Share

Chapter 9

Merasa jenuh dengan suasana tempat tinggalnya, Diandra berencana berkunjung ke rumah neneknya dan menginap di sana selama beberapa hari. Ia sangat merindukan udara sejuk di sekitar rumah neneknya yang memang berada di dataran tinggi, lebih tepatnya di Puncak, Bogor. Awalnya Diandra akan pergi sendirian, tapi saat ia memberitahukan rencananya kepada Helena, sahabatnya tersebut ingin mengantar dan menemaninya. Meski sempat menolak, tapi pada akhirnya Diandra mengizinkan setelah Helena bersikukuh ingin mengantar dan menemaninya. Andaikan hari libur, ia juga ingin mengajak Mayra dan Sonya, agar mereka sama-sama bisa menikmati sejuknya udara pegunungan.

“Bi, aku berangkat dulu ya,” Diandra berpamitan setelah Helena menjemputnya.

“Hati-hati, Nyonya. Kabari Bibi jika Nyonya sudah sampai,” pinta Bi Harum sebelum Diandra memasuki mobil Helena.

Diandra mengangguk dan tersenyum. “Nanti pulangnya aku belikan Bibi oleh-oleh,” ucapnya sambil melambaikan tangannya setelah berada di dalam mobil.

“Nona Helena, hati-hati menyetirnya ya. Jangan mengebut,” Bi Harum mengingatkan Helena.

“Iya, Bi,” Helena menjawabnya dan tersenyum.

Sekali lagi Diandra dan Helena melambaikan tangannya sebelum mobil melaju meninggalkan halaman rumah. Diandra mulai memutar musik untuk menemani perjalanan mereka. Keduanya ikut bernyanyi ketika lagu yang mengalun mereka ketahui liriknya.

“Dee, apakah kamu sudah meminta izin kepada Hans?” tanya Helena setelah lelah bernyanyi.

“Untuk apa aku harus meminta izin padanya? Meskipun laki-laki itu sudah menyandang status sebagai suamiku, tapi tetap saja ia tidak mempunyai hak atas kegiatan dan hidupku,” Diandra menanggapi pertanyaan Helena dengan santai.

“Benar juga yang kamu katakan,” Helena menyetujui. “Dee, kamu berencana berapa hari menginap di rumah Nenekmu?” tanyanya mengalihkan topik.

“Dua hari. Len, gara-gara mengantar dan menemaniku kamu sampai menutup salon. Mayra juga harus kamu tinggalkan di rumah,” ujar Diandra merasa bersalah.

Helena terkekeh mendengar ucapan Diandra. “Mayra di rumah tidak sendiri, ada Bi Mira yang menemaninya,” jelasnya. “Memangnya pekerja sepertiku tidak boleh liburan? Tidak mungkin juga aku bekerja terus-menerus, Dee,” sambungnya.

Diandra mengacungkan jempol tangannya, tanda setuju. “Agar tetap sehat, maka kita harus bisa menyeimbangkan antara kebutuhan jasmani dan rohani. Seperti contohnya bekerja dan liburan yang juga harus diseimbangkan.”

Helena kembali terkekeh mendengar kalimat Diandra. Keduanya menikmati perjalanan sambil mengisinya dengan saling berbagi cerita.

***

Hans berdiri dari kursi kebesarannya dan meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa pegal. Kegiatannya meregangkan tubuh teralih oleh deringan benda pipih yang tergeletak di atas meja kerjanya. Ia menghela napas, kemudian mendengkus ketika melihat sebuah nama tertera pada layar ponselnya. Dengan malas Hans mengambil benda pipih yang berisik tersebut dan menempelkannya pada telinganya.

“Apa?” tanya Hans ketus. Ia memijat pelipisnya saat mendengar tawa dari lawan bicaranya di telepon. “Jangan menghubungiku jika kamu hanya ingin tertawa,” peringatnya.

“Sabar, Brother,” ujar Felix menenangkan. “Sepertinya sahabatku ini sudah lama tidak mendapat jatah, makanya ….” Felix tidak melanjutkan kalimatnya karena Hans sudah menghardiknya.

“Felix!” hardik Hans.

“Aku hanya bercanda, Hans. Aku sedang merasa jenuh berada di kantor dan berniat mengajakmu mencari angin sekaligus ….”

