Hans menginstruksikan Damar agar langsung menuju kediaman Narathama setelah mereka tiba di bandara. Ia akan memberikan oleh-oleh yang sudah dibelinya terlebih dulu kepada ibu dan adiknya, sekaligus ingin makan siang bersama. Selain itu, ia juga ingin memberi kabar menggembirakan kepada keluarganya tersebut mengenai hasil pertemuannya di Jepang. Setelah berhasil melebarkan sayap perusahaannya di Singapura dan Thailand, kini usahanya dalam merambah Jepang pun sudah membuahkan hasil seperti yang diharapkan.
“Dam, nanti kamu bicarakan saja dengan Mama mengenai konsep pesta perusahaan tahun ini. Apa pun konsep yang Mama mau, aku akan menyetujuinya,” ujar Hans sambil melihat keluar jendela.
“Baik, Tuan,” jawab Damar. Ia mengernyit ketika melihat mulut Pak Amin, sopir di kediaman Narathama berbicara tanpa bersuara. Seperti menyampaikan sesuatu padanya, tapi takut diketahui Hans. “Apa yang ingin dikatakannya?” batinnya bertanya-tanya.
“Dam, nanti tolong temui Dea dan berikan oleh-oleh dariku untuknya.” Hans kembali mengalihkan pandangannya ke depan. “Dea pasti akan menolak jika aku menemui dan memberikannya langsung,” sambungnya.
“Iya, Tuan,” Damar mengiyakan meski tidak yakin akan berhasil.
Tanpa terasa kini mobil yang Hans dan Damar tumpangi sudah memasuki halaman kediaman Narathama. Hans langsung memasuki rumah, sedangkan Damar dibantu Pak Amin menurunkan barang-barang milik sang majikan.
“Pak, tadi mau bilang apa?” tanya Damar setelah menutup kembali bagasi mobil.
“Saya tadi mau bilang, Nyonya Diandra ada di rumah ini sejak Tuan pergi ke Jepang,” beri tahu Pak Amin meski terlambat. “Semoga saja Tuan tidak marah mengetahui keberadaan Nyonya di sini,” sambungnya. Ia takut melihat kemarahan majikannya.
Damar hanya mengangguk lemah. Meskipun Damar tidak terlalu mengenal atau berinteraksi dengan Diandra, tapi ia kasihan juga melihat wanita itu yang selalu ditindas oleh Hans. Bahkan, dalam kondisi hamil seperti sekarang ini.
***
Rahang Hans mengetat melihat sosok wanita yang kini sedang menonton televisi di ruang keluarganya sambil memakan buah. Tanpa sepengetahuannya, wanita itu sudah lancang memasuki kediaman keluarganya, padahal baru ditinggal pergi beberapa hari saja. Ia tidak sudi kediaman keluarga besarnya dimasuki oleh wanita seperti Diandra.
“Siapa yang mengizinkanmu menginjakkan kaki di rumah ini?” Suara Hans menggelegar saat mendekati ruang keluarga.
Diandra menoleh ke sumber suara yang mengejutkannya. “A-aku ….” Karena saking terkejutnya, sehingga membuat Diandra gugup menjawab pertanyaan Hans.
“Keluar!” Hans mencekal dengan kuat lengan telanjang Diandra dan memberikan tatapan tajam.
“Hans!” Allona berseru saat keluar dari kamar pribadinya. “Lepaskan cekalan tanganmu. Jangan berbuat kasar kepada istrimu sendiri,” tegurnya. Ia bergegas menghampiri anak dan menantunya.
Hans melepaskan dengan kasar cekalan tangannya pada lengan Diandra. “Ma, bukankah aku sudah pernah bilang, bahwa wanita ini tidak pantas tinggal di sini?” protesnya.
Allona menarik dengan lembut Diandra yang tengah mengusap lengannya. Tercetak jelas bekas jari-jari besar menghiasi lengannya dan sudah memerah. “Mama yang memaksa dan memintanya tinggal di sini untuk sementara waktu selama kamu pergi,” beri tahunya. “Sudahlah, jangan mempermasalahkan hal ini lagi. Sebaiknya kita makan siang dulu, sepertinya Bi Harum juga sudah selesai menghidangkan makanan kesukaanmu,” sambungnya berusaha santai agar suasana teralihkan.
