Damar mengernyit saat mendengar permintaan atasannya yang sangat tidak biasa. Ia diminta membeli bunga mawar berwarna pink sebanyak 99 tangkai. Andai saja Damar tidak mengetahui kondisi Hans yang tengah dipengaruhi oleh hormon kehamilan Diandra, sudah pasti ia akan menertawakan atasannya tersebut. Selain menjadi atasannya, Hans juga merupakan sahabatnya. Persahabatannya memang tidak sedekat antara hubungan Hans dengan Felix, mengingat perbedaan status mereka.
Damar menyadari jelas posisi dan statusnya. Ia hanyalah seorang anak asisten rumah tangga yang sangat beruntung diizinkan tinggal di kediaman keluarga Narathama. Sebelumnya ia tinggal bersama ayahnya yang menderita gagal ginjal di sebuah kontrakan kecil, sedangkan ibunya bekerja di kediaman orang tua Hans sebagai asisten rumah tangga. Awalnya orang tua Hans beberapa kali meminta ayahnya agar bersedia tinggal di salah satu paviliun keluarga Narathama yang letaknya di belakang kediaman utama, tapi sang ayah menolaknya karena merasa tidak pantas. Oleh karena itu, ibunya pun diizinkan pulang setelah menyelesaikan tugasnya agar bisa merawat ayahnya, berbeda dengan asisten lainnya yang harus tinggal di kediaman tersebut. Meski pernah mendapat penolakan dari ayahnya, tapi orang tua Hans tetap membantunya, terutama biaya pengobatan untuk sang ayah.
Sejak ayahnya meninggal, Damar dan ibunya akhirnya menyetujui permintaan majikannya untuk tinggal di kediaman Narathama. Bahkan, orang tua Hans juga membantu membiayai pendidikannya hingga jenjang universitas. Setelah lulus pun, ia diizinkan bekerja di perusahaan Narathama, dan kini dipercayai menjadi asisten Hans.
“Ada lagi yang Anda inginkan, Tuan?” tanya Damar sebelum mencari bunga mawar pink seperti permintaan Hans.
“Harus berapa kali aku mengingatkan dan mengatakannya padamu, Dam?” Hans menatap Damar tajam. “Berhenti berbicara formal padaku, dan jangan memanggilku dengan embel-embel Tuan jika kita hanya berdua. Mengerti?!” tegasnya ketika melihat Damar mengernyit.
Bukannya takut melihat tatapan tajam dan mendengar peringatan Hans, Damar malah terkekeh. “Baiklah, baiklah. Kalau begitu maafkan aku,” pintanya.
Damar tidak ingin membuat mood Hans jelek karena ia mendebatnya. Mengingat mereka masih berada di lingkungan kantor, makanya ia tetap berbicara formal dan memanggil Hans dengan sebutan Tuan. Hal itu ia lakukan untuk menunjukkan rasa hormatnya kepada atasan.
“Aku pergi sekarang, Hans,” pamit Damar sebelum Hans berubah pikiran dan permintaannya semakin aneh.
Hans mengangguk. “Cepat kembali,” perintahnya tegas yang hanya dibalas anggukan kepala oleh Damar.
Setelah Damar menghilang di balik pintu ruangannya, Hans kembali melanjutkan pekerjaannya memeriksa laporan di atas mejanya yang sempat tertunda. Meski pening di kepalanya hilang muncul, tapi ia tetap memeriksa hasil pekerjaan Damar. Entah kenapa hari ini ia sangat ingin melihat bunga mawar berwarna pink menghiasi ruangannya, terutama meja kerjanya. Jumlahnya pun harus 99 tangkai.
Sebagai pewaris tunggal dari Narathama Corporation, Hans mengambil alih tanggung jawab perusahaan yang bergerak di bidang real estate dan property tersebut semenjak ayahnya meninggal lima tahun lalu. Meski tugas yang diembannya berat, Hans selalu mempunyai jalan keluar ketika kesulitan dalam menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya menghampiri, sebab mendiang sang ayah telah melatihnya. Selain itu, sang ibu dan beberapa orang kepercayaan mendiang ayahnya juga banyak membantunya.
