Setelah kejadian menguras emosi beberapa hari lalu di taman, Diandra merasa sedikit lebih lega. Hubungannya dengan Deanita pun berangsur membaik, meski masih sedikit dingin. Bahkan, untuk memperbaiki hubungannya, Deanita berjanji akan mewakili orang tuanya menghadiri acara wisudanya. Saat Deanita menyampaikan janjinya, Diandra hanya menanggapi dengan bersikap apatis. Padahal di lubuk hatinya, ia sangat berharap sang kakak menepati janjinya.
Diandra meregangkan ke atas kedua tangannya ketika selesai memeriksa desain gaun malam yang akan diperlihatkan dan dipresentasikannya besok siang kepada Mbak Santhi, pemilik butik tempatnya bekerja sebagai freelancer. Diandra mendesah ketika menyadari air di gelasnya telah habis, padahal ia sedang haus. Ia juga menghela napas berat saat melihat jam meja digital di samping kotak pensilnya yang memperlihatkan angka satu. Dengan malas ia merapikan meja kerjanya sebelum berdiri dan keluar kamar. Ia ingin ke dapur untuk minum air sekaligus mengisi kembali gelasnya yang kosong sebelum tidur.
Kerutan di kening Diandra semakin dalam setelah menajamkan pendengarannya ketika mendekati area dapur. Melihat lampu di dapur menyala, Diandra melangkahkan kakinya dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Setelah mengenali sosok yang berdiri memunggunginya di dapur, ia pun melanjutkan langkahnya dengan pasti. Meski benaknya digelitik rasa penasaran mengenai kegiatan yang sedang dilakukan salah seorang penghuni rumah, tapi ia memilih untuk tidak peduli. Tidak ingin berlama-lama, ia langsung meneguk air putih dan mengisi kembali gelas kosongnya untuk persediaan di kamar, sesuai dengan tujuannya menyambangi dapur.
“Bisa membantuku membuat semur ceker pedas?” Hampir saja Diandra tersedak air yang diminumnya ketika tiba-tiba mendengar suara frustrasi di sampingnya.
“Ceker?” Diandra bertanya untuk memastikan pendengarannya dan ia pun terpaksa berhadapan dengan Hans. “Aku tidak tahu cara membuatnya. Cekernya juga tidak ada,” sambungnya tak acuh ketika melihat anggukan kepala Hans. Diandra berkata jujur, setahunya di kulkas tidak ada ceker.
“Aku sudah membeli ceker mentah dan masih segar.” Hans menunjuk wastafel, di dalamnya terdapat beberapa potong kaki ayam yang siap dibersihkan dan dicuci. “Resep dan caranya sudah aku temukan di sini, tinggal dipraktikkan saja,” sambungnya dan memberikan ponselnya kepada Diandra.
Meski ragu-ragu Diandra tetap menerima ponsel Hans yang layarnya menunjukkan sebuah resep. Awalnya Diandra berniat mengabaikan Hans, tapi berhubung laki-laki tersebut sedang mengalami ngidam karena kehamilannya, maka dengan terpaksa ia akan menurutinya. Walau tidak memercayai mitos mengenai bayi akan ngiler hanya karena saat ngidam tidak terpenuhi, tapi ia tetap mempunyai ketakutan terhadap hal tersebut. Ia hanya ingin anaknya kelak lahir dan tumbuh secara normal. Ia juga tidak ingin menyesal di kemudian hari atas perkembangan bayinya hanya karena keegoisannya.
“Itu apa?” Diandra menunjuk panci yang ada di atas kompor menyala.
“Aku sedang memanaskan air terlebih dulu, sebelum memasukkan ceker untuk direbus,” jawab Hans seraya mematikan api kompornya saat mengetahui airnya telah mendidih.
Diandra manggut-manggut. “Baiklah, aku akan membantumu,” ucapnya pada akhirnya. Ia meletakkan ponsel Hans di meja pantry dan memakai apron. “Pertama-tama, kamu cuci cekernya hingga bersih, kemudian buang kuku dan kulit luarnya. Setelah selesai, lumuri ceker dengan perasan air jeruk nipis, kemudian diamkan selama sepuluh menit. Nanti kamu cuci lagi cekernya agar tidak pahit, akibat rasa jeruk nipisnya yang masih menempel,” instruksinya.
