Merasa jenuh dengan suasana tempat tinggalnya, Diandra berencana berkunjung ke rumah neneknya dan menginap di sana selama beberapa hari. Ia sangat merindukan udara sejuk di sekitar rumah neneknya yang memang berada di dataran tinggi, lebih tepatnya di Puncak, Bogor. Awalnya Diandra akan pergi sendirian, tapi saat ia memberitahukan rencananya kepada Helena, sahabatnya tersebut ingin mengantar dan menemaninya. Meski sempat menolak, tapi pada akhirnya Diandra mengizinkan setelah Helena bersikukuh ingin mengantar dan menemaninya. Andaikan hari libur, ia juga ingin mengajak Mayra dan Sonya, agar mereka sama-sama bisa menikmati sejuknya udara pegunungan.
“Bi, aku berangkat dulu ya,” Diandra berpamitan setelah Helena menjemputnya.
“Hati-hati, Nyonya. Kabari Bibi jika Nyonya sudah sampai,” pinta Bi Harum sebelum Diandra memasuki mobil Helena.
Diandra mengangguk dan tersenyum. “Nanti pulangnya aku belikan Bibi oleh-oleh,” ucapnya sambil melambaikan tangannya setelah berada di dalam mobil.
“Nona Helena, hati-hati menyetirnya ya. Jangan mengebut,” Bi Harum mengingatkan Helena.
“Iya, Bi,” Helena menjawabnya dan tersenyum.
Sekali lagi Diandra dan Helena melambaikan tangannya sebelum mobil melaju meninggalkan halaman rumah. Diandra mulai memutar musik untuk menemani perjalanan mereka. Keduanya ikut bernyanyi ketika lagu yang mengalun mereka ketahui liriknya.
“Dee, apakah kamu sudah meminta izin kepada Hans?” tanya Helena setelah lelah bernyanyi.
“Untuk apa aku harus meminta izin padanya? Meskipun laki-laki itu sudah menyandang status sebagai suamiku, tapi tetap saja ia tidak mempunyai hak atas kegiatan dan hidupku,” Diandra menanggapi pertanyaan Helena dengan santai.
“Benar juga yang kamu katakan,” Helena menyetujui. “Dee, kamu berencana berapa hari menginap di rumah Nenekmu?” tanyanya mengalihkan topik.
“Dua hari. Len, gara-gara mengantar dan menemaniku kamu sampai menutup salon. Mayra juga harus kamu tinggalkan di rumah,” ujar Diandra merasa bersalah.
Helena terkekeh mendengar ucapan Diandra. “Mayra di rumah tidak sendiri, ada Bi Mira yang menemaninya,” jelasnya. “Memangnya pekerja sepertiku tidak boleh liburan? Tidak mungkin juga aku bekerja terus-menerus, Dee,” sambungnya.
Diandra mengacungkan jempol tangannya, tanda setuju. “Agar tetap sehat, maka kita harus bisa menyeimbangkan antara kebutuhan jasmani dan rohani. Seperti contohnya bekerja dan liburan yang juga harus diseimbangkan.”
Helena kembali terkekeh mendengar kalimat Diandra. Keduanya menikmati perjalanan sambil mengisinya dengan saling berbagi cerita.
***
Hans berdiri dari kursi kebesarannya dan meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa pegal. Kegiatannya meregangkan tubuh teralih oleh deringan benda pipih yang tergeletak di atas meja kerjanya. Ia menghela napas, kemudian mendengkus ketika melihat sebuah nama tertera pada layar ponselnya. Dengan malas Hans mengambil benda pipih yang berisik tersebut dan menempelkannya pada telinganya.
“Apa?” tanya Hans ketus. Ia memijat pelipisnya saat mendengar tawa dari lawan bicaranya di telepon. “Jangan menghubungiku jika kamu hanya ingin tertawa,” peringatnya.
“Sabar, Brother,” ujar Felix menenangkan. “Sepertinya sahabatku ini sudah lama tidak mendapat jatah, makanya ….” Felix tidak melanjutkan kalimatnya karena Hans sudah menghardiknya.
“Felix!” hardik Hans.
“Aku hanya bercanda, Hans. Aku sedang merasa jenuh berada di kantor dan berniat mengajakmu mencari angin sekaligus ….”
Hans kembali menyela kalimat Felix. “Baiklah. Cepat kirimkan alamatnya. Aku akan segera ke sana,” ucapnya dan langsung memutus secara sepihak sambungan teleponnya.
