Share

Chapter 8

Hans menginstruksikan Damar agar langsung menuju kediaman Narathama setelah mereka tiba di bandara. Ia akan memberikan oleh-oleh yang sudah dibelinya terlebih dulu kepada ibu dan adiknya, sekaligus ingin makan siang bersama. Selain itu, ia juga ingin memberi kabar menggembirakan kepada keluarganya tersebut mengenai hasil pertemuannya di Jepang. Setelah berhasil melebarkan sayap perusahaannya di Singapura dan Thailand, kini usahanya dalam merambah Jepang pun sudah membuahkan hasil seperti yang diharapkan.

“Dam, nanti kamu bicarakan saja dengan Mama mengenai konsep pesta perusahaan tahun ini. Apa pun konsep yang Mama mau, aku akan menyetujuinya,” ujar Hans sambil melihat keluar jendela.

“Baik, Tuan,” jawab Damar. Ia mengernyit ketika melihat mulut Pak Amin, sopir di kediaman Narathama berbicara tanpa bersuara. Seperti menyampaikan sesuatu padanya, tapi takut diketahui Hans. “Apa yang ingin dikatakannya?” batinnya bertanya-tanya.

“Dam, nanti tolong temui Dea dan berikan oleh-oleh dariku untuknya.” Hans kembali mengalihkan pandangannya ke depan. “Dea pasti akan menolak jika aku menemui dan memberikannya langsung,” sambungnya.

“Iya, Tuan,” Damar mengiyakan meski tidak yakin akan berhasil.

Tanpa terasa kini mobil yang Hans dan Damar tumpangi sudah memasuki halaman kediaman Narathama. Hans langsung memasuki rumah, sedangkan Damar dibantu Pak Amin menurunkan barang-barang milik sang majikan.

“Pak, tadi mau bilang apa?” tanya Damar setelah menutup kembali bagasi mobil.

“Saya tadi mau bilang, Nyonya Diandra ada di rumah ini sejak Tuan pergi ke Jepang,” beri tahu Pak Amin meski terlambat. “Semoga saja Tuan tidak marah mengetahui keberadaan Nyonya di sini,” sambungnya. Ia takut melihat kemarahan majikannya.

Damar hanya mengangguk lemah. Meskipun Damar tidak terlalu mengenal atau berinteraksi dengan Diandra, tapi ia kasihan juga melihat wanita itu yang selalu ditindas oleh Hans. Bahkan, dalam kondisi hamil seperti sekarang ini.

***

Rahang Hans mengetat melihat sosok wanita yang kini sedang menonton televisi di ruang keluarganya sambil memakan buah. Tanpa sepengetahuannya, wanita itu sudah lancang memasuki kediaman keluarganya, padahal baru ditinggal pergi beberapa hari saja. Ia tidak sudi kediaman keluarga besarnya dimasuki oleh wanita seperti Diandra.

“Siapa yang mengizinkanmu menginjakkan kaki di rumah ini?” Suara Hans menggelegar saat mendekati ruang keluarga.

Diandra menoleh ke sumber suara yang mengejutkannya. “A-aku ….” Karena saking terkejutnya, sehingga membuat Diandra gugup menjawab pertanyaan Hans.

“Keluar!” Hans mencekal dengan kuat lengan telanjang Diandra dan memberikan tatapan tajam.

“Hans!” Allona berseru saat keluar dari kamar pribadinya. “Lepaskan cekalan tanganmu. Jangan berbuat kasar kepada istrimu sendiri,” tegurnya. Ia bergegas menghampiri anak dan menantunya.

Hans melepaskan dengan kasar cekalan tangannya pada lengan Diandra. “Ma, bukankah aku sudah pernah bilang, bahwa wanita ini tidak pantas tinggal di sini?” protesnya.

Allona menarik dengan lembut Diandra yang tengah mengusap lengannya. Tercetak jelas bekas jari-jari besar menghiasi lengannya dan sudah memerah. “Mama yang memaksa dan memintanya tinggal di sini untuk sementara waktu selama kamu pergi,” beri tahunya. “Sudahlah, jangan mempermasalahkan hal ini lagi. Sebaiknya kita makan siang dulu, sepertinya Bi Harum juga sudah selesai menghidangkan makanan kesukaanmu,” sambungnya berusaha santai agar suasana teralihkan.

Hans mengabaikan perkataan Allona. Ia kembali menatap Diandra dengan penuh amarah. “Bi, bersihkan kamarku sekarang juga. Buang semua yang pernah disentuh oleh wanita ini!” perintahnya tegas.