***
Setelah urusannya selesai di butik bersama Santhi, Diandra mampir ke kampusnya untuk melihat persiapan fashion show dalam rangka memeriahkan hari wisudanya nanti. Meski Diandra banyak mempunyai teman dan merupakan tipe orang yang mudah bergaul, tapi ia sangat tertutup dengan kehidupan pribadinya. Makanya, teman-teman kampusnya tidak ada yang mengetahui mengenai pernikahan dan kondisinya kini. Selain ia tidak mengundang teman-temannya, pesta pernikahannya pun dilangsungkan secara tertutup, hanya teman dekat dan relasi kedua belah pihak keluarga yang menjadi undangannya. Namun demikian, bukan berarti salah satu dari teman-temannya tidak ada yang mengendus atau mengetahui mengenai pernikahannya tersebut. Buktinya, kini Diandra mendengar beberapa dari mereka mulai berbisik-bisik ketika melihat kedatangannya, tapi ia tidak menggubrisnya.
“Kira-kira bagaimana ya rasanya menjadi menantu seorang desainer ternama?”
Diandra pura-pura tidak mendengar celetukan Monica, salah satu penghuni kampus yang lebih suka menghabiskan waktu untuk bergosip dibandingkan membuat desain. Sehingga menurutnya, Monica lebih cocok menjadi host acara gosip dibandingkan seorang desainer.
“Mentang-mentang status dan derajatnya sudah naik ke tingkat yang jauh lebih tinggi, sekarang jadi sombong ya?”
Diandra hanya mendengkus mendengar kembali celetukan Monica. Meski kini menjadi pusat perhatian oleh orang-orang di sekitarnya gara-gara celetukan Monica, Diandra tidak merasa terganggu. Dengan tetap tenang ia berjalan menuju ruangan yang digunakan untuk mempersiapkan acara fashion show wisudanya.
“Dee,” panggil Ratih, salah satu teman akrab Diandra yang juga datang ke kampus untuk melihat persiapan acara wisuda mereka. Meski mereka berteman, tapi tidak sedekat dengan Sonya.
Diandra menoleh dan tersenyum tipis menanggapi panggilan Ratih. “Kamu baru datang atau sudah mau pulang?” tanyanya ketika memerhatikan wajah Ratih yang terlihat lelah.
“Tentu saja aku baru datang,” jawab Ratih sambil mereka melanjutkan langkahnya menuju ruang persiapan. “Mumpung satu arah, jadi aku mampir saja ke sini,” sambungnya.
“Memangnya kamu dari mana?” tanya Diandra kembali.
“Aku dari sebuah kantor majalah fashion untuk menandatangani kontrak kerja. Kantor majalah yang kamu rekomendasikan waktu itu. Aku diterima di sana setelah lulus menjalani serangkaian persyaratan,” beri tahu Ratih. “Terima kasih ya, Dee,” ujarnya.
“Aku turut senang mendengarnya, Tih. Selamat ya dan semoga kelak kamu menjadi seorang fashion photographer yang profesional,” ucap Diandra tulus yang langsung diangguki oleh Ratih.
“Dee, aku dengar Monica dan pasukan nyinyirnya tengah membicarakan mengenai pernikahanmu,” ucap Ratih hati-hati.
“Biarkan saja mereka membicarakanku sepuasnya. Kalau mulut mereka sudah lelah, tanpa disuruh pun pasti akan berhenti,” Diandra menanggapinya dengan santai.
Ratih memberikan dua jempol tangannya atas sikap Diandra. “Dee, aku pikir kamu tidak akan menghadiri wisuda karena masih asyik berbulan madu,” celetuknya. “Jangan-jangan kalian belum berbulan madu ya?” tanyanya penasaran.
Ratih memang terkejut ketika pertama kali mendengar kabar pernikahan temannya ini. Setahunya Diandra tidak pernah terlihat menjalin hubungan dengan lawan jenis, apalagi sekelas putra seorang desainer ternama.
Diandra hanya mengendikkan bahunya. “Siapa juga yang ingin berbulan madu dengan laki-laki itu,” jawabnya dalam hati.
“Usai wisuda saja kalian berbulan madu sepuasnya. Lagi pula bulan madu tidak terlalu penting, asalkan malam pengantinnya jangan sampai terlewatkan.” Ratih Mengedipkan sebelah matanya setelah melihat reaksi Diandra atas pertanyaannya. Ia terkekeh ketika Diandra memelototinya. “Dee, bagaimana rasanya setelah menikah?” tanyanya kembali tanpa terintimidasi sedikitpun.