Hans mengabaikan perkataan Allona. Ia kembali menatap Diandra dengan penuh amarah. “Bi, bersihkan kamarku sekarang juga. Buang semua yang pernah disentuh oleh wanita ini!” perintahnya tegas.
“Hans, apa-apaan kamu ini? Untuk apa membuang barang-barangmu yang tidak bersalah,” protes Allona. “Selama Dee di sini, ia tidur di kamar tamu. Tidak ada satu pun dari barang-barangmu yang disentuh olehnya. Jangankan menyentuh barang-barangmu, letak kamarmu saja ia tidak mengetahuinya,” imbuhnya memberi tahu.
“Jangankan memasuki atau menempati kamarmu, melihatmu saja sudah membuatku sangat jijik,” Diandra menimpali dan membalas tatapan tajam Hans, tanpa memedulikan keberadaan Allona yang masih berada di tengah-tengah mereka.
Hans mendengkus. “Asal kamu tahu, aku lebih jijik melihat wanita sepertimu!” balasnya kejam.
Bukannya marah, Diandra malah tertawa renyah. “Yakin dengan yang Anda ucapkan, Tuan?” cemoohnya dan menatap Hans meremehkan. “Aku rasa ucapan Anda itu hanya bualan semata. Buktinya, meski diriku menjijikkan, Anda tetap berulang kali meniduriku. Bahkan, Anda dengan sengaja menanamkan benih di rahimku. Jangan-jangan, apakah Anda memang sudah merencanakannya, Tuan?” sambungnya mencerca.
“Hans!” tegur Allona saat melihat Hans mengangkat tangan dan hendak menampar Diandra.
Hans mengepalkan tangannya di udara, kemudian menurunkannya. Amarahnya sudah benar-benar terpancing oleh perkataan Diandra. “Sedikit pun aku tidak pernah mempunyai rencana untuk menikahimu. Bahkan, dalam mimpi sekali pun tidak ada,” bantahnya tajam.
“Seharusnya punya otak jenius digunakan baik-baik, Tuan. Jangan kejeniusannya langsung hilang setelah melihat selangkangan,” Diandra lebih dulu menanggapi perkataan Hans, sebelum Allona bersuara. “Apakah Anda sengaja menyetubuhiku tanpa pengaman atau karena saking bernafsunya? Jadi, siapa yang lebih picik dan menjijikkan, Tuan?” serangnya tanpa memedulikan keberadaan Allona di sampingnya. Diandra menyadari kata-kata yang dikeluarkannya sangat kasar, tapi ia tidak mau tertindas oleh laki-laki di hadapannya ini.
Kesabaran Allona menyaksikan pertengkaran anak dan menantunya sudah di ambang batas. “Hentikan! Cukup! Umur kalian sudah dewasa, belajarlah menyikapi keadaan dan menerima kenyataan. Jangan umur saja yang dikatakan dewasa, tapi pola pikir dan tindakan kalian masih seperti anak kecil. Mama tidak membela salah satu di antara kalian. Karena Mama sangat menyayangi kalian, makanya Mama berani mengingatkan seperti ini,” ucapnya tegas sekaligus penuh keibuan.
Allona menatap Hans dan Diandra yang menunduk secara bergantian. “Mama mengerti pernikahan ini sangat sulit untuk kalian jalani, terutama Dee. Namun, saling menyakiti tidak akan membuat kalian merasa hebat ataupun mengubah kenyataan yang telah terjadi. Mama sedih melihat kalian seperti ini. Kalian bukan musuh, melainkan telah menjadi sepasang suami istri sekaligus calon orang tua,” ucapnya setelah menghela napas.
Setelah hening beberapa menit, tanpa berpamitan terlebih dulu kepada Allona, Hans pun memutuskan pergi. Sebelum menaiki anak tangga menuju kamarnya, ia menatap Diandra nyalang.
