Share

Chapter 10

Diandra meletakkan buket bunga mawar putih yang dirangkainya sendiri di atas makam milik Rossaline Lidya. Ternyata neneknya tadi meminta ditemani berkunjung ke tempat peristirahatan terakhir mendiang tantenya. Bunga mawar putih tersebut dipetiknya langsung dari kebun milik neneknya sendiri. Diandra merasa dari dulu hingga kini kebun tersebut tetap sama, yaitu hanya dipenuhi oleh bunga mawar putih. Ia memang mengetahui alasan sang nenek mengisi kebunnya hanya dengan bunga mawar putih, tidak lain karena mendiang tantenya sangat menyukai bunga tersebut. Selain di tempat peristirahatan terakhir milik tantenya, Diandra juga meletakkan bunga mawar putih tersebut di makam kakeknya, yang letaknya bersebelahan.

Setelah menyapa anggota keluarganya yang telah lebih dulu menghadap Sang Pencipta, Diandra mengajak neneknya kembali pulang. Selain karena sudah cukup sore, rintik-rintik hujan yang mengenai kulit mereka pun menjadi alasan Diandra bergegas meninggalkan area pemakaman.

“Dee, apakah kamu sudah dapat bertemu dengan Mamamu?” tanya Bu Weli kepada Diandra yang duduk di sampingnya.

“Belum, Nek. Papa masih melarangku bertemu dengan Mama. Beliau mengkhawatirkan kondisi Mama jika aku memaksa menemuinya,” Diandra menjawabnya dengan jujur sambil memainkan jari-jari tangan neneknya yang kulitnya sudah mengkerut.

“Nanti kita temui Mamamu bersama-sama. Sejak kepulangannya, Nenek juga belum sempat mengunjungi Mamamu,” tawar sang nenek kepada Diandra.

“Tidak usah, Nek. Takutnya nanti Mama atau Papa akan menyalahkan Nenek karena mengajakku ke rumah itu,” tolak Diandra lembut. Ia tidak mau melibatkan neneknya, apalagi menjadikan sang nenek sasaran kemarahan ibunya. “Aku akan mengunjungi Mama jika kondisinya sudah benar-benar stabil, lagi pula Dea juga telah berjanji akan membantuku,” sambungnya sebelum neneknya melayangkan protes.

Bu Weli hanya menghela napas mendengar ucapan Diandra. “Apakah hubunganmu dengan Dea sudah membaik?” selidiknya.

Dengan cepat Diandra mengangguk agar neneknya tidak khawatir. “Meski aku telah menghancurkan hubungannya dengan Hans secara sengaja, tapi Dea berusaha bersikap dewasa dan bijaksana. Aku sangat bersyukur mempunyai kakak seperti dirinya,” pujinya supaya sang nenek memercayai ucapannya.

“Baguslah jika Dea bisa berpikir dewasa dan bersikap bijaksana menyikapi masalah ini.” Meski Bu Weli menanggapinya dengan nada tenang, tapi batinnya dipenuhi kekhawatiran dan keraguan. “Semoga saja cucu-cucuku tidak mengulang kejadian memilukan orang tuanya di masa lalu,” harapnya dalam hati.

***

Diandra kini tengah menikmati pemandangan malam hari di sekitar rumah neneknya dari balkon kamar yang ditempatinya. Ia juga telah menggunakan pakaian tidurnya yang berbahan wol untuk menutupi tubuhnya agar terlindung dari cuaca dingin. Karena harus menemani neneknya mengunjungi makam mendiang tante dan kakeknya, ia terpaksa membatalkan acaranya yang ingin mengajak Helena berkeliling ke kebun teh milik warga.

“Dee, jangan terlalu lama berada di balkon, nanti kamu masuk angin,” tegur Helena saat melihat Diandra tengah mendekap tubuhnya sendiri ketika ia memasuki kamar.

“Len, kemari dan lihatlah. Pemandangan malam di sini sangat indah,” balas Diandra setelah menoleh ke belakang.