Hans menggeleng-gelengkan kepalanya ketika wajah Diandra mulai lancang memasuki benaknya. Berulang kali ia mengembuskan napas secara kasar agar sosok Diandra secepatnya enyah dari benaknya. Sebuah pesan dari Felix pun akhirnya berhasil mengembalikan kesadarannya. Hans menaruh kembali ponselnya ke atas meja kerjanya, sebab ia ingin membasuh wajahnya terlebih dulu sebelum menuju alamat yang dikirimkan Felix.
***
Felix tengah menunggu Hans di kafe yang sering didatanginya untuk melepas penat. Ia sengaja memilih tempat di balkon yang terdapat di lantai dua kafe tersebut agar bisa leluasa melihat pemandangan di bawahnya. Selain itu, di balkon tempatnya lebih privasi karena hanya ada beberapa meja saja. Andai saja sekarang malam hari, ia pasti akan lebih memilih kelab malam untuk melepas penat bersama Hans, apalagi sahabatnya itu sudah lama tidak menginjakkan kaki di tempat tersebut.
Felix melambaikan tangannya ketika melihat kedatangan Hans. “Kamu kenapa, Hans? Mengapa wajahmu kusut begitu?” tanyanya saat Hans sudah menduduki sofa kosong di hadapannya.
“Aku sedang memikirkan cara untuk mendepak wanita itu dari kehidupanku,” jawab Hans jujur setelah ia menyandarkan punggungnya sofa yang didudukinya.
Keduanya menunda obrolannya ketika melihat kedatangan waitress menghampirinya. “Klapertart panggang dan espresso,” beri tahu Felix.
“Macaroni schotel dan mojito.” Setelah memberitahukan pesanannya, Hans langsung mengibaskan tangannya agar waitress itu cepat pergi. Melihat perawakan waitress tersebut, Hans teringat pada Diandra yang pernah melayaninya di kafe, tempat wanita itu bekerja paruh waktu.
Mengerti reaksi sahabatnya membuat Felix terkekeh. Ia juga menyadari perawakan waitress tersebut mirip Diandra. Sebab, ia ada saat Hans bertemu secara tidak sengaja dengan Diandra yang tengah menjalankan pekerjaan paruh waktunya di kafe.
“Kenapa kamu tidak buat perjanjian saja dengannya. Misalnya, kamu menceraikan Dee setelah ia melahirkan. Aku yakin Dee akan bersuka cita menerimanya, apalagi ia juga tidak ingin selamanya hidup sebagai istrimu,” Felix menyarankan. “Setelah bercerai, kamu bisa kembali mengejar Dea dan menikahinya,” sambungnya.
Hans menggelengkan kepala. “Mamaku tidak akan pernah menyetujui keinginanku untuk menceraikan wanita itu. Dea pun tidak akan begitu saja menerimaku kembali setelah aku menceraikan adiknya,” ujarnya.
“Kalau begitu buat Dee sangat tidak betah hidup denganmu, sehingga ia yang memilih untuk bercerai,” Felix kembali memberikan saran. “Ngomong-ngomong, apakah selama kalian menikah kamu menafkahi kebutuhan hidupnya?” tanyanya penasaran.
Hans kembali menggelengkan kepala. “Jangankan fasilitas seperti mobil dan kartu kredit, uang tunai sepersen pun aku tidak pernah memberikannya,” ungkapnya. “Hanya tempat tinggal dan makanan yang aku sediakan untuknya. Itu pun bukan hunian mewah, melainkan hanya sekadar tempat berteduh,” imbuhnya.
Felix tersentak mendengar pengakuan Hans. “Hans, aku tidak menyangka kamu akan sepelit dan setega itu dengan istrimu sendiri. Padahal yang aku ketahui, loyalitasmu sangatlah tinggi terhadap kaum hawa. Bahkan, mantanmu saja pernah kamu belikan barang bermerek sebagai hadiah perpisahan.”
Mendengar ejekan sekaligus sindiran Felix membuat Hans mendengkus dan memilih tidak membalasnya. Apalagi makanan pesanan mereka sudah diantarkan. Ia dan Felix hanya mengangguk setelah waitress selesai menghidangkan pesanan mereka di atas meja.
