Hari sudah menjelang sore, tapi Maya masih juga belum kembali. Tadi siang Maya mengirimkan sekotak makanan melalui kurir, katanya ia tidak sempat pulang untuk memasak, jadi hanya bisa memesan dari restoran.
Alina merasa sangat bosan duduk di rumah, berniat untuk mengajak Maya jalan-jalan keluar. Mengeluarkan ponselnya, ia menghubungi sahabatnya itu.
"Assalamu'alaikum may..kau sibuk apa sampai sore seperti ini tidak pulang-pulang?" Tanya Alina, ketika panggilan tersambung.
"Wa'alaikumsalam..aku masih diruang nih, membereskan rapor anak-anak, hari ini sudah harus selesai" Maya tidak berbohong. Posisinya saat ini memang sedang dalam kantor guru, menyelesaikan urusannya. Di samping rencana yang sudah dirancangnya untuk Alina, kesibukannya itu ternyata cukup membantu.
"Aku tidak menyangka, akhirnya kau bisa menjadi guru wali kelas" Dulu, ia dan Maya hanyalah pengajar kontrak biasa. Yang hanya mengajar materi yang mereka pegang. Tapi tidak pernah mengira, M
Alina mengangkat kakinya, mengambil beberapa langkah mendatangi kasurnya dimana Zayyad sedang berbaring di sana. Tepat ketika ia hendak duduk di tepi kasur, sebuah lengan kokoh terjulur ke depan, dengan cepat menarik pinggangnya hingga ia terjatuh— Bruk! Tubuhnya jatuh menimpa tubuh Zayyad. Alina tersentak kaget, bersiap untuk bangun hanya untuk ditahan oleh tangan Zayyad yang menekan punggungnya lembut, "Nanti saja marahnya ya..." Alina tertegun. Posisinya yang menekan tubuh Zayyad seperti ini, membuatnya dapat merasakan detak jantung pria itu dengan jelas, dadanya yang naik turun menarik nafas dan suhu tubuhnya yang ikut mendominasi tubuhnya. Alina dapat merasakan semua itu. "Zayyad kau ini sebenarnya sakit tidak sih?" Alina berusaha melepaskan diri dari kukungan Zayyad. Posisi seperti itu sama sekali tidak nyaman untuknya. "Shh..." Terdengar Zayyad mendesis kesakitan, tangannya pun melonggar sehingga Alina akhirnya dapat pergi denga
Alina menggertak kan giginya, merasa kesal. Ia sudah sangat baik malam ini, tapi pria ini masih mencurigainya? Merebut sendok itu dari tangan Zayyad, ia langsung menyuapkan sesendok bubur itu kedalam mulutnya Alina mengecap bubur itu berkali-kali dan rasanya cukup pas, "Masih tidak percaya?" Zayyad tersenyum, mengambil sendok itu dari tangan Alina. Lalu ia mulai memakan bubur itu dengan sendok yang sama tanpa ragu. Alina yang melihat itu, merasa agak terkejut, "Itu kan bekas.." "Rasanya enak.." Zayyad tersenyum. Suapan demi suapan terus dilayangkan ke mulutnya. Membuat Alina merasa tak percaya, bukannya dia mengatakan tidak nafsu makan? "Kata mu..kau tidak nafsu makan. Tapi kenapa—" Alina melihat bubur yang sudah tersisa sedikit di mangkuk. "Karena ada penambah rasa khusus.." "Penambah rasa khusus?" Sepasang Alis Alina bertaut, tidak mengerti. Ia ingat, hanya menambahkan garam di dalam bubur, selebihnya ia tidak menaburkan apap
"Apa kau masih perlu bertanya kenapa?" Alina menganggukkan kepalanya, mengiyakan. Zayyad sudah berhasil membersihkan rumornya— yang seorang 'gay' dan bos besar perusahaan yang mengidap 'gynophobia'. Setelah dansa singkat mereka di pesta malam itu, semua orang pasti sudah beranggapan rumor-rumor itu tidak benar adanya dan hanya kabar burung yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bukankah sejak awal, Zayyad menikahinya untuk itu? Semuanya sudah berjalan seperti apa yang ia harapkan, lalu untuk apa masih membutuhkannya? "Karena kau adalah istri ku. Bagaimana mungkin aku tidak membutuhkan mu?" Alina terkesiap. Jawaban itu sungguh diluar dugaannya. Menarik tubuhnya dan melepas tangan Zayyad yang melilit perutnya, ia mengubah arah posisi berbaringnya pergi menghadap pria itu. "Zayyad jangan bercanda, sejak awal kita menikah untuk memenuhi tujuan kita masing-masing. Kau untuk membersihkan rumor tentangmu dan aku untuk membahagiakan nenekku.
