Share

Chapter 6

Di tengah-tengah aktivitasnya menonton televisi di kamar setelah menyelesaikan pekerjaan kantor yang dibawanya ke rumah, Hans kembali merasakan perutnya lapar. Dengan malas Hans beranjak dari posisi nyamannya di atas ranjang. Ia berniat ke dapur mencari camilan untuk mengganjal rasa laparnya, karena tidak mungkin membangunkan Bi Harum yang sedang beristirahat, apalagi kini sudah tengah malam.

Hans tersenyum ketika tiba di dapur dan membuka kulkas karena menemukan kotak makanan berukuran tanggung berisi potongan-potongan nugget yang siap digoreng. Ia yakin nugget tersebut sengaja dibuat Bi Harum seperti yang sering dilakukannya di kediaman Narathama. Tanpa membuang waktu, Hans langsung memanaskan minyak dan mengeluarkan kotak tersebut dari kulkas. Ia akan menggoreng semuanya agar rasa laparnya hilang.

“Aku kira nugget udang, ternyata ayam,” Hans bergumam saat mencicipi nugget yang sudah ditiriskan. “Tapi enak juga,” komentarnya.

Setelah semua nugget tersebut matang dan minyaknya sudah ditiriskan, Hans memindahkannya ke piring. Tidak lupa ia melengkapinya dengan sambal lombok instan kesukaannya. Ia akan menikmatinya sambil melanjutkan menonton televisi di kamar.

***

Diandra tengah membaca majalah fashion di ruang keluarga sambil menunggu Sonya datang menjemputnya. Mumpung Sonya tengah libur, sahabatnya itu mengajaknya berziarah ke peristirahatan terakhir Wira. Tanpa menunggu ajakan kedua kali, Diandra langsung mengiyakannya. Apalagi ia sudah sangat ingin dan merindukan sosok pelindungnya itu, yang kini telah tidur di dalam kedamaian abadi.

Dari balik bulu matanya, Diandra melihat Hans yang berpenampilan kasual sedang menuruni anak tangga. Ia kembali menyibukkan diri melihat majalah fashion di tangannya, tanpa berniat menyapa atau sekadar berbasa-basi dengan laki-laki yang berstatus sebagai suaminya.

“Bi, nanti buatkan aku nugget lagi ya. Kalau bisa yang udang.” Diandra langsung mengangkat wajahnya dari majalah ketika mendengar perkataan Hans kepada Bi Harum.

“Nugget?” Bi Harum mengulang dan terkejut.

Hans manggut-manggut sambil mulai menyesap irisan buah lemon segar di atas meja makan. “Nugget yang ada di kulkas sudah aku goreng semua kemarin malam,” jawabnya santai.

“Tapi, Tuan, nugget tersebut bukan buatan Bibi,” beri tahu Bi Harum terbata. “Nugget itu Nyonya yang membuatnya,” sambungnya hati-hati.

Hans terkejut mendengar pengakuan Bi Harum dan kenyataan mengenai nugget yang kemarin malam dihabiskannya. Dari sudut matanya, ia melihat Diandra tetap bergeming pada posisi duduknya di ruang keluarga. Ia menormalkan keterkejutannya, kemudian berkata dengan nada dingin, “Berikan uang sebagai ganti rugi kepada orang yang membuat nugget itu.”

Andai saja Sonya tidak mengabarkan sudah menunggunya di depan rumah, Diandra pasti menanggapi perkataan angkuh Hans. “Bi, aku pergi dulu ya,” pamitnya pada Bi Harum tanpa memedulikan tatapan merendahkan Hans.

“Iya, Nyonya. Hati-hati,” balas Bi Harum gugup karena situasi menegangkan yang diciptakan kedua majikannya.

“Mulai besok Bibi kembalilah ke kediaman Narathama. Bibi lebih dibutuhkan di sana daripada di sini,” perintah Hans setelah menghabiskan irisan lemonnya. “Bibi hanya perlu datang sekali dalam seminggu ke sini. Biarkan wanita itu saja yang membersihkan rumah,” sambungnya tegas dan tidak ingin dibantah ketika melihat Bi Harum keberatan dengan perintahnya.

