Share

Chapter 4

Setelah kejadian menguras emosi beberapa hari lalu di taman, Diandra merasa sedikit lebih lega. Hubungannya dengan Deanita pun berangsur membaik, meski masih sedikit dingin. Bahkan, untuk memperbaiki hubungannya, Deanita berjanji akan mewakili orang tuanya menghadiri acara wisudanya. Saat Deanita menyampaikan janjinya, Diandra hanya menanggapi dengan bersikap apatis. Padahal di lubuk hatinya, ia sangat berharap sang kakak menepati janjinya.

Diandra meregangkan ke atas kedua tangannya ketika selesai memeriksa desain gaun malam yang akan diperlihatkan dan dipresentasikannya besok siang kepada Mbak Santhi, pemilik butik tempatnya bekerja sebagai freelancer. Diandra mendesah ketika menyadari air di gelasnya telah habis, padahal ia sedang haus. Ia juga menghela napas berat saat melihat jam meja digital di samping kotak pensilnya yang memperlihatkan angka satu. Dengan malas ia merapikan meja kerjanya sebelum berdiri dan keluar kamar. Ia ingin ke dapur untuk minum air sekaligus mengisi kembali gelasnya yang kosong sebelum tidur.

Kerutan di kening Diandra semakin dalam setelah menajamkan pendengarannya ketika mendekati area dapur. Melihat lampu di dapur menyala, Diandra melangkahkan kakinya dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Setelah mengenali sosok yang berdiri memunggunginya di dapur, ia pun melanjutkan langkahnya dengan pasti. Meski benaknya digelitik rasa penasaran mengenai kegiatan yang sedang dilakukan salah seorang penghuni rumah, tapi ia memilih untuk tidak peduli. Tidak ingin berlama-lama, ia langsung meneguk air putih dan mengisi kembali gelas kosongnya untuk persediaan di kamar, sesuai dengan tujuannya menyambangi dapur.

“Bisa membantuku membuat semur ceker pedas?” Hampir saja Diandra tersedak air yang diminumnya ketika tiba-tiba mendengar suara frustrasi di sampingnya.

“Ceker?” Diandra bertanya untuk memastikan pendengarannya dan ia pun terpaksa berhadapan dengan Hans. “Aku tidak tahu cara membuatnya. Cekernya juga tidak ada,” sambungnya tak acuh ketika melihat anggukan kepala Hans. Diandra berkata jujur, setahunya di kulkas tidak ada ceker.

“Aku sudah membeli ceker mentah dan masih segar.” Hans menunjuk wastafel, di dalamnya terdapat beberapa potong kaki ayam yang siap dibersihkan dan dicuci. “Resep dan caranya sudah aku temukan di sini, tinggal dipraktikkan saja,” sambungnya dan memberikan ponselnya kepada Diandra.

Meski ragu-ragu Diandra tetap menerima ponsel Hans yang layarnya menunjukkan sebuah resep. Awalnya Diandra berniat mengabaikan Hans, tapi berhubung laki-laki tersebut sedang mengalami ngidam karena kehamilannya, maka dengan terpaksa ia akan menurutinya. Walau tidak memercayai mitos mengenai bayi akan ngiler hanya karena saat ngidam tidak terpenuhi, tapi ia tetap mempunyai ketakutan terhadap hal tersebut. Ia hanya ingin anaknya kelak lahir dan tumbuh secara normal. Ia juga tidak ingin menyesal di kemudian hari atas perkembangan bayinya hanya karena keegoisannya.

“Itu apa?” Diandra menunjuk panci yang ada di atas kompor menyala.

“Aku sedang memanaskan air terlebih dulu, sebelum memasukkan ceker untuk direbus,” jawab Hans seraya mematikan api kompornya saat mengetahui airnya telah mendidih.

Diandra manggut-manggut. “Baiklah, aku akan membantumu,” ucapnya pada akhirnya. Ia meletakkan ponsel Hans di meja pantry dan memakai apron. “Pertama-tama, kamu cuci cekernya hingga bersih, kemudian buang kuku dan kulit luarnya. Setelah selesai, lumuri ceker dengan perasan air jeruk nipis, kemudian diamkan selama sepuluh menit. Nanti kamu cuci lagi cekernya agar tidak pahit, akibat rasa jeruk nipisnya yang masih menempel,” instruksinya.