Alina akhirnya setuju untuk pulang bersama Zayyad. Ia sadar diri, sebagai seorang pengangguran yang tidak punya sepeser uang pun di tangan, bagaimana dapat melanjutkan hidup? Sedangkan untuk makan dan biaya sehari-hari saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ia juga tidak mungkin terus-menerus merepotkan Maya. Di samping itu ia merasa, Zayyad sepertinya sudah jatuh hati padanya. Kenapa tidak ia manfaatkan saja perasaan pria itu untuk kesenangannya? "Tiket pesawatnya sudah ku pesan, kita akan berangkat sekitar pukul sepuluh pagi..." Alina hanya menganggukkan kepalanya. Dalam hati, ia merasa sangat iri dengan cara hidup Zayyad. Ia untuk pulang pergi dari kota Z ke Y saja hanya dapat mengandalkan tranportasi darat yang terbilang cukup ekonomis, meskipun memakan waktu yang lama. Tapi Zayyad dengan mudahnya menggunakan transportasi udara seakan-akan itu hanyalah angkutan umum biasa. Tok..tok... Terdengar suara ketukan di pintu depan. "Se
Drtt... Dering ponsel yang ada dalam saku Zayyad, berhasil membuat pria itu tersadar dengan apa yang baru saja ia lakukan. Zayyad segera melepaskan pinggang Alina dan mengambil beberapa langkah menjauh. Mengeluarkan ponselnya, ia pergi keluar kamar untuk menjawab panggilan. Alina yang beberapa waktu lalu menahan nafas, akhirnya dapat mendesah lega. Tangannya mengibas-ngibas wajahnya yang tidak tau kenapa terasa panas. "Iyaa, kami akan segera kembali ke kota Y hari ini..." Ucap Zayyad pada seseorang yang berada dalam panggilan, yang tidak lain adalah Irsyad. "Alhamdulillah, akhirnya aku berhasil membujuknya" "Katakan pada nenek untuk tidak perlu khawatir, Alina cukup patuh kok.." Kata Zayyad, sembari menyunggingkan senyum diwajahnya. "Sudah dulu ya kek, kami harus bersiap-siap.." "Assalamu'alaikum.." Panggilan berakhir. Zayyad kembali masuk kedalam kamar, merasa agak gugup dan canggung bertemu Alina mengingat per
"Zayyad kau pulang.." Sambut Irsyad yang masih berada di ruang tamu bersama Bara. Melihat Zayyad yang datang dengan menggendong Alina, merajut sepasang alisnya ia melempar tatapan penuh tanda tanya pada Zayyad, "Alina kenapa?" "Dia tertidur, sepertinya kelelahan" Terang Zayyad. Irsyad menganggukkan kepalanya mengerti. "Kau sangat memperhatikan saudari ipar ya.." Suara lain yang muncul di ruang tamu, membuat Zayyad berpaling dan menemukan Bara yang sedang duduk di sofa tunggal. "Kau ada di sini?" Tanya Zayyad, terlihat tidak senang. Padahal setelah beberapa kali terjerat dalam taktik kotor Bara, Zayyad tidak pernah sedikitpun membenci sepupunya itu. Tapi setelah apa yang Bara lakukan pada Alina, ia sungguh tidak dapat menoleransinya lagi. Dan setiap kali mengingatnya, itu hanya akan membuatnya muak ketika melihat wajah Bara seperti saat ini. "Ya!" Bara menganggukkan kepalanya, tersenyum santai. "Untuk apa k
Zayyad terbangun tepat pukul lima pagi, dalam keadaan kedua tangan yang terikat dengan dasi. Dimana syarat yang diajukan Alina agar mereka dapat tidur seranjang. Setelah bernegosiasi semalaman dengan wanita itu. Akhirnya Alina memberinya keringanan untuk tidak memakai penutup mata. Ya, hanya itu.Mungkin ada baiknya Alina melakukan hal ini padanya. Karena jujur saja, akhir-akhir ini ia merasa sulit menahan diri. Padahal sebelumnya, ia tidak pernah seperti itu. Ia punya kontrol dan kendali yang cukup baik. Tapi entah kenapa, tiba-tiba saja semua itu melonggar."Alinaa.." Zayyad memiringkan tubuhnya ke samping, menghadap wajah tidur Alina yang berada tepat disebelahnya.Akhirnya...ia dapat menikmati pemandangan itu lagi— bangun tidur, membuka mata dan orang yang dicintainya yang pertama kali muncul menyambut retinanya."Alinaa.." Seru Zayyad, setengah berbisik."Ehmm.." Terdengar gumaman malas Alina, yang tampak enggan membuka matanya.Z
Alina berpikir beberapa saat sebelum menjawab. 'Apakah aku bosan?' Roti bakar keju memang salah satu makanan kesukaannya. Ia suka aroma asap roti dan rasa asin dari keju yang melumer di lidah tiap kali ia menggigitnya. Hanya saja terkadang, ia merasa bosan dan tertarik mencoba yang lainnya. Tapi..."Kalau sarapan dengan menu yang sama setiap hari, sekalipun itu adalah makanan kesukaan ku, sudah tentu aku bosan. Hanya saja, roti bakar buatan mu agak lain..""Lain gimana?" Zayyad mengambil segelas susu coklat, menyesapnya sedikit."Entahlah!" Alina mengangkat bahunya, merasa sulit mendeskripsikannya seperti apa, "Tapi yang pasti, roti bakar buatan mu membuatku candu" Terang Alina, jujur. Baru sehari- dua hari ia di kota Z tanpa roti bakar keju buatan Zayyad, moodnya terus saja seperti tidak ada niat untuk sarapan."Kalau orang yang buatnya gimana?" Tanya Zayyad, mengulum senyum tertahan di bibirnya."Maksudnya?" Alina menautkan sepasang alisnya, butu