Hans kembali menyela kalimat Felix. “Baiklah. Cepat kirimkan alamatnya. Aku akan segera ke sana,” ucapnya dan langsung memutus secara sepihak sambungan teleponnya.

Hans menggeleng-gelengkan kepalanya ketika wajah Diandra mulai lancang memasuki benaknya. Berulang kali ia mengembuskan napas secara kasar agar sosok Diandra secepatnya enyah dari benaknya. Sebuah pesan dari Felix pun akhirnya berhasil mengembalikan kesadarannya. Hans menaruh kembali ponselnya ke atas meja kerjanya, sebab ia ingin membasuh wajahnya terlebih dulu sebelum menuju alamat yang dikirimkan Felix.

***

Felix tengah menunggu Hans di kafe yang sering didatanginya untuk melepas penat. Ia sengaja memilih tempat di balkon yang terdapat di lantai dua kafe tersebut agar bisa leluasa melihat pemandangan di bawahnya. Selain itu, di balkon tempatnya lebih privasi karena hanya ada beberapa meja saja. Andai saja sekarang malam hari, ia pasti akan lebih memilih kelab malam untuk melepas penat bersama Hans, apalagi sahabatnya itu sudah lama tidak menginjakkan kaki di tempat tersebut.

Felix melambaikan tangannya ketika melihat kedatangan Hans. “Kamu kenapa, Hans? Mengapa wajahmu kusut begitu?” tanyanya saat Hans sudah menduduki sofa kosong di hadapannya.

“Aku sedang memikirkan cara untuk mendepak wanita itu dari kehidupanku,” jawab Hans jujur setelah ia menyandarkan punggungnya sofa yang didudukinya.

Keduanya menunda obrolannya ketika melihat kedatangan waitress menghampirinya. “Klapertart panggang dan espresso,” beri tahu Felix.

“Macaroni schotel dan mojito.” Setelah memberitahukan pesanannya, Hans langsung mengibaskan tangannya agar waitress itu cepat pergi. Melihat perawakan waitress tersebut, Hans teringat pada Diandra yang pernah melayaninya di kafe, tempat wanita itu bekerja paruh waktu.

Mengerti reaksi sahabatnya membuat Felix terkekeh. Ia juga menyadari perawakan waitress tersebut mirip Diandra. Sebab, ia ada saat Hans bertemu secara tidak sengaja dengan Diandra yang tengah menjalankan pekerjaan paruh waktunya di kafe.

“Kenapa kamu tidak buat perjanjian saja dengannya. Misalnya, kamu menceraikan Dee setelah ia melahirkan. Aku yakin Dee akan bersuka cita menerimanya, apalagi ia juga tidak ingin selamanya hidup sebagai istrimu,” Felix menyarankan. “Setelah bercerai, kamu bisa kembali mengejar Dea dan menikahinya,” sambungnya.

Hans menggelengkan kepala. “Mamaku tidak akan pernah menyetujui keinginanku untuk menceraikan wanita itu. Dea pun tidak akan begitu saja menerimaku kembali setelah aku menceraikan adiknya,” ujarnya.

“Kalau begitu buat Dee sangat tidak betah hidup denganmu, sehingga ia yang memilih untuk bercerai,” Felix kembali memberikan saran. “Ngomong-ngomong, apakah selama kalian menikah kamu menafkahi kebutuhan hidupnya?” tanyanya penasaran.

Hans kembali menggelengkan kepala. “Jangankan fasilitas seperti mobil dan kartu kredit, uang tunai sepersen pun aku tidak pernah memberikannya,” ungkapnya. “Hanya tempat tinggal dan makanan yang aku sediakan untuknya. Itu pun bukan hunian mewah, melainkan hanya sekadar tempat berteduh,” imbuhnya.

Felix tersentak mendengar pengakuan Hans. “Hans, aku tidak menyangka kamu akan sepelit dan setega itu dengan istrimu sendiri. Padahal yang aku ketahui, loyalitasmu sangatlah tinggi terhadap kaum hawa. Bahkan, mantanmu saja pernah kamu belikan barang bermerek sebagai hadiah perpisahan.”

