Share

Chapter 7

Diandra tidak memusingkan pertemuannya yang tanpa sengaja dengan Hans dan Deanita di kafe seminggu lalu. Ia dan Hans pun tidak pernah berkomunikasi meski tinggal di atap yang sama. Untungnya Bi Harum tidak jadi kembali ke kediaman Narathama, setelah Allona marah besar mengetahui keputusan Hans. Selain itu, Allona juga kecewa padanya karena tidak memberitahukan mengenai acara wisudanya.

Diandra tengah memeriksa kembali barang yang akan dibawanya ke kediaman Narathama sambil menunggu kedatangan Lavenia menjemputnya. Karena Hans sedang ada perjalanan bisnis ke Jepang selama beberapa hari ke depan, jadi Diandra diminta tinggal di kediaman Narathama oleh Allona. Awalnya ia menolak permintaan Allona, mengingat di rumah sudah ada Bi Harum yang akan menemaninya. Namun, akhirnya ia menyanggupinya setelah mendengar Allona meminta Lavenia menemaninya. Selain itu, Bi Harum juga diminta ikut ke kediaman Narathama untuk sementara waktu.

“Nyonya, Nona Ve sudah datang,” Bi Harum memberitahukan kedatangan Lavenia kepada Diandra yang masih berada di kamar.

“Iya, Bi,” jawab Diandra dan menjinjing duffle bag cokelatnya.

“Nyonya, biar Bibi saja yang membawakan tasnya,” pinta Bi Harum dan Diandra langsung memberikannya.

“Maaf merepotkanmu, Ve,” ucap Diandra ketika melihat Lavenia sedang mengamati isi rumahnya sambil menunggunya.

“Tidak apa, Dee. Lagi pula aku sedang tidak ada kegiatan atau acara lain,” balas Lavenia setelah menoleh. “Dee, aku tidak menyangka isi rumah kalian sepi begini. Sangat jauh dari selera Kak Hans,” imbuhnya mengomentari apa yang dilihatnya. Selain bentuk rumahnya sangat sederhana, di dalamnya pun hampir tidak ada perabotan atau furniture yang menghiasinya.

Diandra hanya tersenyum tipis mendengar komentar adik iparnya. “Yang penting bisa untuk berteduh saat hujan atau panas saja sudah cukup, Ve,” jawabnya jujur.

Lavenia menghela napas mendengar jawaban Diandra. “Kak Hans benar-benar keterlaluan terhadap ibu dari calon anaknya,” batinnya berkata. “Ayo kita berangkat sekarang,” ajaknya.

“Bi, semua pintu rumah sudah dikunci? Termasuk ruang kerja dan kamar Tuan di atas?” tanya Diandra memastikan.

“Sudah, Nyonya,” jawab Bi Harum dan mengangguk. Ketiganya pun langsung menuju mobil Lavenia yang sengaja diparkirkan di luar pagar.

***

Kedatangan Diandra disambut hangat oleh Allona. Setelah menaruh duffle bag-nya di kamar tamu sesuai permintaannya, Diandra dan Allona berbincang-bincang di gazebo dekat kolam renang di samping rumah. Alasan Diandra menolak menempati kamar Hans, karena ia tidak ingin berseteru dengan sang pemilik. Meski melihat jelas gurat kekecewaan di wajah Allona, tapi Diandra meminta kepada mertuanya agar memaklumi keputusannya tersebut, karena ini menyangkut kenyamanannya.

“Dee, kamu sudah rutin memeriksakan kandunganmu?” tanya Allona memulai obrolan.

Diandra mengangguk. “Setiap bulan aku memeriksakan kandunganku, Ma. Kata dokter yang memeriksaku, janin di perutku sehat,” jawabnya. “Oh ya, Ma, mengapa tubuhku tidak banyak mengalami perubahan meski tengah hamil, terutama bagian perut? Padahal kehamilanku sudah memasuki dua belas minggu,” tanyanya penasaran.

