Share

Chapter 2

Diandra Calistha, wanita semampai yang merupakan putri bungsu dari keluarga Sinatra. Dee–sapaannya, sudah menyelesaikan kuliahnya di jurusan fashion design, dan kini tengah menjadi seorang freelancer di sebuah butik. Diandra memutuskan meninggalkan rumah karena muak terhadap perlakuan tidak adil orang tuanya, seolah di mata mereka hanya seorang Deanita Aurora Sinatra yang berhak menerima kasih sayang.

Mendapat perlakuan seperti itu dari orang tuanya ternyata membuat Diandra tumbuh menjadi anak pemberontak dan keras kepala. Ia sering mendatangi kelab malam untuk bersenang-senang dan mengalihkan pikirannya dari situasi memuakkan di rumahnya. Bahkan, ia sering pulang dalam keadaan mabuk. Untungnya setelah keluar dari kediaman keluarganya, perlahan tapi pasti sikap dan kebiasaannya berubah. Bahkan, ia menjadi sosok yang mandiri dan tidak pernah lagi mengunjungi kelab malam untuk bersenang-senang atau sekadar mencari hiburan.

Perubahan sikap Diandra tentu saja ada campur tangan sosok yang membimbing dan mengarahkannya. Sosok yang pada akhirnya membuat Diandra jatuh cinta, yaitu Wira Arthawan. Laki-laki yang merupakan kakak sepupu dari Sonya Lestari, sahabatnya sendiri. Laki-laki yang sebelum mengembuskan napas terakhirnya berprofesi sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta. Laki-laki yang selalu memberikannya nasihat dan kenyamanan di hari-hari sulitnya. Bahkan, laki-laki tersebut tidak segan menegurnya.

Diandra sangat terpukul ketika sebuah kecelakaan tragis merenggut nyawa Wira. Ia merasa dunianya runtuh karena sosok yang selama ini menjadi pelindungnya dan sangat berperan penting dalam hidupnya terbujur kaku. Kehilangan itulah yang menjadi dasar utama Diandra membalas dendam kepada perenggut nyawa kekasihnya tersebut dengan cara menjebaknya.

Dengan bantuan Helena yang merupakan sahabatnya dan Wira, ia pun menjalankan rencananya. Ternyata aksi balas dendamnya tersebut tidak memberikan hasil yang menguntungkan untuknya, melainkan malah membuatnya terjebak dalam tali pernikahan bersama perenggut nyawa sang kekasih.

“Apa yang sedang kamu pikirkan, Dee?” Helena bertanya saat melihat Diandra melamun sambil berlinang air mata. “Minumlah dulu.” Ia mengangsurkan segelas jus alpukat kepada Diandra yang kini terlihat mengusap dengan kasar air matanya.

Keluar dari restoran di hotel tadi, Diandra langsung menghentikan taksi yang sedang menurunkan penumpang. Untuk menenangkan pikirannya, ia lebih memilih mendatangi rumah Helena daripada Sonya. Tentu saja alasannya karena Sonya kini sedang bekerja di bagian administrasi di rumah sakit tempat Wira bertugas dulu. Ia ikut senang saat mengetahui Sonya diterima bekerja di rumah sakit tersebut meski belum diwisuda. Berbeda dengan Sonya, Helena kini telah membuka salon sederhana di rumah yang pernah ia tempati. Diandra yang pergi tanpa membawa uang terpaksa meminta Helena untuk membayari ongkos taksinya. Bahkan, ponselnya pun masih tertinggal di kamar hotel tempatnya menginap.

“Sudah, jangan menangis lagi, Dee,” Helena menenangkan meski Diandra tidak menjawab pertanyaannya tadi. Ia tidak ingin melihat sahabatnya tersebut semakin bersedih.

“Len, di mana Bi Mira?” Setelah berhasil mengendalikan emosinya, Diandra mengalihkan pikirannya yang tengah mengenang kebersamaannya dengan Wira.

“Ke pasar,” jawab Helena sebelum menyeruput jus jeruknya. Meski merasa iba melihat keadaan Diandra, tapi ia mencoba untuk menyamarkannya. “Andai saja Sonya mengabaikan perdamaian yang ditawarkan pihak Hans, hidup Diandra pasti tidak akan seperti sekarang,” batinnya menyayangkan sikap Sonya.

