Share

Chapter 5

Damar mengernyit saat mendengar permintaan atasannya yang sangat tidak biasa. Ia diminta membeli bunga mawar berwarna pink sebanyak 99 tangkai. Andai saja Damar tidak mengetahui kondisi Hans yang tengah dipengaruhi oleh hormon kehamilan Diandra, sudah pasti ia akan menertawakan atasannya tersebut. Selain menjadi atasannya, Hans juga merupakan sahabatnya. Persahabatannya memang tidak sedekat antara hubungan Hans dengan Felix, mengingat perbedaan status mereka.

Damar menyadari jelas posisi dan statusnya. Ia hanyalah seorang anak asisten rumah tangga yang sangat beruntung diizinkan tinggal di kediaman keluarga Narathama. Sebelumnya ia tinggal bersama ayahnya yang menderita gagal ginjal di sebuah kontrakan kecil, sedangkan ibunya bekerja di kediaman orang tua Hans sebagai asisten rumah tangga. Awalnya orang tua Hans beberapa kali meminta ayahnya agar bersedia tinggal di salah satu paviliun keluarga Narathama yang letaknya di belakang kediaman utama, tapi sang ayah menolaknya karena merasa tidak pantas. Oleh karena itu, ibunya pun diizinkan pulang setelah menyelesaikan tugasnya agar bisa merawat ayahnya, berbeda dengan asisten lainnya yang harus tinggal di kediaman tersebut. Meski pernah mendapat penolakan dari ayahnya, tapi orang tua Hans tetap membantunya, terutama biaya pengobatan untuk sang ayah.

Sejak ayahnya meninggal, Damar dan ibunya akhirnya menyetujui permintaan majikannya untuk tinggal di kediaman Narathama. Bahkan, orang tua Hans juga membantu membiayai pendidikannya hingga jenjang universitas. Setelah lulus pun, ia diizinkan bekerja di perusahaan Narathama, dan kini dipercayai menjadi asisten Hans.

“Ada lagi yang Anda inginkan, Tuan?” tanya Damar sebelum mencari bunga mawar pink seperti permintaan Hans.

“Harus berapa kali aku mengingatkan dan mengatakannya padamu, Dam?” Hans menatap Damar tajam. “Berhenti berbicara formal padaku, dan jangan memanggilku dengan embel-embel Tuan jika kita hanya berdua. Mengerti?!” tegasnya ketika melihat Damar mengernyit.

Bukannya takut melihat tatapan tajam dan mendengar peringatan Hans, Damar malah terkekeh. “Baiklah, baiklah. Kalau begitu maafkan aku,” pintanya.

Damar tidak ingin membuat mood Hans jelek karena ia mendebatnya. Mengingat mereka masih berada di lingkungan kantor, makanya ia tetap berbicara formal dan memanggil Hans dengan sebutan Tuan. Hal itu ia lakukan untuk menunjukkan rasa hormatnya kepada atasan.

“Aku pergi sekarang, Hans,” pamit Damar sebelum Hans berubah pikiran dan permintaannya semakin aneh.

Hans mengangguk. “Cepat kembali,” perintahnya tegas yang hanya dibalas anggukan kepala oleh Damar.

Setelah Damar menghilang di balik pintu ruangannya, Hans kembali melanjutkan pekerjaannya memeriksa laporan di atas mejanya yang sempat tertunda. Meski pening di kepalanya hilang muncul, tapi ia tetap memeriksa hasil pekerjaan Damar. Entah kenapa hari ini ia sangat ingin melihat bunga mawar berwarna pink menghiasi ruangannya, terutama meja kerjanya. Jumlahnya pun harus 99 tangkai.

Sebagai pewaris tunggal dari Narathama Corporation, Hans mengambil alih tanggung jawab perusahaan yang bergerak di bidang real estate dan property tersebut semenjak ayahnya meninggal lima tahun lalu. Meski tugas yang diembannya berat, Hans selalu mempunyai jalan keluar ketika kesulitan dalam menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya menghampiri, sebab mendiang sang ayah telah melatihnya. Selain itu, sang ibu dan beberapa orang kepercayaan mendiang ayahnya juga banyak membantunya.