Hans mulai menyesap mojito pesanannya sebelum melanjutkan obrolannya. “Ngomong-ngomong, apakah kamu sudah menemukan yang baru atau masih belum move on dari wanita itu? Apakah diam-diam kamu sudah jatuh cinta padanya?” serang Hans sekaligus mengalihkan topik pembicaraan.
Felix tertawa sumbang mendengar Hans menyerangnya. “Hubunganku dengan wanita itu tidak sejauh yang kamu pikirkan atau bayangkan, Hans. Ia hanyalah wanita yang menerima imbalan karena telah menghangatkan ranjangku,” jelasnya. “Menurutmu, apakah wanita seperti itu layak untuk aku cintai?” tanyanya meminta pendapat.
Hans hanya mengangkat kedua bahunya sebagai bentuk tanggapannya. “Jika tidak jatuh cinta, kenapa kamu sangat setia dengannya? Bahkan, aku perhatikan, sejak bersamanya kamu tidak pernah berganti pasangan dan hanya menidurinya saja.” Hans menaikkan sebelah alisnya.
“Penilaianmu keliru, Hans. Aku betah bersamanya karena pelayanannya selalu membuatku puas. Kegiatan yang sering kami lakukan tidak lebih dari hubungan simbiosis mutualisme semata. Aku dan ia juga selalu bermain aman agar tidak merugikan salah satu pihak,” jelas Felix sambil menyugar rambutnya. “Meski berengsek, aku tetap akan memilih seorang wanita baik-baik untuk mengandung dan melahirkan keturunanku kelak,” beri tahunya.
“Aku sependapat dengan kalimat terakhirmu,” Hans menanggapinya dan menganggukkan kepala.
“Sayangnya, kenyataan yang kamu alami tidak sesuai harapan. Kamu melupakan kehadiran pengaman saat menyetubuhinya, sehingga membuatmu sebentar lagi akan menjadi ayah dari anak yang tengah dikandung Diandra,” Felix mengingatkan kondisi Hans sekarang. “Meskipun kamu sangat membenci ibunya, setidaknya jangan libatkan anakmu, Hans. Biar bagaimanapun anak yang tengah berkembang di rahim Diandra adalah darah dagingmu juga,” imbuhnya menasihati.
***
Senyum Diandra mengembang ketika mobil yang dikemudikan Helena sudah tiba di rumah neneknya. Kedatangannya disambut oleh Pak Budi dan Bi Mirna, sepasang suami istri yang selama ini bekerja di rumah sang nenek. Setelah turun dari mobil ia meregangkan tubuhnya yang terasa pegal, begitu juga dengan Helena. Meski sudah memakai sweater berbahan wol, tapi Diandra masih juga merasa kedinginan. Ia pun memeluk tubuhnya sendiri saat udara dingin pegunungan menusuk kulitnya.
“Silakan masuk, Non Dee. Ibu sudah menunggu di dalam,” ajak Bi Marni sambil mengambil alih tas yang dibawa Diandra. Pak Budi juga membawakan tas milik Helena.
“Dee, udaranya benar-benar menyegarkan,” komentar Helena saat menghirup rakus udara di sekitarnya.
Diandra menyetujuinya dengan menganggukkan kepala. “Jika dulu diizinkan, aku akan lebih memilih tinggal di sini daripada di rumah orang tuaku,” balasnya. “Len, setelah beristirahat sebentar, nanti aku ajak kamu berkeliling ke kebun teh milik warga sini,” sambungnya.
Helena tersenyum dan mengacungkan jempolnya. “Nanti sore juga tidak apa-apa, Dee. Lagi pula kamu sangat memerlukan istirahat yang cukup. Jangan lupakan kondisimu yang tengah hamil, Dee,” Helena mengingatkan sahabatnya.
“Iya,” jawab Diandra. “Oh ya, Bi, bagaimana kabar Nenek?” Diandra bertanya kepada Bi Mirna yang berjalan di belakangnya.
“Baik-baik saja, Non. Ibu sangat senang saat Non Dee kemarin menelepon dan mengatakan akan berkunjung ke sini,” beri tahu Bi Mirna. “Bahkan, untuk menyambut kedatangan Nona, Ibu meminta Bibi membuat kwetiau,” sambungnya.
Diandra menanggapinya dengan senyuman lebar. “Baru mendengarnya saja sudah membuatku lapar, Bi,” ujarnya.
Bi Mirna terkekeh melihat reaksi cucu bungsu dari majikannya. Ia memang mengetahui jika Diandra sangat menyukai mi dari kecil, terutama spaghetti dan kwetiau.