“Hans, apa-apaan kamu ini? Untuk apa membuang barang-barangmu yang tidak bersalah,” protes Allona. “Selama Dee di sini, ia tidur di kamar tamu. Tidak ada satu pun dari barang-barangmu yang disentuh olehnya. Jangankan menyentuh barang-barangmu, letak kamarmu saja ia tidak mengetahuinya,” imbuhnya memberi tahu.

“Jangankan memasuki atau menempati kamarmu, melihatmu saja sudah membuatku sangat jijik,” Diandra menimpali dan membalas tatapan tajam Hans, tanpa memedulikan keberadaan Allona yang masih berada di tengah-tengah mereka.

Hans mendengkus. “Asal kamu tahu, aku lebih jijik melihat wanita sepertimu!” balasnya kejam.

Bukannya marah, Diandra malah tertawa renyah. “Yakin dengan yang Anda ucapkan, Tuan?” cemoohnya dan menatap Hans meremehkan. “Aku rasa ucapan Anda itu hanya bualan semata. Buktinya, meski diriku menjijikkan, Anda tetap berulang kali meniduriku. Bahkan, Anda dengan sengaja menanamkan benih di rahimku. Jangan-jangan, apakah Anda memang sudah merencanakannya, Tuan?” sambungnya mencerca.

“Hans!” tegur Allona saat melihat Hans mengangkat tangan dan hendak menampar Diandra.

Hans mengepalkan tangannya di udara, kemudian menurunkannya. Amarahnya sudah benar-benar terpancing oleh perkataan Diandra. “Sedikit pun aku tidak pernah mempunyai rencana untuk menikahimu. Bahkan, dalam mimpi sekali pun tidak ada,” bantahnya tajam.

“Seharusnya punya otak jenius digunakan baik-baik, Tuan. Jangan kejeniusannya langsung hilang setelah melihat selangkangan,” Diandra lebih dulu menanggapi perkataan Hans, sebelum Allona bersuara. “Apakah Anda sengaja menyetubuhiku tanpa pengaman atau karena saking bernafsunya? Jadi, siapa yang lebih picik dan menjijikkan, Tuan?” serangnya tanpa memedulikan keberadaan Allona di sampingnya. Diandra menyadari kata-kata yang dikeluarkannya sangat kasar, tapi ia tidak mau tertindas oleh laki-laki di hadapannya ini.

Kesabaran Allona menyaksikan pertengkaran anak dan menantunya sudah di ambang batas. “Hentikan! Cukup! Umur kalian sudah dewasa, belajarlah menyikapi keadaan dan menerima kenyataan. Jangan umur saja yang dikatakan dewasa, tapi pola pikir dan tindakan kalian masih seperti anak kecil. Mama tidak membela salah satu di antara kalian. Karena Mama sangat menyayangi kalian, makanya Mama berani mengingatkan seperti ini,” ucapnya tegas sekaligus penuh keibuan.

Allona menatap Hans dan Diandra yang menunduk secara bergantian. “Mama mengerti pernikahan ini sangat sulit untuk kalian jalani, terutama Dee. Namun, saling menyakiti tidak akan membuat kalian merasa hebat ataupun mengubah kenyataan yang telah terjadi. Mama sedih melihat kalian seperti ini. Kalian bukan musuh, melainkan telah menjadi sepasang suami istri sekaligus calon orang tua,” ucapnya setelah menghela napas.

Setelah hening beberapa menit, tanpa berpamitan terlebih dulu kepada Allona, Hans pun memutuskan pergi. Sebelum menaiki anak tangga menuju kamarnya, ia menatap Diandra nyalang.

“Ayo kita makan siang dulu, Nak.” Allona mendahului berbicara ketika melihat Diandra hendak membuka mulut. “Bi, tolong panggil Ve di atas,” pintanya pada Bi Harum. Setelah melihat Bi Harum mengangguk dan menaiki anak tangga, Allona menggandeng tangan Diandra dan membawanya menuju meja makan.

Sebenarnya Diandra ingin kembali ke kamarnya, karena nafsu makannya telah hilang. Namun, demi menghargai sang ibu mertua, ia pun terpaksa menerima ajakannya.

***

Usai membicarakan konsep pesta ulang tahun perusahaan yang akan diadakan sebulan lagi bersama Damar, Allona bergabung dengan anak-anaknya di ruang keluarga. Ia mengerutkan kening karena tidak melihat keberadaan Hans di ruangan tersebut.

“Di mana Kakakmu, Ve?” tanya Allona sambil duduk di single sofa.

“Masih di kamarnya, Ma,” Lavenia menjawab tanpa mengalihkan tatapannya dari layar televisi.

Allona mengangguk. “Sepertinya Hans sangat lelah.”

