Amira memencet bel untuk yang kesepuluh kalinya. Namun, pintu apartemen Rehan tidak juga terbuka. Dia mendengkus kasar, juga mengipas-ngipasi wajah karena suhu mendadak naik akibat emosi jiwa. Reina yang berdiri di sampingnya jadi mengkerut.
"Ma ...."
"Apa lagi, Reina? Jangan bilang kamu mau buang air kecil!"
"Anu, Ma .... Kita, kan, ke sini mendadak. Siapa tau Kak Rehan lagi pergi ke mana gitu. Kenapa Mama enggak telepon aja dulu?"
Amira menepuk kening. Kepanikan setelah melihat unggahan Rehan memang membuatnya sedikit hilang kendali. Meskipun Aris kurang setuju, dia dan Reina tetap kukuh mendatangi Rehan. Amira sangat tergesa-gesa sampai lupa memberi kabar terlebih dahulu kepada sang putra.
Sebenarnya, Amira merasa tak perlu memberi kabar karena mereka sampai di apartemen Rehan di malam hari dan berpikir putranya pasti tidak akan ke mana-mana. Dia memang terlebih dahulu pergi ke ustaz untuk meminta air rukiyah. Amira
“Ada apa, Surti?” celetuk Rehan.Pemuda itu sedari tadi hanya mengamati. Namun, dia tak tahan ketika melihat Surtini mulai mencak-mencak tak jelas. Sementara Eka malah tersenyum jahat, membuat Rehan merinding saja. Pacar pura-puranya memang sering kali memiliki ide anti-mainstream yang sedikit kejam untuk membalas kejahatan lawan.“Ini lho, Mas, Sylvia udah keterlaluan!” keluh Surtini.Dia memperlihatkan layar ponsel. Rehan mencondongkan badan. Raut wajahnya perlahan berubah saat membaca pesan-pesan di grup WA angkatan Surtini dan Eka. Tiga pesan terakhir terasa sangat sadis dan tidak berperikemanusian.[“Eh, @Eka! Baca nih komentarku! Enggak pantes tau kamu sama Rehan! Anak haram cocoknya ya sama anak haram juga.”][“Jangan-jangan kamu ngerayu Rehan kayak ibu kamu menggoda majikan, ya!”][“Dasar anak lont*! Pantes ibu kamu mati kena karma! Hati-hati nanti k
Surtini mengerucutkan bibirnya. Dia sudah sangat penasaran dengan rencana Eka. Namun, sang "nona" meminta bersabar dan menunggu kedatangan Rehan."Ayolah, Non," rengeknya manja."Tunggu sebentar lagi, aku malas kalo harus menjelaskan dua kali."Tepat, setelah ucapan Eka selesai, bel berbunyi. Surtini bergegas membukakan pintu. Begitu melihat wajah Rehan, dia langsung menyeretnya ke dalam. Gadis itu tak peduli si pemuda tampak salah tingkah dengan wajah memerah saat dipenganginya di lengan."Ayo, Mas, cepat-cepat! Surti udah enggak sabar denger rencana Non Eka!" cecar Surtini sembari terus menarik Rehan, hingga ke sofa ruang tamu.Sayangnya, kesenangan Rehan harus ternganggu. Eka tiba-tiba bangkit dari sofa. Dia melepas pegangan tangan Surtini dengan cara yang sangat halus, hingga terlihat seperti hal wajar. Eka meminta gadis itu membuatkan minuman. Surtini bergegas menuju dapur."Silakan duduk," ucap Eka."Terima kasih."Rehan
Sebelum memulai drama jilid dua, Eka memastikan dulu waktunya tepat. Teman seangkatan harus banyak yang online. Kalau tidak, semua rencana akan sia-sia. Dia menyeringai saat melihat lebih dari separuh anak angkatannya tengah berselancar di dunia maya.“Panggung pertunjukkan akan segera dimulai. Surti, segera ke posisi!” titah Eka.“Siap, Non!”Surtini berpose hormat. Dia berlari ke kamar. Eka meletakkan ponselnya di penyangga, lalu melakukan siaran langsung. Kasusnya memang sedang hangat, tentu anak-anak angkatan segera mengikuti siaran langsung tersebut karena penasaran dengan apa yang akan Eka lakukan.@Mimi_Cute: “”Wah, si Lonet siaran langsung! Ada apaan nih?”@Sylvia_Ariana: Mau open BO kali?”@Luisa_sekseh: “Ayoklah yang cowok cepet gabung, nanti ketinggalan antrian! Ha ha ha