Ingin rasanya Diandra membekap mulut Ratih agar berhenti menanyakan seputar pernikahannya, tapi tidak mungkin ia melakukannya. Ia memang mengetahui jika Ratih mempunyai impian ingin menikah muda. “Menurutku biasa saja,” jawabnya jujur.
Untung saja mereka sudah sampai di ruang persiapan, jadi keduanya langsung berbaur dengan teman-teman yang lain, sehingga Ratih tidak mempunyai kesempatan bertanya lagi kepada Diandra.
***
Diandra yang sudah segar sehabis membersihkan diri sepulangnya dari kampus, kini tengah berkutat di dapur membuat nugget ayam. Ia tidak sendirian di dapur, melainkan ada Bi Harum juga yang tengah sibuk memasak untuk makan malam. Sambil menunggu nugget ayamnya yang masih dikukus matang, Diandra membuat jus alpukat untuk melepas dahaganya. Selain diminumnya sendiri, ia juga membuatkan untuk Bi Harum.
“Sudah lama bekerja di kediaman Narathama, Bi?” tanya Diandra setelah memberikan Bi Harum segelas jus alpukat buatannya. “Silakan diminum, Bi,” suruhnya.
“Terima kasih, Nyonya.” Meski merasa tidak enak hati, tapi Bi Harum tetap menerima jus alpukat buatan Diandra. “Sudah, Nyonya. Lebih tepatnya sejak Tuan Hans masih kecil,” jawabnya jujur dan mulai mencicipi jusnya.
Diandra manggut-manggut. “Pantas Bibi terlihat biasa saja ketika menghadapi sikap laki-laki itu. Sudah hafal ternyata,” ucapnya frontal.
Bi Harum hanya menyunggingkan senyum mendengar ucapan frontal Diandra. “Nyonya, besok-besok kalau menginginkan sesuatu biar Bibi saja yang membelikannya. Bibi kasihan melihat Nyonya seperti tadi,” ujarnya mengalihkan topik pembicaraan.
Diandra terkekeh dan tetap menikmati jus buatannya. “Tidak apa, Bi. Lagi pula jarak antara mini market dan rumah cukup dekat, jadi berjalan kaki sebentar tidak akan membuatku kelelahan,” ucapnya menenangkan.
“Keadaan Nyonya kini tengah hamil muda, apalagi tadi matahari masih lumayan terik. Bibi hanya khawatir Nyonya pingsan di jalan.” Bi Harum yang tadi tengah menyapu halaman terkejut melihat kedatangan Diandra bercucuran keringat. Setelah ditanya, ternyata Diandra berjalan kaki dari mini market menuju rumah seusainya membeli buah alpukat.
Diandra mengangguk, mengerti kekhawatiran Bi Harum. “Baiklah, Bi. Besok-besok aku akan bilang pada Bibi jika butuh sesuatu,” putusnya tanpa ingin memperpanjang urusan yang menurutnya sepele. “Ngomong-ngomong, sekarang Bibi mau masak apalagi?” tanyanya ketika melihat Bi Harum kembali meracik bumbu.
“Udang saus tiram, Nyonya. Tadi sebelum berangkat ke kantor, Tuan meminta Bibi membuat masakan berbahan dasar udang sebagai menu makan malam. Bibi harap Nyonya juga menyukainya,” harap Bi Harum.
Dengan penuh rasa bersalah Diandra menggeleng. “Maaf, Bi,” pintanya pelan. “Aku alergi udang, jadi tidak mungkin untuk memakannya,” imbuhnya menjelaskan.
Bi Harum terkejut mengetahui keadaan Diandra. “Kalau begitu setelah menyelesaikan masakan ini, Bibi akan membuatkan menu makanan yang lain untuk Nyonya.”
“Tidak usah, Bi. Aku sudah membuat nugget ayam dan sebentar lagi juga matang,” Diandra menolak tawaran Bi Harum. “Lagi pula aku jarang mengonsumsi nasi saat makan malam,” sambungnya.
Bi Harum mengerutkan kening mendengar perkataan Diandra. “Bibi sarankan sebaiknya Nyonya jangan diet, apalagi dalam keadaan tengah hamil. Tidak baik untuk kesehatan Nyonya sendiri dan janin,” Bi Harum menasihati.