Sebelum meracik bumbu sesuai resep di ponsel Hans, terlebih dulu Diandra ingin menyiapkan air jeruk nipis yang akan digunakan untuk melumuri ceker dan bahan-bahan lainnya.
“Mengapa kulit luarnya susah sekali dilepas?” tanya Hans setelah selesai membuang kuku ceker.
“Rendam dulu cekernya sebentar dengan air panas,” beri tahu Diandra sambil memotong sebuah jeruk nipis menjadi dua bagian.
Hans langsung memindahkan ceker ke dalam aluminium bowl, kemudian menyiramnya dengan air panas yang dibuatnya tadi. “Biar aku yang melakukannya, kamu siapkan saja bumbunya,” ujarnya. Ia mengambil alih kegiatan Diandra yang tengah menyiapkan perasan air jeruk nipis untuk melumuri cekernya.
Tidak ada obrolan yang terjadi selama Hans berkutat menyiapkan ceker sebelum diolah ke tahap selanjutnya, dan Diandra sibuk meracik bumbu. Walau keduanya saling diam dan sibuk pada tugasnya masing-masing, tapi dalam situasi sekarang mereka tidak terlihat seperti pasangan yang sedang bersitegang.
Merasa cekernya sudah bersih dari sisa-sisa rendaman air jeruk nipis, Hans pun memutus keheningan, “Sekarang diapakan lagi?”
“Rebus menggunakan panci presto agar lebih cepat empuk,” sahut Diandra sambil menunjuk panci yang dimaksud. “Masukkan ini juga.” Diandra memberikan piring berisi garam, beberapa lembar daun salam, sebatang serai, dan seruas jahe yang sudah dimemarkan kepada Hans.
Kini Diandra tinggal menunggu cekernya empuk sebelum dimasak dengan bumbu halus yang telah dibuatnya. Sembari menunggu, Diandra mengembalikan sisa bahan-bahannya ke tempat semula dan membersihkan meja pantry. Untung saja, ia terbiasa masuk dapur, sehingga tidak terlalu membuat kekacauan.
Setelah sepuluh menit, Hans meniriskan cekernya yang dirasa sudah cukup empuk. Ia memberikan ruang kepada Diandra yang akan menumis bumbu dan membuat makanan sesuai permintaannya. Melihat bumbu sudah tercampur pada ceker di wajan dan aromanya sangat menggoda, membuat Hans beberapa kali menelan salivanya. Ia sudah tidak sabar ingin segera menikmatinya.
“Cicipilah.” Diandra menyodorkan sendok makan yang sudah berisi sedikit kuah semur untuk dinilai rasanya oleh Hans.
“Kurang garam,” Hans mengomentari.
Diandra langsung menaburkan sedikit garam. Setelah mengaduknya beberapa kali dan kuahnya telah meresap sempurna, Diandra mematikan kompor dan memindahkan ceker ke piring saji. Ia juga menaburkan bawang goreng di atasnya sebelum menyerahkannya kepada Hans yang sudah berada di meja makan.
Tanpa berbasa-basi Diandra langsung menuju kamar tidurnya setelah membawa semur ceker pedasnya ke meja makan. Sesampainya di kamar, ia mematikan lampu meja yang masih menyala dan bergegas menuju ranjangnya karena matanya sudah mengantuk. Berbeda halnya dengan Hans, laki-laki tersebut masih sibuk menyantap makanannya. Saking inginnya menikmati semur ceker pedas, ia pun rela tengah malam mendatangi tempat pemotongan ayam hanya untuk membeli ceker.
***
Meski sudah berhasil memuntahkan cairan bening, tapi pening di kepala Hans belum juga mereda. Dengan tatapan berkunang, ia membasuh mulutnya di wastafel sebelum keluar dari kamar mandi. Semenjak mual dan pening menyerangnya di pagi hari, Hans selalu datang ke kantor di atas jam sepuluh. Obat pereda mual yang diberikan ibunya tidak terlalu banyak membantu. Setelah keluar kamar mandi dan duduk bersandar pada kepala ranjang, ia memanggil Bi Harum melalui interkom di nakasnya agar segera membawakannya irisan lemon segar.
“Masuk, Bi!” perintah Hans yang tengah memejamkan mata ketika mendengar pintunya diketuk. Jika matanya terpejam, kepalanya tidak terlalu pening.