“Baiklah, Tuan,” ucap Bi Harum pelan, meski tidak sesuai dengan keinginannya.

Awalnya Bi Harum memang berharap segera dikembalikan ke kediaman Narathama karena mengira Diandra akan bersikap dan memperlakukannya dengan buruk. Namun, kini ia malah khawatir meninggalkan Diandra hanya berdua dengan Hans. Ia takut Hans akan bertindak dan bersikap kasar, terlebih kini Diandra dalam keadaan hamil.

***

Meski Diandra sudah berusaha keras menahan diri agar tidak menangis, tapi air matanya tumpah begitu saja ketika melihat tempat peristirahatan terakhir laki-laki yang sangat dicintainya. Ia meletakkan bunga lily putih yang dibawanya di atas makam Wira.

“Mohon maafkan aku, Kak. Baru sekarang aku datang mengunjungi Kakak,” ujar Diandra dengan suara serak karena air matanya kembali menetes. “Kak, sekarang aku tidak mempunyai tempat bersandar lagi yang bisa memberiku perlindungan dan membuatku merasa nyaman,” sambungnya sambil sesekali menyeka air matanya.

“Dee.” Sonya juga ikut meneteskan air mata karena kehilangan Wira dan kini tengah mencoba menguatkan Diandra. Meski ia dan Wira bukan bersaudara kandung, tapi laki-laki tersebut merupakan satu-satunya anggota keluarganya yang masih tersisa. “Jangan berbicara seperti itu, Dee. Kamu masih mempunyai aku yang bisa dijadikan sandaran,” imbuhnya serak sambil mengusap punggung Diandra.

Diandra langsung memeluk Sonya setelah menyadari jika sahabatnya ini lebih bersedih dibandingkan dirinya atas kehilangan Wira. Karena sama-sama tidak kuasa lagi memendam kesedihannya lebih lama, akhirnya mereka menumpahkannya bersama. Meski sama-sama kehilangan, tapi jenis dan porsi mereka berbeda.

“Kak, meski kini Dee telah menikah dengan laki-laki yang menabrakmu, aku harap Kakak tidak pernah menyalahkannya. Dee tidak pernah mengkhianatimu. Bahkan, aku yakin hingga kini ia masih sangat mencintaimu. Bantulah Dee meraih kebahagiaannya, terutama dengan anak yang kini dikandungnya,” batin Sonya berkata-kata tanpa melepaskan pelukannya pada Diandra.

Diandra melepaskan pelukannya dan segera menyusut air matanya. Ia kembali menghadap pusara Wira sambil berkata, “Kak, hingga kini aku belum bisa menepati janji terakhirmu. Namun, setelah pulang dari sini aku akan mencobanya.”

“Aku yakin kamu pasti bisa menepatinya, Dee. Demi kebaikanmu dan si kecil tentunya,” Sonya menyemangati sahabatnya. Ia mengetahui janji yang dimaksud sahabatnya. Sebelum Wira mengembuskan napas terakhirnya, sepupunya tersebut berpesan kepadanya dan Diandra agar tidak menangisi kepergiannya berlarut-larut. “Aku juga masih berusaha keras mencobanya, Dee,” sambungnya menimpali.

“Sepertinya Kak Wira mendengar perkataan kita,” Diandra berkomentar ketika tiba-tiba angin berembus, sehingga membuat kulitnya merasa sejuk.

Sonya menyetujui. “Sekarang kita berusaha bersama-sama agar Kak Wira tidak merasa kecewa,” ajaknya kepada Diandra meski cairan bening dengan lancangnya kembali menetes dari mata mereka. “Kak, kami pulang dulu ya. Nanti kami juga akan ajak Helena untuk berkunjung ke sini,” pamit Sonya dan mencium nisan Wira.

“I love you, Wira.” Diandra juga mencium nisan Wira bergantian dengan Sonya.