Diandra tertawa mendengar nasihat Bi Harum. “Dari dulu aku tidak pernah diet, Bi. Apalagi dengan keadaanku seperti sekarang, sangat tidak mungkin bagiku untuk melakukannya. Sejak menginjak remaja aku memang jarang mengonsumsi nasi, terutama saat sarapan dan makan malam,” akunya jujur. “Mungkin karena aku tidak mengalami fase ngidam, jadi kehamilanku ini tidak memengaruhi pola makanku, Bi,” lanjutnya memberi penjelasan.
Bi Harum mengangguk setelah mendengarkan penjelasan Diandra. Obrolan mereka terhenti ketika mendengar deru mesin mobil memasuki halaman rumah. “Sepertinya Tuan sudah pulang, Nyonya,” beri tahunya.
Diandra memeriksa nugget ayamnya yang masih dikukus setelah menanggapi pemberitahuan Bi Harum dengan anggukan kepala. Ia langsung mematikan kompor saat mengetahui nugget ayamnya sudah matang. Ia akan mendinginkan nugget ayamnya sebentar supaya tidak panas saat dipotong-potong dan dibaluri tepung roti sebelum digoreng.
***
Bi Harum yang tengah menyiapkan hidangan di atas meja makan terkejut ketika mendengar perintah Hans. Begitu juga dengan Diandra yang baru saja selesai menggoreng beberapa potong nugget ayamnya, sedangkan sisanya ia taruh di kulkas. Bagaimana tidak, mereka mendengar Hans memberi perintah kepada Damar agar menaruh bunga mawar berwarna pink yang dibawanya ke ruang kerjanya. Yang lebih mengejutkan mereka adalah jumlah bunga tersebut. Bi Harum mengangguk pelan saat melihat Damar hanya mengendikkan bahu sebelum menaiki anak tangga menuju ruangan yang dimaksud. Sementara Hans langsung menuju kamarnya untuk membersihkan diri sebelum makan malam.
“Ada apa dengan Tuan, Dam?” Bi Harum langsung bertanya kepada Damar yang telah selesai menjalankan perintah Hans dan kini tengah meminta air minum.
“Ngidam, Bu,” jawab Damar sebelum meminum air yang diberikan Bi Harum. “Apakah Nyonya bersikap baik pada Ibu?” bisiknya karena takut didengar oleh Diandra, meski yang dibicarakan tersebut kini tengah berada di kamarnya sendiri.
“Baik, Nak. Nyonya orangnya mandiri dan jarang meminta bantuan atau menyuruh Ibu,” jawab Bi Harum sekaligus ibu kandung Damar dengan jujur. “Kamu sudah makan malam, Nak?” tanyanya.
Damar menggeleng. “Setelah Tuan dan Nyonya selesai saja, kita makan malam bersama, Bu,” ajaknya. “Nyonya tidak menemani Tuan makan, Bu?” tanyanya ingin tahu setelah Bi Harum menyetujui ajakannya.
“Nyonya dan Tuan tidak pernah duduk bersama di meja makan,” beri tahu Bi Harum dengan ekspresi sedih. Mereka memang mengetahui alasan Hans dan Diandra menikah, tapi tetap saja keduanya menginginkan rumah tangga majikannya bahagia.
Bi Harum dan Damar menghentikan obrolan ketika melihat Hans berjalan ke arah meja makan. Tidak ingin mengganggu ibunya menjalankan tugas, Damar pun memilih menyiram tanaman yang ada di halaman dan taman samping rumah.
