek sembari terus menggerak-gerakkan tubuhnya. 

Namun hal itu bukannya membuat hati Aryo luluh, ia justru semakin merasa kesal hingga membuatnya membentak Melati.

"Ku bilang tidak ya tidak!" Bentak Aryo. 

Melati pun terkejut dan jadi sangat ketakutan, ia yang awalnya duduk berpangku pada ayahnya, kini langsung terperanjat. 

Mendengar putrinya di bentak, membuat Hasna dengan langkah cepat keluar dari dapur sambil membawa serta semangkuk mie kuah yang baru di masaknya. 

"Ada apa mas? Kenapa kamu membentaknya?" Tanya Hasna sembari mengernyitkan dahinya. 

Melati yang ketakutan pada ayahnya pun seketika langsung berlari ke arah ibunya dan memilih untuk bersembunyi di balik badan ibunya. 

"Ibu, Mel takut ibu." Bisik Melati. 

"Lihat mas! Anakmu sampai takut pada ayahnya sendiri." Ketus Hasna.

"Ah sudah, sudah! Kalian tak usah berlebihan, mana makananku? Aku sudah sangat lapar." Jawab Aryo yang seolah tak ingin terlalu peduli.

Hasna pun hanya bisa menghela nafas, lalu ia pun meletakkan mangkuk mie yang ia bawa ke atas meja. 

"Hanya mie instan saja? Apa-apaan ini? Aku bisa usus buntu jika setiap hari memakan mie instan terus menerus!" Ketus Aryo.

"Iya, hanya itu yang tersisa di dapur, karena kamu belum memberiku uang belanja sejak kemarin." Jawab Hasna datar.

"Jadi, mentang-mentang aku tak memberimu uang belanja, itu bisa kau jadikan sebagai alasan agar bisa memberiku makan mie instan setiap hari? Begitu?!" 

"Ini sama sekali bukan alasan mas, ini faktanya." 

"Halah, dasar istri boros. Sudah tau hidup pas-pasan tapi sama sekali tidak bisa menyimpan uang!" 

"Boros katamu mas? Apa kamu tidak sadar berapa uang belanja yang kamu berikan padaku setiap hari? Menurutmu apa uang segitu cukup untuk ku simpan kembali?" Tanya Hasna yang mulai meneteskan air matanya. 

"Halah alasan, dasar istri tidak berguna!!" Bentak Aryo sembari melemparkan mangkuk mie itu ke lantai. 

Membuat Hasna beserta Melati jadi terkejut, Melati pun jadi bertambah ketakutan saat melihat ayahnya mengamuk pada ibunya hingga membuatnya menangis tersengkuk-sengkuk. 

Namun Aryo yang melihat hal itu seolah tak peduli, ia justru ingin segera beranjak pergi, tapi tangannya langsung di tahan oleh Hasna. 

"Mau kemana lagi kamu mas?"

"Lepaskan tanganku istri bodoh!" Aryo pun segera menepis tangan Hasna. 

Namun Hasna kembali menarik tangan suaminya untuk mencegahnya pergi. 

"Jangan pergi mas." 

*Prakk* 

Sebuah tamparan keras dari Aryo melayang begitu saja ke pipi Hasna, hingga menciptakan tanda merah pada sebelah pipinya. Hasna pun terdiam seketika sembari memegangi pipinya yang memerah, kini air matanya pun mulai menetes tanpa bisa ia bendung lagi. Melati yang melihat hal itu menjadi semakin histeris dan berteriak. 

"Ibuuuu." Tangisan Melati semakin pecah, ia pun langsung berlari memeluk ibunya. 

"Ayah jahat, ayah jahat, aku benci ayah." Teriak Melati yang masih terus menangis sembari semakin mengeratkan pelukannya pada sang ibu.

Namun Hasna langsung mengusap air matanya, di hadapan Melati, ia pun kembali mengukir senyuman sembari akhirnya berkata. 

"Jangan menangis sayang, ibu tidak apa-apa. Ibu dan ayah hanya sedang bercanda saja kok hehehe." Ucap Hasna dengan begitu lembut sembari mengusap air mata Melati.

"Bercanda?" Tanya Melati sembari mengernyitkan dahinya.

"Iya sayang, ayah tidak benar-benar memukul ibu. Lihat lah, buktinya ibu tidak menangis kan?" Jawab Hasna masih terus tersenyum meski dalam hatinya ia sangat ingin menangis. 

Melati pun melirik ke arah ayahnya yang masih berdiri tak jauh darinya, saat itu Aryo hanya mendengus dan langsung pergi begitu saja tanpa berkata apapun lagi. Mau tak mau akhirnya Hasna membiarkan Aryo pergi karena ia tak ingin semakin memperkeruh keadaan apalagi di hadapan Melati.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status