Bab 18: SMS
Pagi yang cerah. Walaupun aku tidak bisa bangun subuh, tapi aku tidak kesiangan. Kuawali hari ini dengan sebuah semangat baru. Semangat yang mekar dari berita yang dibawa Bondan dan Wisnu ke marin.
Sebenarnya bukan pagi yang cerah, tapi pagi yang putih. Tak ada hujan. Artinya, asap hasil kebakaran hutan ada di mana-mana, semakin merajalela.
Setelah semalaman kehilangan panas dan mendapatkan kembali bobotnya, pagi seperti ini asap menggantung di pucuk-pucuk daun, atap rumah, bahkan rerumputan.
Penampakannya seperti kabut yang mencengkeram seluruh penjuru kota. Alangkah menderitanya orang-orang yang menderita ISPA karena asap. Dan mungkin, mengingat batuknya sejak hampir sebulan lalu salah satunya adalah Pak Latif.
Ah, kasihan lelaki pemulung itu, batinku.
Ketika aku berjalan menyusuri gang, belum tampak kegiatan rutin pagi hari yang biasa kulihat dari Pak Latif, yaitu menyiapkan gerobaknya. Pintu gubuknya se
Bab 19: Nasihat SaudaraAku masih memikirkan SMS Ucon ketika menyusuri gang rumah. Menjadi diri sendiri itu susah? Bagaimana bisa begitu? Entahlah.Yang kutahu hanya, banyak orang terganggu jiwanya karena kehilangan dirinya sendiri. Dan kuharap, karena obsesinya menulis Ucon tidak sampai gila.Suara tangis menghentikan langkahku di depan gubuk Pak Latif. Kulihat Razak dan Alim sedang bermain mobil-mobilan menggunakan potongan balok. Di ayunan bawah pohon belimbing itu, ada Idah yang sedang menggendong Ifah, adiknya yang bungsu.Ia sedang gelisah. Rupanya dari mulut Ifah itulah suara tangis keluar. Pak Latif dan Bu Latif tidak kulihat di antara mereka. Gerobaknya juga tidak tampak. Perlahan kuhampiri mereka.“Kakak, kakak,” sambut Razak dan Alim, berebut memeluk kakiku.Aku bermain-main sebentar dengan mereka berdua. Aku berlagak menjadi penjahat dan mereka menjadi jagoannya. Berduel pura-pura.Ketika mereka&m
Bab 20: Suaranya Bergetar, Serak dan Nestapa“Fat, kamu sudah di rumah?”Cepat saja aku membalas.“Belum.”Aku bohong? Biar saja, pikirku.Aku pun mempercepat langkah menuju rumah. Aku menjadi bersemangat karena teringat besok aku akan dijemput Bondan dan Wisnu untuk menemui Pak Josep.Aku melihat Uni Fitri menggendong Keysha di beranda rumahnya. Menggunakan kain jarit yang diselempangkan ke bahu ia meninabobokan putrinya itu dengan mendendangkan lagu Hari Rayo Indak Bapitih.Lagu terkenal dari Ocu, Melayu Kampar itu menceritakan kemiskinan sebuah keluarga yang di saat lebaran tidak mempunyai pitih alias uang. Aku suka sekali lagu itu. Selain alunan nadanya yang rancak, juga vokal seorang ayah dan anak yang menyentuh dalam lagu itu, terlebih karena memotret epidemi abadi negeri ini, yakni kemiskinan.“Bang Idris sudah pulang, Ni?” Sapaku pada Uni Fitri.
