Share

Chapter 3

Karena semua barang-barangnya masih di rumah Helena, Diandra terpaksa mengenakan kembali pakaiannya yang kemarin malam setelah mandi. Diandra tersenyum tipis kepada Bi Harum yang menyadari kehadirannya. Kemarin malam ia tidak sempat berbasa-basi dengan wanita paruh baya yang kini tengah berkutat di dapur menyiapkan sarapan.

“Bagaimana tidurnya, Nyonya? Bibi harap nyenyak ya.” Dengan ramah Bi Harum mulai mencari bahan obrolan.

“Nyenyak, Bi,” Diandra menjawabnya tidak kalah ramah. “Bi, panggil saja aku Dee. Aku tidak pantas dipanggil Nyonya,” pintanya sebelum mengisi gelasnya dengan air putih.

Bi Harum menggelengkan kepalanya dengan tegas. “Bibi tidak berani, Nyonya,” beri tahunya.

Diandra hanya mengendikkan bahu menanggapinya. “Terserah Bibi saja kalau begitu,” balasnya tidak peduli.

“Jangan marah ya, Nyonya,” Bi Harum meminta permakluman.

Diandra tersenyum kecil mendengar permintaan Bi Harum. “Kalau begitu panggil aku senyaman Bibi saja. Oh ya, Bi, aku sarapan dengan ini saja.” Ia menunjuk roti gandum utuh yang tersedia di atas meja makan ketika Bi Harum membawakannya sepiring nasi goreng. “Besok-besok tidak usah membuatkanku makanan untuk sarapan, Bi. Sekarang nasi goreng itu untuk Bibi saja,” sambungnya sambil tersenyum.

Belum sempat Bi Harum menanggapi perkataan Diandra, bel rumahnya berbunyi. “Bibi permisi, Nyonya. Mau membuka pintu dulu,” pamitnya dan langsung diangguki Diandra.

Setelah Bi Harum meninggalkannya, Diandra mulai menikmati setangkup roti gandum utuh untuk mengganjal perutnya. Ia menghentikan kegiatannya mengunyah ketika mendengar suara lembut seseorang menanyakan keberadaannya kepada Bi Harum.

“Pagi, Ma,” Diandra menyapa saat melihat kedatangan Allona.

“Pagi juga, Sayang,” balas Allona setelah duduk di hadapan menantunya. “Saya hanya sebentar, Bi,” ujarnya ketika Bi Harum ingin membuatkan minuman untuknya.

“Dee, kedatangan Mama ke sini hanya ingin memastikan keadaanmu baik-baik saja. Mama akan ke Singapura menjengguk Mamamu,” beri tahu Allona sambil mengamati reaksi Diandra.

Meski sangat kecewa terhadap perlakuan orang tuanya, tapi Diandra tidak menutup mata dengan kondisi ibunya saat ini. Apalagi ia sendiri yang menyebabkan ibunya harus mendapat perawatan seperti sekarang. “Sebenarnya aku juga ingin menjenguk beliau, tapi Papa dengan tegas melarangku menampakkan diri di hadapan Mama,” ucapnya sedih.

“Jangan berburuk sangka terhadap larangan Papamu, Dee. Mungkin maksud Papamu itu demi kebaikan kalian berdua,” Allona menasihati.

Diandra mengangguk. “Andai saja Mama tidak memohon padaku agar aku bersedia menikah dengan penanam benih di rahimku, semua ini pasti tidak pernah terjadi,” batinnya berandai-andai.

Diandra mengingat ketika Allona tiba-tiba menemuinya dan memohon padanya agar bersedia menikah dengan putranya. Bahkan, Allona sempat akan bersujud karena ia terus saja menolaknya.

“Dee, Mama berjanji akan membantumu memperbaiki hubungan dengan orang tua dan Kakakmu,” janji Allona penuh tekad sambil menatap wajah menantunya.

Diandra tersenyum tipis mendengar janji yang diucapkan ibu mertuanya. “Dari dulu hubunganku bersama mereka memang tidak harmonis, terutama dengan orang tuaku, Ma. Apalagi setelah kejadian sekarang, orang tuaku pasti lebih membenciku karena aku dengan sengaja menghancurkan jalinan kasih putri kesayangan mereka,” ungkapnya jujur. “Namun, aku tetap bersyukur Papa bersedia mengantarku menuju altar dan menjadi wali di pernikahanku, meski kehadirannya hanya sebentar,” imbuhnya.

“Tidak boleh berkata seperti itu, Dee. Sudah menjadi kewajiban Dennis sebagai orang tua untuk menghadiri pernikahan putrinya dan mendampingimu,” ujar Allona menenangkan. “Sejak dulu Mama memang lebih mengharapkanmu menjadi menantu di keluarga Narathama daripada Deanita, bukan berarti Mama tidak menyukai Kakakmu. Bahkan, mendiang suami Mama pun berniat menjodohkanmu dengan Hans dulu,” batinnya menambahkan.