Sebelum meracik bumbu sesuai resep di ponsel Hans, terlebih dulu Diandra ingin menyiapkan air jeruk nipis yang akan digunakan untuk melumuri ceker dan bahan-bahan lainnya.

“Mengapa kulit luarnya susah sekali dilepas?” tanya Hans setelah selesai membuang kuku ceker.

“Rendam dulu cekernya sebentar dengan air panas,” beri tahu Diandra sambil memotong sebuah jeruk nipis menjadi dua bagian.

Hans langsung memindahkan ceker ke dalam aluminium bowl, kemudian menyiramnya dengan air panas yang dibuatnya tadi. “Biar aku yang melakukannya, kamu siapkan saja bumbunya,” ujarnya. Ia mengambil alih kegiatan Diandra yang tengah menyiapkan perasan air jeruk nipis untuk melumuri cekernya.

Tidak ada obrolan yang terjadi selama Hans berkutat menyiapkan ceker sebelum diolah ke tahap selanjutnya, dan Diandra sibuk meracik bumbu. Walau keduanya saling diam dan sibuk pada tugasnya masing-masing, tapi dalam situasi sekarang mereka tidak terlihat seperti pasangan yang sedang bersitegang.

Merasa cekernya sudah bersih dari sisa-sisa rendaman air jeruk nipis, Hans pun memutus keheningan, “Sekarang diapakan lagi?”

“Rebus menggunakan panci presto agar lebih cepat empuk,” sahut Diandra sambil menunjuk panci yang dimaksud. “Masukkan ini juga.” Diandra memberikan piring berisi garam, beberapa lembar daun salam, sebatang serai, dan seruas jahe yang sudah dimemarkan kepada Hans.

Kini Diandra tinggal menunggu cekernya empuk sebelum dimasak dengan bumbu halus yang telah dibuatnya. Sembari menunggu, Diandra mengembalikan sisa bahan-bahannya ke tempat semula dan membersihkan meja pantry. Untung saja, ia terbiasa masuk dapur, sehingga tidak terlalu membuat kekacauan.

Setelah sepuluh menit, Hans meniriskan cekernya yang dirasa sudah cukup empuk. Ia memberikan ruang kepada Diandra yang akan menumis bumbu dan membuat makanan sesuai permintaannya. Melihat bumbu sudah tercampur pada ceker di wajan dan aromanya sangat menggoda, membuat Hans beberapa kali menelan salivanya. Ia sudah tidak sabar ingin segera menikmatinya.

“Cicipilah.” Diandra menyodorkan sendok makan yang sudah berisi sedikit kuah semur untuk dinilai rasanya oleh Hans.

“Kurang garam,” Hans mengomentari.

Diandra langsung menaburkan sedikit garam. Setelah mengaduknya beberapa kali dan kuahnya telah meresap sempurna, Diandra mematikan kompor dan memindahkan ceker ke piring saji. Ia juga menaburkan bawang goreng di atasnya sebelum menyerahkannya kepada Hans yang sudah berada di meja makan.

Tanpa berbasa-basi Diandra langsung menuju kamar tidurnya setelah membawa semur ceker pedasnya ke meja makan. Sesampainya di kamar, ia mematikan lampu meja yang masih menyala dan bergegas menuju ranjangnya karena matanya sudah mengantuk. Berbeda halnya dengan Hans, laki-laki tersebut masih sibuk menyantap makanannya. Saking inginnya menikmati semur ceker pedas, ia pun rela tengah malam mendatangi tempat pemotongan ayam hanya untuk membeli ceker.