“Ayo kita makan siang dulu, Nak.” Allona mendahului berbicara ketika melihat Diandra hendak membuka mulut. “Bi, tolong panggil Ve di atas,” pintanya pada Bi Harum. Setelah melihat Bi Harum mengangguk dan menaiki anak tangga, Allona menggandeng tangan Diandra dan membawanya menuju meja makan.
Sebenarnya Diandra ingin kembali ke kamarnya, karena nafsu makannya telah hilang. Namun, demi menghargai sang ibu mertua, ia pun terpaksa menerima ajakannya.
***
Usai membicarakan konsep pesta ulang tahun perusahaan yang akan diadakan sebulan lagi bersama Damar, Allona bergabung dengan anak-anaknya di ruang keluarga. Ia mengerutkan kening karena tidak melihat keberadaan Hans di ruangan tersebut.
“Di mana Kakakmu, Ve?” tanya Allona sambil duduk di single sofa.
“Masih di kamarnya, Ma,” Lavenia menjawab tanpa mengalihkan tatapannya dari layar televisi.
Allona mengangguk. “Sepertinya Hans sangat lelah.”
Usai makan malam Allona mengetahui Hans langsung kembali ke kamarnya. Tadi siang Hans sudah memberitahukan mengenai hasil pertemuannya di Jepang. Seperti dugaannya, kinerja Hans tidak pernah mengecewakan, dan pencapaian putranya tersebut dalam dunia bisnis selalu membuatnya bangga.
“Ve, nanti kamu bantu Mama memantau persiapan pesta ulang tahun perusahaan ya. Pesta tahun ini akan sangat istimewa, terutama untuk keluarga kita. Selain, pencapaian-pencapaian yang sudah diperoleh Hans dalam mengembangkan perusahaan, kita juga ada penambahan anggota keluarga,” ungkap Allona semringah sambil menatap Diandra.
“Siap! Laksanakan.” Dengan senang hati Lavenia menerima perintah dari Allona.
“Hans,” sapa Allona ketika melihat putranya tengah berjalan ke arahnya dan membawa paper bag.
“Apa itu, Kak?” Lavenia menunjuk paper bag.
“Oleh-oleh dari Jepang untuk kalian. Ini untukmu.” Hans menyerahkan salah satu paper bag kepada adiknya. “Ini untuk Mama,” sambungnya.
“Wah, ini bisa aku pakai saat pesta nanti,” ucap Lavenia riang setelah melihat oleh-oleh pemberian Hans. Sebuah cincin berwarna rose gold bergaya modern yang dilengkapi mutiara dan berlian dari merek papan atas Jepang. “Terima kasih, Kak. Lihatlah, jari tanganku jadi semakin terlihat cantik,” sambungnya dan memperlihatkan jari tangan lentiknya yang dihiasi cincin tersebut.
Allona juga mendapat oleh-oleh perhiasan dari merek papan atas Jepang, berupa kalung mutiara berkualitas premium dengan desain yang sangat cantik. “Oleh-oleh untuk Dee mana?” Pertanyaannya membuat Lavenia juga mengalihkan perhatian dan menatap Hans.
“Aku tidak memberikan oleh-oleh kepada sembarang orang. Hanya orang-orang penting dalam hidupku yang pantas aku berikan oleh-oleh.” Jawaban Hans membuat Allona dan Lavenia terperangah, sedangkan Diandra sengaja menulikan pendengarannya. “Aku mau menemui Felix, Ma.” Hans langsung keluar tanpa menunggu respons Allona.
Allona dan Lavenia menatap Diandra yang masih menenggelamkan diri pada majalah di pangkuannya. Mereka tahu Diandra tengah berpura-pura membaca. “Dee, kalung ini untukmu saja. Pakailah saat pesta nanti,” ujar Allona sambil memberikan kalungnya kepada sang menantu.
Diandra menggeleng. “Aku tidak bisa menerimanya, Ma. Lagi pula aku belum memutuskan untuk hadir atau tidak di pesta nanti,” tolaknya tegas.