Di tengah-tengah aktivitasnya menonton televisi di kamar setelah menyelesaikan pekerjaan kantor yang dibawanya ke rumah, Hans kembali merasakan perutnya lapar. Dengan malas Hans beranjak dari posisi nyamannya di atas ranjang. Ia berniat ke dapur mencari camilan untuk mengganjal rasa laparnya, karena tidak mungkin membangunkan Bi Harum yang sedang beristirahat, apalagi kini sudah tengah malam.Hans tersenyum ketika tiba di dapur dan membuka kulkas karena menemukan kotak makanan berukuran tanggung berisi potongan-potongan nugget yang siap digoreng. Ia yakin nugget tersebut sengaja dibuat Bi Harum seperti yang sering dilakukannya di kediaman Narathama. Tanpa membuang waktu, Hans langsung memanaskan minyak dan mengeluarkan kotak tersebut dari kulkas. Ia akan menggoreng semuanya agar rasa laparnya hilang.“Aku kira nugget udang, ternyata ayam,” Hans bergumam saat mencicipi nugget yang sudah ditiriskan. “Tapi enak juga,” komentarnya.Setelah semua nugget tersebut matang
Diandra tidak memusingkan pertemuannya yang tanpa sengaja dengan Hans dan Deanita di kafe seminggu lalu. Ia dan Hans pun tidak pernah berkomunikasi meski tinggal di atap yang sama. Untungnya Bi Harum tidak jadi kembali ke kediaman Narathama, setelah Allona marah besar mengetahui keputusan Hans. Selain itu, Allona juga kecewa padanya karena tidak memberitahukan mengenai acara wisudanya.Diandra tengah memeriksa kembali barang yang akan dibawanya ke kediaman Narathama sambil menunggu kedatangan Lavenia menjemputnya. Karena Hans sedang ada perjalanan bisnis ke Jepang selama beberapa hari ke depan, jadi Diandra diminta tinggal di kediaman Narathama oleh Allona. Awalnya ia menolak permintaan Allona, mengingat di rumah sudah ada Bi Harum yang akan menemaninya. Namun, akhirnya ia menyanggupinya setelah mendengar Allona meminta Lavenia menemaninya. Selain itu, Bi Harum juga diminta ikut ke kediaman Narathama untuk sementara waktu.“Nyonya, Nona Ve sudah datang,” Bi Harum memberi
Hans menginstruksikan Damar agar langsung menuju kediaman Narathama setelah mereka tiba di bandara. Ia akan memberikan oleh-oleh yang sudah dibelinya terlebih dulu kepada ibu dan adiknya, sekaligus ingin makan siang bersama. Selain itu, ia juga ingin memberi kabar menggembirakan kepada keluarganya tersebut mengenai hasil pertemuannya di Jepang. Setelah berhasil melebarkan sayap perusahaannya di Singapura dan Thailand, kini usahanya dalam merambah Jepang pun sudah membuahkan hasil seperti yang diharapkan.“Dam, nanti kamu bicarakan saja dengan Mama mengenai konsep pesta perusahaan tahun ini. Apa pun konsep yang Mama mau, aku akan menyetujuinya,” ujar Hans sambil melihat keluar jendela.“Baik, Tuan,” jawab Damar. Ia mengernyit ketika melihat mulut Pak Amin, sopir di kediaman Narathama berbicara tanpa bersuara. Seperti menyampaikan sesuatu padanya, tapi takut diketahui Hans. “Apa yang ingin dikatakannya?” batinnya bertanya-tanya.“Dam, nanti tolong temui Dea dan berik
Merasa jenuh dengan suasana tempat tinggalnya, Diandra berencana berkunjung ke rumah neneknya dan menginap di sana selama beberapa hari. Ia sangat merindukan udara sejuk di sekitar rumah neneknya yang memang berada di dataran tinggi, lebih tepatnya di Puncak, Bogor. Awalnya Diandra akan pergi sendirian, tapi saat ia memberitahukan rencananya kepada Helena, sahabatnya tersebut ingin mengantar dan menemaninya. Meski sempat menolak, tapi pada akhirnya Diandra mengizinkan setelah Helena bersikukuh ingin mengantar dan menemaninya. Andaikan hari libur, ia juga ingin mengajak Mayra dan Sonya, agar mereka sama-sama bisa menikmati sejuknya udara pegunungan.“Bi, aku berangkat dulu ya,” Diandra berpamitan setelah Helena menjemputnya.“Hati-hati, Nyonya. Kabari Bibi jika Nyonya sudah sampai,” pinta Bi Harum sebelum Diandra memasuki mobil Helena.Diandra mengangguk dan tersenyum. “Nanti pulangnya aku belikan Bibi oleh-oleh,” ucapnya sambil melambaikan tangannya setelah berada