Helena ikut mendekap tubuhnya sendiri setelah menghampiri Diandra, apalagi embusan angin malam menyentuh kulitnya. “Iya, Dee. Sangat indah,” komentarnya. “Oh ya, Bi Mirna membuatkanmu teh chamomile untuk menghangatkan tubuh,” ujarnya. Helena kembali ke dalam kamar untuk mengambil nampan yang tadi di letakkannya di atas meja.

Diandra menyesap teh hangat yang diberikan Helena. “Len, aku sangat bersyukur mempunyai sahabat sepertimu dan Sonya. Tanpa semangat dan dukungan kalian, aku tidak akan bisa melewati semua ini sendirian,” ucapnya mulai membuka obrolan.

“Sama-sama, Dee. Apa yang aku lakukan tidak sebanding dengan pertolonganmu terhadap kelangsungan hidup adikku,” balas Helena. “Andaikan waktu itu aku bisa menahan emosiku, pasti Tante Allona tidak akan mengetahui kehamilanmu.” Helena mengingat kejadian di toilet restoran. Karena saking geramnya mengetahui kehamilan Diandra, ia melampiaskannya di toilet restoran. Mereka mampir ke restoran untuk makan siang setelah pulang dari rumah sakit. Tanpa diketahuinya, Allona berada di salah satu bilik toilet ketika Helena menumpahkan kekesalannya atas kehamilan sahabatnya.

“Jangan menyalahkan dirimu sendiri, Len.” Diandra mengusap punggung sahabatnya. “Len, kita jalan-jalan di kebun tehnya besok pagi saja ya,” ajaknya.

Helena mengangguk. “Dee, saat di mobil tadi aku mendengar percakapanmu dengan Nenekmu. Sepertinya Nenekmu sangat kehilangan atas kepergian Tantemu,” ujarnya.

“Kamu benar, Len. Buktinya taman di samping rumah, Nenek mengisinya hanya dengan bunga kesukaan Tante Ocha. Selain itu, mungkin juga karena Tante Ocha meninggal di usia yang masih muda. Bahkan, saat itu keluargaku sedang berbahagia karena Mama baru beberapa hari melahirkanku,” Diandra menanggapi. “Hidup Tante Ocha benar-benar singkat. Meskipun tidak pernah melihatnya secara langsung, tapi aku yakin beliau mengenalku dari sana,” tambahnya sambil menatap ke langit.

“Jalan hidup manusia tidak ada yang bisa mengetahuinya,” gumam Helena sambil mengembuskan napas.

“Len, setiap mengunjungi makam Tante Ocha, aku selalu merasa tenang. Semua permasalahanku seolah menghilang untuk sementara setelah aku mencurahkannya di sana,” ungkap Diandra.

“Mungkin itu disebabkan karena kamu kekurangan kasih sayang dari orang tuamu, terutama Mamamu, Dee. Makanya kamu mencari pelarian kepada Tantemu, meski kalian tidak bisa bertatapan secara langsung. Kamu menganggap bahwa Tantemu adalah sosok yang paling dekat dengan Mamamu, mengingat mereka bersaudara,” Helena mengomentari. “Bagi anak perempuan, ibu merupakan tempat yang paling nyaman dan tepat untuk menyampaikan segala kegelisahan dan kegundahannya,” sambungnya.

Diandra manggut-manggut. “Masuk akal juga pemikiranmu, Len. Apakah kamu pernah sepertiku?” tanyanya ingin tahu.

“Pernah. Setiap mengunjungi makam Mama, selain untuk mengobati rasa rinduku, aku juga menyampaikan keluh kesahku padanya,” jawab Helena jujur. “Meski tidak melihat secara langsung Mama mendengarku, tapi tindakan itu mampu meringankan kesedihan yang aku rasakan, termasuk tentang Mayra,” sambungnya.

Diandra menghapus air mata yang menetes begitu saja di pipi Helena. “Jika terlahir sebagai adikmu, aku pasti sangat bangga memiliki kakak sepertimu,” pujinya. “Aku yakin Mayra juga sepemikiran denganku,” sambungnya.