Allona mengamati bentuk tubuh menantunya. “Biasanya memasuki trimester kedua perut baru terlihat membuncit, Dee. Tidak semua orang hamil, perutnya langsung membuncit saat di trimester pertama,” jelasnya. “Kamu tidak usah mengkhawatirkan hal tersebut, Dee. Yang penting kamu sudah rutin memeriksakan kandungan dan janinnya dinyatakan sehat oleh dokter,” sambungnya menenangkan.

Penjelasan Allona melegakan Diandra. “Apakah Mama juga sepertiku saat mengandung dulu?” tanyanya ingin tahu.

“Iya. Malah sewaktu mengandung Hans, perut Mama tidak terlalu besar. Jika Mama memakai baju longgar, malah hampir tidak terlihat seperti sedang hamil. Makanya Mama masih tetap bisa beraktivitas seperti biasa, hingga seminggu sebelum persalinan. Itu pun papanya Hans yang memaksa agar Mama berhenti bekerja,” Allona menceritakan sedikit pengalamannya sewaktu hamil.

“Lalu saat mengandung Ve?” tanya Diandra spontan karena tertarik mendengarkan pengalaman ibu mertuanya.

Allona tersenyum tipis sambil menatap Diandra lekat. “Mama tidak mengandung ataupun melahirkan Ve,” beri tahunya. “Ve bukanlah anak kandung Mama. Mamanya Ve adalah adik kandung Mama yang malang. Kami mengadopsi Ve sejak ia berumur satu tahun,” ungkapnya sedih.

Melihat ekspresi sedih Allona membuat Diandra merasa bersalah. “Maafkan aku, Ma. Aku tidak bermaksud ….” Ucapannya terpotong karena melihat Allona tersenyum sekaligus menggeleng.

“Kamu tidak perlu meminta maaf. Sudah sepantasnya kamu mengetahuinya, karena kini kamu telah menjadi bagian dari keluarga kami,” ucap Allona. “Mamanya Ve meninggal karena depresi setelah mengetahui suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Berselang beberapa bulan, papanya juga meninggal setelah mengalami kecelakaan bersama selingkuhannya karena mengendarai mobil dalam keadaan mabuk. Karena papanya hidup sebatang kara, makanya Mama mengadopsinya setelah meminta persetujuan kepada suami dan mertua. Mama sangat bersyukur karena kakek dan neneknya Hans menyambut hangat kehadiran Ve di keluarga Narathama.” Allona menghapus air matanya yang menetes begitu saja.

Diandra terharu mengetahui secuil kisah Lavenia. “Apakah Ve mengetahuinya?” tanyanya waspada.

Allona mengangguk. “Meski sudah menjadi bagian dari keluarga Narathama, kami sepakat untuk tetap memberitahukan dan menceritakan mengenai orang tua kandungnya. Meskipun terdengar menyakitkan, tapi kami tidak ingin berbohong untuk menutupi kebenarannya. Kami juga tidak ingin Ve melupakan orang tua kandungnya yang telah menghadirkannya di dunia ini.”

“Mama benar, Ve berhak mengetahui sosok orang tua kandungnya.” Diandra sepemikiran dengan Allona.

Diam-diam Diandra merasa iri terhadap Lavenia atas kasih sayang yang diperolehnya, meski bukan dari orang tua kandungnya. Lavenia sangat beruntung dipertemukan dengan malaikat-malaikat tak bersayap dan berhati emas seperti keluarga mertuanya. Sangat bertolak belakang dengan yang dialami dan didapatkannya. Jika dirinya di posisi Lavenia, pasti ia akan sangat menghormati dan menyayangi keluarga angkatnya. Bahkan, bila perlu nyawanya sendiri akan ia pertaruhkan untuk membalas kebaikan atas cinta dan kasih sayang yang didapatnya.

“Dee, katanya Mamamu sudah kembali ke rumah ya?” Allona mengganti topik obrolan sekaligus membuyarkan lamunan Diandra.

Diandra mengiyakan. “Beliau pulang kemarin lusa, Ma,” jelasnya. Deanita memberitahunya mengenai kepulangan mamanya. “Dari mana Mama mengetahuinya?” tanyanya.