“Ini irisan buah lemon segarnya, Tuan.” Bi Harum meletakkan piring berisi beberapa irisan lemon segar di nakas samping ranjang Hans.
Hans hanya menjawabnya dengan gumaman tanpa membuka mata. “Bi, buatkan aku nasi goreng udang yang sedikit asin. Aku ingin sarapan dengan menu itu. Setelah matang, langsung hubungi aku,” pintanya.
“Baik, Tuan.” Bi Harum langsung undur diri setelah mengiyakan.
Hans membuka mata setelah peningnya mulai mereda. Ia mengambil piring di atas nakas dan langsung memakan irisan lemon segar tersebut. Dalam hitungan beberapa menit saja irisan lemon tersebut hanya tinggal kulit, dan perutnya pun kembali tenang.
“Sampai kapan aku harus tersiksa seperti ini?” Hans bertanya pada dirinya sendiri atas fase ngidam yang dialaminya. “Bukankah harusnya wanita itu yang mengalaminya?” gerutu kesal.
Kebersamaannya dengan Diandra saat membuat semur ceker pedas terlupakan begitu saja. Seolah Hans tengah diserang amnesia karena tidak mengingat kekompakan dan kerjasamanya dini hari tadi. Ia mengembuskan napasnya dengan kasar sebelum meraih benda pipih yang tergeletak di sampingnya.
“Sampai kapan kamu akan terus menghindariku, Sayang?” Hans berbicara sendiri sambil mengusap layar ponselnya yang menampilkan foto Deanita. “Aku sengaja ke Singapura untuk menemuimu, tapi kamu malah ke sini. Bahkan, hingga kini kamu mengabaikan telepon dan pesanku,” sambungnya ketika mengingat rasa kecewanya beberapa hari lalu saat bertandang ke Singapura.
Hans harus menelan kekecewaan ketika mengetahui keberadaan Deanita dari laki-laki yang kini menjadi ayah mertuanya. Wanita yang dicintainya itu ternyata tengah pulang ke Indonesia tepat di hari kedatangannya ke Singapura. Jika saja ibunya tidak menahannya atas nama kesopanan, sudah dipastikan ia akan langsung kembali ke Indonesia untuk menemui Deanita.
***
Sesekali Diandra menguap ketika menunggu Mbak Santhi di ruang kerja milik wanita tersebut. Kedatangannya ke butik untuk menyerahkan sekaligus mempresentasikan desain gaun malam buatannya. Empuknya sofa dan sejuknya ruangan sangat menggoda Diandra untuk memejamkan mata. Gara-gara tidur hampir jam setengah tiga pagi, kini ia merasakan matanya masih cukup berat.
“Maaf membuatmu lama menunggu, Dee.” Suara yang terdengar bersamaan dengan pintu terbuka membuat Diandra tersentak.
“Tidak apa, Mbak,” Diandra menanggapi dan membalas senyuman wanita yang dirasa umurnya tidak terpaut jauh dengannya.
“Kamu mau minum apa, Dee?” Santhi menawarkan minuman sebelum menghampiri sofa yang diduduki Diandra.
“Air putih saja, Mbak. Kalau ada yang tidak dingin,” sahut Diandra merasa segan. Semenjak mengetahui hamil, sebisa mungkin ia tidak mengonsumsi minuman dingin, meskipun itu air putih.
“Minumlah.” Santhi duduk di single sofa dan mulai melihat desain gaun malam yang dibuat Diandra. “Siap?” tanyanya kepada Diandra yang akan mempresentasikan karyanya.
Setelah melihat Diandra mengangguk, Santhi pun mulai menyimak presentasi yang sangat mendetail dari wanita di sampingnya mengenai hasil karyanya.
Setengah jam Diandra presentasi dan diselingi diskusi bersama Santhi, akhirnya desainnya pun diterima. Ia senang karena Santhi kembali puas terhadap karyanya. Meski tengah tertimpa masalah, ia sangat bersyukur karena tetap bisa berkomitmen dalam membuat karya yang memuaskan.
“Kapan wisudamu, Dee?” tanya Santhi mengganti topik pembicaraan.
“Sabtu ini, Mbak,” Diandra menjawab sambil memperbaiki posisi duduknya agar nyaman.