Usai makan malam Allona mengetahui Hans langsung kembali ke kamarnya. Tadi siang Hans sudah memberitahukan mengenai hasil pertemuannya di Jepang. Seperti dugaannya, kinerja Hans tidak pernah mengecewakan, dan pencapaian putranya tersebut dalam dunia bisnis selalu membuatnya bangga.

“Ve, nanti kamu bantu Mama memantau persiapan pesta ulang tahun perusahaan ya. Pesta tahun ini akan sangat istimewa, terutama untuk keluarga kita. Selain, pencapaian-pencapaian yang sudah diperoleh Hans dalam mengembangkan perusahaan, kita juga ada penambahan anggota keluarga,” ungkap Allona semringah sambil menatap Diandra.

“Siap! Laksanakan.” Dengan senang hati Lavenia menerima perintah dari Allona.

“Hans,” sapa Allona ketika melihat putranya tengah berjalan ke arahnya dan membawa paper bag.

“Apa itu, Kak?” Lavenia menunjuk paper bag.

“Oleh-oleh dari Jepang untuk kalian. Ini untukmu.” Hans menyerahkan salah satu paper bag kepada adiknya. “Ini untuk Mama,” sambungnya.

“Wah, ini bisa aku pakai saat pesta nanti,” ucap Lavenia riang setelah melihat oleh-oleh pemberian Hans. Sebuah cincin berwarna rose gold bergaya modern yang dilengkapi mutiara dan berlian dari merek papan atas Jepang. “Terima kasih, Kak. Lihatlah, jari tanganku jadi semakin terlihat cantik,” sambungnya dan memperlihatkan jari tangan lentiknya yang dihiasi cincin tersebut.

Allona juga mendapat oleh-oleh perhiasan dari merek papan atas Jepang, berupa kalung mutiara berkualitas premium dengan desain yang sangat cantik. “Oleh-oleh untuk Dee mana?” Pertanyaannya membuat Lavenia juga mengalihkan perhatian dan menatap Hans.

“Aku tidak memberikan oleh-oleh kepada sembarang orang. Hanya orang-orang penting dalam hidupku yang pantas aku berikan oleh-oleh.” Jawaban Hans membuat Allona dan Lavenia terperangah, sedangkan Diandra sengaja menulikan pendengarannya. “Aku mau menemui Felix, Ma.” Hans langsung keluar tanpa menunggu respons Allona.

Allona dan Lavenia menatap Diandra yang masih menenggelamkan diri pada majalah di pangkuannya. Mereka tahu Diandra tengah berpura-pura membaca. “Dee, kalung ini untukmu saja. Pakailah saat pesta nanti,” ujar Allona sambil memberikan kalungnya kepada sang menantu.

Diandra menggeleng. “Aku tidak bisa menerimanya, Ma. Lagi pula aku belum memutuskan untuk hadir atau tidak di pesta nanti,” tolaknya tegas.

“Kamu harus hadir, Dee.” Allona tidak menyetujui penolakan Diandra.

“Untuk apa aku harus hadir, jika ujung-ujungnya hanya akan dipermalukan, Ma? Lagi pula yang menghadiri pesta tersebut tidak sembarang orang. Ma, sudah malam, aku mau istirahat lebih dulu,” pamit Diandra yang telah berdiri dari duduknya. Jika bukan karena Allona, tadi siang ia sudah meninggalkan kediaman mewah Narathama.

Kalimat-kalimat yang Diandra lontarkan membuat Allona dan Lavenia terdiam. Meski ekspresi wajah dan nada bicara Diandra sangat tenang, tapi mereka mengetahui perasaan yang tengah berkecamuk di dalam hatinya.

***

Setelah seminggu kepulangannya dari Singapura dan hanya menghabiskan waktunya beristirahat di kamar mengikuti saran yang diberikan dokter, kini Yuri merasa kondisinya sudah pulih seperti sedia kala. Untung saja beberapa hari setelah kepulangannya, Allona dan Lavenia berkunjung tidak membawa serta Diandra. Hanya dengan membayangkan wajah Diandra saja, sudah membuat Yuri diselimuti kemarahan dan kebencian. Oleh karena itu, kini ia akan membersihkan semua jejak Diandra di rumahnya, meski belum meminta izin terlebih dulu kepada suaminya.

Yuri memerintahkan kepada para asisten rumah tangganya agar membersihkan pajangan foto-foto Diandra yang menghiasi tembok, terutama di ruang keluarga. Selain itu, ia juga meminta semua barang milik Diandra yang masih ada di kamarnya segera dibuang. Yuri tidak ingin lagi melihat barang-barang milik Diandra ada di rumahnya.