***

Setelah urusannya selesai di butik bersama Santhi, Diandra mampir ke kampusnya untuk melihat persiapan fashion show dalam rangka memeriahkan hari wisudanya nanti. Meski Diandra banyak mempunyai teman dan merupakan tipe orang yang mudah bergaul, tapi ia sangat tertutup dengan kehidupan pribadinya. Makanya, teman-teman kampusnya tidak ada yang mengetahui mengenai pernikahan dan kondisinya kini. Selain ia tidak mengundang teman-temannya, pesta pernikahannya pun dilangsungkan secara tertutup, hanya teman dekat dan relasi kedua belah pihak keluarga yang menjadi undangannya. Namun demikian, bukan berarti salah satu dari teman-temannya tidak ada yang mengendus atau mengetahui mengenai pernikahannya tersebut. Buktinya, kini Diandra mendengar beberapa dari mereka mulai berbisik-bisik ketika melihat kedatangannya, tapi ia tidak menggubrisnya.

“Kira-kira bagaimana ya rasanya menjadi menantu seorang desainer ternama?”

Diandra pura-pura tidak mendengar celetukan Monica, salah satu penghuni kampus yang lebih suka menghabiskan waktu untuk bergosip dibandingkan membuat desain. Sehingga menurutnya, Monica lebih cocok menjadi host acara gosip dibandingkan seorang desainer.

“Mentang-mentang status dan derajatnya sudah naik ke tingkat yang jauh lebih tinggi, sekarang jadi sombong ya?”

Diandra hanya mendengkus mendengar kembali celetukan Monica. Meski kini menjadi pusat perhatian oleh orang-orang di sekitarnya gara-gara celetukan Monica, Diandra tidak merasa terganggu. Dengan tetap tenang ia berjalan menuju ruangan yang digunakan untuk mempersiapkan acara fashion show wisudanya.

“Dee,” panggil Ratih, salah satu teman akrab Diandra yang juga datang ke kampus untuk melihat persiapan acara wisuda mereka. Meski mereka berteman, tapi tidak sedekat dengan Sonya.

Diandra menoleh dan tersenyum tipis menanggapi panggilan Ratih. “Kamu baru datang atau sudah mau pulang?” tanyanya ketika memerhatikan wajah Ratih yang terlihat lelah.

“Tentu saja aku baru datang,” jawab Ratih sambil mereka melanjutkan langkahnya menuju ruang persiapan. “Mumpung satu arah, jadi aku mampir saja ke sini,” sambungnya.

“Memangnya kamu dari mana?” tanya Diandra kembali.

“Aku dari sebuah kantor majalah fashion untuk menandatangani kontrak kerja. Kantor majalah yang kamu rekomendasikan waktu itu. Aku diterima di sana setelah lulus menjalani serangkaian persyaratan,” beri tahu Ratih. “Terima kasih ya, Dee,” ujarnya.

“Aku turut senang mendengarnya, Tih. Selamat ya dan semoga kelak kamu menjadi seorang fashion photographer yang profesional,” ucap Diandra tulus yang langsung diangguki oleh Ratih.

“Dee, aku dengar Monica dan pasukan nyinyirnya tengah membicarakan mengenai pernikahanmu,” ucap Ratih hati-hati.

“Biarkan saja mereka membicarakanku sepuasnya. Kalau mulut mereka sudah lelah, tanpa disuruh pun pasti akan berhenti,” Diandra menanggapinya dengan santai.

Ratih memberikan dua jempol tangannya atas sikap Diandra. “Dee, aku pikir kamu tidak akan menghadiri wisuda karena masih asyik berbulan madu,” celetuknya. “Jangan-jangan kalian belum berbulan madu ya?” tanyanya penasaran.

Ratih memang terkejut ketika pertama kali mendengar kabar pernikahan temannya ini. Setahunya Diandra tidak pernah terlihat menjalin hubungan dengan lawan jenis, apalagi sekelas putra seorang desainer ternama.

Diandra hanya mengendikkan bahunya. “Siapa juga yang ingin berbulan madu dengan laki-laki itu,” jawabnya dalam hati.