Mendengar ejekan sekaligus sindiran Felix membuat Hans mendengkus dan memilih tidak membalasnya. Apalagi makanan pesanan mereka sudah diantarkan. Ia dan Felix hanya mengangguk setelah waitress selesai menghidangkan pesanan mereka di atas meja.

Hans mulai menyesap mojito pesanannya sebelum melanjutkan obrolannya. “Ngomong-ngomong, apakah kamu sudah menemukan yang baru atau masih belum move on dari wanita itu? Apakah diam-diam kamu sudah jatuh cinta padanya?” serang Hans sekaligus mengalihkan topik pembicaraan.

Felix tertawa sumbang mendengar Hans menyerangnya. “Hubunganku dengan wanita itu tidak sejauh yang kamu pikirkan atau bayangkan, Hans. Ia hanyalah wanita yang menerima imbalan karena telah menghangatkan ranjangku,” jelasnya. “Menurutmu, apakah wanita seperti itu layak untuk aku cintai?” tanyanya meminta pendapat.

Hans hanya mengangkat kedua bahunya sebagai bentuk tanggapannya. “Jika tidak jatuh cinta, kenapa kamu sangat setia dengannya? Bahkan, aku perhatikan, sejak bersamanya kamu tidak pernah berganti pasangan dan hanya menidurinya saja.” Hans menaikkan sebelah alisnya.

“Penilaianmu keliru, Hans. Aku betah bersamanya karena pelayanannya selalu membuatku puas. Kegiatan yang sering kami lakukan tidak lebih dari hubungan simbiosis mutualisme semata. Aku dan ia juga selalu bermain aman agar tidak merugikan salah satu pihak,” jelas Felix sambil menyugar rambutnya. “Meski berengsek, aku tetap akan memilih seorang wanita baik-baik untuk mengandung dan melahirkan keturunanku kelak,” beri tahunya.

“Aku sependapat dengan kalimat terakhirmu,” Hans menanggapinya dan menganggukkan kepala.

“Sayangnya, kenyataan yang kamu alami tidak sesuai harapan. Kamu melupakan kehadiran pengaman saat menyetubuhinya, sehingga membuatmu sebentar lagi akan menjadi ayah dari anak yang tengah dikandung Diandra,” Felix mengingatkan kondisi Hans sekarang. “Meskipun kamu sangat membenci ibunya, setidaknya jangan libatkan anakmu, Hans. Biar bagaimanapun anak yang tengah berkembang di rahim Diandra adalah darah dagingmu juga,” imbuhnya menasihati.

***

Senyum Diandra mengembang ketika mobil yang dikemudikan Helena sudah tiba di rumah neneknya. Kedatangannya disambut oleh Pak Budi dan Bi Mirna, sepasang suami istri yang selama ini bekerja di rumah sang nenek. Setelah turun dari mobil ia meregangkan tubuhnya yang terasa pegal, begitu juga dengan Helena. Meski sudah memakai sweater berbahan wol, tapi Diandra masih juga merasa kedinginan. Ia pun memeluk tubuhnya sendiri saat udara dingin pegunungan menusuk kulitnya.

“Silakan masuk, Non Dee. Ibu sudah menunggu di dalam,” ajak Bi Marni sambil mengambil alih tas yang dibawa Diandra. Pak Budi juga membawakan tas milik Helena.

“Dee, udaranya benar-benar menyegarkan,” komentar Helena saat menghirup rakus udara di sekitarnya.

Diandra menyetujuinya dengan menganggukkan kepala. “Jika dulu diizinkan, aku akan lebih memilih tinggal di sini daripada di rumah orang tuaku,” balasnya. “Len, setelah beristirahat sebentar, nanti aku ajak kamu berkeliling ke kebun teh milik warga sini,” sambungnya.

Helena tersenyum dan mengacungkan jempolnya. “Nanti sore juga tidak apa-apa, Dee. Lagi pula kamu sangat memerlukan istirahat yang cukup. Jangan lupakan kondisimu yang tengah hamil, Dee,” Helena mengingatkan sahabatnya.

“Iya,” jawab Diandra. “Oh ya, Bi, bagaimana kabar Nenek?” Diandra bertanya kepada Bi Mirna yang berjalan di belakangnya.

“Baik-baik saja, Non. Ibu sangat senang saat Non Dee kemarin menelepon dan mengatakan akan berkunjung ke sini,” beri tahu Bi Mirna. “Bahkan, untuk menyambut kedatangan Nona, Ibu meminta Bibi membuat kwetiau,” sambungnya.