“Ngomong-ngomong, Hans di mana, Dee? Apakah sudah berangkat ke kantor?” Allona kembali bersuara setelah terdiam beberapa saat. Sejak datang ia belum melihat batang hidung putranya.

“Tuan masih di kamarnya, Nyonya,” Bi Harum menyela ketika melihat Diandra menggeleng, tanda tidak mengetahui keberadaan suaminya sendiri.

Allona menghela napas. Sesuai dugaannya, anak dan menantunya menggunakan kamar terpisah. Sekarang ia memilih mengalah dan harus memaklumi keadaan mereka, tapi tidak untuk ke depannya. Di mana-mana pasangan suami istri itu seharusnya menempati kamar yang sama dan tidur seranjang.

“Dee, Mama pamit sekarang ya,” pamitnya setelah melihat jam tangannya.

“Semoga perjalanan Mama lancar dan selamat sampai di tujuan,” ujar Diandra. Ia ikut berdiri dan akan mengantar ibu mertuanya sampai di pintu.

Setelah mobil Allona menghilang dari jangkauannya, Diandra yang ingin kembali ke dalam rumah terkejut saat berpapasan dengan Hans. Karena tidak berniat menyapa laki-laki tanpa ekspresi tersebut, Diandra pun melanjutkan langkah kakinya. Ia masih mempunyai banyak pekerjaan yang harus segera dibereskan, salah satunya kembali ke rumah Helena dan mengambil semua barang-barangnya.

“Ada urusan apa Mamaku datang pagi-pagi ke sini? Apa yang beliau katakan padamu?” cecar Hans tanpa berniat berbasa-basi. “Hei, aku sedang berbicara denganmu! Apakah kini mulutmu sudah tidak berfungsi?” hardiknya sambil mencekal lengan Diandra ketika pertanyaannya diabaikan.

Diandra menahan nyeri akibat cekalan tangan Hans pada lengannya. “Kedatangan beliau pagi-pagi hanya untuk berpamitan sebelum berangkat ke Singapura,” jawabnya datar. “Pertanyaanmu sudah aku jawab, jadi cepat lepaskan cekalan tanganmu! Oh ya, kamu sudah dengar sendiri kan, bahwa mulutku masih berfungsi dengan sangat baik,” sambungnya dengan tatapan tajam.

Hans langsung mengempaskan tangan Diandra dengan kasar. Tanpa membuang waktu ia langsung mengambil ponsel di saku celananya, dan meminta Ratna memesankan tiket pesawat untuk penerbangan pagi dengan tujuan Singapura. Selain itu, Hans juga menghubungi Damar, sang asisten. Ia memberi instruksi kepada asistennya agar menangani urusan kantor selama beberapa hari ke depan.

•••

Setelah mengganti pakaiannya di rumah Helena, Diandra dan sahabatnya tersebut kini tengah berada di salah satu furniture retail milik keluarga Sinatra. Ia ingin membeli meja kerja minimalis untuk melengkapi kamar tidurnya. Setelah menyelesaikan pembayaran dan memberitahukan alamatnya kepada kasir, Diandra menemani Helena yang ingin mencari buku cerita untuk Mayra ke mall. Diandra juga telah menghubungi Bi Harum agar langsung membawa meja pesanannya ke kamar jika sudah datang.

“Dee, nanti biar aku saja yang mengantarmu pulang. Mending disimpan saja uang untuk ongkos taksimu,” ujar Helena setelah memarkirkan mobilnya di basement mall.

Diandra terkekeh saat melepas seatbelt. “Kalau begitu, sekalian nanti kamu bisa membantuku mengatur letak meja kerja di kamarku,” balasnya. Untuk menghemat waktu, Diandra sudah mengambil semua barang-barangnya dan kini tengah dititipkan pada bagasi mobil Helena.

“Selain bertujuan menekan biaya pengeluaranmu, aku juga ingin mengetahui alamat rumahmu, Dee,” Helena menimpali sambil tertawa kecil. “Siapa tahu nanti aku dan Sonya kangen, jadi kami bisa langsung berkunjung,” sambungnya.

Setelah memasuki mall, keduanya pun langsung menuju toko buku untuk mencari buku yang ingin dibelinya, agar mereka segera bisa beristirahat di food court.

Cukup lama memilih dan berkat bantuan Diandra, akhirnya Helena membeli beberapa buku cerita untuk Mayra. Kini mereka menuju area food court untuk bersantai sekaligus makan siang. Setelah mendapat tempat duduk, Helena mewakili Diandra memesan makanan dan minuman untuk mereka nikmati.