Diandra meletakkan buket bunga mawar putih yang dirangkainya sendiri di atas makam milik Rossaline Lidya. Ternyata neneknya tadi meminta ditemani berkunjung ke tempat peristirahatan terakhir mendiang tantenya. Bunga mawar putih tersebut dipetiknya langsung dari kebun milik neneknya sendiri. Diandra merasa dari dulu hingga kini kebun tersebut tetap sama, yaitu hanya dipenuhi oleh bunga mawar putih. Ia memang mengetahui alasan sang nenek mengisi kebunnya hanya dengan bunga mawar putih, tidak lain karena mendiang tantenya sangat menyukai bunga tersebut. Selain di tempat peristirahatan terakhir milik tantenya, Diandra juga meletakkan bunga mawar putih tersebut di makam kakeknya, yang letaknya bersebelahan.Setelah menyapa anggota keluarganya yang telah lebih dulu menghadap Sang Pencipta, Diandra mengajak neneknya kembali pulang. Selain karena sudah cukup sore, rintik-rintik hujan yang mengenai kulit mereka pun menjadi alasan Diandra bergegas meninggalkan area pemakaman.“Dee
Setelah memastikan mobil yang ditumpangi orang tuanya meninggalkan halaman rumah, Deanita segera mencari Bi Asih dan menyuruhnya mengeluarkan barang-barang milik Diandra dari kamarnya. Tanpa sepengetahuan ibunya dan atas izin Bi Asih, ia menyembunyikan semua barang milik Diandra di kamar asisten rumah tangganya tersebut. Ia sengaja menolak ajakan ibunya yang memintanya ikut berkunjung ke rumah sang nenek.“Bi, masukkan semuanya ke bagasi mobilku ya,” pinta Deanita kepada Bi Asih.Bi Asih mengangguk. “Kalau boleh Bibi tahu, barang-barang milik Non Dee akan Nona mau bawa ke mana?” tanyanya penuh keberanian.Walau Deanita dan Diandra diketahuinya selama ini tidak pernah terlibat perseteruan secara langsung, tapi Bi Asih tetap mewaspadai jika putri sulung keluarga Sinatra mempunyai niat terselubung.“Mau aku antarkan ke rumah Dee, Bi,” Deanita menjawabnya sambil membaca pesan di ponselnya. “Bibi mencurigaiku?” tebaknya setelah mengalihkan perhatian dari ponselnya
Deanita langsung keluar setelah mobil yang dikendarai Hans terparkir di halaman rumah neneknya. Ia bertanya kepada Pak Bayu yang tengah mengobrol bersama Pak Budi mengenai kedatangan orang tuanya. Ia merasa sedikit lega setelah mengetahui ternyata orang tuanya belum terlalu lama sampai di rumah sang nenek. Pak Bayu juga mengatakan jika tadi orang tuanya mampir ke rumah sakit, untuk menjenguk sahabatnya yang tengah dirawat.Tidak mau membuang waktu, Deanita diikuti Hans dan Lavenia bergegas memasuki rumah sang nenek. Ketiganya mengernyit ketika menyadari ketegangan tengah terjadi di dalam rumah. Mereka tersentak saat mendengar pertanyaan Diandra yang diajukan dengan nada datar.“Lalu siapa orang tua kandungku, Ma?” tanya Diandra. Jarum-jarum tak kasatmata seolah berlomba ingin menusuk dadanya.“Aku bukan ibumu, jadi hentikan panggilan menjijikkan itu!” protes Yuri sambil menatap Diandra penuh peringatan. “Berikan saja panggilan Mama untuk wanita murahan yang telah m
Setelah berulang kali mencoba, Diandra tetap kesulitan memejamkan mata. Sekelebat kejadian yang telah dilaluinya hari ini muncul silih berganti memenuhi benaknya. Dengan hati-hati ia menuruni ranjang agar tidak membangunkan Helena yang sudah terlelap di sampingnya. Meski angin malam kurang bagus untuk kondisinya yang tengah berbadan dua, tapi ia tetap ingin keluar rumah untuk menghirup udara segar. Diandra melapisi piama tidurnya dengan sweater rajut dan menggunakan beanie hat untuk menghalau udara dingin menusuk tubuhnya saat berada di luar rumah.“Mau ke mana?” Hans yang baru keluar dari kamarnya melihat Diandra berjalan menuju pintu utama di rumah sang nenek.Diandra seketika menghentikan langkah kakinya saat tiba-tiba mendengar suara dari belakang tubuhnya. Ia mengetahui pemilik suara yang bertanya padanya tersebut. “Keluar,” jawabnya tanpa menoleh.“Aku antar. Sudah malam.” Hans menghampiri tempat Diandra berdiri. “Jangan besar kepala dulu. Aku hanya tidak mau