“Usai wisuda saja kalian berbulan madu sepuasnya. Lagi pula bulan madu tidak terlalu penting, asalkan malam pengantinnya jangan sampai terlewatkan.” Ratih Mengedipkan sebelah matanya setelah melihat reaksi Diandra atas pertanyaannya. Ia terkekeh ketika Diandra memelototinya. “Dee, bagaimana rasanya setelah menikah?” tanyanya kembali tanpa terintimidasi sedikitpun.

Ingin rasanya Diandra membekap mulut Ratih agar berhenti menanyakan seputar pernikahannya, tapi tidak mungkin ia melakukannya. Ia memang mengetahui jika Ratih mempunyai impian ingin menikah muda. “Menurutku biasa saja,” jawabnya jujur.

Untung saja mereka sudah sampai di ruang persiapan, jadi keduanya langsung berbaur dengan teman-teman yang lain, sehingga Ratih tidak mempunyai kesempatan bertanya lagi kepada Diandra.

***

Diandra yang sudah segar sehabis membersihkan diri sepulangnya dari kampus, kini tengah berkutat di dapur membuat nugget ayam. Ia tidak sendirian di dapur, melainkan ada Bi Harum juga yang tengah sibuk memasak untuk makan malam. Sambil menunggu nugget ayamnya yang masih dikukus matang, Diandra membuat jus alpukat untuk melepas dahaganya. Selain diminumnya sendiri, ia juga membuatkan untuk Bi Harum.

“Sudah lama bekerja di kediaman Narathama, Bi?” tanya Diandra setelah memberikan Bi Harum segelas jus alpukat buatannya. “Silakan diminum, Bi,” suruhnya.

“Terima kasih, Nyonya.” Meski merasa tidak enak hati, tapi Bi Harum tetap menerima jus alpukat buatan Diandra. “Sudah, Nyonya. Lebih tepatnya sejak Tuan Hans masih kecil,” jawabnya jujur dan mulai mencicipi jusnya.

Diandra manggut-manggut. “Pantas Bibi terlihat biasa saja ketika menghadapi sikap laki-laki itu. Sudah hafal ternyata,” ucapnya frontal.

Bi Harum hanya menyunggingkan senyum mendengar ucapan frontal Diandra. “Nyonya, besok-besok kalau menginginkan sesuatu biar Bibi saja yang membelikannya. Bibi kasihan melihat Nyonya seperti tadi,” ujarnya mengalihkan topik pembicaraan.

Diandra terkekeh dan tetap menikmati jus buatannya. “Tidak apa, Bi. Lagi pula jarak antara mini market dan rumah cukup dekat, jadi berjalan kaki sebentar tidak akan membuatku kelelahan,” ucapnya menenangkan.

“Keadaan Nyonya kini tengah hamil muda, apalagi tadi matahari masih lumayan terik. Bibi hanya khawatir Nyonya pingsan di jalan.” Bi Harum yang tadi tengah menyapu halaman terkejut melihat kedatangan Diandra bercucuran keringat. Setelah ditanya, ternyata Diandra berjalan kaki dari mini market menuju rumah seusainya membeli buah alpukat.

Diandra mengangguk, mengerti kekhawatiran Bi Harum. “Baiklah, Bi. Besok-besok aku akan bilang pada Bibi jika butuh sesuatu,” putusnya tanpa ingin memperpanjang urusan yang menurutnya sepele. “Ngomong-ngomong, sekarang Bibi mau masak apalagi?” tanyanya ketika melihat Bi Harum kembali meracik bumbu.

“Udang saus tiram, Nyonya. Tadi sebelum berangkat ke kantor, Tuan meminta Bibi membuat masakan berbahan dasar udang sebagai menu makan malam. Bibi harap Nyonya juga menyukainya,” harap Bi Harum.

Dengan penuh rasa bersalah Diandra menggeleng. “Maaf, Bi,” pintanya pelan. “Aku alergi udang, jadi tidak mungkin untuk memakannya,” imbuhnya menjelaskan.