“Bi, mau dibawa ke mana foto-foto Diandra?” tanya Deanita kepada Bi Asih, salah satu asisten rumah tangga ibunya ketika melihat foto-foto adiknya diturunkan dari tempatnya.

“Mau Mama buang, Dea. Tidak hanya foto-fotonya, tapi semua barang milik anak sialan itu akan Mama buang,” sergah Yuri sebelum Bi Asih menjawab pertanyaan Deanita.

Kepala Deanita menggeleng. Ia tidak menyetujui ide ibunya. “Ma, ingat yang dokter katakan pada Mama. Jangan terlalu banyak pikiran atau memikirkan sesuatu yang bisa membuat kesehatan Mama menurun.” Deanita menghampiri Yuri dan mengingatkan.

“Mama sudah sehat, Dea. Sekarang pun anak sialan itu datang, Mama mampu menendangnya dari rumah ini. Mama tidak akan membiarkannya merasa di atas angin terlalu lama setelah berhasil membuat kekacauan di rumah ini. Kekacauan karena telah berani mengandung anak dari kekasih kakaknya sendiri,” Yuri menanggapi ucapan putrinya dengan geram.

“Sudahlah, Ma. Jangan membahas masalah itu lagi. Hans sudah bertanggung jawab terhadap anak yang dikandung Dee, sehingga keluarga kita tidak harus menanggung aib atas kejadian itu. Mungkin aku dan Hans memang tidak ditakdirkan untuk bersama sebagai suami istri, meski kami sempat merajut jalinan kasih,” balas Deanita. “Ma, kasihan Dee. Jangan mempersulitnya, apalagi sekarang ia tengah mengandung cucu Mama,” sambungnya.

Yuri menatap nyalang Deanita. “Tidak! Aku tidak sudi menganggapnya sebagai cucuku,” tolaknya tegas.

Deanita terkejut mendengar penolakan ibunya. “Aku heran dengan Mama. Mengapa dari dulu Mama sangat membenci Dee? Padahal Dee juga anak Mama, sama sepertiku,” tanyanya putus asa.

“Tentu saja karena kalian berbeda,” jawab Yuri dan mendengkus.

Deanita mengernyit mencerna jawaban Yuri. “Berbeda? Maksudnya? Jika sifat dan sikap yang Mama maksud, bukankah hal tersebut sangat wajar terjadi di antara saudara? Bahkan, anak kembar pun bisa mempunyai sikap dan sifat yang berbeda,” ujarnya berpendapat.

“Diandra yang selama ini kamu anggap sebagai adikmu itu bukanlah anakku!” beri tahu Yuri dengan penuh penekanan.

Deanita tercengang mendengar perkataan ibunya. Bahkan, Bi Asih pun ikut tersentak dan menjatuhkan bingkai foto milik Diandra. Bi Asih dari tadi mendengarkan percakapan antara ibu dan anak tersebut sambil sibuk memasukkan bingkai foto Diandra ke kardus.

“Ma, jangan hanya karena masalah ini, Mama tidak mengakui Dee sebagai anak lagi dan memilih memutuskan hubungan begitu saja,” Deanita menegur ibunya. “Aku mengetahui Mama sangat kecewa atas perbuatan Dee, tapi jangan menghukumnya seperti ini, Ma. Pernyataan yang Mama lontarkan tadi itu terlalu kejam. Jika Dee mendengarnya, ia pasti akan sangat terluka dan sakit hati.” Deanita merasa frustrasi terhadap jalan pikiran ibunya yang sangat kaku dan keras kepala. Kini ia menyadari dari mana adiknya mendapat sifat keras kepala itu.

Yuri tertawa sumbang. “Akan lebih bagus lagi jika anak sialan itu bisa mendengarnya langsung, agar ia secepatnya menyadari statusnya.” Yuri mengabaikan teguran dan rasa frustrasi putrinya, malah ia semakin meradang.

Deanita merasa pikirannya benar-benar terkuras menghadapi sifat keras kepala ibunya. Bahkan, kini kepalanya mulai berdenyut. “Ma, kita sudahi pembahasan ini ya,” pintanya lemah. “Sebaiknya sekarang Mama istirahat saja, biar nanti aku membantu Bi Asih membersihkan foto-foto Diandra dan semua barang miliknya yang lain,” sambungnya dan beranjak meninggalkan Yuri. Deanita ingin menyegarkan tubuhnya terlebih dulu sebelum membantu para pekerja di rumahnya.

“Tunggu saja pembalasan dariku! Aku akan membuat anak sialan itu malu dan menyadari statusnya,” gumam Yuri penuh tekad sambil menatap punggung Deanita yang mulai menaiki anak tangga. “Aku akan membantu anakku merebut apa pun yang seharusnya sudah menjadi miliknya,” sambungnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status