Sonya memegangi tangan Diandra saat keluar dari area pemakaman. Ia takut sahabatnya yang tengah mengandung tersebut tersandung. Perasaan mereka terasa lebih lega setelah mengeluarkan kesedihan masing-masing yang tertimbun.

***

Sepulangnya dari mengunjungi makam Wira, Diandra mengajak Sonya singgah di sebuah restoran untuk mengisi perut sekaligus melepas dahaga, mengingat sudah waktunya makan siang. Sambil menunggu pesanannya, mereka mengisinya dengan berbincang-bincang.

“Son, jangan lupa hari Sabtu besok. Aku akan membuat perhitungan denganmu jika kamu berani tidak datang,” ancam Diandra.

Bukannya takut, Sonya malah terkekeh. “Tentu saja aku akan datang, Dee. Apalagi aku dan Helena sudah membeli dress untuk menghadiri wisudamu,” beri tahunya sambil tersenyum.

Diandra memberikan jempol tangan kanannya kepada Sonya. “Saat wisudamu nanti, aku juga pasti datang. Ngomong-ngomong, kapan acara wisudamu?” tanyanya setelah tersenyum kepada waitress yang mengantarkan minuman pesanan mereka.

“Kamis depan, Dee.” Sonya menyesap lemonade setelah menjawab pertanyaan Diandra. “Dee,” panggilnya pelan.

“Hm,” jawab Diandra yang sedang meminum orange juice-nya.

“Semenjak kalian menikah, apakah suamimu pernah bersikap kasar padamu?” Sonya menatap Diandra penuh keingintahuan.

Diandra menggeleng agar Sonya tidak khawatir. “Meski hubunganku dengan laki-laki itu dingin, tapi sejauh ini ia tidak pernah bersikap kasar padaku,” dustanya.

Sonya merasa lega mendengarnya. “Aku hanya takut dan khawatir jika ia menyakitimu. Ketakutanku semakin bertambah ketika mengingat keadaanmu sekarang,” jujurnya. “Di rumah itu kamu tinggal dengan siapa saja?” imbuhnya.

“Aku, laki-laki itu, dan Bi Harum. Asisten rumah tangga ibu mertuaku,” beri tahu Diandra. “Son, sebaiknya kita makan dulu. Perutku sudah lapar.” Diandra sengaja memutus obrolannya saat melihat seorang waitress sudah datang. Ia sedang malas membicarakan Hans, apalagi setelah mendengar perkataannya tadi dengan Bi Harum di rumah.

Sonya menanggapinya dengan anggukan kepala. “Makan yang banyak, Dee, agar kamu dan janinmu sehat,” ujarnya.

***

Diandra terlihat anggun dalam balutan midi dress berlengan pendek berwarna hitam dan sedikit longgar untuk menyamarkan kehamilannya. Selain Sonya dan Helena yang hadir, Deanita juga menepati janjinya untuk datang. Meski kebahagiaannya terasa kurang lengkap karena ketidakhadiran orang tuanya, tapi kedatangan kedua sahabat dan kakaknya sudah membuatnya cukup bahagia.

Usai sesi upacara wisuda, mereka menyaksikan acara selanjutnya dari masing-masing jurusan yang penuh keseruan. Setelah menonton hingga selesai pertunjukkan dari masing-masing jurusan, Deanita pamit pulang lebih dulu dan langsung diizinkan oleh Diandra.

“Dee, seharusnya kamu tidak memakai high heels,” tegur Helena saat menyadari Diandra memakai high heels yang lumayan tinggi untuk menunjang penampilannya.

Menanggapi teguran Helena, Diandra hanya menyengir dan mengangguk. “Berangkat sekarang?” tanyanya setelah Sonya keluar dari toilet.

“Ayo,” jawab Helena dan Sonya bersamaan.

Mereka akan menuju kafe tempat Diandra dulu bekerja paruh waktu. Selain untuk merayakan hari wisuda Diandra, mereka juga ingin mengisi weekend dengan bersantai.