Bi Harum terkejut mengetahui keadaan Diandra. “Kalau begitu setelah menyelesaikan masakan ini, Bibi akan membuatkan menu makanan yang lain untuk Nyonya.”

“Tidak usah, Bi. Aku sudah membuat nugget ayam dan sebentar lagi juga matang,” Diandra menolak tawaran Bi Harum. “Lagi pula aku jarang mengonsumsi nasi saat makan malam,” sambungnya.

Bi Harum mengerutkan kening mendengar perkataan Diandra. “Bibi sarankan sebaiknya Nyonya jangan diet, apalagi dalam keadaan tengah hamil. Tidak baik untuk kesehatan Nyonya sendiri dan janin,” Bi Harum menasihati.

Diandra tertawa mendengar nasihat Bi Harum. “Dari dulu aku tidak pernah diet, Bi. Apalagi dengan keadaanku seperti sekarang, sangat tidak mungkin bagiku untuk melakukannya. Sejak menginjak remaja aku memang jarang mengonsumsi nasi, terutama saat sarapan dan makan malam,” akunya jujur. “Mungkin karena aku tidak mengalami fase ngidam, jadi kehamilanku ini tidak memengaruhi pola makanku, Bi,” lanjutnya memberi penjelasan.

Bi Harum mengangguk setelah mendengarkan penjelasan Diandra. Obrolan mereka terhenti ketika mendengar deru mesin mobil memasuki halaman rumah. “Sepertinya Tuan sudah pulang, Nyonya,” beri tahunya.

Diandra memeriksa nugget ayamnya yang masih dikukus setelah menanggapi pemberitahuan Bi Harum dengan anggukan kepala. Ia langsung mematikan kompor saat mengetahui nugget ayamnya sudah matang. Ia akan mendinginkan nugget ayamnya sebentar supaya tidak panas saat dipotong-potong dan dibaluri tepung roti sebelum digoreng.

***

Bi Harum yang tengah menyiapkan hidangan di atas meja makan terkejut ketika mendengar perintah Hans. Begitu juga dengan Diandra yang baru saja selesai menggoreng beberapa potong nugget ayamnya, sedangkan sisanya ia taruh di kulkas. Bagaimana tidak, mereka mendengar Hans memberi perintah kepada Damar agar menaruh bunga mawar berwarna pink yang dibawanya ke ruang kerjanya. Yang lebih mengejutkan mereka adalah jumlah bunga tersebut. Bi Harum mengangguk pelan saat melihat Damar hanya mengendikkan bahu sebelum menaiki anak tangga menuju ruangan yang dimaksud. Sementara Hans langsung menuju kamarnya untuk membersihkan diri sebelum makan malam.

“Ada apa dengan Tuan, Dam?” Bi Harum langsung bertanya kepada Damar yang telah selesai menjalankan perintah Hans dan kini tengah meminta air minum.

“Ngidam, Bu,” jawab Damar sebelum meminum air yang diberikan Bi Harum. “Apakah Nyonya bersikap baik pada Ibu?” bisiknya karena takut didengar oleh Diandra, meski yang dibicarakan tersebut kini tengah berada di kamarnya sendiri.

“Baik, Nak. Nyonya orangnya mandiri dan jarang meminta bantuan atau menyuruh Ibu,” jawab Bi Harum sekaligus ibu kandung Damar dengan jujur. “Kamu sudah makan malam, Nak?” tanyanya.

Damar menggeleng. “Setelah Tuan dan Nyonya selesai saja, kita makan malam bersama, Bu,” ajaknya. “Nyonya tidak menemani Tuan makan, Bu?” tanyanya ingin tahu setelah Bi Harum menyetujui ajakannya.

“Nyonya dan Tuan tidak pernah duduk bersama di meja makan,” beri tahu Bi Harum dengan ekspresi sedih. Mereka memang mengetahui alasan Hans dan Diandra menikah, tapi tetap saja keduanya menginginkan rumah tangga majikannya bahagia.

Bi Harum dan Damar menghentikan obrolan ketika melihat Hans berjalan ke arah meja makan. Tidak ingin mengganggu ibunya menjalankan tugas, Damar pun memilih menyiram tanaman yang ada di halaman dan taman samping rumah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status