“Sayang sekali Sonya dan Mayra tidak bisa ikut ya, Len,” ucap Diandra ketika Helena sudah kembali dari memesan makanan dan kini telah duduk di hadapannya.

“Sonya sibuk bekerja, sedangkan Mayra bersekolah,” jawab Helena sambil terkekeh. “Oh ya, Dee, kapan wisudamu?” tanyanya.

“Sabtu depan, Len. Selain acara wisuda, nanti juga akan ada fashion show dan pameran dari masing-masing jurusan. Aku jamin acaranya pasti seru,” beri tahu Diandra seraya menyandarkan punggungnya pada kursi yang didudukinya. “Kamu dan Sonya datang ya,” pintanya dengan penuh harapan.

Helena memberikan jempol tangan kanannya sebagai persetujuan. “Kamu sudah memberi tahu orang tuamu atau Dea untuk menghadiri acara penting itu?” tanyanya ingin tahu.

“Jika diberi tahu pun mereka pasti tidak akan menghadirinya, apalagi setelah masalah yang menimpaku,” jawab Diandra jujur. Perhatian Diandra teralih ketika mendengar ponselnya bergetar di atas meja.

“Siapa? Suamimu?” Helena bertanya sambil melihat perubahan ekspresi Diandra saat menatap ponselnya.

Diandra menggeleng. “Dea,” ucapnya. Tanpa membuang waktu ia langsung membaca pesan yang dikirimkan kakaknya tersebut. “Ia ingin bertemu,” beri tahunya setelah selesai mengetikkan balasan.

Kini giliran Helena yang mengerutkan kening mendengar pemberitahuan Diandra. “Bukannya Kakakmu masih menemani Mamamu di Singapura?”

“Entahlah,” Diandra menjawabnya dengan singkat. “Ayo, kita makan dulu. Selesai makan, antar aku ke taman yang ada di samping bangunan mall ini. Aku menyuruhnya untuk menemuiku di sana,” imbuhnya ketika melihat pramusaji menuju ke arahnya dan mengantarkan pesanan mereka masing-masing.

•••

Deanita menatap ke sekeliling taman untuk mencari keberadaan adiknya. Ia mengambil ponselnya guna melihat alamat yang diberitahukan oleh adiknya tadi. Selesai membaca alamat, ia melihat Diandra sedang duduk di bangku taman sambil berbicara dengan seorang wanita. Tanpa mengulur waktu, ia pun bergegas menghampiri sang adik.

“Dee.” Interupsi Deanita membuat Diandra langsung menghentikan obrolannya dan menoleh ke sumber suara.

“Dee, aku mau berkeliling dulu,” pamit Helena saat melihat Deanita berdiri di belakang Diandra. Ia tidak ingin mengganggu pembicaraan kakak beradik tersebut.

“Aku kira kamu sedang di Singapura?” Diandra langsung bertanya setelah Deanita duduk di bangku yang sebelumnya ditempati Helena. “Oh ya, bagaimana keadaan Mama?” sambungnya.

“Aku baru pulang tadi pagi, Dee. Kondisi Mama sudah membaik, dan sekarang Papa yang sedang menjaganya. Jika kondisinya terus membaik, secepatnya Mama akan kembali ke Indonesia,” beri tahu Deanita sedikit canggung.

Semenjak peristiwa kecelakaan yang dialaminya dan merenggut nyawa Wira, hubungan Deanita dengan Diandra merenggang. Bahkan, Diandra secara terang-terangan bersikap dingin padanya. “Selamat atas pernikahanmu ya, dan maaf kemarin lusa aku tidak bisa hadir,” imbuhnya sambil memaksakan senyum.

Diandra mendengkus. “Tidak perlu pura-pura bersikap tegar di hadapanku. Meski bukan paranormal, tapi aku mengetahui dengan jelas alasanmu tidak hadir. Lagi pula tidak ada yang istimewa dari pernikahan itu.”

“Bukan seperti itu, Dee. Kamu jangan salah paham dulu padaku. Aku benar-benar turut bahagia dengan pernikahanmu meski Hans itu sebelumnya kekasihku. Sebagai seorang laki-laki sejati ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah dilakukannya padamu,” Deanita berkilah dan membela diri.

“Oh ya, sepertinya laki-laki yang sangat mencintaimu itu akan menelan kekecewaan karena tidak menemukan keberadaanmu di Singapura.” Diandra mengabaikan ucapan kakaknya. Ia tersenyum tipis ketika melihat kebingungan Deanita atas ucapannya.

“Maksudmu Hans ke Singapura? Buat apa?” Deanita bergumam dan yakin sang adik mendengarnya.