Setelah berada di dalam rumah, Diandra yang melihat keberadaan neneknya langsung menyapa dan memeluknya. Ia menyalurkan kerinduannya kepada wanita yang hampir seluruh rambutnya sudah memutih. Sembari menunggu Bi Mirna selesai menata hidangan untuk makan siang, Bu Weli mengajak cucunya dan Helena berbincang sebentar di ruang tamu.
“Terima kasih, Nak, sudah mengantar dan menemani Dee ke sini,” ucap Bu Weli kepada Helena yang duduk di hadapannya.
“Sama-sama, Nek,” balas Helena sedikit canggung berhadapan dengan Bu Weli, mengingat dirinya ikut berperan dalam kandasnya hubungan Deanita dan Hans.
Diandra bisa merasakan kecanggungan Helena terhadap neneknya. “Nek, jangan salahkan Helena atas semua yang terjadi padaku. Aku sendiri yang meminta Helena untuk menjebak Hans dan mengacaukan hubungannya bersama Dea,” jelasnya.
Bu Weli tersenyum tipis mendengar permintaan cucu malangnya. “Semuanya telah terjadi, menyalahkan pun sekarang sudah tidak ada gunanya lagi. Anggap saja ini sebagai jalan hidup yang harus kita tempuh dan lewati,” tanggapnya bijak. “Kamu dan Helena kini harus memetik pelajaran atas aksi balas dendam yang kalian lakukan,” pesannya sambil menatap wajah Diandra dan Helena bergantian.
“Iya, Nek,” jawab Diandra dan Helena serempak.
“Dee, nanti sore temani Nenek ya,” pinta Bu Weli penuh harap.
Tanpa ingin mengetahui kegiatan yang akan dilakukan neneknya terlebih dulu, Diandra pun langsung menganggukkan kepala. Apa pun yang diinginkan neneknya, sebisa mungkin ia akan menurutinya.
“Hm, apa aku boleh ikut, Nek?” tanya Helena pelan.
“Tentu saja boleh,” jawab Bu Weli sambil terkekeh. “Ya sudah, sebaiknya sekarang kita makan siang dulu sebelum kalian beristirahat setelah menempuh perjalanan yang melelahkan,” ajaknya ketika Bi Mirna memberitahukan bahwa makanan sudah selesai dihidangkan.
***
Tidak seperti biasanya Hans pulang dari kantor saat matahari belum terbenam. Setelah menyudahi pertemuannya dengan Felix, Hans langsung menuju rumahnya. Hans telah menghubungi Damar agar membawakan sisa pekerjaannya ke rumah karena ia tidak akan kembali ke kantor.
“Bi, tadi masak apa saat makan siang?” tanya Hans kepada Bi Harum yang membawakannya segelas orange juice. Ia merasa perutnya kembali lapar.
“Karena Nyonya tidak ada, Bibi hanya membuat perkedel jagung dan tumis kangkung saja, Tuan,” jawab Bi Harum jujur.
Hans menikmati orange juice-nya sambil mendengarkan jawaban Bi Harum. “Memangnya pergi ke mana wanita itu, Bi?” tanyanya datar.
“Selesai sarapan tadi Nyonya berangkat ke rumah neneknya. Nyonya juga mengatakan akan menginap di sana selama beberapa hari, Tuan,” Bi Harum memberi tahu dan mengamati reaksi Hans.
“Bi, buatkan aku nasi goreng seafood,” pinta Hans tanpa menanggapi pemberitahuan Bi Harum mengenai kepergian Diandra.
“Baik, Tuan.” Setelah mengiyakan, Bi Harum segera menuju dapur untuk menjalankan permintaan Hans. “Apakah Tuan sedikit pun tidak mempunyai kekhawatiran kepada Nyonya?” tanyanya dalam hati.