“Kamu harus hadir, Dee.” Allona tidak menyetujui penolakan Diandra.
“Untuk apa aku harus hadir, jika ujung-ujungnya hanya akan dipermalukan, Ma? Lagi pula yang menghadiri pesta tersebut tidak sembarang orang. Ma, sudah malam, aku mau istirahat lebih dulu,” pamit Diandra yang telah berdiri dari duduknya. Jika bukan karena Allona, tadi siang ia sudah meninggalkan kediaman mewah Narathama.
Kalimat-kalimat yang Diandra lontarkan membuat Allona dan Lavenia terdiam. Meski ekspresi wajah dan nada bicara Diandra sangat tenang, tapi mereka mengetahui perasaan yang tengah berkecamuk di dalam hatinya.
***
Setelah seminggu kepulangannya dari Singapura dan hanya menghabiskan waktunya beristirahat di kamar mengikuti saran yang diberikan dokter, kini Yuri merasa kondisinya sudah pulih seperti sedia kala. Untung saja beberapa hari setelah kepulangannya, Allona dan Lavenia berkunjung tidak membawa serta Diandra. Hanya dengan membayangkan wajah Diandra saja, sudah membuat Yuri diselimuti kemarahan dan kebencian. Oleh karena itu, kini ia akan membersihkan semua jejak Diandra di rumahnya, meski belum meminta izin terlebih dulu kepada suaminya.
Yuri memerintahkan kepada para asisten rumah tangganya agar membersihkan pajangan foto-foto Diandra yang menghiasi tembok, terutama di ruang keluarga. Selain itu, ia juga meminta semua barang milik Diandra yang masih ada di kamarnya segera dibuang. Yuri tidak ingin lagi melihat barang-barang milik Diandra ada di rumahnya.
“Bi, mau dibawa ke mana foto-foto Diandra?” tanya Deanita kepada Bi Asih, salah satu asisten rumah tangga ibunya ketika melihat foto-foto adiknya diturunkan dari tempatnya.
“Mau Mama buang, Dea. Tidak hanya foto-fotonya, tapi semua barang milik anak sialan itu akan Mama buang,” sergah Yuri sebelum Bi Asih menjawab pertanyaan Deanita.
Kepala Deanita menggeleng. Ia tidak menyetujui ide ibunya. “Ma, ingat yang dokter katakan pada Mama. Jangan terlalu banyak pikiran atau memikirkan sesuatu yang bisa membuat kesehatan Mama menurun.” Deanita menghampiri Yuri dan mengingatkan.
“Mama sudah sehat, Dea. Sekarang pun anak sialan itu datang, Mama mampu menendangnya dari rumah ini. Mama tidak akan membiarkannya merasa di atas angin terlalu lama setelah berhasil membuat kekacauan di rumah ini. Kekacauan karena telah berani mengandung anak dari kekasih kakaknya sendiri,” Yuri menanggapi ucapan putrinya dengan geram.
“Sudahlah, Ma. Jangan membahas masalah itu lagi. Hans sudah bertanggung jawab terhadap anak yang dikandung Dee, sehingga keluarga kita tidak harus menanggung aib atas kejadian itu. Mungkin aku dan Hans memang tidak ditakdirkan untuk bersama sebagai suami istri, meski kami sempat merajut jalinan kasih,” balas Deanita. “Ma, kasihan Dee. Jangan mempersulitnya, apalagi sekarang ia tengah mengandung cucu Mama,” sambungnya.
Yuri menatap nyalang Deanita. “Tidak! Aku tidak sudi menganggapnya sebagai cucuku,” tolaknya tegas.
Deanita terkejut mendengar penolakan ibunya. “Aku heran dengan Mama. Mengapa dari dulu Mama sangat membenci Dee? Padahal Dee juga anak Mama, sama sepertiku,” tanyanya putus asa.
“Tentu saja karena kalian berbeda,” jawab Yuri dan mendengkus.