“Len, aku numpang istirahat sebentar di sini ya,” pinta Diandra sebelum menghabiskan jus alpukat  buatan Helena.

Helena tersadar dari lamunannya setelah mendengar permintaan Diandra. “Silakan, Dee. Istirahat saja di kamarmu yang dulu. Tidak usah sungkan-sungkan, anggap saja di sini rumahmu juga,” suruhnya.

“Baiklah,” Diandra mengiyakan dan langsung menuju kamar yang dimaksud Helena.

Semenjak hamil Diandra memang lebih cepat merasa lelah, apalagi kejadian saat sarapan tadi sangat menguras emosi dan pikirannya. Andai tadi ia menanggalkan kesopanannya dan tidak menghormati kehadiran ibu mertuanya, bisa dipastikan kuku tangannya telah difungsikan untuk mencakar wajah Hans.

•••

Hans memarkirkan mobilnya di halaman rumah yang baru dibelinya seminggu lalu. Rumah sederhana dan berlantai dua yang akan ia tempati bersama Diandra. Ia memang sengaja mencari rumah yang tidak terlalu banyak penduduknya dan lingkungan di sekitarnya sepi. Untuk sementara ia akan meminta bantuan Bi Harum–salah satu asisten rumah tangga di kediaman ibunya.

“Bi, taruh ini di kamar tidur untuk tamu,” perintah Hans sambil mengulurkan paper bag berisi pakaian dan ponsel Diandra yang ditinggalkan oleh wanita tersebut di kamar hotel.

Awalnya Hans tidak memedulikan apa pun yang berkaitan dengan Diandra, tapi sebelum meninggalkan hotel ibunya memeriksa kamarnya dan memberikan barang-barang milik wanita tersebut kepadanya.

“Baik, Tuan,” jawab Bi Harum patuh. “Ngomong-ngomong, di mana Nyonya Diandra, Tuan?” tanyanya ketika menyadari tidak melihat keberadaan anggota baru di keluarga Narathama.

Bi Harum langsung menunduk ketika Hans menjawab pertanyaannya dengan tatapan menusuk. “Bibi permisi, Tuan,” ucapnya gugup dan membungkuk.

“Lakukan saja yang menjadi pekerjaan Bibi,” perintah Hans tegas sebelum menaiki anak tangga menuju kamarnya di lantai dua.

Sesampainya Hans di kamar pribadinya, ia langsung menjatuhkan tubuhnya di ranjang. Ia mengucek matanya beberapa kali ketika menatap langit-langit kamarnya dan melihat bayangan Deanita di sana. Kini wanita itu sedang berada di Singapura menemani ibunya yang tengah menjalani pengobatan akibat terkena serangan jantung setelah mengetahui Diandra berbadan dua. Yurisa Putria Sinatra, wanita yang kini menjadi ibu mertuanya memang diketahui sebelumnya mempunyai riwayat hipertensi. Ia mengambil ponselnya dan mengusap layarnya yang memperlihatkan foto Deanita.

Untuk menjernihkan pikirannya kembali, Hans akan mengguyur tubuhnya di dalam kamar mandi. Niatnya yang sebelumnya ingin ke kantor setelah waktu makan siang pun dimajukannya. Ia lebih memilih pergi ke kantor dan menyibukkan diri dengan pekerjaannya, daripada menuruti permintaan sang ibu yang menyuruhnya mencari keberadaan Diandra.

•••

Waktu dirasa sangat cepat berlalu oleh Hans. Ia meregangkan tubuhnya yang terasa kaku setelah memeriksa laporan pemberian sekretarisnya usai rapat siang tadi. Setelah melihat arloji mewah yang melingkari pergelangan tangannya, ia berdiri dari kursi kebesarannya dan mengambil kunci mobilnya di atas meja. Sebelum pulang ke rumah barunya, Hans ingin menyambangi warung soto ceker yang beberapa hari ini telah menjadi langganannya. Belakangan ini Hans selalu menginginkan menu makanan berbahan dasar ceker, padahal sebelumnya ia sangat tidak menyukainya. Bukan hanya itu, ia juga sering kelaparan ketika tengah malam. Bahkan, kini hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat air liurnya hendak menetes.