Butuh waktu satu jam mereka membelah jalanan yang macet agar bisa sampai di kafe. Setelah memarkirkan mobilnya, mereka pun langsung memasuki kafe yang cukup ramai pengunjung. Mereka memilih lantai dua kafe, tepatnya di rooftop untuk bersantai sekaligus menikmati pemandangan dari atas.

Baru saja ketiganya duduk, alangkah terkejutnya Sonya melihat keberadaan Deanita dan Hans di sudut rooftop, tepatnya membelakangi posisi duduk Diandra. Tanpa Sonya sadari, ternyata Helena memerhatikan gerak-gerik dan keterkejutannya. Ada kekhawatiran yang dipancarkan oleh mata keduanya ketika tatapan mereka bertemu, meski pertemuan antara Hans dan Deanita terbilang wajar. Terlebih keduanya pernah menjalin hubungan yang sangat dekat. Kini mereka hanya berharap Diandra yang tengah asyik melihat foto di ponselnya tidak menoleh ke belakang.

“Ternyata beda rasanya berada di tempat ini sebagai pengunjung.”

Ucapan Diandra membuat Sonya dan Helena menormalkan sikapnya, seolah tidak melihat sesuatu yang menyita perhatian. Ingatan Diandra kembali pada saat dirinya menjadi pekerja paruh waktu di tempat yang kini didatanginya.

“Bedanya karena dulu melayani pengunjung, sekarang kamu yang dilayani,” Helena mengomentari sambil menyamankan posisi duduknya.

Diandra dan Sonya mengangguk, menyetujui komentar Helena. “Terima kasih,” ucap Sonya pada waitress yang membawakan pesanan mereka.

“Aku permisi ke toilet dulu ya,” pamit Diandra karena cairan di tubuhnya ingin dikeluarkan. Semenjak hamil, intensitasnya ke toilet untuk buang air kecil menjadi lebih sering.

“Hati-hati dan perhatikan langkahmu, Dee,” Sonya mengingatkan sahabatnya karena menggunakan high heels.

Ketika berdiri dan berbalik dari posisinya, Diandra terkejut melihat keberadaan Deanita bersama seorang laki-laki tengah berpegangan tangan. Meski bisa mengenali laki-laki yang bersama kakaknya dari belakang, tapi ia ingin memastikannya. Ia memutuskan untuk menyapa sang kakak sebelum ke toilet.

“Dea,” panggil Diandra pelan.

Seketika wajah Deanita memucat setelah melihat pemilik suara yang memanggilnya, dan kini tengah melambaikan tangan kepadanya. “Di-Diandra,” gumamnya terbata. Ia terasa kesulitan bernapas saat melihat sang adik berjalan mendekat ke arahnya.

Hans langsung memberikan tatapan tajam kepada Diandra yang kini telah berdiri di sampingnya. Ia sempat terkejut saat mendengar gumaman terbata Deanita, apalagi melihat wajah wanita yang dicintainya seketika memucat.

“Dee, ini tidak seperti yang kamu bayangkan. Kami hanya menuntaskan urusan yang belum selesai,” Deanita memberi penjelasan agar Diandra tidak salah sangka padanya. Meski Deanita sangat jelas mengetahui dasar pernikahan Diandra, tapi bertemu dengan Hans secara diam-diam yang kini telah menjadi suami adiknya tetap saja salah.

“Santai saja, Dea. Kamu tidak usah tegang dan panik seperti itu,” balas Diandra dengan tenangnya tanpa memedulikan tatapan tajam Hans. “Silakan dilanjutkan acara kalian. Permisi,” sambungnya sambil tersenyum. Diandra kembali pada tujuan utamanya menuju toilet.

Sonya dan Helena yang menyaksikan Diandra menghampiri suami serta kakaknya tersebut ikut menahan napas. Mereka takut Diandra akan membuat keributan. Melihat Diandra menuju toilet, Helena memutuskan untuk menyusulnya. Harapannya dan Sonya agar Diandra tidak mengetahui keberadaan suami bersama kakaknya tidak terwujud.


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status