Diandra meletakkan buket bunga mawar putih yang dirangkainya sendiri di atas makam milik Rossaline Lidya. Ternyata neneknya tadi meminta ditemani berkunjung ke tempat peristirahatan terakhir mendiang tantenya. Bunga mawar putih tersebut dipetiknya langsung dari kebun milik neneknya sendiri. Diandra merasa dari dulu hingga kini kebun tersebut tetap sama, yaitu hanya dipenuhi oleh bunga mawar putih. Ia memang mengetahui alasan sang nenek mengisi kebunnya hanya dengan bunga mawar putih, tidak lain karena mendiang tantenya sangat menyukai bunga tersebut. Selain di tempat peristirahatan terakhir milik tantenya, Diandra juga meletakkan bunga mawar putih tersebut di makam kakeknya, yang letaknya bersebelahan.Setelah menyapa anggota keluarganya yang telah lebih dulu menghadap Sang Pencipta, Diandra mengajak neneknya kembali pulang. Selain karena sudah cukup sore, rintik-rintik hujan yang mengenai kulit mereka pun menjadi alasan Diandra bergegas meninggalkan area pemakaman.“Dee
Setelah memastikan mobil yang ditumpangi orang tuanya meninggalkan halaman rumah, Deanita segera mencari Bi Asih dan menyuruhnya mengeluarkan barang-barang milik Diandra dari kamarnya. Tanpa sepengetahuan ibunya dan atas izin Bi Asih, ia menyembunyikan semua barang milik Diandra di kamar asisten rumah tangganya tersebut. Ia sengaja menolak ajakan ibunya yang memintanya ikut berkunjung ke rumah sang nenek.“Bi, masukkan semuanya ke bagasi mobilku ya,” pinta Deanita kepada Bi Asih.Bi Asih mengangguk. “Kalau boleh Bibi tahu, barang-barang milik Non Dee akan Nona mau bawa ke mana?” tanyanya penuh keberanian.Walau Deanita dan Diandra diketahuinya selama ini tidak pernah terlibat perseteruan secara langsung, tapi Bi Asih tetap mewaspadai jika putri sulung keluarga Sinatra mempunyai niat terselubung.“Mau aku antarkan ke rumah Dee, Bi,” Deanita menjawabnya sambil membaca pesan di ponselnya. “Bibi mencurigaiku?” tebaknya setelah mengalihkan perhatian dari ponselnya
Deanita langsung keluar setelah mobil yang dikendarai Hans terparkir di halaman rumah neneknya. Ia bertanya kepada Pak Bayu yang tengah mengobrol bersama Pak Budi mengenai kedatangan orang tuanya. Ia merasa sedikit lega setelah mengetahui ternyata orang tuanya belum terlalu lama sampai di rumah sang nenek. Pak Bayu juga mengatakan jika tadi orang tuanya mampir ke rumah sakit, untuk menjenguk sahabatnya yang tengah dirawat.Tidak mau membuang waktu, Deanita diikuti Hans dan Lavenia bergegas memasuki rumah sang nenek. Ketiganya mengernyit ketika menyadari ketegangan tengah terjadi di dalam rumah. Mereka tersentak saat mendengar pertanyaan Diandra yang diajukan dengan nada datar.“Lalu siapa orang tua kandungku, Ma?” tanya Diandra. Jarum-jarum tak kasatmata seolah berlomba ingin menusuk dadanya.“Aku bukan ibumu, jadi hentikan panggilan menjijikkan itu!” protes Yuri sambil menatap Diandra penuh peringatan. “Berikan saja panggilan Mama untuk wanita murahan yang telah m
Setelah berulang kali mencoba, Diandra tetap kesulitan memejamkan mata. Sekelebat kejadian yang telah dilaluinya hari ini muncul silih berganti memenuhi benaknya. Dengan hati-hati ia menuruni ranjang agar tidak membangunkan Helena yang sudah terlelap di sampingnya. Meski angin malam kurang bagus untuk kondisinya yang tengah berbadan dua, tapi ia tetap ingin keluar rumah untuk menghirup udara segar. Diandra melapisi piama tidurnya dengan sweater rajut dan menggunakan beanie hat untuk menghalau udara dingin menusuk tubuhnya saat berada di luar rumah.“Mau ke mana?” Hans yang baru keluar dari kamarnya melihat Diandra berjalan menuju pintu utama di rumah sang nenek.Diandra seketika menghentikan langkah kakinya saat tiba-tiba mendengar suara dari belakang tubuhnya. Ia mengetahui pemilik suara yang bertanya padanya tersebut. “Keluar,” jawabnya tanpa menoleh.“Aku antar. Sudah malam.” Hans menghampiri tempat Diandra berdiri. “Jangan besar kepala dulu. Aku hanya tidak mau