Hans pernah mencuri dengar obrolan para pekerja di rumah ibunya yang sedang membicarakan perubahannya. Selain masalah makanan, Hans juga sering mual-mual dan pening ketika bangun tidur. Bahkan, ia kerap kali memuntahkan kembali makanan yang disantapnya. Menurut para pekerja di rumah ibunya, katanya ia sedang mengalami ngidam dan morning sickness. Sebuah fase yang umumnya dialami oleh wanita hamil. Hans marah mengetahui dirinya mengalami fase tersebut, karena hal itu sangat merugikan dan menyiksanya.

Awalnya sang ibu membuatkannya teh mint untuk meredakan rasa mualnya, sayangnya tidak mempan. Berbeda ketika melihat Lavenia meminum air lemon hangat, ia sangat tergoda dengan irisan buah tersebut yang ada di dalam gelas. Setelah meminta irisian buah lemon tersebut kepada sang adik dan langsung menyesapnya, ternyata rasa mualnya berangsur mereda. Sejak saat itulah, ia akan memakan irisan lemon segar ketika rasa mual beraksi menyerangnya.

Melihat tidak ada tempat kosong di warung soto ceker yang didatanginya, Hans memutuskan untuk membungkus makanan tersebut dan akan menikmatinya di rumah. Karena nafsu makannya belakangan ini meningkat drastis, jadi ia membeli dua porsi soto ceker untuk dirinya sendiri. Setelah pemilik warung memberikan pesanannya, ia bergegas memasuki mobil dan mengendarainya menuju rumah barunya.

Setelah kurang lebih lima belas menit berkendara, akhirnya Hans tiba di rumah dan kedatangannya disambut ekspresi khawatir yang tercetak jelas pada wajah Bi Harum. “Ada apa, Bi?” tanyanya saat memasuki rumah.

“Hm, Tuan,” ucap Bi Harum hati-hati karena takut membuat majikannya marah. “Tadi Nyonya Allona menelepon Bibi dan menanyakan keberadaan Nyonya Diandra,” beri tahunya setelah Hans memberi isyarat untuk melanjutkan.

Hans menyugar kasar rambutnya ketika melupakan keberadaan Diandra. “Shit!” umpatnya karena menyadari Diandra pergi tanpa membawa ponsel sehingga dengan terpaksa kini ia harus mencarinya.

Jantung Bi Harum berdetak kencang ketika mendengar umpatan Hans. Ia hanya menunduk karena tidak berani melihat wajah Hans yang tengah marah. Meski mengetahui umpatan Hans tidak dialamatkan padanya, tapi Bi Harum tetap saja ketakutan. Menurutnya, Hans akan terlihat sangat menakutkan ketika dalam keadaan marah. Setelah mendengar suara mobil menjauh, Bi Harum baru berani mengangkat wajahnya.

“Semoga saja bukan aku yang akan dipekerjakan di rumah ini,” harap Bi Harum sambil mengelus dada.

•••

Hans langsung menuju rumah Helena setelah Felix memberitahukan alamatnya. Entah apa yang mendasarinya, pikirannya sangat kuat mengatakan jika Diandra sedang berada di sana. Ia memelankan laju mobilnya ketika sudah memasuki blok yang diberitahukan. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Hans melihat mantan simpanan sahabatnya tengah menutup pintu pagar dan ia pun menambah kecepatan mobilnya.

Tepat di depan pagar Hans membunyikan klakson mobil untuk menarik perhatian wanita yang hendak kembali ke dalam rumah. Ia turun dari mobil saat melihat Helena kembali menghampiri pagar. “Cepat suruh wanita itu keluar,” perintahnya tanpa basa-basi. “Sekarang!” sambungnya arogan.

Helena mendengkus setelah mengenali orang yang berbicara sangat tidak sopan padanya. “Siapa yang Anda maksud, Tuan?” tanyanya balik dengan sinis.

“Jangan pura-pura tidak mengerti siapa orang yang aku maksud. Jangan sampai aku menerobos masuk rumahmu dan menemukan wanita itu sendiri,” ancam Hans dan menatap nyalang Helena.