“Setelah mendapat ijazah, apa rencanamu ke depan?” Santhi menatap intens Diandra. “Ingin mandiri atau bergabung dengan butik-butik besar dan ternama?” sambungnya memperjelas maksud pertanyaannya.
“Aku belum siap untuk mandiri, Mbak. Selain membutuhkan modal yang besar, pengamalanku juga belum banyak,” jawab Diandra realistis. “Sebelumnya aku ingin sekali bergabung dengan butik-butik besar dan ternama, tapi untuk sekarang terpaksa ditangguhkan dulu,” imbuhnya.
“Kenapa harus ditangguhkan, Dee? Menurut Mbak, kamu mempunyai peluang besar untuk diterima di butik ternama, apalagi selama bergabung di sini desainmu tidak pernah mengecewakan. Seperti ini contohnya. Mbak puas dan menyukainya.” Santhi mengangkat desain Diandra yang masih dipegangnya dan tersenyum puas. “Bagaimana kalau kamu menjadi desainer tetap saja di sini?” tawarnya serius.
Diandra tersenyum mendengar tawaran yang diberikan Santhi. “Sebelumnya terima kasih atas tawarannya, Mbak. Namun, aku belum bisa menerimanya. Mengingat keadaanku sekarang yang tengah mengandung, jadi aku belum bisa menerima tawaran tersebut. Untuk saat ini aku masih betah menjadi seorang freelancer, semoga Mbak Santhi tidak tersinggung atas penolakanku,“ jelasnya apa adanya.
Santhi tertawa renyah mendengar penjelasan Diandra. Tentu saja ia tidak tersinggung, malah memuji kejujuran dan keberanian Diandra dalam menolak tawarannya. Ia mengagumi ketidakegoisan dan sifat keibuan Diandra. Kebanyakan orang akan lebih memilih mengejar mimpi jika berada seperti posisi Diandra. Bahkan, tanpa disadari mereka akan menomorduakan kehadiran sang janin, sehingga berujung pada keguguran.
“Kapan pun kamu berubah pikiran, kabari saja Mbak ya,” pinta Santhi.
“Iya, Mbak, terima kasih atas perhatiannya,” balas Diandra tulus.
Meski tidak memberitahukan mengenai pernikahannya, tapi Diandra tidak menutupi statusnya kini sebagai wanita bersuami dan tengah hamil. Diandra terpaksa menyembunyikan identitas Hans, mengingat latar belakang keluarga suaminya tersebut. Bukan hanya Hans yang identitasnya Diandra sembunyikan, melainkan sang ibu mertua juga. Diandra yakin Santhi pasti mengetahui dan mengenal sosok ibu mertuanya jika ia memberitahukannya, mengingat mereka berkecimpung di bidang yang sama.
Allona Narathama merupakan seorang fashion designer sekaligus pemilik brand Catharina. Gerai-gerai resmi Catharina Queen yang didirikan ibu mertuanya selalu menjadi pusat perhatian dan incaran wanita, khususnya golongan elite. Selain itu, sang ibu mertua juga telah membuka gerai resminya di beberapa negara Asia. Diandra sendiri juga mempunyai beberapa koleksi dress, handbag, dan aksesoris dari brand tersebut. Bahkan, gaun pernikahan dan resepsi yang ia kenakan pun merupakan desain eksklusif sang ibu mertua.