Allona mengunjungi rumah yang ditempati Hans dan Diandra, ia sangat mengkhawatirkan keadaan menantunya tersebut. Saat mengetahui Diandra masih terlelap di kamarnya, ia melarang Bi Harum membangunkannya. Sambil menunggu Diandra bangun, Allona membantu Bi Harum membuat hidangan untuk makan malam.“Bi, Hans di kamarnya?” Allona menanyakan keberadaan putranya sambil mencincang daging ayam sebelum digiling.“Tuan belum pulang, Nyonya,” jawab Bi Harum usai menyerut wortel.Setelah mengetahui keberadaan Hans, Allona menyuruh Bi Harum membuat telur dadar, sedangkan ia akan menggiling daging ayam yang sudah selesai dicincang. Ia akan membuat rolade ayam wortel untuk makan malam mereka.***Diandra terlihat lebih segar seusai mandi, meski wajah pucat dan mata sembapnya masih terlihat jelas. Langkah kakinya yang hendak ke dapur memelan saat melihat Allona sedang menata hidangan di atas meja makan. Ia tersenyum tipis ketika Allona menyadari kehadirannya.“Sud
Atas permintaan keras kepala Allona, Hans terpaksa harus menginap di rumah sakit selama sepuluh hari hingga jahitannya dilepas. Bahkan, setelah jahitannya dilepas pun Allona tetap meminta Hans untuk mengontrolnya ke rumah sakit. Allona hanya ingin memastikan luka Hans akibat tusukan tersebut mendapat penanganan yang tepat dari tim medis.Selama sepuluh hari Hans dirawat, sekali pun Diandra tidak pernah menjenguknya di rumah sakit. Allona yang mengetahuinya tidak bisa memberikan komentar. Ia memaklumi keabsenan Diandra, apalagi selama ini perlakuan dan sikap Hans sangat buruk padanya. Untuk meminimalkan rasa khawatirnya saat malam hari, Allona memerintahkan Pak Amin tinggal di rumah Hans bersama Diandra dan Bi Harum. Ia terpaksa melakukannya karena Diandra menolak ketika diminta pindah ke kediaman Narathama selama Hans dirawat.Selama dirawat, Hans mengerjakan semua pekerjaan kantornya di rumah sakit, kecuali memimpin rapat. Ia terpaksa membuat Damar repot karena harus bo
Untuk mengantisipasi pertengkaran yang terjadi antara Hans dengan Diandra, Allona meminta keduanya berangkat menuju tempat acara dari kediaman Narathama. Ia merencanakan berangkat bersama-sama meski menumpangi mobil yang berbeda. Awalnya Hans menolak karena dianggap membuang-buang waktu, tapi Allona tetap bersikeras, sehingga mau tak mau ia pun terpaksa menurutinya.Kini mereka sudah tiba di tempat acara. Mereka sengaja tiba lebih awal karena bertindak sebagai tuan rumah. Berselang beberapa menit, undangan pun mulai berdatangan dan memberikan ucapan selamat kepada Hans serta Allona. Demi kesopanan, Diandra terpaksa memasang senyum palsu dan berdiri di samping Hans ikut berbasa-basi menyapa para undangan yang hadir.Hampir semua undangan memuji penampilan Hans dan Diandra yang terlihat sangat serasi, terlebih keduanya masih tergolong pengantin baru. Long dress hitam bergaya vintage dan berbahan lace terlihat sangat cocok melekat pada tubuh berisi Diandra. Tatanan rambutny
Bi Harum terkejut sekaligus khawatir melihat Hans dan Diandra duduk bersama menikmati sarapan masing-masing, sebab baru pertama kali pemandangan ini disaksikannya sejak sepasang majikannya tersebut menikah. Selama berada di rumah ini, ia hampir tidak pernah melihat Hans dan Diandra bertengkar secara langsung. Berbeda seperti yang pernah dilihatnya langsung beberapa kali di kediaman Narathama. Bi Harum takut jika harus melihat kemarahan pasangan suami istri tersebut, terlebih tidak adanya Allona yang menjadi penengah.“Apakah jenis kelaminnya sudah diketahui?” Hans memecah keheningan di sela-sela kegiatannya menikmati nasi gorengseafoodkesukaannya.Diandra menghentikan kegiatannya mengunyah dan beralih menatap Hans intens. “Kenapa sejak kemarin kamu terus saja menanyakan tentang anakku? Dulu, jangankan menanyakannya, keberadaannya pun biasanya tidak pernah kamu pedulikan,” ucapnya sarkastis. &ldquo