Topik pembicaraan yang berhubungan dengan keluarga memang sedikit sensitif untuk Helena. Diandra sudah mengetahui jika ternyata Helena dan Mayra tidak mempunyai hubungan darah. Mayra adalah anak ibu tiri Helena dari pernikahan sebelumnya. Setelah ayah Helena meninggal, ibu tirinya pergi entah ke mana dan meninggalkan Mayra begitu saja. Padahal gadis manis itu tengah menderita gagal ginjal. Yang lebih membuat Diandra tidak habis pikir adalah, kelakuan ibu tiri Helena. Tanpa sepengetahuan Helena, wanita yang tidak pantas disebut ibu itu tega menjualnya untuk melunasi utang-utangnya. Diandra sangat terharu ketika mendengar Helena berkata bahwa ia sangat menyayangi Mayra dan sudah menganggapnya seperti adik kandungnya sendiri. Bahkan, berjanji akan mencarikan donor ginjal agar Mayra bisa sembuh.

“Dee, sudah malam, sebaiknya kita tidur,” ajak Helena sekaligus membuyarkan lamunan Diandra. “Selamat malam keponakan Tante,” sambungnya sambil mengelus perut Diandra dan membawa masuk nampan berisi gelas yang isinya telah habis.

Diandra mengiyakan, kemudian berdiri. “Besok Mama akan mengajakmu jalan-jalan di sekitar kebun teh, Nak. Sekarang kita tidur dulu ya,” ucap Diandra pada calon anaknya dan mengelus perutnya.

***

Deanita sudah selesai berdandan. Malam ini ia akan menghadiri resepsi salah seorang sahabatnya bersama Lavenia. Setelah memeriksa isi clutch-nya dan memastikan barang bawaannya, ia pun segera keluar dari kamarnya. Sebelum ke tempat resepsi, terlebih dulu ia akan menjemput Lavenia di kediaman Narathama. Ia menghampiri ibunya yang tengah menonton televisi di ruang keluarga sendirian untuk berpamitan. Ia tersenyum ketika sang ibu menoleh karena menyadari keberadaannya.

“Cantik sekali anak Mama ini,” puji Yuri setelah memerhatikan putrinya.

“Terima kasih, Ma,” ucap Deanita dan duduk di sebelah ibunya. “Papa belum pulang, Ma?” tanyanya.

Yuri menggeleng. “Papamu pulang terlambat hari ini, katanya ada pertemuan sekaligus makan malam bersama rekan kerjanya.” Yuri menyampaikan seperti yang diucapkan suaminya tadi.

“Mama tidak apa-apa kan makan malam sendiri?” tanya Deanita sambil memerhatikan reaksi ibunya.

“Tentu saja tidak, Sayang.” Yuri tersenyum dan membelai pipi putri kesayangannya.

“Kalau begitu aku pergi dulu ya, Ma,” Deanita berpamitan dan mencium kedua pipi Yuri secara bergantian.

“Hati-hati mengemudi, Sayang. Kabari Mama kalau ada sesuatu,” Yuri mengingatkan Deanita yang telah beranjak dari duduknya.

Deanita mengangguk sebelum meninggalkan ibunya. Kecelakaan tragis yang pernah dialaminya bersama Hans dan merenggut korban jiwa, membuat Deanita sempat tidak berani mengemudikan mobil. Seiring bergantinya hari, Deanita pun selalu berusaha keras untuk menumbuhkan kembali keberaniannya dan melawan ketakutannya. Perlahan tapi pasti, kini ia sudah mulai berani mengemudikan mobil, meski masih pelan-pelan dan sangat berhati-hati.

***

Deanita dan Lavenia hanya sebentar berada di tempat resepsi. Setelah memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai dan berbasa-basi sebentar dengan teman-temannya yang datang, mereka langsung meninggalkan acara tersebut. Selain karena menghindari pembahasan mengenai pernikahan Hans yang digelar secara tertutup, Deanita juga merasa risi dengan tatapan iba dari teman-temannya. Bahkan, telinga Deanita terasa panas saat beberapa temannya secara terang-terangan menggunjingkan adiknya dan mengatainya sebagai wanita jahat. Teman-temannya memang mengetahui jalinan hubungan antara dirinya dengan Hans sebelumnya.