“Silakan saja lakukan, Tuan, dan aku tidak akan segan-segan meneriakimu sebagai maling,” balas Helena sambil menyeringai.

Tanpa Helena dan Hans sadari, Diandra memerhatikan keduanya dari dalam rumah melalui jendela. Merasa mengenali laki-laki berpostur tinggi yang sedang berbicara dengan Helena, ia pun menghampiri keduanya. Ia tidak ingin jika kedatangan laki-laki yang berstatus sebagai suaminya itu membuat keributan di rumah Helena, sehingga mengganggu penghuni lain.

“Baguslah. Akhirnya kamu keluar juga tanpa perlu aku seret paksa,” Hans mendesis ketika melihat Diandra berjalan di belakang tubuh Helena. “Pulang!” sambungnya dingin tanpa menghiraukan reaksi geram Helena karena mendengar perkataan kurang ajarnya.

Diandra memberikan isyarat kepada Helena agar tidak menanggapi perkataan Hans. Bukannya ia takut atau terintimidasi dengan perkataan sadis suaminya itu, tapi saat ini situasinya tidak tepat untuk beradu mulut. Ia hanya tidak ingin menciptakan keributan di rumah Helena dan menarik perhatian para tetangga di sekitarnya.

“Aku pulang dulu, Len,” Diandra berpamitan sebelum membuka pintu depan mobil Hans.

“Keparat!” umpat Helena saat Hans tersenyum mengejek sebelum memasuki mobil.

Diandra sangat ingin meneriaki Hans, bila perlu sampai membuat telinga laki-laki tersebut tuli karena langsung menancap pedal gasnya, padahal ia baru duduk dan belum memakai seatbelt.

Meski dilanda rasa takut karena Hans mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, terlebih sekarang ia dalam keadaan hamil, tapi Diandra berusaha untuk tetap tenang.

“Pantas saja nyawa kekasihku melayang, ternyata seperti ini cara mengemudi orang yang menabraknya,” sindir Diandra dengan jelas.

Seketika Hans mengurangi laju mobilnya ketika mendengar sindiran wanita di sampingnya yang tengah duduk sambil melihat jalanan dengan tatapan kosong. Jeritan Deanita dan suara benturan keras kini menggema di benaknya, sehingga membuatnya langsung menepikan mobil. Ia mematikan mesin mobil, kemudian menjatuhkan kepalanya pada kemudi.

Ingatannya kembali berputar pada kejadian sebelum mobilnya kehilangan kontrol dan menabrak seorang pengendara sepeda motor. Saat itu ia dan Deanita baru pulang dari menghadiri ulang tahun Felix yang diadakan secara sederhana di sebuah kafe. Di dalam mobil mereka terlibat perdebatan, pemicunya karena Hans cemburu melihat keakraban Deanita yang berinteraksi dengan mantan kekasihnya di kafe. Memang pertemuan Deanita dan sang mantan tanpa unsur kesengajaan, tapi tetap saja melihat keakraban mereka membuat hati Hans dibakar cemburu.

Deanita yang menilai kecemburuan Hans kali ini sudah melewati batas, terus saja menasihatinya. Bahkan, Deanita berulang kali menegaskan jika hubungannya dengan sang mantan hanyalah sekadar teman biasa. Kepala Hans bukannya mendingin setelah mendengar nasihat dan penjelasan bertubi-tubi dari Deanita, melainkan malah membuat amarahnya semakin menjadi-jadi. Untuk melampiaskan amarahnya, Hans mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, sehingga membuat Deanita ketakutan.

Meski jalan yang mereka lalui cukup sepi, hal itu tidak membuat ketakutan Deanita berkurang. Ketika Hans menyalip mobil di depannya, cahaya lampu mobil yang tiba-tiba muncul dari arah berlawanan membuat matanya silau, sehingga ia kehilangan kontrol dan membanting kemudi. Bersamaan dengan itu Hans mendengar jeritan Deanita sekaligus suara mobilnya menabrak sesuatu. Hans tidak sempat memeriksa apa yang ditabrak mobilnya, sebab ia pun mulai kehilangan kesadaran.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Potato Peach
dasar laki2 egois
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status