“Tadi sebelum berangkat menjemputmu, Ve memberi tahu Mama. Katanya kemarin ia bertemu Dea di mall,” Allona menjawabnya dan menatap ekspresi sedih menantunya. “Dee, apakah Mama boleh bertanya sesuatu?” tanyanya hati-hati.

“Silakan, Ma,” jawab Diandra mempersilakan.

“Sebenarnya bagaimana hubunganmu dengan orang tuamu, terutama Mamamu?” selidik Allona memperjelas.

Diandra menatap Allona dan menimbang, apakah pantas ia menceritakan mengenai sikap orang tuanya. “Entahlah, Ma,” jawabnya. “Aku juga tidak mengerti dengan sikap dan perlakuan orang tuaku, terutama Mama kepadaku. Sejak kecil mereka selalu memperlakukanku tidak adil, terutama dari segi kasih sayang. Mama sangat mendukung semua aktivitas yang Dea pilih dan lakukan. Bahkan, mereka mengizinkan Dea kuliah di luar negeri. Sementara Mama sangat menentangku yang ingin mendalami tentang desain, terutama mengenai fashion. Papa menawariku biaya kuliah, asalkan masih di dalam negeri. Daripada tidak sama sekali, jadi aku terima saja,” ungkapnya pada akhirnya.

“Keluarkan saja semua ganjalan di hatimu, jika itu membuatmu merasa lebih lega. Mama bersedia menjadi pendengarmu,” Allona menyarankan Diandra yang sorot matanya memancarkan kesedihan.

Diandra menelaah saran mertuanya, kemudian menghela napas ketika keputusannya sudah bulat. “Saat masih remaja, aku sering menginap di rumah Nenek. Di sana aku tidur di kamarnya Tante Ocha. Di kamar itu banyak sekali majalah fashion, makanya aku betah berada di sana. Kata Nenek, aku boleh membawa semuanya pulang. Sayangnya setelah di rumah, Mama mengetahuiku membawa semua majalah dari rumah Nenek, dan tanpa pikir panjang beliau langsung membakarnya. Sejak saat itu Mama melarangku menginap di rumah Nenek, padahal aku lebih suka tinggal di sana.”

“Apakah Nenekmu mengetahuinya? Bagaimana reaksinya?” selidik Allona setelah menyimak penuturan Diandra.

Diandra mengangguk cepat. “Aku menelepon Nenek dan menceritakan semuanya, mengadu lebih tepatnya. Besoknya Nenek datang dan memarahi Mama. Bahkan, mereka bertengkar. Melihat pertengkaran mereka membuatku sangat merasa bersalah. Makanya demi kebaikan bersama, aku tidak pernah lagi menginap di rumah Nenek,” akunya.

“Bagaimana dengan reaksi Tantemu?” Allona kembali menyelidik sambil menahan napas.

Diandra menggelengkan kepalanya dengan lemah. “Kata Nenek, Tante Ocha telah meninggal. Beliau meninggal di usia muda karena sakit. Tepatnya tujuh hari setelah Mama melahirkanku,” ujarnya sedih.

“Ngomong-ngomong, apakah kamu pernah melihat foto Tantemu?” tanya Allona ingin tahu.

“Pernah. Malah awalnya, aku kira Mama dan Tante Ocha kembar, karena wajah mereka bagai pinang dibelah dua. Ternyata Mama adalah adiknya Tante Ocha, dan selisih umur mereka pun hanya setahun,” beri tahu Diandra.

Mendengar pemberitahuan Diandra, Allona hanya mengangguk pelan. “Rossa, ternyata keluargamu masih menutupinya hingga kini, dan aku pun tidak mempunyai hak untuk mengungkapnya,” Allona membatin sambil menatap Diandra dengan pandangan kosong.

“Nyonya, hidangan untuk makan siang sudah siap,” Bi Harum memberitahukan sudah tiba waktunya untuk makan siang. Kedatangannya tidak disadari oleh Allona dan Diandra yang tengah sibuk dengan pikirannya masing-masing.