"Penelitian kamu menunjukkan variabel harga memiliki hasil yang paling bermakna. Menurut kamu, faktor apa yang menyebabkan hal ini? Apakah hasil ini benar-benar relevan?" tanya dosen penguji.Surtini mencengkeram ujung jas hitam yang dikenakan untuk mengurangi rasa grogi. Dia memang tengah menjalani sidang skripsi. Penelitiannya tentang analisis penjualan produk garmen merek tertentu dengan berbagai variabel mendapat banyak pertanyaan dari dosen penguji. Meskipun semalam sudah dibuat simulasi sidang oleh Eka, rasa gugup tetap menganggu konsentrasi gadis itu.Dosen pembimbing melirik Surtini. Sorot mata beliau seolah mengatakan “kamu bisa”, membuat Surtini mendapatkan suntikan semangat. Dia mengatur napas sejenak, lalu berbicara setelah degup jantung sedikit lebih tenang.“Hasil ini relevan dengan keadaan sekarang, Pak. Harga memang menjadi faktor yang sangat memengaruhi daya beli masyarakat untuk saat ini.”Surtini membuka salah sa
Langit muram, lalu perlahan mulai menitikkan air matanya, diawali gerimis dan berakhir dengan hujan lebat. Surtini dan Hastuti tergeletak di lantai gudang tua. Tangan dan kaki mereka terikat kuat dengan tali tambang.Hawa dingin lantai semen meremangkan bulu kuduk. Desau hujan membentur seng atap terdengar nyaring. Perlahan, kesadaran Surtini mulai kembali. Dia mencoba duduk dengan susah payah dan berhasil tepat ketika hujan berhenti.Surtini mencoba melihat sekeliling sambil meringis. Kepalanya agak pening. Sementara tubuh terasa nyeri di beberapa bagian karena memar. Mungkin anak buah Clarissa melemparkan gadis itu dengan kasar ke lantai semen, sehingga menyebabkan cedera.Surtini tersentak saat melihat di dekat kakinya ada Hastuti yang meringkuk seperti bayi. Dia pun mencoba memanggil, "Mbak! Mbak Tuti!"Sayangnya, Hastuti tak menyahut. Gadis itu masih pingsan. Surtini hendak lebih mendekat sang kakak, tetapi ternyata sulit berg
Hastuti mengendap-endap untuk menghindari para penjaga. Tanah yang masih basah usai hujan sedikit menyusahkannya. Sementara itu, ada dua orang pria berpakaian serba hitam tengah duduk tak jauh dari tempatnya bersembunyi. Mereka tampak merokok sambil bermain catur."Aduh, bagaimana caranya melewati mereka?" keluh Hastuti. "Kalau tertahan di sini, bagaimana aku bisa meminta bantuan? Apa Surtini baik-baik saja di dalam?"Sudah hampir 1 jam dia mengintai. Namun, para penjaga tampak tak berniat untuk beranjak dari sana. Mereka justru terlihat semakin asyik bermain catur. Hastuti bahkan harus menguatkan hati karena saat bersandar di tembok gudang sempat terdengar tawa beberapa orang laki-laki, lalu bunyi-bunyi keras.
“Aduh, Non ketahuan!” bisik Surtini panik.Dia hendak berniat menutupi bagian dada Eka. Namun, tindakannya malah terlihat seperti berbuat mesum. Eka terkekeh, lalu mendekatkan bibir ke telinga Surtini.“Apa kamu tidak tahu kalau menyentuh dada seorang pria itu sangat berbahaya? Bagaimana kalau aku khilaf dan menerkammu?” bisiknya nakal.Wajah Surtini seketika memerah. Dia mencoba menutupinya dengan telapak tangan. Eka tergelak melihat tingkah menggemaskan si gadis pelayan. Sementara itu, Rehan perlahan mendekat dengan linglung.“Surtini juga tahu, kamu laki-laki?” tanyanya dengan raut wajah masih tampak syok.“Iya, Rehan. Maaf kami harus membohongimu selama ini karena seperti yang kamu tahu, nyawaku selalu terancam akibat ulah Nyonya Jihan. Padahal, aku dalam penyamaran sebagai anak perempuan. Apa jadinya jika dia tahu aku laki-laki?” jelas Eka.Dia terkekeh.“Kau bisa bayangkan be
“Ih, Kak Rehan! Sakit tau!"Suara melengking yang tidak asing membuat Rehan membuka mata. Tak ada lagi Surtini dan Eka yang tengah bermesraan. Pandangannya justru menangkap wajah kesal Reina. Sang adik melotot sambil mengelus-elus dahi benjol."Reina? Kenapa kamu ada di sini? Mana Surti dan Eka tadi?" cerocos Rehan dengan wajah linglung."Apaan, sih, Kak? Mana mungkinlah Kakak Peri sama Kak Eka ada di sini! Ngapain coba mereka ke kamar Kakak," gerutu Reina.Dia mengerutkan kening melihat Rehan yang tengah melongo. Kakaknya itu tiba-tiba mengedarkan pandangan ke sekeliling, lalu bengong lagi dalam waktu lama. Reina sudah tak tahan dan langsung memukul lengan Rehan dengan cukup kencang."Aduh! Sakit, Reina!"Rehan mendelik tajam. Biasanya, orang lain akan langsung mengkerut jika ditatapnya seperti itu. Namun, Reina jelas sudah kebal dengan pelototan sang kakak. Dia malah melirik sinis."Makanya jangan bengong, entar kesambet