Deanita mengernyit mencerna jawaban Yuri. “Berbeda? Maksudnya? Jika sifat dan sikap yang Mama maksud, bukankah hal tersebut sangat wajar terjadi di antara saudara? Bahkan, anak kembar pun bisa mempunyai sikap dan sifat yang berbeda,” ujarnya berpendapat.
“Diandra yang selama ini kamu anggap sebagai adikmu itu bukanlah anakku!” beri tahu Yuri dengan penuh penekanan.
Deanita tercengang mendengar perkataan ibunya. Bahkan, Bi Asih pun ikut tersentak dan menjatuhkan bingkai foto milik Diandra. Bi Asih dari tadi mendengarkan percakapan antara ibu dan anak tersebut sambil sibuk memasukkan bingkai foto Diandra ke kardus.
“Ma, jangan hanya karena masalah ini, Mama tidak mengakui Dee sebagai anak lagi dan memilih memutuskan hubungan begitu saja,” Deanita menegur ibunya. “Aku mengetahui Mama sangat kecewa atas perbuatan Dee, tapi jangan menghukumnya seperti ini, Ma. Pernyataan yang Mama lontarkan tadi itu terlalu kejam. Jika Dee mendengarnya, ia pasti akan sangat terluka dan sakit hati.” Deanita merasa frustrasi terhadap jalan pikiran ibunya yang sangat kaku dan keras kepala. Kini ia menyadari dari mana adiknya mendapat sifat keras kepala itu.
Yuri tertawa sumbang. “Akan lebih bagus lagi jika anak sialan itu bisa mendengarnya langsung, agar ia secepatnya menyadari statusnya.” Yuri mengabaikan teguran dan rasa frustrasi putrinya, malah ia semakin meradang.
Deanita merasa pikirannya benar-benar terkuras menghadapi sifat keras kepala ibunya. Bahkan, kini kepalanya mulai berdenyut. “Ma, kita sudahi pembahasan ini ya,” pintanya lemah. “Sebaiknya sekarang Mama istirahat saja, biar nanti aku membantu Bi Asih membersihkan foto-foto Diandra dan semua barang miliknya yang lain,” sambungnya dan beranjak meninggalkan Yuri. Deanita ingin menyegarkan tubuhnya terlebih dulu sebelum membantu para pekerja di rumahnya.
“Tunggu saja pembalasan dariku! Aku akan membuat anak sialan itu malu dan menyadari statusnya,” gumam Yuri penuh tekad sambil menatap punggung Deanita yang mulai menaiki anak tangga. “Aku akan membantu anakku merebut apa pun yang seharusnya sudah menjadi miliknya,” sambungnya.
Merasa jenuh dengan suasana tempat tinggalnya, Diandra berencana berkunjung ke rumah neneknya dan menginap di sana selama beberapa hari. Ia sangat merindukan udara sejuk di sekitar rumah neneknya yang memang berada di dataran tinggi, lebih tepatnya di Puncak, Bogor. Awalnya Diandra akan pergi sendirian, tapi saat ia memberitahukan rencananya kepada Helena, sahabatnya tersebut ingin mengantar dan menemaninya. Meski sempat menolak, tapi pada akhirnya Diandra mengizinkan setelah Helena bersikukuh ingin mengantar dan menemaninya. Andaikan hari libur, ia juga ingin mengajak Mayra dan Sonya, agar mereka sama-sama bisa menikmati sejuknya udara pegunungan.“Bi, aku berangkat dulu ya,” Diandra berpamitan setelah Helena menjemputnya.“Hati-hati, Nyonya. Kabari Bibi jika Nyonya sudah sampai,” pinta Bi Harum sebelum Diandra memasuki mobil Helena.Diandra mengangguk dan tersenyum. “Nanti pulangnya aku belikan Bibi oleh-oleh,” ucapnya sambil melambaikan tangannya setelah berada
