Sore harinya, Alina tiduran malas di atas sofa sambil menonton televisi. Di depan meja penuh dengan tumpukan piring kotor akibat ulahnya yang tidak berhenti-henti makan. Zayyad yang duduk di sofa tunggal menatap meja separuh tak percaya. Ia sadar itu bukan porsi makan Alina yang seperti biasanya.
Karena biasanya wanita itu hanya rutin makan tiga kali sehari dan selebihnya Alina hanya memiliki beberapa makanan ringan seperti biskuit.Tapi piring-piring di meja itu adalah bekas dari— roti bakar keju, omelette, spagetti, pancake, dan salad buah. Zayyad sibuk mengolah semua itu sampai tidak bisa tidur siang."Zayyad, aku mau salad buahnya lagi. Masih ada kan di dapur?" Kepala Alina yang bertopang dagu itu menatap fokus ke layar televisi."Lagiii?"Pekikan Zayyad itu membuat Alina menyipitkan matanya tak tahan. Gendang telinganya nyaris saja pecah."Kau menjerit kenapa sih? Memang ada yang salah jika aku mau nambah lagi?" Alina dengan"Kalau mengikuti konsep awal, suami yang bersikap penuh kasih tadi..itu harus turut membantu sang istri dalam menyelesaikan pekerjaan rumah. Karena menurutku itu adalah sebagai bentuk apresiasi dan terimakasih pada sang istri karena sudah membantu meringankan bebannya""Tapi sayang, aku tidak pernah menemukan hal seperti itu di sepanjang aku hidup.." Di bawah naungan ayah kandungnya, Alina melihat ibunya hidup dalam kehancuran. Di dalam keluarga baru bersama ayah tirinya, Alina melihat ibunya terjerat dalam ketidakbahagiaan."Bagaimana, jika aku mengajak mu untuk memulainya dengan ku?"Ajakan Zayyad yang begitu lugas itu membuat Alina tertegun. Mata hitamnya menatap dalam mata Zayyad. Hingga beberapa saat berlalu dalam kekosongan,"Aku tidak yakin""Oh!" Hanya satu kata itu yang terucap. Zayyad tak dapat menahan diri untuk tidak kecewa dan itu terukir jelas di raut wajah tampannya yang sesaat diliputi guratan melankolis."Kau mas
Maya memasukkan beberapa pakaian kedalam koper dan berkemas dengan cepat. Keluar dari kamar, ia langsung dikejutkan dengan kemunculan ibunya yang menatap kearahnya heran, "Bawa koper sebesar itu mau kemana?"Maya menepuk jidatnya. Bagaimana bisa ia lupa memberitahu ibunya kalau pagi ini ia akan berangkat ke kota Y untuk mengunjungi Alina, "Ah maaf ummi, Maya lupa bilang..""Jangan bilang kamu akan ke kota Y, mau mengunjungi Alina?" Tebak wanita paruh baya itu, seperti sudah menduga kemana anak tunggalnya itu akan pergi."Ummi benar" Maya menganggukkan kepalanya, tersenyum."Sayang, tapi hari ini mereka akan datang.." Nur mengerutkan keningnya, menatap putri cantiknya rumit. Ia lupa memberitahu hal penting itu pada putrinya, "Bagaimana jika perginya di tunda dulu?"Sepasang alis Maya bertaut. Memangnya siapa yang bakal datang sampai ibunya itu menyuruhnya untuk menunda berpergian ke kota Y mengunjungi Alina, "Ya engga bisa ummi. Maya sudah
"Aku Rahul paman dan ini adikku Rahil" Jelas si kakak, yang lebih dulu lahir. Walau hanya selisih lima menit, tapi perawakannya benar-benar menunjukkan seorang kakak yang baik."Ini Rahil?" Zayyad memegang pundak Rahil dan bocah itu mengangguk pelan terlihat malu-malu.Zayyad tersenyum kecil, mengacak-acak rambut keduanya, "Bagaimana cara paman membedakan—""Tahi lalat.." Seru Rahul, yang memang sejak awal sikapnya jauh lebih berani ketimbang sang adik, "Rahil ada tahi lalat di ujung alis kanannya..""Ohya?" Zayyad langsung menoleh ke wajah Rahil dan memperhatikan ujung alis kanannya. Itu benar. Ada tahi lalat kecil di sana."Ya sudah, kalian berdua main yang baik ya. Jangan buat kacau.." Peringat Zayyad lembut dan kemudian berbisik kecil pada keduanya, "Nanti bibi Alina ngambek.."Sontak kedua bocah itu ter-kikik kecil sambil mengangguk-anggukkan kepala.Di samping itu Alina di dapur, duduk di atas meja dengan satu mang
"Kau serius, Zayyad sampai melakukan hal menggemaskan itu untuk si kembar?"Maya dan Alina sudah berada di warung langganan mereka. Alina sengaja membawa Maya ke sana untuk berbincang banyak hal sebelum kembali ke vila."Em, menurutku dia benar-benar menyukai anak kecil" Alina mengaduk sedotan di gelas jus jeruknya dan menyedotnya sedikit. Rasa asam jeruk dan dinginnya es langsung menyegarkan tenggorokannya."Jika begitu, apa yang membuat mu ragu untuk memberitahu Zayyad mengenai kehamilan mu?" Maya mengaduk mie goreng miliknya. Ia sengaja memesan seporsi makanan karbohidrat itu karena ia belum makan siang."Aku ragu may..""Kenapa?""Jika seandainya yang ku kandung ini adalah bayi perempuan, aku terlalu takut mempercayakan Zayyad sebagai ayah dari putriku kelak. Sekalipun itu adalah darah dagingnya sendiri, tapi tetap saja—" Sesaat Alina menghela nafas berat, "Aku tidak dapat mempercayakannya"Tidak perlu bertanya lebih jauh, M