Damar mengernyit saat mendengar permintaan atasannya yang sangat tidak biasa. Ia diminta membeli bunga mawar berwarna pink sebanyak 99 tangkai. Andai saja Damar tidak mengetahui kondisi Hans yang tengah dipengaruhi oleh hormon kehamilan Diandra, sudah pasti ia akan menertawakan atasannya tersebut. Selain menjadi atasannya, Hans juga merupakan sahabatnya. Persahabatannya memang tidak sedekat antara hubungan Hans dengan Felix, mengingat perbedaan status mereka.Damar menyadari jelas posisi dan statusnya. Ia hanyalah seorang anak asisten rumah tangga yang sangat beruntung diizinkan tinggal di kediaman keluarga Narathama. Sebelumnya ia tinggal bersama ayahnya yang menderita gagal ginjal di sebuah kontrakan kecil, sedangkan ibunya bekerja di kediaman orang tua Hans sebagai asisten rumah tangga. Awalnya orang tua Hans beberapa kali meminta ayahnya agar bersedia tinggal di salah satu paviliun keluarga Narathama yang letaknya di belakang kediaman utama, tapi sang ayah menolaknya karen
Di tengah-tengah aktivitasnya menonton televisi di kamar setelah menyelesaikan pekerjaan kantor yang dibawanya ke rumah, Hans kembali merasakan perutnya lapar. Dengan malas Hans beranjak dari posisi nyamannya di atas ranjang. Ia berniat ke dapur mencari camilan untuk mengganjal rasa laparnya, karena tidak mungkin membangunkan Bi Harum yang sedang beristirahat, apalagi kini sudah tengah malam.Hans tersenyum ketika tiba di dapur dan membuka kulkas karena menemukan kotak makanan berukuran tanggung berisi potongan-potongan nugget yang siap digoreng. Ia yakin nugget tersebut sengaja dibuat Bi Harum seperti yang sering dilakukannya di kediaman Narathama. Tanpa membuang waktu, Hans langsung memanaskan minyak dan mengeluarkan kotak tersebut dari kulkas. Ia akan menggoreng semuanya agar rasa laparnya hilang.“Aku kira nugget udang, ternyata ayam,” Hans bergumam saat mencicipi nugget yang sudah ditiriskan. “Tapi enak juga,” komentarnya.Setelah semua nugget tersebut matang
Diandra tidak memusingkan pertemuannya yang tanpa sengaja dengan Hans dan Deanita di kafe seminggu lalu. Ia dan Hans pun tidak pernah berkomunikasi meski tinggal di atap yang sama. Untungnya Bi Harum tidak jadi kembali ke kediaman Narathama, setelah Allona marah besar mengetahui keputusan Hans. Selain itu, Allona juga kecewa padanya karena tidak memberitahukan mengenai acara wisudanya.Diandra tengah memeriksa kembali barang yang akan dibawanya ke kediaman Narathama sambil menunggu kedatangan Lavenia menjemputnya. Karena Hans sedang ada perjalanan bisnis ke Jepang selama beberapa hari ke depan, jadi Diandra diminta tinggal di kediaman Narathama oleh Allona. Awalnya ia menolak permintaan Allona, mengingat di rumah sudah ada Bi Harum yang akan menemaninya. Namun, akhirnya ia menyanggupinya setelah mendengar Allona meminta Lavenia menemaninya. Selain itu, Bi Harum juga diminta ikut ke kediaman Narathama untuk sementara waktu.“Nyonya, Nona Ve sudah datang,” Bi Harum memberi
Hans menginstruksikan Damar agar langsung menuju kediaman Narathama setelah mereka tiba di bandara. Ia akan memberikan oleh-oleh yang sudah dibelinya terlebih dulu kepada ibu dan adiknya, sekaligus ingin makan siang bersama. Selain itu, ia juga ingin memberi kabar menggembirakan kepada keluarganya tersebut mengenai hasil pertemuannya di Jepang. Setelah berhasil melebarkan sayap perusahaannya di Singapura dan Thailand, kini usahanya dalam merambah Jepang pun sudah membuahkan hasil seperti yang diharapkan.“Dam, nanti kamu bicarakan saja dengan Mama mengenai konsep pesta perusahaan tahun ini. Apa pun konsep yang Mama mau, aku akan menyetujuinya,” ujar Hans sambil melihat keluar jendela.“Baik, Tuan,” jawab Damar. Ia mengernyit ketika melihat mulut Pak Amin, sopir di kediaman Narathama berbicara tanpa bersuara. Seperti menyampaikan sesuatu padanya, tapi takut diketahui Hans. “Apa yang ingin dikatakannya?” batinnya bertanya-tanya.“Dam, nanti tolong temui Dea dan berik