Bab 21: Gigi TigaSekonyong-konyong, Ucon menepikan sepeda motornya, keluar dari aspal dan berhenti di bawah pohon mahoni peneduh jalan.Cepat ia mematikan mesin, menurunkan tuas stander, bertolak pinggang menghadapku, dan menatapku tajam.Aku yang masih duduk di jok motornya tak tahu harus bagaimana menerjemahkan tatapan Ucon itu.Segala jenis kendaraan berlalu lalang tak jauh di samping kami, menyemarakkan jalan Sukarno Hatta dengan lampu-lampunya. Sesekali lampu kendaraan itu menerangi wajah Ucon yang terus menatapku dengan tajam.“Aaaaakh!” Pekiknya tiba-tiba, seraya menepukkan tinjunya ke tangan yang lain.“Sudah sampai di situ?? Haahh?? Sudah sampai di situ??!!”Dengan ceritaku tentang Mira tadi, mungkin Ucon marah padaku. Atau mungkin kecewa, karena aku sahabatnya ini ternyata sempat tergoda juga mencicip dosa. Dia dan dan Buruak Kamba memang sama. Sama-sama menjaga diri dari perbu
Bab 22: Di Sparta PrahaSementara itu, di toko buku Sparta Praha..,“Terima kasih,” kata Jihan saat menerima karcis parkir dari petugas di dalam loket.Sebelum membawa motornya ke tempar parkir, terlebih dulu ia membetulkan jaket yang ia tutupkan ke bagian kaki yang tak tercakup roknya yang pendek dan ketat.“Tuh, kan? Ribet jadinya. Sudah aku bilang tadi pakai saja celana panjang kalau takut kulitmu kotor kena debu di jalan,” kata Ika di boncengan belakang.“Ih, kamu ini, seperti mamaku saja, suka merepet.”Selesai memarkirkan motornya pada tempat yang ditunjuk petugas parkir, Jihan meminta helm yang dipakai Ika dan menguncinya pada motor bersamaan dengan helm yang tadi dipakainya.Jihan mematut-matut diri sebentaar di depan kaca spion untuk membetulkan rambutnya. Menyusul kemudian Ika yang membetulkan jilbabnya pula.“Yuk.” Jihan menarik tangan Ika sa
Bab 23: Challenge 40 Hari“Berapa?” Tanya Ucon pada waxria itu.“Mau short atau long, Bang?” Sahut seorang waxria genit. Mereka berdua lantas mendekati kami.“Kalau short?” Tanya Ucon lagi.Ia sengaja tidak mematikan mesin motor. Sementara aku semakin panik ketika seorang waxria berpostur kecil menjawil daguku.“Lima puluh ribu saja, Bang.”“Bah, mahal sekali!”“Ada diskon kok, Bang. Hi..hi..hi..,”Dalam hati aku menyumpahi Ucon. Dasar, santri kesasar. Ia masih belum berhenti bertransaksi.“Berapa diskonnya?”“Lima puluh persen, tapi untuk Abang yang di belakang ini..” waxria kecil kembali menjawil daguku, “Gratissss… hi..hi..hi..!”“Besok-besoklah ya?” Sahut Ucon enteng.“Abang-abang ini niat tidak sih mau make’ &
Bab 24:Tentang Surat Surat? Surat apa? Dalam hati aku bertanya-tanya.Aku memang tidak pernah menerima surat apa pun dari Leony. Oh ya, mungkin ia salah kirim SMS, pikirku. Maka kubalas;“Leony, kamu salah kirim sms ya?”Balasannya segera masuk; “Gak! Aku kirim sms ke Muhammad Fatih, dan aku bertanya tentang surat!’”Kembali kukernyitkan kening.“Surat apa?” Balasku cepat.“Surat yang aku titip lewat Faisal!”“Gak ada tuh.”“Jadi, selama ini kamu tak pernah dapat surat yang aku titip lewat Faisal..??”“Gak ada.”Aku semakin penasaran dengan SMS-SMS Leony ini. Tanda tanya dalam kepalaku semakin membesar. Aku berusaha mencerna hal-hal seputar surat, Faisal, titip menitip dan kemungkinan kesalahan yang aku lakukan dalam bekerja.Faisal si room boy itu dititipi su
Bab 25: Tes Pertama “Jadi, kapan saya bisa bekerja, Pak?”“Eiiitt..! Jangan panggil saya ‘bapak’.. no.. no.. no..!” potongnya. Dua jarinya mewakili kepalanya menggeleng.“Jadi, saya harus panggil., “ Aku sengaja berhenti.“Panggil saja Josep. Pakai ‘J”, bukan ‘Y’..”Aku tersenyum sungkan. “Saya kira itu tidak pantas, Pak.”“Oke, kalau begitu. Sebagai calon atasanmu, saya perintahkan kamu agar tidak memanggil saya dengan ‘bapak’, dan sebagai orang yang nanti akan sangat akrab denganmu, saya mohon jangan dipanggil ‘bapak’. Setuju?”Aku mengangguk, kemudian kuulangi lagi pertanyaanku.“Jadi, kapan saya bisa bekerja, Jos?”“Nah, bagus itu! ‘Jos’.. Jee.. Oo.. eS… mmhm.. I like it.. “Aku kiku
Bab 26:Reward Malam harinya..,Semua tulang-tulangku rasanya seperti hendak patah. Nyeri dan ngilu kurasakan di hampir semua bagian tubuhku.Mungkin rasa sakit itu yang membuatku tidak bisa tidur malam ini. Jika aku menggerakkan tubuh, menggeliat misalnya, seolah ada beberapa bagian tubuhku yang akan tanggal.Pertandingan melawan Bombi tadi siang benar-benar membuatku babak belur. Setelah pertarungan itu usai, baru aku tahu bahwa Bombi itu bukan nama sebenarnya. Itu adalah julukan, diambil dari kata Bomber. Benar saja, julukan itu sesuai dengan gaya bertarungnya. Serangannya bertubi-tubi. Kombinasi pukulan dan tendangannya nyaris tanpa jeda.Semua itu didukung pula dengan kecepatan dan kegesitan tubuhnya. Hampir semua serangan Bombi mendarat sempurna di seluruh bagian tubuhku. Hanya sebagian kecil saja yang berhasil kuhindari atau kutangkis.Sepertinya Bombi mengan