Surtini merinding. Dia tanpa sadar merapatkan jaket. Entah kenapa ruangan tersebut mendadak terasa dingin seperti hawa kulkas ketika dibuka. Keheningan sesaat yang membekukan. "Anda bisa kembali bertugas, Pak Rivan." Suara dingin Mirna memecahkan keheningan. Surtini sempat tersentak. Untung saja, dia bisa menahan diri, sehingga tidak meloncat ke belakang dengan tiba-tiba. "Baik, Bu." Rivan menoleh kepada Surtini. "Tugas saya terkait kamu sudah selesai. Selanjutnya, kamu akan ada di bawah bimbingan Bu Mirna." Surtini sempat termangu cukup lama sebelum menyahut, "Baik, Pak. Terima kasih." Rivan hanya mengangguk kecil. Dia berpamitan dengan Mirna, lalu keluar dari ruangan. Surtini mengiringi kepergian laki-laki itu dengan sorot mata takut-takut. Meskipun Rivan juga membuatnya takut, ditinggalkan bersama wanita asing berwajah datar tentu lebih mengancam. "Duduklah, ada beberapa hal yang harus kita bicarakan lebih dulu!"
"Tut, kenapa Surti belum pulang, ya?"Rukmini mendesah berat beberapa kali. Dia sedari tadi mondar-mandir di ruang tamu. Hastuti mengangkat bahu."Keasyikan main kali, Bu?" sahutnya malas, seolah benar-benar tidak tahu.Akting Hastuti benar-benar hampir sempurna. Sorot mata cuek seperti biasa, juga tak ada perubahan sedikit pun dari raut wajahnya. Dia asyik bermain ponsel, seolah tak ada urusan dengan hilangnya Surtini, padahal gadis itu sudah berbuat jahat untuk menyingkirkan sang adik.Rukmini menggigit ujung kuku."Biasanya kalau main paling cuma sebentar," gumamnya semakin resah."Mana aku tau, Mak. Mungkin aja mainnya hari ini asyik banget, 'kan? Nanti juga pulang palingan kalo lapar," sinis Hastuti.Rukmini menghela napas berat. Akhirnya, dia memutuskan untuk pergi mencari Surtini. Namun, baru saja membuka pintu, Matanya menangkap selembar amplop putih di meja teras, tepatnya di bawah asbak."Ini apa?"
Barang-barang di tas Surtini hanya sedikit. Penggeledahan tak memakan waktu lama. Pelayan yang memeriksa menggeleng pelan, menandakan dia tak menemukan cincin. "Berarti, Surtini bersih. Sekarang, kita akan lanjut kepada yang lain," putus Mirna. "Hah? Surti benar-benar bersih, Bu?" pekik Sari tanpa sadar. Mirna yang tadinya hendak melangkah ke luar kamar menghentikan langkah. Dia berbalik. Sari menelan ludah menyadari kecerobohannya. Sorot mata dingin Mirna menelisik tajam. "Apa tadi yang kamu katakan, Sari?" Sari cepat memperbaiki raut wajahnya. Dia tiba-tiba saja berekspresi seperti penuh haru. "Saya senang Surti benar-benar tidak terlibat dalam kasus ini, Bum Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kami harus bersikap nanti jika dia benar-benar pelakunya," kilahnya. "Oh begitu." Meskipun kata-katanya seperti percaya, tetapi Mirna mengucapkannya dengan nada sarkastik. "Baiklah, kita lanjutkan ke kamar lain– tunggu!"
Amira mondar-mandir di ruang rawat inap suaminya. Pikirannya masih dihantui firasat buruk. Laporan Rehan bahwa keluarga Surtini baik-baik saja tidak cukup menenangkan. Sebenarnya, Amira juga menelepon Rukmini beberapa kali, tetapi tidak diangkat. Kadang, Hasuti yang menerima panggilan. Gadis itu mengatakan ibunya mandi, atau sedang pergi dan ketinggalan ponsel. "Aduh, kenapa susah dihubungi, ya?" gumam Amira resah. Dia dan sang suami memang tengah berada jauh dari keluarga Surtini. Dokter menyarankan Aris untuk dirawat di Singapura. Oleh karena itu, di Negeri Merlion inilah mereka kini berada. Melihat tingkah galau sang istri, Aris yang sedari tadi menikmati semangkuk bubur terpaksa menghentikan sarapannya. "Kenapa, Ma? Dari tadi mondar-mandir terus?" celetuknya. "Masih kepikiran sama Bu Rukmini, Pa. Firasat Mama tuh enggak enak banget. Kok, kayaknya ada yang salah gitu," cerocos Amira. Dia mengempaskan tubuh di sofa. Rupanya,
Kini, pintu kamar terbuka sempurna. Surtini terperangah. Bibirnya tak henti berdecak kagum, sampai-sampai harus dicubit oleh Tanti."Yang sopan, Surti," tegur Tanti.Surtini menyengir lebar."Maaf, Bu, maaf."Tak salah Surtini terpesona. Kamar sang nona memang sangat indah dan megah. Ruangan luas yang mirip dengan kamar bangsawan Eropa tempo dulu, lengkap dengan ranjang ukuran king size, sofa, dan meja perjamuan. Dinding dan jendelanya penuh dengan ukiran yang estetik nan elegan. Surtini merasa sedang memasuki negeri dongeng.Sementara itu, sang nona duduk di meja perjamuan dengan membelakangi pintu. Rambut halus bergelombang sepinggangnya tertiup semilir angin dari jendela. Jemari yang lentik membolak-balik lembaran buku di meja."Selamat pagi, Non. Hari ini, saya membawa pelayan baru yang akan melayani Non Eka," ucap Tanti sambil membungkukkan badan.