Diandra meletakkan buket bunga mawar putih yang dirangkainya sendiri di atas makam milik Rossaline Lidya. Ternyata neneknya tadi meminta ditemani berkunjung ke tempat peristirahatan terakhir mendiang tantenya. Bunga mawar putih tersebut dipetiknya langsung dari kebun milik neneknya sendiri. Diandra merasa dari dulu hingga kini kebun tersebut tetap sama, yaitu hanya dipenuhi oleh bunga mawar putih. Ia memang mengetahui alasan sang nenek mengisi kebunnya hanya dengan bunga mawar putih, tidak lain karena mendiang tantenya sangat menyukai bunga tersebut. Selain di tempat peristirahatan terakhir milik tantenya, Diandra juga meletakkan bunga mawar putih tersebut di makam kakeknya, yang letaknya bersebelahan.Setelah menyapa anggota keluarganya yang telah lebih dulu menghadap Sang Pencipta, Diandra mengajak neneknya kembali pulang. Selain karena sudah cukup sore, rintik-rintik hujan yang mengenai kulit mereka pun menjadi alasan Diandra bergegas meninggalkan area pemakaman.“Dee
Setelah memastikan mobil yang ditumpangi orang tuanya meninggalkan halaman rumah, Deanita segera mencari Bi Asih dan menyuruhnya mengeluarkan barang-barang milik Diandra dari kamarnya. Tanpa sepengetahuan ibunya dan atas izin Bi Asih, ia menyembunyikan semua barang milik Diandra di kamar asisten rumah tangganya tersebut. Ia sengaja menolak ajakan ibunya yang memintanya ikut berkunjung ke rumah sang nenek.“Bi, masukkan semuanya ke bagasi mobilku ya,” pinta Deanita kepada Bi Asih.Bi Asih mengangguk. “Kalau boleh Bibi tahu, barang-barang milik Non Dee akan Nona mau bawa ke mana?” tanyanya penuh keberanian.Walau Deanita dan Diandra diketahuinya selama ini tidak pernah terlibat perseteruan secara langsung, tapi Bi Asih tetap mewaspadai jika putri sulung keluarga Sinatra mempunyai niat terselubung.“Mau aku antarkan ke rumah Dee, Bi,” Deanita menjawabnya sambil membaca pesan di ponselnya. “Bibi mencurigaiku?” tebaknya setelah mengalihkan perhatian dari ponselnya
Deanita langsung keluar setelah mobil yang dikendarai Hans terparkir di halaman rumah neneknya. Ia bertanya kepada Pak Bayu yang tengah mengobrol bersama Pak Budi mengenai kedatangan orang tuanya. Ia merasa sedikit lega setelah mengetahui ternyata orang tuanya belum terlalu lama sampai di rumah sang nenek. Pak Bayu juga mengatakan jika tadi orang tuanya mampir ke rumah sakit, untuk menjenguk sahabatnya yang tengah dirawat.Tidak mau membuang waktu, Deanita diikuti Hans dan Lavenia bergegas memasuki rumah sang nenek. Ketiganya mengernyit ketika menyadari ketegangan tengah terjadi di dalam rumah. Mereka tersentak saat mendengar pertanyaan Diandra yang diajukan dengan nada datar.“Lalu siapa orang tua kandungku, Ma?” tanya Diandra. Jarum-jarum tak kasatmata seolah berlomba ingin menusuk dadanya.“Aku bukan ibumu, jadi hentikan panggilan menjijikkan itu!” protes Yuri sambil menatap Diandra penuh peringatan. “Berikan saja panggilan Mama untuk wanita murahan yang telah m
Setelah berulang kali mencoba, Diandra tetap kesulitan memejamkan mata. Sekelebat kejadian yang telah dilaluinya hari ini muncul silih berganti memenuhi benaknya. Dengan hati-hati ia menuruni ranjang agar tidak membangunkan Helena yang sudah terlelap di sampingnya. Meski angin malam kurang bagus untuk kondisinya yang tengah berbadan dua, tapi ia tetap ingin keluar rumah untuk menghirup udara segar. Diandra melapisi piama tidurnya dengan sweater rajut dan menggunakan beanie hat untuk menghalau udara dingin menusuk tubuhnya saat berada di luar rumah.“Mau ke mana?” Hans yang baru keluar dari kamarnya melihat Diandra berjalan menuju pintu utama di rumah sang nenek.Diandra seketika menghentikan langkah kakinya saat tiba-tiba mendengar suara dari belakang tubuhnya. Ia mengetahui pemilik suara yang bertanya padanya tersebut. “Keluar,” jawabnya tanpa menoleh.“Aku antar. Sudah malam.” Hans menghampiri tempat Diandra berdiri. “Jangan besar kepala dulu. Aku hanya tidak mau