***

Meski sudah berhasil memuntahkan cairan bening, tapi pening di kepala Hans belum juga mereda. Dengan tatapan berkunang, ia membasuh mulutnya di wastafel sebelum keluar dari kamar mandi. Semenjak mual dan pening menyerangnya di pagi hari, Hans selalu datang ke kantor di atas jam sepuluh. Obat pereda mual yang diberikan ibunya tidak terlalu banyak membantu. Setelah keluar kamar mandi dan duduk bersandar pada kepala ranjang, ia memanggil Bi Harum melalui interkom di nakasnya agar segera membawakannya irisan lemon segar.

“Masuk, Bi!” perintah Hans yang tengah memejamkan mata ketika mendengar pintunya diketuk. Jika matanya terpejam, kepalanya tidak terlalu pening.

“Ini irisan buah lemon segarnya, Tuan.” Bi Harum meletakkan piring berisi beberapa irisan lemon segar di nakas samping ranjang Hans.

Hans hanya menjawabnya dengan gumaman tanpa membuka mata. “Bi, buatkan aku nasi goreng udang yang sedikit asin. Aku ingin sarapan dengan menu itu. Setelah matang, langsung hubungi aku,” pintanya.

“Baik, Tuan.” Bi Harum langsung undur diri setelah mengiyakan.

Hans membuka mata setelah peningnya mulai mereda. Ia mengambil piring di atas nakas dan langsung memakan irisan lemon segar tersebut. Dalam hitungan beberapa menit saja irisan lemon tersebut hanya tinggal kulit, dan perutnya pun kembali tenang.

“Sampai kapan aku harus tersiksa seperti ini?” Hans bertanya pada dirinya sendiri atas fase ngidam yang dialaminya. “Bukankah harusnya wanita itu yang mengalaminya?” gerutu kesal.

Kebersamaannya dengan Diandra saat membuat semur ceker pedas terlupakan begitu saja. Seolah Hans tengah diserang amnesia karena tidak mengingat kekompakan dan kerjasamanya dini hari tadi. Ia mengembuskan napasnya dengan kasar sebelum meraih benda pipih yang tergeletak di sampingnya.

“Sampai kapan kamu akan terus menghindariku, Sayang?” Hans berbicara sendiri sambil mengusap layar ponselnya yang menampilkan foto Deanita. “Aku sengaja ke Singapura untuk menemuimu, tapi kamu malah ke sini. Bahkan, hingga kini kamu mengabaikan telepon dan pesanku,” sambungnya ketika mengingat rasa kecewanya beberapa hari lalu saat bertandang ke Singapura.

Hans harus menelan kekecewaan ketika mengetahui keberadaan Deanita dari laki-laki yang kini menjadi ayah mertuanya. Wanita yang dicintainya itu ternyata tengah pulang ke Indonesia tepat di hari kedatangannya ke Singapura. Jika saja ibunya tidak menahannya atas nama kesopanan, sudah dipastikan ia akan langsung kembali ke Indonesia untuk menemui Deanita.

***

Sesekali Diandra menguap ketika menunggu Mbak Santhi di ruang kerja milik wanita tersebut. Kedatangannya ke butik untuk menyerahkan sekaligus mempresentasikan desain gaun malam buatannya. Empuknya sofa dan sejuknya ruangan sangat menggoda Diandra untuk memejamkan mata. Gara-gara tidur hampir jam setengah tiga pagi, kini ia merasakan matanya masih cukup berat.

“Maaf membuatmu lama menunggu, Dee.” Suara yang terdengar bersamaan dengan pintu terbuka membuat Diandra tersentak.

“Tidak apa, Mbak,” Diandra menanggapi dan membalas senyuman wanita yang dirasa umurnya tidak terpaut jauh dengannya.

“Kamu mau minum apa, Dee?” Santhi menawarkan minuman sebelum menghampiri sofa yang diduduki Diandra.

“Air putih saja, Mbak. Kalau ada yang tidak dingin,” sahut Diandra merasa segan. Semenjak mengetahui hamil, sebisa mungkin ia tidak mengonsumsi minuman dingin, meskipun itu air putih.

“Minumlah.” Santhi duduk di single sofa dan mulai melihat desain gaun malam yang dibuat Diandra. “Siap?” tanyanya kepada Diandra yang akan mempresentasikan karyanya.