Gayatri terus mengomel. Sikap Eka tak berubah. Dia masih saja bertingkah menyebalkan. Sementara Jihan berkata-kata manis, seolah menenangkan, padahal jika ditelaah justru terasa semakin menjelekkan Eka. Surtini meremas jemari. Dia harus sekuat tenaga menahan diri agar tetap diam. Gadis itu ingin sekali mengungkapkan kebenaran, tetapi rasa patuh kepada Eka menahannya. "Sepertinya, kamu perlu tambahan pelajaran etika! Aku akan mengirim guru etika yang baru," putus Gayatri akhirnya. "Tidak perlu membuang uang Anda, Nyonya Besar. Guru etika hanya sia-sia." "Kamu harus nurut apa kata Oma, Eka," bujuk Jihan dengan raut wajah sok keibuan, padahal senyuman puas terukir samar di sudut bibirnya. "Memukul kaki pelayan hingga pincang sebelah," celetuk Eka tiba-tiba. Gayatri mengerutkan kening. Dia mungkin tak mengerti arah pembicaraan Eka. Namun, si menantu yang berdiri di sebelahnya tampak menelan ludah. "Menyiram pelayan yang c
Mobil Aris memasuk gerbang megah rumah Keluarga Hartono. Beberapa pelayan telah menyambut dan mengarahkan menuju tempat parkir. Oleh karena mereka datang sedikit terlambat, telah banyak tamu yang hadir, terlihat dari barisan mobil mewah di sana.Keluarga Pratama keluar dari mobil, lalu menuju ruangan utama tempat pesta berlangsung. Baru saja mereka memasuki ruangan, Clarissa segera mendekat. Gadis itu tanpa malu-malu menarik tangan Rehan dengan manja. Reina dan Amira kompak mendelik."Kak Rehan, ayo!" rengek Clarissa manja.Rehan melepas tangan Clarissa dengan paksa. Sorot matanya tajam mengancam. Dia mendengkus, lalu melenggang dari hadapan gadis itu untuk duduk di salah satu kursi dan mulai sibuk bermain ponsel. Para tamu undangan berbisik-bisik, bahkan ada yang cekikikan."Rissa gitu banget, ya, kayak cewek murahan.""Masih kecil kok sudah kecentilan.""Hush, jangan sem
"Mas Rehan?"Surtini melongo sejenak. Dia memicingkan mata, lalu mengerjap beberapa kali. Sosok pemuda tampan di hadapannya tidak menghilang. Gadis itu pun meletakkan penyiram tanaman dan memilih duduk di kursi. Rumah kaca milik Eka memang dilengkapi meja dan kursi untuk beristirahat, juga agar bisa menikmati indahnya taman bunga."Sepertinya, aku terlalu lelah sampai berkhayal senyata ini ...," gumam Surtini sambil mengelus dagu."Kenapa kamu bisa ada di sini, Surti?" tanya Rehan lagi.Dia mendekat dan menepuk bahu Surtini. Gadis itu terlonjak."Ah! Khayalanku benar-benar terasa nyata!" serunya.Rehan menggeleng pelan. Dia menarik kursi yang berhadapan dengan Surtini, lalu duduk di atasnya. Pemuda itu berdeham beberapa kali sebelum mulai bicara lagi."Kamu tidak berkhayal, Surti. Aku memang ada di sini.""Tapi, tapi, tapi ... penjagaan rumah ini, kan, sangat ketat, Mas. Bagaimana bisa Mas Rehan bisa masuk ke sini?"