“Tidak usah memikirkan perkataan mereka, Dea,” tegur Lavenia ketika melihat wanita di hadapannya hanya menatap latte pesanannya. Kini mereka mendatangi kafe untuk bersantai sambil mengobrol.

“Mereka hanya mengomentari dari satu sisi saja.” Deanita menatap Lavenia yang tengah menyesap mochaccino-nya.

“Dea, sebelumnya aku juga berpikiran sama seperti mereka, yang hanya melihat dari satu sisi. Aku menganggap Dee sebagai wanita yang sangat jahat karena tega menjadi orang ketiga di antara hubungan kakaknya dengan Hans. Namun, setelah mengetahui yang mendasarinya melakukan hal tersebut, aku malah kasihan melihatnya. Lebih kasihan lagi saat mengetahui Hans sengaja membuat Diandra tidak sadarkan diri dan memperkosanya hingga hamil,” ungkap Lavenia sedih.

“Bukan hanya itu penderitaan yang dialami Dee, Ve. Selama bertahun-tahun Dee menerima perlakuan tidak adil dari orang tuaku, terutama Mama. Makanya Dee menjadi anak yang pemberontak,” ujar Deanita sedih.

“Beberapa hari lalu, Dee diminta menginap di rumah oleh Mama karena Hans sedang pergi ke Jepang. Mama khawatir Dee hanya tinggal berdua dengan Bi Harum di rumahnya. Sepulangnya dari Jepang, Hans sangat marah ketika mengetahui keberadaan Dee di rumah dan mereka bertengkar hebat di hadapan Mama. Bahkan, mereka tiada hentinya saling menyerang dengan kata-kata tajam,” beri tahu Lavenia sambil menggelengkan kepala ketika mengingat Hans dan Diandra beradu mulut.

Deanita berulang kali menghela napas mendengar penuturan Lavenia. “Aku berharap salah satu dari mereka ada yang mau mengalah. Demi kebaikan calon anak mereka,” harapnya yang diangguki Lavenia.

***

Seperti ucapannya kemarin malam, Diandra dan Helena kini tengah berjalan-jalan di sekitar kebun teh yang letaknya tidak jauh dari rumah neneknya. Selain menikmati pemandangan dan menghirup udara yang sangat menyegarkan, Helena juga mengabadikan kebersamaan mereka menggunakan kamera ponsel. Mereka juga bercengkerama dengan para warga yang berpapasan, meski tidak saling mengenal.

Setelah merasa puas serta hampir satu jam mereka berada di sekitar kebun teh, Diandra dan Helena pun memutuskan kembali ke rumah untuk sarapan bersama Bu Weli. Usai berjalan-jalan mereka merasa semakin lebih segar. Bahkan, Helena mengatakan tidak keberatan jika Diandra setiap weekend ingin di antar ke rumah neneknya.

“Pagi, Nek?” sapa Diandra dan Helena bersamaan ketika melihat Bu Weli sudah menduduki salah satu kursi di ruang makan.

“Pagi juga, Sayang. Sudah puas berkeliling?” Bu Weli tersenyum. “Ayo, kita sarapan dulu,” ajaknya setelah melihat Diandra dan Helena serempak mengangguk.

“Terima kasih, Bi,” ujar Diandra ketika Bi Mirna membuatkannya roti panggang keju sebagai menu sarapannya.

“Ke mana rencana kalian hari ini?” tanya Bu Weli setelah menyesap teh hangatnya.

“Kedatanganku ke sini bukan untuk berlibur, Nek. Aku hanya ingin bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama Nenek,” beri tahu Diandra jujur.

Bu Weli terkekeh mendengar ucapan cucunya. “Baiklah, kalau begitu nanti kalian bantu Nenek membersihkan taman mawar di samping rumah.” Ia kembali terkekeh sambil menggelengkan kepala saat ajakannya langsung diangguki oleh Diandra dan Helena seperti anak kecil.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Carolyn Sanggu
baca harus guna koin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status