Merasa jenuh dengan suasana tempat tinggalnya, Diandra berencana berkunjung ke rumah neneknya dan menginap di sana selama beberapa hari. Ia sangat merindukan udara sejuk di sekitar rumah neneknya yang memang berada di dataran tinggi, lebih tepatnya di Puncak, Bogor. Awalnya Diandra akan pergi sendirian, tapi saat ia memberitahukan rencananya kepada Helena, sahabatnya tersebut ingin mengantar dan menemaninya. Meski sempat menolak, tapi pada akhirnya Diandra mengizinkan setelah Helena bersikukuh ingin mengantar dan menemaninya. Andaikan hari libur, ia juga ingin mengajak Mayra dan Sonya, agar mereka sama-sama bisa menikmati sejuknya udara pegunungan.“Bi, aku berangkat dulu ya,” Diandra berpamitan setelah Helena menjemputnya.“Hati-hati, Nyonya. Kabari Bibi jika Nyonya sudah sampai,” pinta Bi Harum sebelum Diandra memasuki mobil Helena.Diandra mengangguk dan tersenyum. “Nanti pulangnya aku belikan Bibi oleh-oleh,” ucapnya sambil melambaikan tangannya setelah berada
Diandra meletakkan buket bunga mawar putih yang dirangkainya sendiri di atas makam milik Rossaline Lidya. Ternyata neneknya tadi meminta ditemani berkunjung ke tempat peristirahatan terakhir mendiang tantenya. Bunga mawar putih tersebut dipetiknya langsung dari kebun milik neneknya sendiri. Diandra merasa dari dulu hingga kini kebun tersebut tetap sama, yaitu hanya dipenuhi oleh bunga mawar putih. Ia memang mengetahui alasan sang nenek mengisi kebunnya hanya dengan bunga mawar putih, tidak lain karena mendiang tantenya sangat menyukai bunga tersebut. Selain di tempat peristirahatan terakhir milik tantenya, Diandra juga meletakkan bunga mawar putih tersebut di makam kakeknya, yang letaknya bersebelahan.Setelah menyapa anggota keluarganya yang telah lebih dulu menghadap Sang Pencipta, Diandra mengajak neneknya kembali pulang. Selain karena sudah cukup sore, rintik-rintik hujan yang mengenai kulit mereka pun menjadi alasan Diandra bergegas meninggalkan area pemakaman.“Dee
Setelah memastikan mobil yang ditumpangi orang tuanya meninggalkan halaman rumah, Deanita segera mencari Bi Asih dan menyuruhnya mengeluarkan barang-barang milik Diandra dari kamarnya. Tanpa sepengetahuan ibunya dan atas izin Bi Asih, ia menyembunyikan semua barang milik Diandra di kamar asisten rumah tangganya tersebut. Ia sengaja menolak ajakan ibunya yang memintanya ikut berkunjung ke rumah sang nenek.“Bi, masukkan semuanya ke bagasi mobilku ya,” pinta Deanita kepada Bi Asih.Bi Asih mengangguk. “Kalau boleh Bibi tahu, barang-barang milik Non Dee akan Nona mau bawa ke mana?” tanyanya penuh keberanian.Walau Deanita dan Diandra diketahuinya selama ini tidak pernah terlibat perseteruan secara langsung, tapi Bi Asih tetap mewaspadai jika putri sulung keluarga Sinatra mempunyai niat terselubung.“Mau aku antarkan ke rumah Dee, Bi,” Deanita menjawabnya sambil membaca pesan di ponselnya. “Bibi mencurigaiku?” tebaknya setelah mengalihkan perhatian dari ponselnya
Deanita langsung keluar setelah mobil yang dikendarai Hans terparkir di halaman rumah neneknya. Ia bertanya kepada Pak Bayu yang tengah mengobrol bersama Pak Budi mengenai kedatangan orang tuanya. Ia merasa sedikit lega setelah mengetahui ternyata orang tuanya belum terlalu lama sampai di rumah sang nenek. Pak Bayu juga mengatakan jika tadi orang tuanya mampir ke rumah sakit, untuk menjenguk sahabatnya yang tengah dirawat.Tidak mau membuang waktu, Deanita diikuti Hans dan Lavenia bergegas memasuki rumah sang nenek. Ketiganya mengernyit ketika menyadari ketegangan tengah terjadi di dalam rumah. Mereka tersentak saat mendengar pertanyaan Diandra yang diajukan dengan nada datar.“Lalu siapa orang tua kandungku, Ma?” tanya Diandra. Jarum-jarum tak kasatmata seolah berlomba ingin menusuk dadanya.“Aku bukan ibumu, jadi hentikan panggilan menjijikkan itu!” protes Yuri sambil menatap Diandra penuh peringatan. “Berikan saja panggilan Mama untuk wanita murahan yang telah m