"Lain kali jangan merepotkan Zayyad dalam hal seperti ini. Karena dia itu sudah cukup repot mengurus ku.." Alina melipat kedua tangannya di depan dada, menatap punggung Faqih yang baru saja menutup pelan pintu mobil."Kalau begitu apa harus aku merepotkan kakak ipar, hem?" Faqih memutar badannya kearah Alina."Aku tidak pernah mengakui mu sebagai adik ipar" Alina berdecih."Kalau begitu aku juga tidak akan menganggap mu kakak ipar ku""Ya, lakukan saja begitu" Alina menganggukkan kepalanya mantap."Kak Zayyad, lain kali aku akan merepotkan mu lagi dengan menitipkan si kembar kemari.." Seru Faqih, sengaja mengeraskan suaranya untuk membuat Alina kesal."Kau ini, bukannya sudah ku katakan Jang—""Kau bukan kakak ipar ku, kenapa harus aku mendengarkan mu?"Alina menggeram kesal. Bocah sialan satu itu, benar-benar menguras emosinya.Zayyad yang melihat perdebatan keduanya, menggeleng-gelengkan kepalanya sudah terbiasa.
Pagi harinya, tepat setelah sarapan. Alina dengan sangat terpaksa mengikuti Zayyad ke rumah sakit. Tapi sebelum itu, Alina duduk malas di atas kursi, memperhatikan Maya yang sibuk membereskan meja makan. Tidak pernah terpikirkan oleh Maya, sarapan hari pertamanya di vila itu akan disiapkan oleh Zayyad. "Zayyad benar-benar memanjakan mu yaa.." Tutur Maya, sekilas melirik kearah Alina yang tampak bersandar lemas di kepala kursi. Alina tidak berkata apa-apa, hanya mengulas senyum kecil. Saat itu pikirannya benar kacau. Memikirkan bagaimana cara agar Zayyad tidak jadi membawanya pergi ke rumah sakit. Maya menyusun piring-piring kotor itu dan membawanya ke tempat cucian piring. Lalu ia kembali dan mengambil beberapa gelas. Maya melihat Alina yang semakin tak karuan saja itu tampak menggigit jari telunjuk dengan perasaan cemas. "Apa yang sedang kau pikirkan?" Maya merasa tak tahan untuk tidak bertanya. "May!" Alina melipat kedua tangannya di
Dan disinilah mereka berada sekarang. Di ruang dokter spesialis kandungan. Dokter yang berjaga di ruang itu sama dengan dokter yang Alina jumpai tempo hari.Melihat kedatangan Alina, dokter berhijab itu mengulas senyum hangat menyambut kedatangannya, "Loh, bu Alina?" Sekilas wanita paruh baya itu melirik kearah Zayyad yang berdiri bersampingan dengan Alina, "Kali ini anda datang dengan suami Anda Bu?"Melihat itu terang saja Zayyad terkejut. Zayyad menoleh kearah Alina dengan tatapan penuh penekanan menyiratkan, 'Jadi kau sudah pernah kemari sebelumnya?'Alina membalas tatapan Zayyad itu dengan senyum tertekan. Lalu ia menoleh pada dokter kandungan itu yang masih tersenyum lembut kearahnya, "Y-ya"Mau Alina mengakuinya atau tidak. Itu tidak akan mengubah fakta kalau Zayyad saat ini berstatus sebagai suaminya."Silahkan duduk" Tawar dokter berhijab itu ramah, mempersilakan Alina dan Zayyad duduk.Tapi Zayyad yang tampak tak sabaran itu langsu
"Tapi Maa, sekarang aku masih di perusahaan" Bakri mengambil cangkir dan menuangkan beberapa sendok bubuk kopi ke dalamnya, "Kita undur saja jadi akhir pekan, gimana? "Gak bisa sayang..." Terdengar suara wanita paruh baya yang penuh kasih dari seberang, "Mama juga udah atur tempat buat pertemuan kalian berdua. Emang kamu gak bisa ya izin barang setengah hari aja dari kantor?" Bakri meletakkan ponselnya dibawah telinga dan menjepitnya dengan pundak kanannya. Tangannya terus mengangkat cangkir dan mengisinya dengan air hangat, "Bukannya gitu Ma, kemarin aku baru aja ambil cuti. Jadi, aku gak enak aja Ma, kalau harus izin cuti lagi" "Apa perlu mama datang ke perusahaan dan meminta izin langsung ke atasan mu?" "Mama, bercanda?" Seru Bakri setengah terkejut. Tangannya pergi mengambil sendok dan mulai mengaduk cangkir kopi, tak lupa ia menambah beberapa sendok gula ke dalamnya. "Sekarang juga mama siap-siap dan segera datang ke perusahaan kamu"