Allona mengunjungi rumah yang ditempati Hans dan Diandra, ia sangat mengkhawatirkan keadaan menantunya tersebut. Saat mengetahui Diandra masih terlelap di kamarnya, ia melarang Bi Harum membangunkannya. Sambil menunggu Diandra bangun, Allona membantu Bi Harum membuat hidangan untuk makan malam.“Bi, Hans di kamarnya?” Allona menanyakan keberadaan putranya sambil mencincang daging ayam sebelum digiling.“Tuan belum pulang, Nyonya,” jawab Bi Harum usai menyerut wortel.Setelah mengetahui keberadaan Hans, Allona menyuruh Bi Harum membuat telur dadar, sedangkan ia akan menggiling daging ayam yang sudah selesai dicincang. Ia akan membuat rolade ayam wortel untuk makan malam mereka.***Diandra terlihat lebih segar seusai mandi, meski wajah pucat dan mata sembapnya masih terlihat jelas. Langkah kakinya yang hendak ke dapur memelan saat melihat Allona sedang menata hidangan di atas meja makan. Ia tersenyum tipis ketika Allona menyadari kehadirannya.“Sud
Atas permintaan keras kepala Allona, Hans terpaksa harus menginap di rumah sakit selama sepuluh hari hingga jahitannya dilepas. Bahkan, setelah jahitannya dilepas pun Allona tetap meminta Hans untuk mengontrolnya ke rumah sakit. Allona hanya ingin memastikan luka Hans akibat tusukan tersebut mendapat penanganan yang tepat dari tim medis.Selama sepuluh hari Hans dirawat, sekali pun Diandra tidak pernah menjenguknya di rumah sakit. Allona yang mengetahuinya tidak bisa memberikan komentar. Ia memaklumi keabsenan Diandra, apalagi selama ini perlakuan dan sikap Hans sangat buruk padanya. Untuk meminimalkan rasa khawatirnya saat malam hari, Allona memerintahkan Pak Amin tinggal di rumah Hans bersama Diandra dan Bi Harum. Ia terpaksa melakukannya karena Diandra menolak ketika diminta pindah ke kediaman Narathama selama Hans dirawat.Selama dirawat, Hans mengerjakan semua pekerjaan kantornya di rumah sakit, kecuali memimpin rapat. Ia terpaksa membuat Damar repot karena harus bo
Untuk mengantisipasi pertengkaran yang terjadi antara Hans dengan Diandra, Allona meminta keduanya berangkat menuju tempat acara dari kediaman Narathama. Ia merencanakan berangkat bersama-sama meski menumpangi mobil yang berbeda. Awalnya Hans menolak karena dianggap membuang-buang waktu, tapi Allona tetap bersikeras, sehingga mau tak mau ia pun terpaksa menurutinya.Kini mereka sudah tiba di tempat acara. Mereka sengaja tiba lebih awal karena bertindak sebagai tuan rumah. Berselang beberapa menit, undangan pun mulai berdatangan dan memberikan ucapan selamat kepada Hans serta Allona. Demi kesopanan, Diandra terpaksa memasang senyum palsu dan berdiri di samping Hans ikut berbasa-basi menyapa para undangan yang hadir.Hampir semua undangan memuji penampilan Hans dan Diandra yang terlihat sangat serasi, terlebih keduanya masih tergolong pengantin baru. Long dress hitam bergaya vintage dan berbahan lace terlihat sangat cocok melekat pada tubuh berisi Diandra. Tatanan rambutny