Setelah melihat Diandra mengangguk, Santhi pun mulai menyimak presentasi yang sangat mendetail dari wanita di sampingnya mengenai hasil karyanya.

Setengah jam Diandra presentasi dan diselingi diskusi bersama Santhi, akhirnya desainnya pun diterima. Ia senang karena Santhi kembali puas terhadap karyanya. Meski tengah tertimpa masalah, ia sangat bersyukur karena tetap bisa berkomitmen dalam membuat karya yang memuaskan.

“Kapan wisudamu, Dee?” tanya Santhi mengganti topik pembicaraan.

“Sabtu ini, Mbak,” Diandra menjawab sambil memperbaiki posisi duduknya agar nyaman.

“Setelah mendapat ijazah, apa rencanamu ke depan?” Santhi menatap intens Diandra. “Ingin mandiri atau bergabung dengan butik-butik besar dan ternama?” sambungnya memperjelas maksud pertanyaannya.

“Aku belum siap untuk mandiri, Mbak. Selain membutuhkan modal yang besar, pengamalanku juga belum banyak,” jawab Diandra realistis. “Sebelumnya aku ingin sekali bergabung dengan butik-butik besar dan ternama, tapi untuk sekarang terpaksa ditangguhkan dulu,” imbuhnya.

“Kenapa harus ditangguhkan, Dee? Menurut Mbak, kamu mempunyai peluang besar untuk diterima di butik ternama, apalagi selama bergabung di sini desainmu tidak pernah mengecewakan. Seperti ini contohnya. Mbak puas dan menyukainya.” Santhi mengangkat desain Diandra yang masih dipegangnya dan tersenyum puas. “Bagaimana kalau kamu menjadi desainer tetap saja di sini?” tawarnya serius.

Diandra tersenyum mendengar tawaran yang diberikan Santhi. “Sebelumnya terima kasih atas tawarannya, Mbak. Namun, aku belum bisa menerimanya. Mengingat keadaanku sekarang yang tengah mengandung, jadi aku belum bisa menerima tawaran tersebut. Untuk saat ini aku masih betah menjadi seorang freelancer, semoga Mbak Santhi tidak tersinggung atas penolakanku,“ jelasnya apa adanya.

Santhi tertawa renyah mendengar penjelasan Diandra. Tentu saja ia tidak tersinggung, malah memuji kejujuran dan keberanian Diandra dalam menolak tawarannya. Ia mengagumi ketidakegoisan dan sifat keibuan Diandra. Kebanyakan orang akan lebih memilih mengejar mimpi jika berada seperti posisi Diandra. Bahkan, tanpa disadari mereka akan menomorduakan kehadiran sang janin, sehingga berujung pada keguguran.

“Kapan pun kamu berubah pikiran, kabari saja Mbak ya,” pinta Santhi.

“Iya, Mbak, terima kasih atas perhatiannya,” balas Diandra tulus.

Meski tidak memberitahukan mengenai pernikahannya, tapi Diandra tidak menutupi statusnya kini sebagai wanita bersuami dan tengah hamil. Diandra terpaksa menyembunyikan identitas Hans, mengingat latar belakang keluarga suaminya tersebut. Bukan hanya Hans yang identitasnya Diandra sembunyikan, melainkan sang ibu mertua juga. Diandra yakin Santhi pasti mengetahui dan mengenal sosok ibu mertuanya jika ia memberitahukannya, mengingat mereka berkecimpung di bidang yang sama.

Allona Narathama merupakan seorang fashion designer sekaligus pemilik brand Catharina. Gerai-gerai resmi Catharina Queen yang didirikan ibu mertuanya selalu menjadi pusat perhatian dan incaran wanita, khususnya golongan elite. Selain itu, sang ibu mertua juga telah membuka gerai resminya di beberapa negara Asia. Diandra sendiri juga mempunyai beberapa koleksi dress, handbag, dan aksesoris dari brand tersebut. Bahkan, gaun pernikahan dan resepsi yang ia kenakan pun merupakan desain eksklusif sang ibu mertua.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status