“Yang jelas karena merindukanmu, selain ingin menjenguk Mama.” Diandra menyeringai ketika memergoki wajah Deanita memerah setelah mendengar jawabannya. “Bahkan, Mamanya pun sedang dalam penerbangan ke sana,” imbuhnya yang kembali membuat sang kakak terkejut.

“Sudah ada Papa di sana yang akan menyambut kedatangan mereka,” Deanita mencoba menanggapi serangan-serangan adiknya dengan santai.

“Tapi kasihan juga laki-laki itu, usahanya sia-sia. Sudah datang dari jauh, eh ternyata yang dicari malah ada di sini,” gumam Diandra. Ia menggelengkan kepala sambil menatap ke sekeliling taman.

“Baiklah, Dee. Seperti katamu, sebaiknya aku tidak perlu lagi menutupi perasaanku.” Deanita akhirnya menyerah atas sikap dan perkataan adiknya yang terus saja mengintimidasinya.

“Aku memang mengakui masih sakit hati atas kandasnya hubunganku dengan Hans. Aku juga belum bisa sepenuhnya menerima pernikahan kalian. Apakah salah jika aku berusaha bersikap tegar dan mencoba untuk menerimanya?” tanya Deanita dengan mata berkaca-kaca dan suara serak.

Diandra mengalihkan perhatiannya dari sekeliling taman. “Kamu melakukannya hanya agar aku berhenti membencimu kan? Bukankah kebencianku pada kalian merupakan suatu kewajaran? Mengapa aku katakan wajar, karena kamu dan laki-laki itu secara tidak langsung telah membunuh kekasihku,” cecarnya dengan nada dan tatapan menusuk.

“Aku memang ingin kamu berhenti membenciku, Dee.” Deanita memberanikan diri menatap mata Diandra yang sorotnya sangat menusuk. “Anggap saja sekarang kita sudah impas. Kamu sudah berhasil menghancurkan hubunganku dengan Hans, malah sekarang kalian telah menjadi pasangan suami istri. Asal kamu tahu, Dee, hatiku sangat sakit setiap membayangkan kalian bersama.” Deanita sudah tidak bisa membendung air matanya. Ia menumpahkan semua sesak yang mengimpit dadanya selama ini.

“Impas katamu? Selamanya tidak akan pernah ada kata impas, Deanita!” hardik Diandra yang emosinya mulai naik. “Jika kamu merasakan sakit hati setiap membayangkanku bersama laki-laki berengsek itu, bagaimana denganku? Leherku seperti tercekik ketika melihat tubuh laki-laki yang sangat peduli dan mencintaiku terbujur kaku. Hatiku sangat sakit sekaligus tercabik-cabik ketika membayangkan bajingan itu menjamah tubuhku dan memperkosaku yang tengah tidak sadarkan diri. Bahkan, napasku seakan terenggut saat mengetahui benih yang bajingan itu tanam telah berkembang di rahimku. Kamu salah besar jika berpikiran pernikahan ini menjadi penyelesaian yang tepat,” ungkapnya dengan penuh luapan emosi.

Deanita yang mendengar perkataan Diandra hanya bisa terisak.

“Sejak kecil hidupku selalu dikelilingi oleh ketidakadilan. Perlakuan yang aku terima dari orang tua kita sangat berbeda denganmu. Mereka selalu menjadikanmu prioritasnya. Sikap mereka yang tidak pernah berhenti memujimu dan selalu menuruti semua permintaanmu benar-benar membuatku muak. Untuk mendapat perhatian orang tua kita, aku terpaksa menjadi seorang anak yang pemberontak. Awalnya aku berpikir, dengan memberontak orang tua kita akan memberiku sedikit perhatian. Namun, ternyata aku salah besar. Mirisnya, saat aku mulai mengecap sedikit kebahagiaan, kamu dan kekasihmu telah merenggutnya walau secara tidak sengaja.” Dengan penuh kepiluan Diandra menceritakan beban yang sudah lama mengendap di hatinya. “Kini, masih pantaskah kamu menganggap semuanya sudah impas, hah?!” hardiknya.

Deanita yang sudah berlinang air mata langsung berdiri dan memeluk tubuh bergetar adiknya. Selama ini ia hanya fokus pada dirinya sendiri dan tidak menyadari penderitaan yang dialami Diandra. Sebagai seorang kakak, ia merasa gagal melindungi adik semata wayangnya. Bahkan, ia tidak mengetahui adiknya diperlakukan keji oleh laki-laki yang sangat dicintainya tersebut. Kini lidahnya kelu, tidak tahu apa yang harus dikatakan. Yang bisa dilakukannya kini hanyalah mendekap tubuh sang adik, dengan harapan mampu memberikannya sedikit ketenangan dan kenyamanan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status