“Ayo, Dee, kita mengisi perut dulu. Mama yakin kamu juga pasti sudah lapar, jangan sampai cucu Mama di sini kelaparan,” ajak Allona sambil mengusap perut Diandra. Ia lebih dulu turun dari gazebo sebelum membantu Diandra.

***

Jika bukan karena nilai proyeknya yang sangat besar, Hans cukup hanya menunjuk Damar sebagai perwakilannya untuk menemui partner bisnisnya. Sekembalinya dari pertemuan, Hans langsung ingin ke hotel mewah tempatnya menginap. Matanya terasa sangat berat dan sesegera mungkin ingin bergelung di bawah selimut.

“Dam, buah lemon yang ibumu berikan masih ada?” tanya Hans sambil memejamkan matanya di bangku penumpang ketika masih dalam perjalanan menuju hotel.

“Masih, Hans,” jawab Damar sambil melirik Hans dari posisi duduknya, di samping sopir. “Orang ngidam memang paling aneh. Lemon saja harus dibawa dari Indonesia, memangnya di sini tidak ada yang menjual buah itu?” batinnya menambahkan.

Sesampainya di hotel, Hans langsung memasuki lift yang akan mengantarnya ke kamar diikuti Damar. Di dalam kamar Hans, Damar segera mengambil lemon dan mengirisnya menjadi beberapa bagian.

“Hans, ini irisan lemonnya.” Damar menyerahkan piring kecil kepada Hans yang duduk di sofa. “Ada yang kamu butuhkan lagi? Jika tidak, aku ingin ke kamarku,” tanyanya sambil mengamati Hans melahap irisan lemon tersebut.

Hans menggeleng. “Pergilah,” ujarnya.

Setelah Damar undur diri, Hans yang sudah menghabiskan irisan lemonnya langsung menuju tempat tidurnya. Sore nanti ia akan berkeliling mencari oleh-oleh untuk ketiga wanita yang sangat disayanginya.

***

Diandra tengah duduk sendirian di gazebo di dekat kolam renang. Ia menolak tawaran Allona yang ingin mengajaknya berkunjung ke rumah orang tuanya. Bukannya Diandra ingin menjadi anak durhaka, tapi ia khawatir jika kehadirannya kembali membuat penyakit ibunya kambuh. Bahkan, Lavenia mempunyai pemikiran yang sama dengannya. Sebagai manusia biasa dan seorang anak, tentu saja ia mempunyai rasa khawatir terhadap keadaan ibunya.

Diandra duduk bersandar pada dinding gazebo yang terbuat dari bambu sambil membaca majalah kehamilan pemberian Allona. Melihat gambar-gambar bayi yang sangat lucu membuat Diandra spontan mengusap perutnya. Ia tidak mematok jenis kelamin anak yang akan dilahirkannya kelak. Yang ia harapkan hanya proses kelahirannya lancar dan anaknya lahir sehat, tanpa kekurangan apa pun. Menurutnya, anak laki-laki atau perempuan sama saja. Sama-sama darah dagingnya sendiri.

Membayangkan ia menjadi seorang ibu dan bermain bersama anaknya, membuat Diandra tersenyum sendiri. Diandra berjanji pada dirinya sendiri tidak akan memperlakukan anaknya seperti yang dilakukan ibunya. Kini prioritasnya adalah kesehatannya sendiri dan calon anaknya. Selain memantau perkembangan buah hatinya di dalam rahimnya, ia juga harus rutin memeriksakan kesehatannya sendiri, mengingat organ tubuhnya sudah tidak lengkap seperti dulu.

“Awalnya Mama sangat terkejut mengetahui kamu tumbuh di rahim ini, tapi percayalah Mama tidak pernah membenci kehadiranmu,” Diandra berbicara pada janinnya sambil mengusap lembut perutnya. “Sehatlah selalu di dalam perut Mama ya, Nak,” imbuhnya.


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status