Diandra menanggapinya dengan senyuman lebar. “Baru mendengarnya saja sudah membuatku lapar, Bi,” ujarnya.

Bi Mirna terkekeh melihat reaksi cucu bungsu dari majikannya. Ia memang mengetahui jika Diandra sangat menyukai mi dari kecil, terutama spaghetti dan kwetiau.

Setelah berada di dalam rumah, Diandra yang melihat keberadaan neneknya langsung menyapa dan memeluknya. Ia menyalurkan kerinduannya kepada wanita yang hampir seluruh rambutnya sudah memutih. Sembari menunggu Bi Mirna selesai menata hidangan untuk makan siang, Bu Weli mengajak cucunya dan Helena berbincang sebentar di ruang tamu.

“Terima kasih, Nak, sudah mengantar dan menemani Dee ke sini,” ucap Bu Weli kepada Helena yang duduk di hadapannya.

“Sama-sama, Nek,” balas Helena sedikit canggung berhadapan dengan Bu Weli, mengingat dirinya ikut berperan dalam kandasnya hubungan Deanita dan Hans.

Diandra bisa merasakan kecanggungan Helena terhadap neneknya. “Nek, jangan salahkan Helena atas semua yang terjadi padaku. Aku sendiri yang meminta Helena untuk menjebak Hans dan mengacaukan hubungannya bersama Dea,” jelasnya.

Bu Weli tersenyum tipis mendengar permintaan cucu malangnya. “Semuanya telah terjadi, menyalahkan pun sekarang sudah tidak ada gunanya lagi. Anggap saja ini sebagai jalan hidup yang harus kita tempuh dan lewati,” tanggapnya bijak. “Kamu dan Helena kini harus memetik pelajaran atas aksi balas dendam yang kalian lakukan,” pesannya sambil menatap wajah Diandra dan Helena bergantian.

“Iya, Nek,” jawab Diandra dan Helena serempak.

“Dee, nanti sore temani Nenek ya,” pinta Bu Weli penuh harap.

Tanpa ingin mengetahui kegiatan yang akan dilakukan neneknya terlebih dulu, Diandra pun langsung menganggukkan kepala. Apa pun yang diinginkan neneknya, sebisa mungkin ia akan menurutinya.

“Hm, apa aku boleh ikut, Nek?” tanya Helena pelan.

“Tentu saja boleh,” jawab Bu Weli sambil terkekeh. “Ya sudah, sebaiknya sekarang kita makan siang dulu sebelum kalian beristirahat setelah menempuh perjalanan yang melelahkan,” ajaknya ketika Bi Mirna memberitahukan bahwa makanan sudah selesai dihidangkan.

***

Tidak seperti biasanya Hans pulang dari kantor saat matahari belum terbenam. Setelah menyudahi pertemuannya dengan Felix, Hans langsung menuju rumahnya. Hans telah menghubungi Damar agar membawakan sisa pekerjaannya ke rumah karena ia tidak akan kembali ke kantor.

“Bi, tadi masak apa saat makan siang?” tanya Hans kepada Bi Harum yang membawakannya segelas orange juice. Ia merasa perutnya kembali lapar.

“Karena Nyonya tidak ada, Bibi hanya membuat perkedel jagung dan tumis kangkung saja, Tuan,” jawab Bi Harum jujur.

Hans menikmati orange juice-nya sambil mendengarkan jawaban Bi Harum. “Memangnya pergi ke mana wanita itu, Bi?” tanyanya datar.

“Selesai sarapan tadi Nyonya berangkat ke rumah neneknya. Nyonya juga mengatakan akan menginap di sana selama beberapa hari, Tuan,” Bi Harum memberi tahu dan mengamati reaksi Hans.

“Bi, buatkan aku nasi goreng seafood,” pinta Hans tanpa menanggapi pemberitahuan Bi Harum mengenai kepergian Diandra.

“Baik, Tuan.” Setelah mengiyakan, Bi Harum segera menuju dapur untuk menjalankan permintaan Hans. “Apakah Tuan sedikit pun tidak mempunyai kekhawatiran kepada Nyonya?” tanyanya dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status